Anda di halaman 1dari 6

Ibnu EPDF | Print | Muqlah mail Written by irfan Monday, 25 April 2011 16:24 Ibnu Muqlah

Ibnu Muqlah adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah. Lahir tahun 272 H/887 M, meninggal pada 940 M dan dikuburkan di pekuburan kerajaan, setelah tiga kali dipindahkan. Ibnu Muqlah artinya anak si biji mata yang berarti anak kesayangan. Abu Abdillah adalah gelar bagi Ubnu Muqlah, nama yang sama dengan saudaranya, Abu Abdillah, yang juga seorang kaligrafer kenamaan di zamannyaSedangkan Muqlah adalah gelar ayahnya, Ali. Ada yang meriwayatkan sebagai nama ibunya, yang apabila ayahnya (kakek Ibnu Muqlah) mempermainkannya, slalu memanggilnya dengan kata-kata: Yaa muqlata abiha! (Wahai biji mata ayahnya!).

Ibnu Muqlah yang dikenal sebagai Imam Khattatin (Bapaknya Kaligrafer) dan saudaranya, Abu Abdillah mendapat bimbingan kaligrafi dari Al-Ahwal al-Muharrir, salah seorang murid Ibrahim al-Syajari yang paling masyhur, hingga keduanya menjadi kaligrafer sempurna yang paling menguasai bidangnya di Baghdad pada permulaan zaman tersebut. Kejeniusan Abu Ali Ibn Muqlah dan pengetahuan mendasarnya tentang geometri (ilmu ukur) membawa kemajuan penting satu-satunya di bidang kaligrafi Arab. Nama Ibnu Muqlah mendapat perhatian besar dalam halaman-halaman buku sejarah. Karenanya, selalu dikaitkan kepada Abu Ali, sebagai penemu sejati kaligrafi Arab Cursif. Karena kejeniusannya, ia dikenal sebagai nabinya para kaligrafer atau Imam alKhatthathin (pemimpin para kaligrafer). Keberhasilan Ibnu Muqlah adalah mengangkat gaya Naskhi menjadi gaya yang paling populer dipakai, setelah abad sebelumnya didominasi oleh gaya Kufi. Gaya lain yang ditekuninya adalah Tsulus, yang nantinya banyak berpengaruh pada karya Ibnu Bawab. Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya baru tulisan, akan tetapi pada penerapan kaidah-kaidah yang sistematisuntuk kaidah khat Naskhi yang berpangkal pada huruf alif.

Lebih jelasnya diterangkan oleh Y.H. Safadi, bahwa sistem Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik (yang dibuat dari tarikan diagonal pena), huruf alif vertikal dan lingkaran. Prinsip-prinsip geometrikal ini mendobrak cara penulisan Arab sebelumnya yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru ini disebut al-Khath al-Manshubi (kaligrafi yang tersandar). Meskipun kaidah-kaidah tersebut tidak terpakai sekaku awal perintisan Ibnu Muqlah, perkembangan kaligrafi selanjutnya banyak dipengaruhi oleh kepiawaiannya dalam

memperindah tulisan. Sayangnya, tidak satupun karyanya dapat terpelihara hingga kini. Pada mulanya Ibnu Muqlah mengabdi pada beberapa kantor pemerintahan,

menyumbangkan kemahiran dari bakat yang dimilikinya sebagaimana yang dilakukan oleh para kaligrafer lainnya. Untuk pekerjaan tersebut ia mendapat upah enam dinar sebulan. Karirnya mulai meroket setelah ia mengeratkan hubungan dengan Abu al-Hasan ibn Furat yang mengawalnya ke puncak prestasi yang meyakinkan sehingga ia mulai populer dan banyak mendapat sorotan dari segenap kalangan. Bahkan, dalam suatu catatan disebutkan bahwa tulisan Ibnu Muqlah pernah digunakan dalam pembubuhan surat perdamaian (hadnah) antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi, surat itu tetap dalam pegangan pemerintah Romawi hingga Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Romawi Timur. Berkat keuletan luar biasa dan prestasi yang tampak sangat menonjol, ia berhasil menaiki jenjang kedudukan perdana menteri (wazir) untuk tiga orang khalifah Abbasiyah, yakni alMuqtadir (908-932 M), al-Qahir (932-934 M) dan al-Radhi (934-940 M). Sayangnya ia sangat malang, mendapat tekanan-tekanan berat akibat masalah-masalah kekhalifahan yang sedang bergolak dengan segala kekisruhannya; tatkala penindasan, korupsi dan intrik-intrik politik menjadi setan-iblis kekuasaan yang merajalela. Model kepemimpinan pada waktu itu telah menyiksanya dengan beragam penganiayaan. Ia memulai karirnya sebagai pegawai pemungut pajak di provinsi Persia sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaannya berbalik ketika ia menjadi pejabat bawahan al-Imam al-Muqtadir Billah pada tahun 316 H yang membawanya sukses untuk menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad. Namun ia juga mempunyai musuh yang menfitnahnya hingga ia ditangkap. Ia berkali-kali masuk penjara, hartanya disita dan ia dibuang ke Persia, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham. Namun ia malah

