Anda di halaman 1dari 11

ABU NAWAS DAN KITAB DIWAN ABU NAWAS

Oleh :
Muhammad Dedad Bisaraguna Akastangga, M.Hum
gunabisara@gmail.com
Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

Biografi Singkat Abu Nawas

Abu Nawas adalah seorang yang kontroversial. Sebagai seorang muslim, ia


banyak melakukan perbuatan yang secara agama dilarang. Ia bangga untuk melalukan
perbuatan-perbuatan dosa kecuali syirik,1 meremehkan haji dan waktu shalat. Ia
menyukai khamar sehingga terkenal sebagai penyair khamar.
Khamar, bagi Abu Nawas, dijadikan kompensasi kekecewaan perasaan atau
ketika merasa kosong jiwanya dan untuk menghindarkan diri dari kesibukan yang harus
diselesaikanya.2 Khamar merupakan segala-galanya dalam kehidupan Abu Nawas.
Bahkan, khamar menjadi tujuan pertama hidup dan lebih daripada menjalankan perintah
agama.
Nama lengkap Abu Nawas adalah Hasan bin Hani‟ bin Abdul Awwal bin Sabah.
Ia lahir pada tahun 145 H/ 762 M di daerah Ahwaz salah satu bagian kota Kazakstan di
Iran.3 Ayah Abu Nawas, menurut sebagian pendapat, adalah seorang sekretaris di
Syam. Sementara menurut pendapat lain, ayahnya adalah seorang tentara yang
mengabdi kepada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah.
Ketika berusia tujuh tahun, ibu Abu Nawas mengirimnya ke Bashrah untuk
menuntut ilmu. Di daerah ini, ia sangat rajin menghadiri forum-forum ilmiah dan kajian-
kajian sastra sehingga ia bisa mengambil apa saja yang dimaui baik ilmu yang
berhubungan dengan sastra dan ilmu pengetahuan. Kehidupan Abu Nawas di Bashrah
tersebut menjadikanya sangat paham dan familier dengan budaya masyarakat Bashrah
yang rasional. Ibn Qutaibah menyebutkan bahwa Abu Nawas adalah orang yang sarat
dengan ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai macam pengetahuan dengan baik,
kemudian Abu Nawas memulai menjalani kehidupan gilanya, bermabuk-mabukan di
waktu sepinya.
Di sini Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah Walibah bin al-Hubab al-
Asadi, salah seorang penyair dari Kufah. Oleh Walibah ia diajak berkeliling ke beberapa

