Anda di halaman 1dari 13

B.

Riwayat Abu Dawud

Nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syadad bin
Amru bin Imran al-Azdi Sijistani.1 Dilahirkan pada tahun 202 H di daerah antara Saudi dan
Harat atau antara Khurasan dan Kaarman.2 Abu Dawud terlahir dari keluarga yang agamis.
Ayahnnya bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud Sulaiman, adalah seorang tokoh
besar di kota Bagdad dan termasuk ulama terrkemuka serta menjadi panutan di kalangan para
imam lainnya. Sedangkan kakenya meninggal ketika bersama Ali pada peperangan Shiffin.3

Memang tidak banyak keterangan diperoleh berkenaan dengan masa kecil Abu Dawud,
akan tetapi ia tumbuh dengan kegandrunga menuntut ilmu. Untuk tujuan ini beliau
melakukan perjalanan ke beberapa wilayah untuk menuntut ilmu dari sejumlah ulama,
seperiti di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Khurasan.4 Bahkan di usia 19 tahun beliau
sering mengunjungi Bagdad. Dengan pengembaraan (rihlah ilmiah) dan pertemuannya
dengan banyak ulama memungkinkan Abu Dawud memperoleh banyak hadis lalu
dikodifikasikan di dalam kitab sunannya.

Menurut Abu Syu’bah, pola kehidupan yang sederhana tampak dalam kesehariannya. Hal
ini terlihat dari caranya berpakain dimana salah satu lengan bajunya lebar untuk membawa
kitab sedangkan yang satunya sempit, agar tidaak terjadi pemborosan.5 Sikap inilah yang oleh
ulama semasa atau semudanya memberikan gelar zahid, yaitu mampu meninggalkan dari hal-
hal keduniawian dan wara’, yakni memiliki loyalitas yang tinggi dalam kepribadiannya.

1
Sijistan dengan ibukotanya Zaranji adalah sebuah daerah kecil di sebelah barat Harat disebelah
selatan antara Persia da Kazman dan di sebelah timur Mukran. Sijistan merupakan daerah gurun pasir, banyak
tumbbuh pohon kurma dan termasuk daerah tandus dengan hembusan angin yang tak pernah berhenti ditambah
dengan cuaca yang sangat panas. Terdapat sungai yang besar bernama sjzi dengan panjangnya sekitar 89 mil.
Lihat Syaihabuddin Abi Abdullah Ya’qub al-Hamawi al-Rumi al-Bagdadi, Mu’jam al-Buldan, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, t.t), h. 214-215.
2
Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manahij al-Muhadditsin, (Kairo: Dar al-Thsbs’sh al-
Muhammadiyah, 1984), h. 125. Lihat: Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis, Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 320.
3
Shiffin adalah peperangan islam yang terjadi di kalangan umat islam karena sebab khilafah (baca:
politik). Salah satunya dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya oleh MU’awiyah bin Abi Sufyan.
Lihat SyihabuddinAbu Fadhl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalant, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Kutub,
1994), juz ke-4, h, 149. Lihat Kamil Muhammad Muhammad Uwaydhah, A’lam al-Fuqaha wa al-Muhadditsun,
Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 6.
4
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Op cit, h. 218.
5
Muhammad Muhammad Abu Syu’bah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo:
Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, 1969), h. 105.
Abu Dawud pernah menetap di Basrah pasca serbuan Zenji pada tahun 257 H,6 dan diakhir
kunjungannya di Bagdad pada tahun 272 H, beliau diminta oleh Gubernur setempat utnuk
pindah ke Basrah dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang datang dari daerah dan
hendak menuntut ilmu. Di ceritakan oleh Al-Khattabi, dari Abdullah bin muhammad al-Miski
dari Abu Bakar bin Jabir seorang pembantu Abu Dawud berkatata; ketika aku bersama Abu
Dawud di Bagdad dan kami selesai melaksanakan sholat maghrib. Datanglah Gubernur (Abu
Ahmad al-Muwaffaq) dan meminta masuk untuk ketemu dengan Abu Dawud. Kemudian
ditanya oleh beliau; apa yang mendorong Amir untuk datang pada waktu seperti ini ? Amir
menjawab; ada tiga permohonan, Apa itu?, tanya Abu Dawud. Amir berkata; pertama,“
Sebaikanya anda tnggal di Basrah, agar para penuntut ilmu di seluruh dunia belajar
kepadamu”. Sehingga kota Basrah kembali makmur pasca kehancuran dan ditinggalkan
orang akinat peristiwa perang zenji, jelas Amir. Kedua; “hendaknya engkau mengajarkan
sunan kepada anak-anakku”. Kemudian dijawab oleh Abu Dawud, “ya”. Lalu sebutkan yang
ketiga, tanya beliau. Dijawab Amir; “hendaknya engkau membuat majlis tersendiri untuk
mengajarkan hadis kepada keluarga khalifah, karena mereka tidak mungkin duduk bersama
rakyat umum. Abu Dawud menjawab; permohonan yang ketiga ini tidak bisa aku kabulkan,
karena didalam menuntut ilmu manusia dipandang sama”7 ditambahkan oleh ibn Jabir sejak
itulah keluarga khalifah di lingkungan istana menghadiri majlis, diberi tirai pembatas dan
duduk bersama dengan masyarakat umum.8