menjadi pembantu al-Radhi, dan musuhnya pun kembali mencemarkan nama baiknya hingga ia ditangkap lagi dan dipecat dari jabatannya. Kenaasaannya mendorongnya mendekati Ibnu Raiq, Perdana Menteri di Baghdad, bawahan khalifah yang naif itu. Namun khalifah tidak bisa menyembunyikan rahasianya, bahkan membusukkan namanya dihadapan Ibnu Raiq. Maka ia mendapat hukuman lagi dengan mempertaruhkan tangan kanan dan kirinya. Akhirnya al-Radhi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh dokter untuk mengobati luka tangannya yang sudah terpotong hingga ia sembuh. Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan lengan tangannya yang terpotong dan dengan itu pul ia menulis. Akan halnya dengan Ibnu Raiq, ketika ingatannya kumat akan permintaan Ibnu Muqlah untuk duduk di kursi kementeriannya. Maka dibuatlah tindakan yang lebih bengis melengkapi kekejaman sikap sebelumnya. Raiq menjatuhkan hukuman potong lidah dan menjebloskan Ibnu Muqlah ke dalam penjara hingga ia mendekam bertahun-tahun dengan segala duka derita yang tak terkirakan. Di dalam penjara itu ia meninggal dunia tahun 328 H/940 M dan dimakamkan di rumah sultan. Mendengar peristiwa itu, keluarganya menuntut agar jenazahnya pun dibongkar dan diserahkan kepada keluarga. Kemudian anaknya menguburkan di rumahnya sendiri. Dari rumah anaknya, istrinya yang dikenal dengan Dinariyah menggalinya kembali dan menguburkan di rumahnya di Istana Umm Habib Baghdad. Segala kepedihannya pernah dilukiskan di dalam syairnya sebagai berikut : Apabila setengahmu hapus nyawa Nangislah sisanya Sebab satu sama lain Akrab senantiasa Bukan ku telah muak hidup di dunia Tapi, kepalang kudiperdaya sumpah mereka

Maka cerailah tangan kananku tercinta Kujual kepada mereka agamaku Dengan duniaku Namun mereka halau aku dari dunia mereka Sehabis mereka gasak agamaku Kugoreskan kalam sekuat upayaku Tuk melindungi nafas-nafas mereka Duhai malangnya Bukannya mereka melindungiku Tiada nikmat dalam hidup ini Sesudah senjata kananku perdi tiada arti Duh, hayatku nan malang Tangan kananku telah hilang Hilanglah, segala arti tergusur hilang Ibnu Bawwab Ibnu Bawwab yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali ibn Hilal, adalah anak seorang penjaga pintu istana Baghdad, namun ada yang mengatakan bahwa ia adalah putra seorang kuli. Bawwab berarti penjaga pintu. Ia dikenal juga sebagai al-sitri. Ia menjalani kehidupan yang lebih tentram, tetapi sejarah hidupnya dapat menjelaskan tentang posisi kaligrafi dalam berbagai cara. Ia memulai kariernya sebagai dekorator yang menghias rumah dengan gambar-gambar, kemudian melanjutkannya dengan menghias buku-buku dengan aneka gambar, dan akhirnya membuat kaligrafi. Tak diragukan lagi bahwa hal ini berarti ia berhasil meningkatkan kariernya pada bentuk seni yang lebih tinggi. Pada suatu saat ia diangkat sebagai seorang mubaligh Masjid Mansur di Baghdad, sebuah posisi yang berbeda dengan penceramah pada sholat Jumat (khatib).