1
‘Abbas Mahmud al-‘aqqad, Abu Nuwas al- hasan bin Hani (Beirut: Manshurat al-Maktabah al-
‘Ashriyyah), hlm. 8.
2
Abu Hiffan ‘abdullah bin Ahmad bin Harb al-Mahzumi, Akhbar Abi Nuwas (Kairo: Maktabat Mishr),
hlm. 38.
3
Salim Syamsuddin, Abu Nuwas Fi Nawadirihi Wa Ba’dzu Qasaaidihi (Beirut: Maktabah al-
‘ashriyyah), hlm. 8.
wilayah, dari Baghdad kemudian ke Kufah. Di Kufah Abu Nawas belajar sastra. Ia selalu
mendatangi perkumpulan para penyairbersama Walibah. Namun sangat disayangkan di
kota ini pula ia ikut minum-minuman keras. Ia banyak mendengar, menyaksikan dan
mampu berimajinasi dengan baik. Kecerdasan Abu Nawas dalam mempelajari suatu
syair, menyebabkan ia tidak berlama-lama tinggal di Kufah.4
Abu Nawas menjalani kehidupan tradisionalnya untuk mengasah ketajaman
bahasa dan kefasihan menjadi orang Arab. Setelah meninta ijin kepada Walibah, ia
langsung bergabung dengan salah satu suku arab badui, yaitu Bani Asad. Selama satu
tahun ia bergelut dengan suku ini sebelum kemudian bergabung dengan suku lain, yang
kebanyakan masyarakatnya merupakan imigran.
Abu Nawas kembali lagi ke kota Basrah. Kali ini ia belajar kepada Khalaf Al-
Ahmar yang mengajarkan metode yang berbeda dari Walibah bin al Hubbab dalam
mempelajari syair. Khalaf al-Ahmar menyuruh kepada Abu Nawas menghafal beberapa
lagu-lagu syair. Abu Nawas pun memenuhi perintah Khalaf dan mulai belajar
menghafalnya. Khalaf al-Ahmar rajin memantau perkembangan Abu Nawas dalam
menghafal lagu-lagu syair itu. Ia selalu mengujinya hingga Abu Nawas mahir betul dan
ini membuat heran gurunya. Ia mampu mandiri dan bebas mengekspresikan syair-
syairnya. Berkat kepiawaianya itu, nama Abu Nawas populer di sudut-sudut kota
Bashrah dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan ahli-ahli syair Basrah.5
Setelah itu Abu Nawas hijrah ke Baghdad, pada waktu itu Baghdad menjadi
kiblatnya bangsa Persia dan Arab. Begitu sampai di kota ini, ia langsung bergabung
dengan masyarakat Barmakit dan serta merta ia menyebarkan syair-syair pujianya
untuk mendapatkan upah. Namun demikian nasib baik ini tidak berjalan lama karena
kemudian terjadi komplain antara dirinya dan penyair Barmakit yang sudah ada terlebih
dahulu, yaitu Aban al-Lahiqi. Hal ini menyebabkan dirinya terdepak kemudian ia
bergabung dengan masyarakat Rabi‟. Abu Nawas melakukan hal yang sama dengan
apa yang telah dilakukannya di masyarakat Barmakit sebelum kemudian ia sampai di
pangkuan khalifah „Abbasiyah, yaitu Harun ar-Rasyid di mana pemerintahan Islam yang
berpusat di Baghdad, pada saat itu mencapai kejayaanya.
Kepenyairan Abu Nawas menjadi sangat tersohor karena ia menjadi penyair
istana dan ar-Rasyid sendiri sangat menyukai dan memperhatikan sastra dan puisi. Abu
Nawas dianggap sebagai pembaru sastra Abbasiyah karena telah banyak menemukan
bentuk-bentuk puisi baru, menggunakan gaya mutakallimun dan istilah-istilah filsafat
serta pengetahuan ilmiah.

