Shalawat Burdah merupakan karya sastra Arab yang populer di Mesir pada abad
ke-13 Masehi. Secara etimologi burdah artinya jubah dari kulit atau bulu
binatang yang sering dipakai oleh orang-orang Arab sebagai penghangat tubuh
atau selimut. Burdah mempunyai nilai historis ketika nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan burdah (jubah) yang dipakainya
kepada Ka’ab Ibn Zuhair (662 M). Ka’ab Ibn Zuhair merupakan seorang
penyair Arab, putra dari Zuhair bin Abi Sulma, seorang penyair besar Arab di
masa sebelum Islam. Ka’ab Ibn Zuhair membuat syair yang berisi penghormatan
dan pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat
terkenal dan melegenda, yaitu Banat Su’ad. Atas dasar inilah tradisi memuji
kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat lantunan syair-syair
shalawat terus berkembang hingga saat ini.
Shalawat burdah juga merupakan kumpulan syair tentang pujian kepada nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ungkapan rasa cinta kepada
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditulis oleh Imam Imam Al-
Bushiri. Mengapa shalawat ini dinamakan Kasidah burdah? Al Bushiri
merupakan penyair yang sangat produktif, banyak sekali sajak yang telah dibuat
oleh beliau. Suatau hari beliau menderita kelumpuhan atau dikenal dengan
penyakit angin merah. Kemudian dalam keadaan sakit ini beliau menyusun syair
qasidah burdah dan membacanya beberapa kali sambil berdoa dan bertawasul
mengharap syafaat dengan qasidah yang dibuatnya, agar Allah subhanahu wa
ta’ala menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Kemudian beliau bermimpi
bertemu dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian Rasulullah
mengusapkan tangan kepada beliau dan memberikan burdah (jubah). Yakni
burdah yang diberikan rasulullah kepada Ka’ab bin Zuhair. Kemudian Imam Al-
Bushiri tersentak, lalu terbangun, melompat dari tempat tidurnya, dan bisa
berjalan sehingga sakit yang dideritanya tidak terasa lagi.
Suatu hari Imam Al-Bushiri bertemu dengan seorang faqir (orang sufi), dia
berkata: “Aku mengharapakan engkau memberiku kasidah yang isinya memuji
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam!, kemudian Imam Al-Bushiri menjawab:
“kasidahku?, yang mana?”. Lalu seorang faqir itu berkata: “kasidah yang engkau
tulis saat engkau sakit”, lalu seorang faqir tersebut menyebut awal kasidah
burdah tersebut dan berkata: ”Demi Allah aku telah mendengarnya tadi malam,
kasidah tersebut dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah
subhanahu wa ta’ala”. Kemudian beliau menulis kasidah burdah dengan judul
“alkawakib al-durriyah fi madh khayr albariyyah” (bintang-bintang kemilau
dalam memuji makhluk terbaik). kasidah tersebut berisi sanjungan dan
ungkapan rasa cinta kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena berhubungan dengan burdah yang diberikan nabi, maka kasidah ini lebih
dikenal dengan sebutan kasidah burdah Kasidah burdah terdiri dari 166 bait,
yang setiap baitnya mengandung nilai sastra tinggi, nasihat, peringatan, dan
renungan indah yang dapat menyentuh jiwa pembacanya.
Kasidah burdah ditulis pada saat Imam Al-Bushiri berusia kurang lebih 50
tahun, yaitu antara tahun 1260-1268 M. Penulisan Kasidah Burdah merupakan
respon terhadap situasai politik, sosial, dan budaya yang terjadi pada masa itu.
Pada saat itu terjadi pergolakan politik yang terus menerus, krisis moral, dan
pejabat pemerintah yang rakus, mengejar kekuasaan, dan kemewahan.
Munculnya kasidah burdah ini, dimaksudkan agar umat Islam pada saat itu
mencontoh kehidupan nabi terutama dalam mengendalikan hawa nafsu. Selain
itu, kasidah burdah juga dianggap menghidupkan kembali penggubahan syair-
syair pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Al Bushiri berasal dari Maroko, lahir di Dalash pada bulan Syawal tahun
608 H atau 1211 M dan tumbuh besar di Bushir, sebuah daerah di Mesir. Beliau
berasal dari marga bani Habnun di Maghrib (Maroko). Ibunya berasal dari
daerah Bushir, sementara dari garis ayahnya tinggal di Dalash. Beliau hidup pada
masa transisi perpindahan kekuasan dari dinasti Ayyubiyah ke dinasti Mamluk.