Pada tanggal 16 Syawwal tahun 275 H, Abu Dawud meninggal dunia yang fana ini dalam
usianya 73 tahun di Basrah. Keprgian beliau telah meninggalkan dunia ini dengan berbagai
karya monumental dalam khasanah keilmuan islam, anak yang shaleh dan ilmuan, yaitu
Abdillam seorang imam dan Hafiz yang meninggal tahun 316 H.9

C. Para Guru dan Murid Abu Dawud

Diantara orang-orang menjadi guru Abu Dawud, yaitu Ahmad bin Hanbal (w. 241 H),
Musa bin Ismail al-Tabuzaki (w. 223 H), Abu al-Walid al-Thayalisi, Muhammad bin Katsir
al-Abadi. Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi (w. 221 H), Muslim bin Ibrahim (w. 222 H),
Yahya bin Ma’in (w, 233 H), Qutaibah bin Sa’id al-Saqafi (w. 240 H), Abu Umar al-Hawdi,

6
Muhammad Musthafa Azmi, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1996), h. 153.
7
Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubalai, (Beirut: al-
Massasah al-Risalah, 1983), juz ke-13, h. 216.
8
Tarikh ibn Assakir, jilid ke-7, h. 273.
9
Muhammad Mubarak al-Sayyid, op cit, h. 129.
Usman bin Muhammad bin Abi Syaibah (w. 239 H), Abu Taubah al-Halabi, Abu
UtsmanAmr bin Marzuki al-Bahili (w. 224 H), Sulaiman bin abd al-Rahman al-Dimasqi,
Sa’id bin Sulaiman al-Wasithi, Shafawan bin Shalih al-dimasqi, Abu Ja’far al-Nufaili, Qatahn
bin Nashir, dan sejumlah ulama dari Irak, Khurasan, Syam, Mesir.10

Sedangkan beberpaa orang yang pernah menjadi murid beliau adalah Muhammad bin Isa
al-Turmuzi (w. 274 H), Abu Ali Muhammad bin Ahmad ibn Umar, Abu Abdurrahman al-
Nasa’i (w. 334 H), Abu Ali Muhaamad bin Ahmad al-Lu’lu’i, Abu Thayib Ahmad bin
Ibrahim bin Abd al-Rahman al-Asynani, Abu Amru Ahmad bin Ali bin Hasan Basri, Abu
Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad al-‘Arabi, Abu Bakr Muhammad bin Abd al-Razaq
bin Dasah, Abu Hasan Ali bin Hasan bin Abd al-Anshari, Abu Isa Ishaq bin Musa bin Sa’id
al-Ramli Warawah, Abu Usmah Muhammad bin Abd al-Malik bin Yazid al-Rawas, Abu
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub al-Mattutsani, Abu Bakar Ahmad bin Sulaiman
al-Najari, Abu Ubaid Muhammad bin Ali ibn Utsman, Ismail bin muhammad al-Shafar, Harb
bin Asmail, al-Kirmani, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khilal al-Habali,
Abdullah Ahmad bin Musa Abd al-Ahzawi, Abu Basyar Muhammad bin ahmad al-dawlabi,
Abu Hamid Ahmad bin Ja’far al-Ashbahani, Ahmad bin al-Ma’li bin Yazid al-Dimasqi.11

D. Karya-karya Abu Dawud

Sebagai seorang ulama fiqih dan hadis, ada banyak karya beliau yang menunjukkan
keluasan ilmu penetahuan dan kedalaman kajiannya. Di antara karya-karya Abu Dawud
adalah;