4
Miftahul Asror, Tobat Ala Abu Nawas Cet . II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 8.
5
Ibid., hlm VIII
Bila mempelajari puisi Abu Nawas, akan bisa didapatkan secara umum, empat
wacana pembaruan: perasaan, peristiwa, pengalaman, dan bahasa. Pertama menunjuk
pada perasaan terhadap sesuatu dan kedua menunjuk pada realitas. Sementara yang
ketiga menunjuk pada kehidupan sebagaimana yang terakhir menunjuk pada
pengungkapan. Keempat hal ini merupakan satu kesatua yang tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lainya.
Abu Nawas menolak segala hal yang berkaitan dengan tradisi dan simbol-simbol
lama yang biasa digunakan dalam puisi Arab: onta, padang pasir dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Ia sangat anti terhadap cara hidup primitif (badui) dan segala
perilaku dan ekspresi kehidupan tersebut. Abu Nawas sangat tidak menyukai tradisi-
tradisi lama Arab beserta simbol-simbolnya:hujan gerimis, onta, padang pasir dan
sebagainya.6
Hal ini menunjukkan ketidaksukaannya terhadap cara hidup masyarakat badui,
sekaligus menolak pengungkapan-pengungkapannya. Abu Nawas mengajak untuk
menggunakan cara dan ekspresinya yang biasa digunakan orang-orang kota, madani.
Apa yang mendalam pada diri Abu Nawas adalah pengetahuan tentang bahasa
(ucapan) beserta pernik-perniknya, bukan terletak di penuturnya itu sendiri. Oleh
karenya, Abu Nawas tidak mengulangi langkah-langkah yang telah ditempuh oleh orang
lain, akan tetapi ia membuka langkah baru. Abu Nawas mengajak, dengan
pengalamanya, menciptakan konsep tentang alam secara baru.
Abu Nawas juga di anggap sebagai zindiq oleh sebagian orang, zindiq-nya Abu
Nawas, sebagaimana yang lainya, dipicu oleh gerakan nasionalismenya yang
menentang diskriminasi pemerintah terhadap kelompok minoritas non-muslim dan non-
Arab. Gerakan ini dimunculkan dengan dengan melihat negara atau pemerintah
bukanlah milik orang Arab saja, melainkan milik seluruh masyarakat muslim. Orang
Arab tidak lebih unggul dibandingkan dengan orang non-Arab, atau sebaliknya.
Gerakan ini bahkan mendapat dukungan manakala revolusi dilancarkan oleh Ibn Zubair,
kaum Khawarij, Syi‟ah, Asy‟ad dan Yazid bin Muhlab.
Zindiqnya Abu Nawas menurut banyak kalangan, kendatipun berbeda pendapat
tentang nasionalismenya, dikarenakan kelucuan dan kecerdikannya, bukan zindiq
karena kepercayaan atau keyakinannya. Sebagaimana diakui oleh Ibn Manadhir,
bahwa: “ Kau bukanlah seorang zindiq akan tetapi kau ingin menyegarkan suasana”. Di
samping itu, sesuai dengan kondisi psikis dan tabiat Abu Nawas yang tidak mengarah
pada kehidupan zindiq atau bahkan kufr, melainkan mengarah pada kehidupan kritis.

6
Moh. Hanif Anwari, Teologi Negatif Abu Nawas Hasan Ibn Hani (Yogyakarta: PT LKis Pelangi
Aksara Yogyakarta), hlm. 27.
Jadi, zindiqnya Abu Nawas tidak mengarah pada persoalan teologis melainkan
hanyalah tertawaannya terhadap agama. Ia tidak kafir, tetapi bersikap kritis terdahap
agama. Syauqi Dhaif mencatat bahwa segala pertentangannya terhadap agama
merupakan wujud dari kritis pribadinya menghadapi problem kejiwaannya, pluralitas
agama dan masyarakat pada masanya yang materialistis. Zindiq nya, dengan demikian,
ekspresif hanya di lisan tidak sampai ke dalam batin atau keyakinan di hati. Ia bukanlah
zindiq melainkan pelawak.
Sedangkan Tuhan menurut Abu Nawas, bukanlah Dzat yang berwajah seram,
Maha menakutkan dan Maha menentukan seluruh peristiwa kehidupan manusia. Tuhan
tidaklah seseram apa yang digambarkan oleh Al-Qur‟an maupun al-Hadist yang suka
menyiksa manusia yang berbuat dosa, bersalah, menyediakan tempat abadi dan neraka
bagi mereka yang melanggar syari‟at-Nya, serta menurunkan derajat mereka karena
kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Tuhan bagi Abu Nawas merupakan Dzat yang
ramah, Maha mengasihi manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan, Maha
menyayangi makhluk-Nya dan Maha mengampuni segala dosa yang diperbuat
manusia.7
Abu Nawas melalui puisi-puisinya, di satu sisi mengakui bahwa dosa-dosa yang
telah diperbuat itu sangatlah banyak, namun ia pun yakin sepenuhnya bahwa ampunan
Allah itu jauh lebih besar. Kendatipun ia banyak melakukan maksiat, minum khamr,
maen perempuan dan hal lain yang dilarang oleh ayari‟at agama, ia tetap menganggap
dirinya sebagai seorang Muslim.