Pada saat berusia 40 tahun (1251 M), beliau memulai mempelajari ilmu tasawuf
melalui tarekat syadziliyyah dibawah bimbingan Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin
Umar bin Muhammad al-Andalusi al-Mursi al-Anshari, salah satu murid Imam
As- Syadzily. Ajaran tasawuf yang ditekuni oleh Imam Al-Bushiri, ternyata
sangat berpengaruh terhadap pola pemikiran dan karya sastra pada kehidupan
beliau. Salah satu pengaruh ajaran tasawuf yang digeluti Imam Al-Bushiri
terhadap sentuhan karya sastra sajaknya yang sangat fenomenal terutama dalam
sajak-sajak pujian kepada nabi. Salah satu karya sastra sajaknya yang fenomenal
dan melegenda, yaitu kasidah burdah. Keampuannya dalam ilmu bahasa dan
sastra Arab, membuat beliau sangat produktif dalam membuat syair. Syair-syair
yang dibuat oleh Imam Al-Bushiri diakui memiliki nilai sastra yang sangat
tinggi.
Pengaruh tasawuf yang dianutnya juga membuat Imam Al-Bushiri menjadi orang
yang zuhud, menjauhi perbuatan buruk, tawadlu, dan murah senyum. Hal ini
membuat Imam Al-Bushiri disegani dikalangan para sufi terutama kalangan
tarekat syadziliyyah dan menempatkan beliau sebagai salah seorang tokoh hebat
dikalangan mereka dan seorang sufi yang telah mendapatkan maqam tinggi
dalam taswuf. Beliau juga mempunyai beberapa murid yang terkenal
diantaranya; Imam Abu Hayyan, Imam al-Ya’muri Abul Fath ibn Sayyidin Nass,
al-‘Izzu ibn Jama’ah dan lainnya.
Selain shalawat Burdah, Imam Al-Bushiri juga membuat beberapa syair tentang
pujian kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya; Al-Hamziyyahfi al-
Mada’ih an-Nabawiyyah, Al-Haiyyah, Al-Daliyyah, Tahdzibul Alfad al-A’miyah,
Al-Qasidah al-Muhammadiyyah, Dzakhr al-Ma’ad fi wazn Banat Su’ad, dan Al-
Qasidah al-Mudhariyyah fi ash-shalah ‘ala khair al-Bariyyah. Karya lain yang
berisi ekspresi kebahagiaan, pujian dan kritik terhadap seseorang diantaranya;
kitab al-Masyib, Asy ba’d Maut, Mustakhdimun wa syayathin, dan Fadhluk
Awwal.
Kasidah Burdah merupakan karya sastra yang sangat fenomenal dan mendapat
perhatian besar dikalangan masyarakat luas karena memiliki sastra tingkat tinggi
dan pesan-pesan etika untuk umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan
tersebarnya qasidah burdah ini ke seluruh penjuru bumi dari timur ke barat.
Banyak para ulama yang mensyarah qasidah burdah ini, diantaranya; Imam
Syaburkiti, Imam Baijuri, Syeikh Ali bin Muhammad Al-Busthami Asy-
Syahirwadi, Badruddin Muhammad bin Muhammad Al-Ghuzza, Muhyi ad-din
Ahmad bin Musthafa (Syeikh Zadah), Bahr bin Rais bin Al-Haruti Al-Maliki,
Ubaidillah bin Ya’qub Ash-Shawi, Hisam ad-din Hasan bin Abbas, Syaraf ad-din
Al-Bazdi, Muhammad bin Abd Ar-Rahman Az-Zamrodi, Jamal ad-Din Abdallah
bin Yusuf, Kamal ad-Din Al-Huwarizmi, Zainuddin Khalid bin Abdillah Al-
Azhari, Jalal Ad-Din Al-Mahalli, Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar, Khair
ad-Din Khidhir bin Umar Al-‘Athufi, Ibnu Habib Al-Halabi, Muhammad bin
Ahmad bin Marzuq At-Tilmisani, dan ulama yang lainnya, ada sekitar 20 ulama
yang memberi komentar terhadap kasidah burdah ini. kasidah burdah ini juga
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa diantaranya; Persia, Melayu,
Turki, Urdu, Punjabi, Shawili, Itali, Jerman, Inggris, dan Prancis.