1. Kitab al-Marasil, adalah kumpulan hadis-hadis mursal (gugur perawinya) yang disusun
secara tematik, adapun jumlah hadisnya adlah 600 hadis.
2. Kitab al-Masa’il, berkaitan dengan pertanyaan yang diajuan oleh Imam Ahmaad bin
Hanbal, berkaitan dengan masalah yang cabang (furu’) dan pokok.
3. Kitab al-Tafarud fi al-Sunan
4. Kitab Nasikh al-Quran wa Mansukh
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Qadar
7. Al-Zuhud

10
Ibnu Hajar al-Asqalani, op cit, h. 153. Lihat Abu Bakar Ahmad bin Alli al-Khatib al-Bagdadi, Tarikh
Bagdad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), jilid ke-1, h. 214.
11
Ibid, h. 153-154.
8. Al-Ba’asy wa al-Nusyur
9. Dala’il al-Nubuwwat wa ibtida al-Wahyi
10. Fadha’il al-‘Amal
11. Al-Du’a
12. Akhbar al-Khawarij
13. A’lam al-Nubuwat12
E. Penilaian Ulama tentang Abu Dawud
Banyak penilaian yang dikemukakan oleh para ulama terhadap kompetensi keilmuan dan
keribadian Abu Dawud, di antaranya:
1. Abu Bakar al-Kahalal mengatakan bahwa Abu Dawud adalah seorang Imam
panutan di zamannya, tidak ada seorang sebelumnya yang menguasai kelimauan
dalam bidang hadis, menjadi rijukan bagi ulama lain, dan terkenal karena
kewala’annya,13
2. Ahmad bin Muhammad bin Yasin al-Harawi, Abu Dawud merupakan tokoh yag
banyak hadis, memahami hadis beserta illat dan saadnya, derajat yang tinggi dalam
ibadah, menjauhka diri dari subhat, kesucian diri dan kewara’an.14 Ditambahkan
oleh Hatim ibn Hibban, beliau adalah salah seorang ulama dunia dlam bidan fiqih,
berilmu, banyak hafal hadis, kesucian diri, wara, dan konsisten (istiqamah) dalam
mempertahankan sunnah.15
3. Menurut al-Hafiz Zakaria al-Sazi, al-Qur’an merupakan sumber islam dan kitab
Abu Dawud adalah ahdu islam (wasiat islam).16 Idtambahkannya beliau adalah
imam dalam bidang hadis, ahli fiqih terbesar dan termasuk sahabat termuia imam
Ahmad dimana setiap majlisnya dia sering bertanya tentang persoalan yang
mendetail, baik dlam hal furu’ ataupun pokok.17
4. Maslamah bin Qasim berkata; Abu Dawud adalah tsiqah, seorang zahid, memiliki
ilmu pengetahuan hadis dan seorang imam pada zamannya.18
F. Metode Penyusunan Kitab Sunan Abu Dawud

12
Muhammad Musthafa Azami, op cit, h. 154. Liihat: Muhammad Uwaydhah, op cit, h. 18. Lihat juga
Muhammad Mubarak al-Sayyid, op cit, h. 129.
13
Al-Khatib al-Bagdadi, op cit, h.
14
Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zakki al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 365.
15
Ibnu Hajar al-Asqalani, op cit, h. 155.
16
Tarikh ibn Asakir, juz ke-7, h. 273.
17
Dalam kaitan ini telah ditulis pertanyaan-pertanyaan yang telah ditanyakan pada majlis tersebut ke
dalam satu kitab khusus dengan nama Masail Imam Ahmad riwayat Abu Dawud. Lihal al-Zahabi, op cit, h. 215.
18
Ibnu Hajar al-Asqalani, op cit. 151.
Kitab sunan menurut ulama hadis adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab
fiqih,. Kemudian membaginya dalam beberpa kitab dan dibagi atas beberapa bab dan bab-bab
tersebut dikumpulkan yang digunakan oleh para fuqaha serta menjelaskan aspek yuridisnya.19
Hadis-hadis yang dimmuat dalam kitab sunan ini hanya memuat hadis-hadis marfu’,20 dan
tidak memuat hadis mamuquf, atau maqtu’, karena keduanya buj=kan termasuk dalam
kategori sunnah.21
Metode yang digunakan oleh Abu Dawud berbeda dengan metode yang digunakan oleh
ulama-ulam sebelumnya, misalnya Imam Bukahri dan Muslim yang menyusun kitabnya
dengan hanya membatsi hadis-hadis saja dan Imam Ahmad bin Hanbal yang menyusun kitab
musnadnya berdasarkan nama-nama sahabat. Adapun Abu Dawud menyusun kitabnya
dengan memngumpulakan hadis yang berkaitan denga aspek yuridis dan tidak memasukkan
kisah-kisah, nasehat-nasehat (maaizh), khabar-khabar, zuhud dan juga fadhail amal.22 Dan
untuk memperoleh sertifikasi kelayakan dalam penulisan kitab sunannya beliau menyerahkan
kepada gurunya, Ahmad bin Hanbal untuk melakukan koreksian atau perbaikan.
Adapun dalam menyusun kitabnya beliau mencakupkan diri dengan mencantumkan satu
atau dua hadis dalam setiap babnya, meskipun ditemukan sejumlah hadis lainnya. 23 Bahkan
sebagaiman dinyatakan sendiri oelh Abu Dawud, bahwa cukup bagi manusia untuk
mengamalkan empat buah hadis dalam agamany, yaitu pertama, sesunggunhnya setiap amal
perbuatan terletak pada niatnya, kedua, sebaik-baik keislaman seseorang itu adalah
meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya; ketiga, tidaklah dikatakan seorang
mukmin itu beriman, hingga ia ridha kepada saudaranya sebagaiman ia ridha kepada dirinya
sendiri; keempat, ssesungguhnya yang halal itu jelas dan haram itu jelas, diantara keduanya
perkara yang subhat.24
G. Sistematika Penyusunan Kitab Sunan