Pada suatu saat Ibnu Bawwab mengurus perpustakaan Baha Al-Daula di Syiraz dan ia sendiri menceritakan sekelumit kisah berikut ini dari sana yang dilaporkan oleh Yaqut: suatu hari dalam tumpukan buku-buku yang telah disisihkan, ia menemukan sebuah buku bersampul hitam yang ternyata merupakan bagian dari Al-Quran tiga puluh jilid yang ditulis oleh Ibnu Muqlah. Buku ini menimbulkan kekaguman yang luar biasa. Di perpustakaan tersebut berhasil ditemukan dua puluh sembilan jilid, tetapi satu jilid masih belum ditemukan. Ketika ia menyampaikan berita ini kepada Baha Al-Daula yang disebut terakhir ini kemudian memerintahkan untuk melengkapi karya tersebut. Ibnu Bawwab menawarkan diri untuk menuliskan jilid yang hilang itu dengan syarat ia mendapatkan jubah kehormatan dan uang seratus dinar jika jilid baru yang ditulisnya tidak dapat dibedakan dengan jilid-jilid lain. Syarat itu diterima, lalu Ibnu Bawwab mencari beberapa kertas tua yang diperkirakan sama dengan kertas jilid yang hilang itu dengan baik dan dibuat agar tampak usang, kemudian dijilid dengan sampul tua yang diambil dari buku lain. Ketika Baha Al-Daula menanyakan hal itu setahun kemudian, ia melihat tiga puluh jilid dibawa kehadapannya dan menelitinya dengan cermat sebelum mengambil satu jilid yang baru ditulis, kemudian ia menganggap bahwa semuanya merupakan karya Ibnu Muqlah. Ibnu Bawwab tidak menerima bayaran yang telah disetujui, tetapi permohonannya untuk memiliki seluruh potongan kertas Cina yang ada di perpustakaan, yang cukup untuk keperluan beberapa tahun dikabulkan. Konon ada dua jenis kertas di perpustakaan itu yaitu kertas Samarkand dan kertas Cina. Kisah itu menyiratkan bahwa tulisan Ibnu Bawwab tidak jauh berbeda dengan tulisan Ibnu Muqlah yang menjadi pedomannya dalam menulis. Kita tidak mengetahui apa perbedaan yang ada diantara mereka, tetapi biografi beberapa orang di abad kedua belas dan ketiga belas menyatakan bahwa mereka mengikuti metode Ibnu Muqlah dan Ibnu Bawwab. Seseorang mengatakan bahwa ia memakai metode Ibnu Muqlah untuk menulis buku-buku dan metode Ibnu Bawwab untuk menulis surat-surat. Tulisan kedua ahli kaligrafi tersebut sangat diminati oleh para kolektor dan mendapat harga yang tinggi. Yaqut menceritakan sebuah surat yang terdiri dari sembilan puluh baris berisikan hal-hal sepele yang ditulis oleh tangan Ibnu Bawwab telah terjual dengan harga tujuh belas dinar dan

kemudian dijual lagi dengan harga dua puluh lima dinar. Semangat para kolektor itu menyebabkan adanya pemalsuan. Kita telah melihat bahwa beberapa pabrik kertas juga menginstruksikan untuk menciptakan kertas kuno buatan. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa Ibnu Bawwab sendiri memalsu karya seorang maestro yang terdahulu. Yaqut menceritakan tentang seorang kaligrafi abad ketiga belas yang membeli selembar tulisan Ibnu Bawwab dengan harga empat puluh dinar. Dia menyalinkannya diatas kertas usang dan memberikan salinan tersebut kepada seorang penjual buku yang menjualnya sebagai tulisan Ibnu Bawwab dengan harga enam puluh dinar. Ibnu Bawwab adalah penulis kaligrafi hafal al-Quran dan menulis 64 mushaf. Salah satunya, yang ditulis dengan gay Raihani, disimpan di masjid Leleli di Istanbul. Ia penemu dan pengembang gaya tulisan Raihani dan Muhaqqaq. Al-Bawwab yang berhasil membentuk mazhab kaligrafi di Baghdad, meninggal tahun 1022 M dan dimakamkan di dekat makam Imam Ahmad ibn Hanbal. Tidak diketahui tanggal kelahirannya. Pada masa mudanya, Ibnu Bawwab belajar kaligrafi pada Muhammad ibn Asad, kemudian Muhammad ibn al-Simsimani, murid Ibnu Muqlah. Dalam karir kaligrafinya ia lebih dikenal sebagai penerus dan pengembang prestasi Ibnu Muqlah. Dialah yang menambah makna pekerjaan yang telah dirintis pendahulunya itu. Bentuk baru yang penuh keindahan ini kemudian dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf standar yang indah). Meskipun al-Bawwab yang pada mulanya dikenal sebagai dekorator rumah (house painter) dan ilustrator buku, namun ia lebih menonjol dalam mengembangkan dan mempercantik keenam gaya tulisan yang ada saat itu (alaqlam al-sittah). Perhatiannya terutama dicurahkan pada gaya Naskhi dan Muhaqqaq yang secara ideal selaras dengan kejeniusannya. Ibnu Bawwab mendirikan sekolah kaligrafi yang dikenal sampai masa Yaqut al-Mustashimi. Meskipun ia banyak berkarya, namun kini hanya beberapa saja yang dapat terdokumentasi. Dua halaman al-Qurannya, berukuran 17,5 x 13,5 cm bertahun 1001 M, kini tersimpan di perpustakaan Chester Beatty, Dublin Irlandia.

Anda mungkin juga menyukai