Anda di halaman 1dari 4

Rekam Jejak Sang Penggeli Hati: Abu Nawas

Oleh: Intan Hafidhatun Nisaa’

Dikenal sebagai penyair ulung yang jenaka, Abu Nawas juga merupakan tokoh sufi yang cerdas dan
tidak diragukan lagi kesufiannya. Abu Nawas tidak hanya dikenal cerdik, namun juga nyentrik. Ia
dilahirkan di kota Ahvaz negeri Persia (sekarang Iran) pada tahun 145 H/747 M dengan nama asli
Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai tahun lahir Abu
Nawas. Ada yang berpendapat bahwa Abu Nawas lahir pada tahun 726 M dan wafat pada tahun 814
M, ada juga yang menyatakan bahwa ia lahir tahun 756 M dan wafat pada tahun 810 M.

Ayahnya berdarah Arab, Marwan bin Muhammad yang merupakan anggota militer khalifah terakhir
Bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya keturunan Persia bernama Jalban, ia bekerja sebagai
pencuci kain wol. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, kemudian Ia pun diasuh oleh ibunya dan
dibawa pindah ke kota Basrah, di kota inilah Ia belajar berbagai macam ilmu pengetahuan serta
bahasa dan kesusastraan. Abu Nawas belajar sastra dan bahasa Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan
Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran pada Ya’qub al-Hadhromi. Sedangkan ilmu Hadis ia belajar
pada Mu’tamir bin Sulaiman, Abu Walid bin Ziyad, Azhar bin Sa'ad as-Samman, dan Yahya bin Said
al-Qattan. Kemudian ia bertemu dengan penyair asal Kufah Walibah bin Habab al-Asadi yang
membawanya ke panggung sastra Arab. Karena ketertarikannya pada Abu Nawas, Walibah pun
membawa Abu Nawas kembali ke Ahwaz dan Kufah. Di Kufah Walibah menggembleng Abu Nawas
dan menyuruhnya untuk hidup dengan orang Arab Badui di pedalaman guna memperhalus tata bahasa
Arabnya.

Setelah dirasa memiliki bekal yang cukup Abu Nawas pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Bani
Abbasiyah inilah Abu Nawas bertemu dan berkumpul dengan para penyair terkemuka. Karena
kepiawaiannya ia bisa dekat dengan para pangeran dan juga bangsawan di istana. Namun karena
kedekatannya ini, syair Abu Nawas mulai berubah cenderung memuja penguasa.

Menurut kitab Al-Wasith fi al-Adabi al-Arabi Wa Tarikhi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, jenaka, berlidah tajam, penghayal ulung, dan juga tokoh sastrawan terkemuka angkatan
baru. Namun sangat disayangkan karya-karyanya jarang dipublikasikan dalam diskusi keagamaan
ataupun di berbagai kesempatan. Kebanyakan orang sering mengaitkan syair-syairnya dengan gejolak
jiwanya, karena tingkah lakunya yang terbilang aneh dan tidak lazim. Selain itu ia juga dikenal
sebagai sosok yang lucu dan jenaka.

Di Baghdad inilah Abu Nawas menemukan dunia yang ia geluti sampai akhir hayatnya yakni dunia
kesusastraan atau kepenyairan. Puisi yang diciptakannya pun mencakup beberapa topik seperti puisi
tentang wanita, tentang pria, puisi yang berisi sanjungan, puisi yang berisi cacian, puisi tentang
khamr, dan lain sebagainya. Karena kepandaiannya berkata-kata, khalifah Harun ar-Rasyid tertarik
untuk menjadikan Abu Nawas sebagai penyair istana.

Pada masa ini banyak tokoh keilmuan yang lahir, namun sayangnya keilmuan tersebut tidak dibarengi
dengan perilaku yang baik. Hal ini pula yang menjerumuskan Abu Nawas dalam kehidupan masa
muda yang melenceng. Selain itu, kedekatannya dengan penguasa pun pernah membuatnya
mendekam di penjara lantaran ia membaca puisi kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung
Khalifah dan menyebabkan khalifah murka.

Setelah bebas dari penjara ia mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak dan berpaling dari Khalifah.
Pada tahun 803 M, ia meninggalkan Baghdad kemudian pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk
gubernur Mesir, Kasim bin Abdul Hamid al-Ajami. Kemudian setelah khalifah Harun ar-Rasyid
meninggal dan digantikan oleh Al-Amin, Abu Nawas kembali ke Baghdad.