19
Seperti hadis no 1270, yang bersumber dari ibn al-Mutsanni, Muhammad bin Ja’far, Syu’bah, ia
berkata; aku mendengar Ubaidah menerima dari Ibrahim, dari Ibn Munjab, dari Qarsa dari ibn Ayyub, dari Nabi
saw.; “empat (rakaat) sebelum dzuhur, tanpa diselingi dengan salam maka akan dibukakan pintu surga”.
Kemudian dijelaskan oleh Abu Dawud, aku telah menerima dari Yahya bin Sa’id al-Qathan dan berkata;
sekiranya Ubaidah meriwayatkan suatu hadis tentu aku (Abu Dawud) juga menerima pula darinya. Lalu Abu
Dawud berkata; Ubaidah adalah dhaif dan ibn Munjab adalah banyak ragu. Lihat Muhammad Uwaydhah, op cit,
h. 49.
20
Hadis yang disandarkan kepada Rasu, baik perkataan, perbuatan, baik itu bersambung, terputus atau
mursal.
21
Mahmud al-Thahan , Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Halb: Mathba’ah al-Arabiyyah, 1978),
h. 131
22
Ahmad Umar Hasyim, Mubahis fi al-Hadis al-syarif, (Kairo: Maktabah al-Syuruq, 2000), h. 45-46.
Lihat: Muhammad Ajjaj al-Khatib, op cit, h. 321.
23
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jilid ke-1, h. 6.
24
Al-Khatib al-Bagdadi, op cit, h. 57.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam menyusun kitab sunannya
sesuai dengan urutan bab-bab fiqih, tujuannya agar memudahkan para pembaca di dalam
mencari hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah tertentu.
Dalam kitab sunan tersebut Abu Dawud mengelompokkan hadis ke dalam beberapa kitab,
dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Adapun rinciannya adalah 35 kitab, 1871 bab
serta 4800 hadis. Setelah melakukan penelusuran secara cermat, maka dibawah ini adalah
bagan dari sistematika penyusunan atau urutan kitab hadis dalam sunan Abu dawud;

No. Nama Kitab Jumlah


Bab Hadis
1. Kitab Thaharah 143 390
2. Kitab as-Shalat 367 1165
3. Kitab al-Zakat 47 145
4. Kitab al-Luqathah - 20
5. Kitab al-Manasik 98 325
6. Kitabal-Nikah 50 129
7. Kitabal-Thalaq 50 138
8 Kitab al-Sahum 81 164
9. Kitab al-Jihad 182 311
10. Kitab Dhahaya 20 56
11. Kitab al-Shaid 4 18
12. Kitab al-Wasaya 17 23
13. Kitab al-Faraid 17 43
14. Kitab al-Kharaj wa al-Imarah 40 161
15. Kitab al-Janaiz 84 153
16. Kitab al-Aiman wa al-Nuzur 32 84
17. Kitab al-Buyuh wa al-Ijarah 92 245
18. Kitab al-Aqdhiyah 30 70
19. Kitab al-Ilm 13 28
20. Kitab al-Asyribah 22 67
21. Kitab al-Athimah 55 119
22. Kitab al-Thib 24 71
23. Kitab al-Athqu 15 43
24. Kitab al-Huruf wa al-Qira’at - 40
25. Kitab al-Hammam 3 11
26. Kita al-Libas 47 139
27. Kitab al-Tharajul 21 55
28. Kitab al-Khatm 8 26
29. Kitab al-Fitan 7 39
30. Kitab al-Mahdi - 12
31. Kitab al-Malahim 18 60
32. Kitab al-Hudud 40 143
33. Kitab al-Diyat 32 102
34. Kitab al-Sunnah 32 177
35. Kitab al-Adab 108 502