Kitab Diwan Abu Nawas

Kitab Diwan Abu Nawas yang dikaji di sini mendasarkan pada kumpulan-
kumpulan puisi yang diedit oleh Salim Syamsuddin, diterbitkan Maktabah al- Ashriyyah
di Baerut tanpa penyebutan tahun terbit. Kitab ini menghimpun puisi-puisi Abu Nawas
yang termasyhur dan mewakili pandangan-pandangannya tentang berbagai soal.
Kitab Diwan Abu Nawas ini terdiri dari delapan tema puisi: khamriyyat terdiri dari
299 judul; ghazal (elegi) terdiri dari 367 judul; madah (pujian) terdiri dari 100 judul; haja’
(ejekan) terdiri dari 113 judul; ratha’ (ratapan) terdiri dari 22 judul; i’tab (teguran) terdiri
dari 30 judul; zuhd terdiri dari 30 judul; „tard (perburuan) terdiri dari 54 judul. Sedangkan
tema besar yang dikaji di sini menyangkut dua hal yaitu khamriyyat dan zuhd.
1. Khamriyyat

Khamriyyat adalah puisi-puisi yang mengungkapkan dan mendeskripsikan


khamar baik dari aspek makna maupun bentuk-bentuknya. Meskipun Abu Nawas

7
Ibid., hlm. 35.
merupakan penyair yang terkenal menemukan dan menyebarkan bentuk puisi ini,
namun demikian cikal bakal puisi ini telah ditanamkan oleh salah seorang penyair
sebelumnya, yaitu Walid bin Yazid bin „Abd al Malik (88-126 H). menurut Abu al-
Faraj (356 H), begitu Walid menggunakan puisi-puisi khamr, maka banyak penyair
yang memasukkan puisi-puisinya ke dalam puisi mereka, meskipun terbatas pada
bentuk atau temanya saja. Sementara itu, Abu Nawas memasukkan puisi tersebut
baik dari aspek bentuk maupun makna.8
Dalam Diwan Abu Nawas, puisi khamriyyat terdiri dari 246 judul. Tidak secara
jelas disebutkan mengapa puisi itu disebut puisi khamr atau apa yang dinamakan
khamr dalam pandangan Abu Nawas, apakah ia lafzhi atau majazi. Karena Abu
Nawas sendiri mengandaikan bahwa makna khamar adalah samar atau sebuah
ketidakpastian. Melalui puisi khamr , Abu Nawas mengungkapkan berbagai
persoalan yang berkaitan dengan kesenangan, etika, masyarakat, agama, mati dan
hidup.
Kesenangan bagi Abu Nawas adalah cara untuk meraih kebahagiaan hidup.
Kesenangan adalah bagaimana seseorang itu bisa melakukan sesuatu dalam hidup
ini secara total, maksimal. Aktifitas apapun, termasuk mabuk, menurutnya harus
dilakukan dengan mantap. Pekerjaan dipilih dengan konsekuensinya sekaligus,
sehingga seseorang akan mendapatkan kesenangan dan kepuasan dalam hidup ini. 9
Kesenangan bagi Abu Nawas, bersumber dan berawal dari realitas manusia
itu sendiri. Ia mengandaikan bahwa dengan pengalaman, realitas indrawi, yang
nyata ini seseorang akan mampu mengabstraksikan kebaikan dan mewujudkan cita-
cita abadinya, kebahagiaan di dunia dan akherat. Baik atau buruknya perilaku
seseorang ditentukan oleh sejauhmana seseorang itu bisa menggunakan
rasionalitasnya. Hal ini karena rasionalitas akan membimbing seseorang bagaimana
berfikir dan bertindak yang baik dalam kebebasan yang diperoleh oleh setiap
individu. Rasionalitas akan berjalan baik bila kebebasan itu terkendali, dan
sebaliknya ia akan berhenti bila berjalan di atas jalan yang tak berujung.
Dalam hal ini, Abu Nawas mengilustrasikan bahwa ia menjumpai lebih sedikit
orang mabuk yang bisa berfikir jernih dibandingkan dengan orang yang waras, tidak
mabuk. Abu Nawas, layaknya seorang individu yang berada dalam kondisi
masyarakat yang maju, membutuhkan kesenangan dan materi di satu sisi, dan

8
Lihat Majdi Wahb dan Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-‘arabiyyah fi al-Lughah wa
al-Adab (Baerut: Dar al-Ma’arif, 1983), hlm. 163.
9
Ahmad ‘Abd al-Majid al-Ghazali, Diwan Abi Nawas (Kairo: Mathba’ah Mishr Syirkat Musahamah
Mishriyyah), hlm. 678.
menginginkan kesenangan immaterial yang tidak mengenal batas yang merupakan
ketidakpuasan abadi, kegelisahan, dan hal lain yang tidak baik pada sisi yang lain.