Masa muda Abu Nawas memang penuh lika-liku dan maksiat, Ia juga pernah hidup dalam kegelapan
dan mendekam di penjara. Namun dari kegelapan itulah ia menemukan hakikat Allah dan nilai-nilai
ketuhanan, inspirasi puisinya pun sudah bukan lagi tentang khamr melainkan cenderung tentang
Ketuhanan.

Pada masa tuanya Abu Nawas cenderung hidup zuhud. Ia juga menciptakan syair-syair dengan
berbagai tema seperti: pujian atau maddah, satir atau hijab, zuhud atau zuhudiyah, masalah khamr
atau khamriyyat, canda atau mujuniyah. Karena puisinya yang bertema khamriyyat dan mujuniyah, ia
dituduh sebagai penyair zindiq atau pendosa besar. Selain itu, karena puisinya yang bertema
khamriyyat pula ia dijuluki sebagai penyair pemabuk, sebab ia menggambarkan khamr bisa
menenangkan fikiran. Meskipun pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama, seperti Imam al-
Hafizh Ibnu Katsir.

Di masa tuanya Abu Nawas lebih sering menciptakan puisi puisi yang religius dan bertema
zuhudiyah, Ia juga banyak menceritakan penyesalan lewat puisi-puisi yang diciptakannya. Masa
tuanya dilalui dengan kezuhudan, syair-syair dan untaian kata yang indah merupakan pengungkapan
rasa sesal atas masa lalunya yang kelam.

Ada banyak versi yang berbeda perihal tahun meninggalnya Abu Nawas. Ada yang menyebutkan
bahwa Abu Nawas meninggal tahun 190 Hijriyah/806 Masehi, ada yang 195 Hijriyah/810 Masehi,
atau tahun 196 Hijriyah/811 Masehi. Selain itu ada juga yang berpendapat tahun 198 Hijriyah/813
Masehi dan tahun 199 Hijriyah/814 Masehi.

Beberapa puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nawas yang telah dicetak dalam berbagai
bahasa, juga diterbitkan di beberapa Daerah seperti: Wina, Austria (1885 M), Litografi di Kairo,
Mesir (1277 H/1860 M), Greinfswald (1861 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), dan Bombay,
India (1312 H/1894 M). Pada tahun 1885 M, Diwan Abu Nawas diedit oleh A. Von Kremer dengan
judul "Diwans des Abu Nowas des Grosten Lurischen Dichters der Araber". Di tangan para orientalis
inilah karya Abu Nawas dipelajari dan diabadikan.

Diantara syair-syair Abu Nawas yang sangat familier di pendengaran masyarakat Indonesia yaitu:

“Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).

Namun, hamba juga tidak kuat menahan panasnya api neraka (Jahim).

Maka perkenankanlah hamba bertaubat dan ampuni dosa-dosa hamba.

Karena sesungguhnya engkau maha pengampun dosa-dosa besar.”

Dua bait syair ini sangat sering didendangkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat
pedesaan menjelang sholat di musholla atau masjid sekitar. Syair-syair tersebut memiliki makna yang
sangat mendalam. Syair-syair tersebut menggambarkan hamba yang sangat sadar bahwa dirinya
adalah orang memiliki banyak dosa pada Tuhannya, oleh karena itu ia memohon kepada Tuhannya
agar mengampuni dosa-dosanya.

Dari Abu Nawas kita bisa belajar untuk menghadapi segala permasalahan hidup dengan jenaka. Masa
lalu yang kelam tidak dapat dijadikan patokan untuk masa depan, nyatanya dari kegelapan Masa lalu
Abu Nawas, ia menemukan nilai-nilai ketuhanan dalam perjalanan kerohaniannya. Syair di atas
mengajarkan pada kita untuk tetap yakin pada ampunan Allah meski sebanyak apapun dosa atau
maksiat yang telah kita perbuat.

Wallahu A'lam.
Daftar Pustaka

Abubakar, Humam. “Penyair Abu Nuwas , Selayang Pandang.” Humaniora 1 (1995): 23–28.

Rosyadi, Ulinuha. Biografi Tokoh Sastra. PT Balai Pustaka (Persero), 2012.

https://www.republika.co.id/berita/lpcmcx/tokoh-sufi-abu-nawas-penyair-ulung-nan-jenaka

https://kisahmuslim.com/2417-siapakah-sebenarnya-abu-nawas.html

Anda mungkin juga menyukai