Berdasarkan skema di atas, nampak bahwa kitab luqathah terletak setalah kitab zakat,
karena masih terkait dengan harta. Adapun kitab nikah dan talak dilletakkan di tengah-
tengah, karena keduanya masih berkaitan dengan ibadah. Sedangkan kitab janaiz dipisahkan
dari kitab shalat, karena juga ada kakitannya dengan harta. Kitab al-Hammam diletakkan
tersendiri meskipun dapat digolongkakn dengan kitab libas dan juga kitab al-Tarajul, kitab
al-Khatm, kitab al-Mahdi dan juga kitab Malahim ditampatkan terpisah.25 Sebagai data
tambahan terdapat tiga bab yang tidak disebutkan nama babnya, seperti pada kitab al-
Luqathah, kitab al-Huruf wa al-Qira’at dan kitab al-Mahdi tidak pula tercantum hadisnya.

H. Riwayat yang Mashur dalam Kitab Abu Dawud


Dalam periwayatan hadis nampaknya, kitab sunan Abu Dawud lebih banyak
menggunakan empat jalur perawi, emreka itu adalah pertama, Abu Ali bin Muhammad bin
Amru al-Lu’lu’i al-Basri dan riwayat ini yang masyhur di daerah timur, kedua, Abu Bakar
Mmuhammad bin Bakar ibn Muhammad bin Abd al-Razaq bin Dasat al-Basri al-Tamar yang
masyhur di daerah maghrib. Ketiga, Abu Isa Ishaq bin Musa bin Sa’id al-Ramli,
periwayatnya lebih dekat dengan bin Dasat; keempat, Abu Sa’id Ahmad bin Muhaammad bin
Ziyad bin Basyar, yan gdikenal dengan ibn ‘Arab. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan al-

25
Abu Muhammad Abd al-Mahdi bin Abd al—Qadir bin Abd al-Hadi, Metode Takhrij Hadis, terj.
Sa’id Aqil Husein al-Munawwar da Ahmad Rifqi Mukhtar, (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 227.
Suyuthi bahwa riwayat ibn Dasah adalah riwayat yang sempurna, riwayat al-Ramli adalah
mendekati riwayat Dasah dan al-Lu’lu’i termasuk riwayat yang sahih.26
Sebagai contoh berikut dari Abu Ali al-Lu’lu’i, Muhammad ibn Katsir, Ja’far ibn
Sulaiman dari Auf dari Abu Raja’ dari Imran ibn Hushain, seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah saw; lalu berkata; “Assalmu’alaikum”. Kemudian dijawab, lalu duduk; rasul
berkata; ‘sepuluh’. Kemudian datang pula yang laindan berkata; Assalamu’alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh, lalu dijawab (seperti yang diucapkan), kemudian duduk, maka
rasul berkata; ‘tiga puluh’, keterangan hadis tersebut menunjukkan tentang pahala bagi orang
menjawab salam.
Sebaliknya menurut Abu Ubaid al-Jazuri, bahwa kitab sunan Abu Dawud tidak
meriwayatkan dari ibn al-Himmamni, dari Sufya ibn Waki’ karena ketiganya tergolong
perawi yang lemah.
I. Kualitas Hadis dalam Kitab Sunan Abu Dawud
Sebagaimana penjelasan terdahulu bahwa Abu Dawud di dalam Sunannya
mengelompokkan hadis ke dalam 35 kitabyang memuat 1871 bab, dengan jumlah 4800 hadis.
Kualitas hadis dalam kitab sunannya tidak hanya tergolong derajat shahih, tetapi juga
memuat hadis dhaif, dijelaskan oleh Muhammad Khair al-Sghal, kualitas hadis dalam kitab
sunan Abu Dawud terdiri dari shahih, hasa dan dhaif.27 Hal ini diperkuat dengan surat yang
dikirim oleh Abu Dawud ke penduduk Mekkah, yang menjelaskan isi kitabnya.
Penjelasannya tentang kualitas hadis secara garis besar digolongkan kepada lima bagian,
yaitu;
1. ‫صحيح‬, yaitu Shahih li zatihi
2. ‫ما يشبه‬, (yang menyerupai), yaitu shahih li ghairihi
3. ‫( يقا ر به‬Yang mendekati sahih), yaitu hasan li zatihi
4. ‫ و هن شد يد‬Yaitu hadis yang sangat dhaif
5. ‫ صا لح‬28
Berikut ini akan dikemukakan penjelasan dari pembagian sebagai berikut :