Jadi, ambiguitas Abu Nawas, pengakuan bahwa sehat (tidak mabuk) lebih
baik daripada mabuk di satu sisi, dan kebiasaan mabuknya di sisi lain, lebih
merupakan kritik terhadap masyarakatnya yang menginginkan kebahagiaan abadi,
akherat, tetapi melakukan hal-hal yang instan dan kepuasan sesaat. Mereka
memanfaatkan kemajuan saat itu tanpa batas yang mementingkan kuantitas dan
mengabaikan kualitas. Mereka lebih dari itu, tidak memakai nalar untuk
mempertimbangkan keinginan mana yang dipenuhi dan mana yang tidak.
Puisi khamr Abu Nawas merupakan fenomena yang menarik bagi kritikus
bahasa pada abad ketiga hingga keempat Hijriyah karena sarat akan seni bicara,
penulisan sastra, dan kaidah-kaidah retorika. Abu Hilal al-„Askari mengatakan: “
kalau hendak menyusun kalimat, ungkapkanlah artinya di dalam hatimu, gunakan
lafaz yang baik, jadikanlah ia mudah dipahami, dan lakukanlah selagi kamu mampu.”
Abu Nawas adalah orang yang melakukan perkataan tersebut. Karena, Abu Nawas
sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibn Manzhur, menciptakan kasidah atau puisi
dalam waktu berhari-hari. Begitu telah mendapatkan bait-bait puisi, ia
membacakannya di depan khalayak untuk mengetahui sejauh mana kebagusan dan
keindahan puisinya. Bahkan dari sini, ia akan melihat sejauh mana keaslian dan
kesungguhannya sebagai seorang penyair.
Di samping itu Abu Nawas tidak menutupi apa saja yang datang dari para
pendahulunya yang berpengaruh terhadap karya ini. Melalui cara ini setidaknya akan
terungkap dua hal: pertama, terbukanya sumber-sumber pikiran yang baru, dan
kedua, mengungkap makna-makna yang telah dihasilkan oleh orang lain. Berbeda
dengan Walid bin Yazid yang menciptakan puisi khamr dengan hanya menyadur
beberapa puisi penyair besar lainya, Abu Nawas benar-benar menciptakan puisi dari
perasaan dan pemikiran dirinya.
Hal tersebut menurut Ibnu Manzhur, harus disebutkan berulang-ulang,
meskipun akan membosankan: puisi Abu Nawas dibangun dari dirinya sendiri. 10
Dalam puisi khamr, Abu Nawas banyak mengungkapkan sifat-sifat khamr, apalagi
tentang warnanya. Hal ini dilakukan juga oleh para penyair khamr sebelumnya (masa
Jahiliyah dan Umawiyah) yang mengungkapkan warna merahnya khamr, kekasih
yang berteriak di depannya dan kelezatannya.