26
Muhammad Uwaydhah, A’lam al-Fuqaha wa al-Muhaddditsin, h. 32.
27
Hadis shahhih kepada shahih li zatihi, dan shahih li ghairih, sedangkan hadis Hasan digolongkan
kepada Hasan li Zatihi dan li ghairih dan hadis dhaif terdiri dari dhaif digunakan dan dhaif la yuhtaju bihi yang
terakhir ini dijelaskan. Llihat Muhammad Kahir al-Saghal, Lambat fi A’lam al-Muhadditsin wa Manahijuhum fi
al-Kutub al-Sittah, (t.k: Dar Shadar, t.t), h. 26.
28
Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah, Nasyatuhu wa Tathawwuruhu,
(t.k: Dar al-Khudairi, t.t), h. 150. Lihat pula Ahmad Umar Hasyim, Qawaid al-Hadis, (t.k.: Dar al-Fikr, t.t), h.
80. Lihat: Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadis al-Syarif, (t.k:Sahar,
t.t), h. 298
1. Hadis sahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil. Kuat hafalannya,
bersambung sanadnya, tidak berillat dan tiadak pula janggal. Hadis ini disebut dengan
hadis shahih li zatihi. Karena kualitas kesahihannya tanpa didukaung oleh hadis lain
yang menguatkannya.29
2. ‫ما يشبه‬, (yang menyerupai). Ulama hadis mengkomperasikan istilah ini dengan shahih li
ghairi. Menurut Abu Dawud yang dimaksud dengan istilah ini adalah hadis yang
menyerupai hadis shahih li zatihi, tetapi kualitasnya berada di bawahnya.
3. ‫( يقا ر به‬Yang mendekati sahih). Menurut sebagian ulama hadis istilah ini mendekati
hasan li zatihi. Karena hadis hasan li zatihi terangkat menjadi hadis shahih li ghairi,
jika didukung oleh hadis lain. Ibn Shalah dan Nawai menyatakan bahwa hadis hasan
menurut Abu Dawud adalah hadis yang disebutkan secara mutlak dan tidak terdapt
dalam salah satu kitab shahih serta tidak ada diantara ulama yang menetapkan
kesahihannya, bagi yang membedakan hadis shahih dan hasan, maka hadis tersebut
adalah hasan memnurut Abu Dawud.30
4. ‫و هن شد يد‬ kategori yang ketiga ini, menurut ulama hadis adalah hadis yang sangat
dhaif. Akan tetapi, terhadap hadis iini Abu Dawud memberika penjelasan letak
kedhaifannya dan menurutnya bahwa hadis dhaif tersebut lebih kuat dibandingkan
dengan pendapat ulama.31 Pencantuman hadis dhaif dicantumka tidak dimaksudkan
untuk dijadikan hujjah akan tetapi menerangkan kualitas hadis itu, sehingga tidak
dianggap sebagai hadis sahih.32 Dan pencantuman hadis dhaif yang disertai komentar
tentang kadhaifannya diperbolehkan.33
5. ‫ صا لح‬secara lengkap ungkapan itu ........................... menurut Imam Nawawi dan ibn
Shalah maksud oernyataan itu adalah jika hadis tersebut diriwayatkan dalam salah satu
kitab shahih(Bukhari atau Muslim), maka hadis tersebut adalah sahih, namun jika tidak
diriwayatkan dalam salah satu kitab sahih dan tidak ada ulama yang menerangkan
tentang derajat hadis itiu, maka menurut Abu Dawud hukumnya hasan, karena lafadz

29
Hadis dalam kitab al-Thaharah, bab ghasal al-Rajlain, yang diriwayatkan dari al-Mustawradah bin
Syidad berkata; “aku melihat Rasulullah saw ketika berwudhu menyela-nyela kakinya dengan jari
kelingkingnya”.
30
Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Hadis, h. 79.
31
Muhammad biin Ismail al-Amir al-Husni al-Shan’an, Tawdih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzar,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t), jilid ke-1, h. 61.
32
Seperti penjelasan yang dikemukakan oleh Abu Dawud pada hadis nomot 97, bab al-Ghasal min al-
Janabah. Diriwayatkan Nashr bin Ali, al-Haris bin Wajih, Malik bin Dinar dari Muhammad bin Syairain dari
Abu Hurairah. Dimana beliau komentari al-Haris bin wajih sebagai perawi yang lemah dan banyak hadis yang ia
riwayatkan dihukum munkar. Lihat ibnnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, jilid ke-2, h. 139.
33
Misalnya penjelasan pada hadis no 1067, tentang bab ma ja’a fi al-sadl fi al-shalat, pada sanadnya
terdapat perawi yang bernama Thariq bin Syihab (w. 82 H), dikatakan bahwa ia bertemu dengan Nabi tetapi
tidak mendengar sesuatupun dari-Nya (Nabi).
salih tersebut termasuk diantara sahih dan hasan,34 berdasarkan pendapat di atas
menunjukka kehati-hatian agar tidak menetapkan kesahihan suatu hadis yang tidak
termaktub dalam salah satu kitab sahih dan tidak ada seorang imam pun yang
menetapkan kesahihan hadis.
J. Beberap Kitab Syarah Sunan Abu Dawud
1. Ma’alim al-Sunan, yang ditulis oleh Abu Sulaiman bin Ibrahim bin Khatab al-Bisty
al-Khitabi (w. 388 H). Kitab ini menjelaskan secara lugas, berkaitan dengan aspek
bahasa, analisa riwayat, menetapkan hukum dan etika (adab), susunan kalimat,
makna-makna fiqqiyah yang terdapat dalam hadis.
2. Gahyah al-Maqsud, yang ditulis oleh Abu al-Thayyib Muhammad Syamsu al-Haq
Abadi (lahir 1273 H). Kitab ini menjelaskan sekaligus mengumpulkan keseluruhan
maksud hadis yang terangkum dalam sunan Abu Dawud.
3. Aun al-Ma’bud, yang ditulis oleh Syaikh Syafaratul Haq Muhammad Asyraf bin
Ali Haidar al-Siddiqi al-Lazim Abadi (w. Abad 14 H). Kitsb ini menjelaskan kata-
kata sulit, menguatkan hadis yang satu dengan lainnya secara ringkas serta
menjelaskan dalil-dalil yang ditunjukkan oleh berbagai madzhab secara utuh.
4. al-Manhal al-Azb al-Maurad; yang ditulis oleh Muhammad bin Muhammad bin
Khatab al-Subki. Klitab in menjelaskan secara sederhana tentang rijal hadis.
Lafadz-lafadz beserta maknanya dengan mengambil istinbat hukum dan faedah dari
aspek perbedaan dan dalilnya dan juga menyebutkan makharrij hadis dan
menjelaskan kesahihannya dan kedahifannya.
5. Mukhtasyar Sunan Abu Dawud, ditulis oleh al-Hafizd Abd al-Azhim bin Abd Qawi
al-Munziri (w. 656 H). Dalam kitab ini al-Munziri menyebutkan ulama lain dari
hadis-hadis yang juga meriwayatkan hadis dengan menunjukkan kelemahannya.
6. Syarah Ibn Qayyim al-Jauziyyah, yang ditulis oleh ibn Qayyim al-Jauziyyah (w.
751 H). Dalam kitab ini ibn Qayyim memberikan penjelasan tambahan mengenai
kelemahan hadis yang seperti dijelaskan oleh al-Munziri mempertegas kesahihan
hadis yang belum ditashih, serta membahas matan hadis yang musykil
(bermasalah).
K. Penilaian Ulama tentang Kitab Sunan Abu Dawud