10
Ibnu Manzhur, Mukhtar al- Aghani Cet. VII (Kairo: Dar al-Mishriyyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah,
1966), hlm. 21.
Thaha Husain mengemukakan pertanyaan, “Apa kelebihan Abu Nawas
sehingga ia disebut sebagai pemuka penyai khamr, padahal ia bukan penemunya
karena telah didahului oleh banyak penyair Jahiliyah dan Islam, dan dipengaruhi oleh
penyair pada masanya”.11 Jawabanya, barangkali karena perilaku “radikal” Abu
Nawas terhadap khamr yang dijadikan jalan hidup baginya.
Abu Nawas juga mengambil (iqtibas) ayat-ayat Al-Qur‟an dalam puisinya. Hal
ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Mu‟taz yang mengatakan bahwa suatu ketika
para penyair seperti Abu Nawas, Muslim bin Walid, Khalij, dan sekelompok penyair
berkumpul, salah satu di antara mereka menantang siapakah yang bisa
mengucapkan puisi yang di dalamnya terdapat ayat Al-Qur‟an. Maka segeralah Abu
Nawas tampil, berkata: “ Dalam suatu majlis, sekelompok kaum wajah mereka;
mengeluarkan bau wangi orang-orang yang benar-benar beriman”.12 Abu Nawas
juga seorang humanis. Ia memiliki prinsip-prinsip humanisme, tidak mengenal egois,
dan mempengaruhi peminum khamr dengan cara sembunyi, dan berusaha untuk
mengajak orang lain untuk menambah kesejahteraan (kenikmatan).
Abu Nawas menginginkan perubahan. Ia ingin mengungkapkan perasaan
sesuai dengan arah jiwa dan pikirannya, bukan sesuai dengan arah jiwa dan pikiran
nenek moyangnya. Ia ingin menampilkan dirinya sendiri sesuai dengan masa di
mana kehidupannya dilalui. Kecenderungan Abu Nawas terhadap yang baru, boleh
disebut, tidak lebih banyak dibandingkan dengan kecenderungannya terhadap yang
lama, seimbang.
Abu Nawas banyak dipengaruhi oleh agama Islam dan kebudayaan Arab. Hal
ini sebagaimana disaksikan oleh Jahiz yang mengatakan bahwa tidak ada seorang
pun yang lebih mengetahui bahasa Arab selain Abu Nawas. Selain itu, Ibn Mu‟taz
juga menyatakan kesaksiannya terhadap penguasaan bahasa Arab Abu Nawas,
kekuatan hapalannya, luasnya pengetahuan dengan metode-metode modern, dan
kedalamannya terhadap Al-Qur‟an. Sementara itu, ketika di tengah-tengah
masyarakat, Abu Nawas selalu berkata: “Demi Allah, aku hanya beragama Islam,
hanya saja mabuk menghendakiku sehingga aku menerima beberapa kemuliaan.
2. Zuhud
Zuhud adalah salah satu fenomena keagamaan yang terjadi pada masa
Abbasiyah. Bila dilihat dari caranya, orang-orang yang menepuh jalan hidupnya
dengan zuhud dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, mereka yang menempuh
jalan zuhud sejak semula. Kedua, mereka yang menempuh jalan ini setelah melalui

11
Thaha Husain, Hadist al-Arbi’ah Cet, II (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 89.
12
Thabaqat Asy-Syu’ara’, hlm. 207
kehidupan yang rusak dan bahkan murtad. Abu Nawas dicatat sebagai zahid yang
menempuh jalan terakhir.