34
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (muhaqiq), Sunan Abu Dawud, h. 11. Lihat al-Sho’ani,
Taudih......, h. 199. Lihat; Muhammad Uwaydhah, op cit, h. 25 dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-
Rawi, h. 167.
1. al-Kahattabi berkata bahwa ketahuilah bahwa kitab sunan Abu Dawud adalah mulia,
belum ada yang menulis kitab agama sebelumnya, diterima di masyarakat dan
menjadi hakim
2. al-Hafidz Abu Sulaiman al-Khittabi mengatakan dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan,
ketahuilah yang dirahmati Allah, bahwa kitab sunan adalah kitab yang mulia, belum
pernah ditulis kitab agama seperti ini dan diterima oleh masyarakat seakan menjadi
haki diantara perselisihan ulama dan tingkatan para fuqaha atas perbedaan madzhab
nereka.35
3. 3.Muhammad al-Alamah Ibnu al-Qayyim, kitab sunan Abu Dawud dalam kedudukan
yang dikhususkan oleh Allah sebagai hakim diabtara ahli islam, menghilangkan
perselisihan dan perdebatan dan berhukum dengan kitab ini, di dalamnya mencakup
kompilasi hadis hukum, susunan yang tersistematis dengan penjelasan yang baik serta
dan menjauhkan hadis-hadis yang dinilai cacat dan lemah.36
4. al-Hakkim, berkata, aku pernah mendengar al_zubair ibn Abdullah bin Musa; Abu
Dawud dalam muzakarahnya telah menyampaikan 100 ribu hadis dan ketika akan
menyusun kitab “as-Sunna” ia membacakannya kepada masyarakat, hingga
menjadikan kitabnya sebagaimana kitab mushaf, diikuti dan tidak menolaknya dan
beliau ditetapkan sebagai hafidz dan ulama termasyhur pada eranya.37

M. Penutup
Abu Dawud Sijistani merupakan ulama besar dalam khasanah keilmua islam, khususnya
dalam bidang hadis. Beliau dianggap sebagai wasiat islam, menghilangkan perselisihan dan
perdebatan di kalangan ulama atas perbedaan madzhab setelah al-Qur’an.
Dalam aspek metodologis, penyusunan hadis yang dilakukan berbeda dengan yang
dilakukan ulama sebelumnya dan gurunya Ahmad bin Hanbal. Meskipun disusun
berdasarkan bab-bab fiqih, akan tetapi hadis-hadis yang tercantum di dalamnya mencakup
kompilasi hadis hukum, dengan susunan yang tersistematis dengan penjelasan yang baik.

35
Muhammad Abd al-Aziz al-Khalidi, op cit, h. 28.
36
Ibid, h. 29.
37
Ibnu Hajar al-Asqalani, op cit, jilid ke-4, h. 172.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Umar Hasyim, Mubahis fi al-Hadis al-Syarit, (Kairo, Maktabah al-Syuruq,


2000)

, Qawaid al-Hadis, (lk: Dar al-Fikr, t.t)

Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Bagdadi, Tarikh Bagdad, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t)

Abu Muhammad Abdu al-Mahdi bin Abd al-Qadir bin Abd al-Hadi, Metode Takhrij
Hadis, terj. Sa’id Aqil Husein al-Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar, (Semarang: Dina
Utama, 1997)

Kamil Muhammad Muhammad Uwaydhah, A’lamal-Fuqaha wa al-Muhadditsun Abu


Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996)

Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manahij al-Muhaddtsin, (Kairo: Dar al-Thaba’ah al-


Muhammadiyah, 1984)

Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nihayah Nasyatuhu wa


Thatahwwuruhu, (t.k: Dar al-Khudhairi, t,t)

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumul wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1998)

Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa al-Dirasat al-Asanid, (Halb: Mathba’ah al-


‘Arabiyyah, 1978)

Muhammad Muhammad Abu Syu’bah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihah al-


Sittah, (Kairo: Amjma’ Buhuts al-Islamiyyah, 1969)
Muhammad Musthafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A.Yamin, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996)

Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Latif Di Ushul al-Hadis al-
Syarif, (t,k: Sahar, t.t), cet ke-4, h. 298

M.Alfatih Suryadilaga, Suryadi, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003)

Muhammad Abu al-Aziz al-Khalidi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1996)

Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhadditsun, (Kairo: Dar al-Fikr


al-Arabi, t.t)

Muhammad bin Ismail al-Amir al-Husni al-Shan’an, Tawdih al-Afkar li Ma’ani Tanqih
al-Anzar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Muhammad Khair al-Shaghal, fi ‘Alam al-Muhaddsin wa Manahijuhum fi al-Kutub al-


Sittah, (t.k: Dar Shadar, t.t)

Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al-Zahabi, Siyar ‘Alam al-Nabalai,
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983)

Syihabuddin Abu al-fadhl Ahamd bin Ali ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-tahdzib,
(Beirut: Dar al-Kutub, 1994)

Syihabuddin Abi Abdullah Ya’qub bin Abdullah al-Hamawi al-Rumi al-Bagdadi,


Mu’jam al-Buldan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t)

Anda mungkin juga menyukai