Kelompok pertama banyak meramaikan masjid-masjid di Bahdad dengan


mengadakan pengajian bersama untuk saling mengingatkan akan kebesaran dan ke-
Esa-an Allah serta adanya hari akhir yang pasti akan dihadapi oleh semua manusia.
Di samping itu, kelompok ini juga mengadakan pengajian bersama di istana-istana
sekaligus menjadi penasehat spiritual Sang Raja.
Nasehat pada saat ini dikemas dalam dan melekat dengan bentuk cerita-
cerita agar khalifah bisa mengambil hikmah atau pesan moral di dalamnya
sebagaimana banyak dilakukan oleh para sahabat pada masa Bani Umayyah.
Semakin semarak cara ini pada masa Abbasiyah di mana di samping dilakukan di
masjid dan istana, seruan untuk beribadah dan meninggalkan kehidupan duniawi
serta menempuh jalan ukhrawi juga dilakukan di jalan-jalan atau di tempat-tempat
keramaian.
Kelompok kedua menjalankan zuhudnya setelah melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti minum khamr, berzina, dan sejenisnya.
Berbeda dengan kelompok pertama yang berusaha meninggalkan urusan dunia
sejak dini, tanpa menikmati sebelumnya, kelompok kedua ini mengambil jalan zuhud
setelah puas menikmati urusan dunia. Jadi, zahid merasakan seluruh kenikmatan-
kenikmatan duniawi terlebih dahulu sebelum meninggalkannya dan mengubahnya
untuk meraih kenikmatan-kenikmatan ukhrawai.
Begitu Abu Nawas menempuh jalan hidupnya yang rusak dan mengabaikan
persoalan-persoalan agama, maka ia diklaim sebagai orang zindiq 13 bahkan kafir
sehingga pada masa khalifah ar-Rasyid dan al- Amin berkuasa, ia sering ditangkap
dan dimasukkan penjara. Klaim terhadap kekafiran dan kemurtadannya tersebut
didasarkan pada pengingkaran Abu Nawas terhadap adanya hari kebangkitan,
perhitungan, surga, dan neraka.
Abu Nawas, pada satu sisi, dikategorikan zindiq karena ia menekuni filsafat
dan mempelajari ilmu-ilmu perdukunan, klenik dan lain-lain dari India dan Roma yang
mana ilmu-ilmu ini dianggap telah merusak keimana dan meninggalkan hukum-
hukum agama, karena bersumber dari kekafiran dan kemurtadan. Sementara itu,
pada sisi lain, ia dianggap tetap sebagai orang beriman kepada Allah dengan
sepenuhnya. Kalau pun dalam ucapan-ucapannya mengindikasikan kemurtadan, hal
ini merupakan hasil dari revolusi jiwanya. Kemurtadannya hanyalah sebatas pada
lisan tidak sampai hati hal ini dibuktikan dengan perkataanya yang mengatakan

13
‘Abd ar-Rahman Shidqi, Abu Nuwas Qishshatu Hayatihi (ttp: Dar al-Hilal, t.t.), hlm. 61-68.
semua dosa akan diampuni oleh Tuhan kecuali musyrik. Dengan demikian, Abu
Nawas tidaklah termasuk seorang zindiq, tetapi hanyalah orang jenaka saja. Hal ini
didasarkan pada pernyataan Abu Nawas yang tidak memeluk agama apa pun
kecuali Islam: “ Demi Allah, aku tidak menganut agama selain Islam, aku hanya rindu
akan gurauan sehingga aku mendapatkan kehormatan”.
Abu Nawas melihat bahwa ampunan Allah itu lebih banyak dibandingkan
dengan siksaannya. Lebih dari itu, ia sebagaimana kalangan murji‟ah melihat bahwa
kemaksiatan atau perbuatan dosa lainya sama sekali tidak membahayakan
keimanan. Sama halnya dengan kekufuran yang juga tidak mempengaruhi apa pun,
apalagi membahayakan pada ketaatan kepada Allah. Orang yang berbuat dosa
besar, menurutnya, hanyalah Allah yang berhak menghukumnya. Iman, dengan
demikian, cukuplah merupakan pembenaran dalam hati, tanpa diiringi dengan amal,
dan Allah akan mengampuni seluruh dosa besar kecuali menyekutukan-Nya.
Adapun motif Abu Nawas sebenarnya untuk menempuh jalan zuhud adalah
kelalaian dalam hidup yang serba jenaka. Ia menempuh zuhud dengan perasaan
tulus dan ikhlas sebagaimana ia menjalani hidup rusaknya dengan pikiran tulus dan
ikhlas, karena baginya tidak ada dikotomi antara emosi dan rasio, antara jiwa dan
akal. Abu Nawas berkata sebagai berikut:

Jangan kau kosongkan jiwamu dari kesibukan dunianya, aku tahu jiwa itu tidak
bisa diraih oleh orang yang mengharapkanya
Meskipun kita telah banyak mengumpulkan harta dunia, namun
sebenarnyahanya sedikit yang kita dapatkan.
Ku ingatkan kepadamu agar harta yang melimpah itu tidak mempengaruhimu,
karena ia hanya pakaian yang kau gantungkan kepada Allah.
Alangkah sengsaranya( tubuh yang tinngal) kulit di atas tulang yang terbakar, di
dalam nya terdapat rongga-rongga kosong yang apabila kau bicarakan hanya
akan memunculkan kesombongan.
Hendaklah kamu melihat keutamaan yang nyata di situ, sehingga kau
memperoleh kehormatan.
Hai, pengumbar dan pengikut keinginan nafsu, kau telah berbohong, wahai
pelayan dan budak dunia.
Aku benar-benar membenci jiwaku karena kesombongannya, maka bagaimana
aku menghindari kebencian Allah terhadapnya.
Kau zat hina yang tidak bisa melampaui, keutamaan dunia ketika ia menjanjikan
kemanisannya.
Wahai pengendara dosa, jika kematianya telah tiba, apakah hari-harimu tidak
takut akan siksanya.14
Dalam menempuh zuhud, Abu Nawas melalui tiga tahap, yaitu: penyesalan,
taubat, dan pasrah. Penyesalan dilakukan dengan merefleksikan apa saja yang telah
diperbuatnya pada masa lalu, baik yang disengaja maupun tidak. Yang menarik
adalah penyesalannya ini tidaklah sebatas retorika, tetapi diikuti dengan pengakuan
tulus, jujur dan ikhlas terhadap kesalahan-kesalahan yang telah lewat, sebuah
pengakuan yang jarang dilakukan orang, dan tidak akan mengulangi lagi. Pengakuan
bahwa ia telah melakukan dan kenyang akan dosa yang tidak terhitung jumlahnya
sehingga seolah-olah tidak ada sedikit pun kewajiban dalam dirinya.
Dosa, menurut Abu Nawas tetap bersemai dan tidak akan pernah mati
selama hati atau jiwa manusia itu buta. Buta mata kepala sekalipun itu tidak
menjamin manusia untuk tidak melakukan dosa sehingga hilangnya penglihatan
mata kepala itu tidak lebih baik daripada hilangnya penglihatan mata hati. Baik
buruknya perbuatan, dengan demikian, dilihat dari sejauh mana kebenaran dan
kemunafikan atau kebohongan kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut.

14
Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba’dzu Qosaaidihi (Baerut: Maktabah al-
Ashriyyah t.t), hlm. 315.
DAFTAR PUSTAKA

„Abdullah Abu Hiffan bin Ahmad bin Harb al-Mahzumi, Akhbar Abi Nuwas (Kairo:
Maktabat Mishr).
„Abd al-Majid, Ahmad al-Ghazali, Diwan Abi Nawas (Kairo: Mathba‟ah Mishr Syirkat
Musahamah Mishriyyah).
Asror, Miftahul, Tobat Ala Abu Nawas Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Hanif, Moh. Anwari, Teologi Negatif Abu Nawas Hasan Ibn Hani (Yogyakarta: PT LKis
Pelangi Aksara Yogyakarta).
Husain, Thaha, Hadist al-Arbi’ah (Mesir: Dar al-Ma‟arif, t.t.).
Manzhur, Ibnu, Mukhtar al- Aghani (Kairo: Dar al-Mishriyyah li at-Ta‟lif wa at-Tarjamah,
1966).
Mahmud, „Abbas Al-„Aqqad, Abu Nuwas al- hasan bin Hani (Beirut: Manshurat al-
Maktabah al-„Ashriyyah).
Shidqi, „Abd ar-Rahman, Abu Nuwas Qishshatu Hayatihi (ttp: Dar al-Hilal, t.t.).
Syamsuddin, Salim, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba’dzu Qosaaidihi (Baerut: Maktabah
al-Ashriyyah t.t).
Thabaqat asy-Syu‟ara‟
Wahb, Majdi dan Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-‘arabiyyah fi al-
Lughah wa al-Adab (Baerut: Dar al-Ma‟arif, 1983).

Anda mungkin juga menyukai