Anda di halaman 1dari 13

A.

Biografi

Al-Imam Malik dilahirkan di-Dzur al-Marwah, suatu desa yang terletak kira-kira 192 km sebelah
selatan Madinah. Tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui dengan pasti mwngingat Ibu dan
bapaknya orang desa yang sering kali tidak begitu mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-
anaknya. Akan tetapi tahun 93 H / 711 M adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal
kelahirannya. Menurut Yahya ibn Bukhair salah seorang murid Imam Malik sekaligus meriwayatkan
al-Muwatta, bahwa al-Imam Malik sendiri bahwa ia lahir tahun 93 H / 711 M. Ada juga yang
mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 90, 91, 94, 95, 96, dan 97 H, sedangkan tahun wafatnya,
menurut pendapat yang masyhur adalah tahun 179 H / 812 M.1

Nama lengakpnya ialah Malik ibn Anas ibn Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gahiman ibn Husail
ibn Haris al-Asbahi al-Madani. Ia berasal dari kabilah Yaman, Dzu Ashbah.2 Ibnunya bernama al-
Alliyah ibn Syarik ibn ar-Rahman ibn Syarik al-Azadiyah. Ada pendapat yang mengatakan Ibunya
bernama Thulaihah, Maula Ubiadillah ibn Mu’ammar. Ia hidup di lingkungan keluarga yang kurang
berada namun, semangat belajarnya tetap tinggi. Ayahnya sebagai pengrajin panah, tapi tidak
pendapat yang menyebutkan kegiaan ayahnya itu di bidang keilmuan.

Kakeknya, Malik ibn Abi Amir termasuk tabi’in senior dan pemuka ulama yang menerima hadis
dari Umar ibn Khatab, ‘Aisyah, Thaihah, Abu Hurairah dan Hasan ibn Sabit. Ia termasuk salah
seorang dari orang yag mengurus jenazah khalifah Usman ibn Affan hingga menguburnya. 3 Adapun
kakek ayahnya, menurut kebanyakan para penulis biografi Malik, bahwa Abu Amir adalah sahabat
Nabi saw yang pernah berperang bersama Nabi saw di berbagai peperangan kecuali perang Badar.

Akan tetapi menurut sebagian orang ketika masanya tersebut , Abu Amir ini bukanlah seorang
sahabat.4 As-Suyuthi mengutipp petkataan ad-Dzahabi yaang menyatakan: “Aku tidak melihat
seorang pun yang mencantumkan nama Abu Amir kakek ayah Malik, pada deretan nama sahabat”.5
Senada dengan Suyuthi, ibn Hajar dalah ishbahnya mengutip pernyataan ad-Dzahabi ini tanpa
komentar. Karena itu hemat penulis dari pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Abu
Amir adalah adalah seorang tabi’in muhkadramin, yaitu seseorang yang hidup sesaat di zaman Nabi
saw, tetapi tidak sempat bertemu deng

1
Abu Fadhl al-Qadhi’ Iyadh, Tartib al-Madarik wa Targhib al-Mashahih li Ma’rifat al-Madzhab Malik.
Juz. I. (Rabat: Wuzarat al-Awqaf, t.th.), s. 118-119. Untuk selanjutnya disebut al-Qadhi Iyadh tanpa
menyebutkan nama kitabnya.
2
Perlu dijelaskan bahwa Anas bin Malik bin Amir (ayah Imam Malik) bukan Anas bin Malik yang
pernah menjadi pelayan Rasulullah saw., karena Anas bin Malik pada aman Nabi saw. Ialan Anas bin Malik
Nadhar bin Dhamdham bin Zaid al-Anshari al-Kharaj, sedangkan ayah Imam Malik adalah Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin al-Haris al-Ashbahy. Lihat, Munawar Kholil, Biografi empat Serangkai Imam Madzhab,
(Jakarta: bulan Bintang, 1998), h.84.
3
Jalaluddin as-Suyuti, Tazyin al-Mamalik, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), s.4.
4
Ibid.
5
Ibid.
B. Pendidikan / Rihlah Keilmuan
Al-Imam Malik ibn Anas dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat berpegang teguh
pada asar dan hadis.6 Perhatianya terhadap asar sahabat, hadis, dan fatwa ulama sangat tinggi.
Konon, secara nasab beliau memiliki silsilah sampai kepada tabi’in besar (Malik) dan kakek buyut
(Abu Amir) adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti peperangan pada masa Nabi saw. 7 Seperti
yang disebutkan sebelumnya. Untuk melihat potret pendidikan al-Imam Malik ibn Anas ini, alangkah
baiknya dengan menampilkan para gurunya sekaligus yang menjadi murid-muridnya.
b.1). Guru-gurunya
al-Imam Malik belajar dari berbagai guru yang terkenal di Madinah. Waktu itu kota Madinah
termasuk kota pusat pengetahuan agama islam. Karena itulah para tabi’in dan tabi’at tabi’in
berkumpul guna menerima ajaran agama islam yang masih hangat tersebut. Para ulama menjadi guru
Malik cukup banyak diantaranya:
1.) Guru pertama yang menempa Malik dan sangat berpengaruh terhadap pemikiranyya
adalah Rabi’ah ar-Ra’y ibn Abi Abd ar-Rahman al-Furuh al-Madani (w. 136 H / 753 M)
yang dikenal dengan julukan Rabi’ah ar-Ra’yu (Rabi’ah sang pemikir ulang) namun
Ra’y-nya merupakan paduan antara Nash dengan mashlahat. Sebaliknya fiqh ra’y di Irak
merupakan perkembangan hukum melalui metode qiyas (analogi). Pada suatu waktu
Malik ditanya : “Apakah di majlis ta’lim anda, gurumu Rabi’ah melakukan qiyas?”
“tidak”, jawab Malik.8 Bahkan Malik sempat memberikan komentar tentang Rabi’ah
ketika guru itu wafat, “telah hilang sari madu fikih sejak Rabi’ah ar-Ra’y wafat.”9
Pandangan Rabi’ah yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Malik berupa masalh
aml ahli Madinah. Bagi Rabi’ah aml ahli Madinah yang tidak diperselisihkan lebih kuat
dibandingkan dengan hadis ahad. Dengan ungkapan lain ia menegaskan: “seribu kali
seribu lebih kusenangi daripapda satu kali satu, karena satu kali satu dapat melepaskan
sunnah dari tanganmu”.10 Sikap gurunya ini telah mendarah daging dalam diri Malik.
Sehingga fiqih Malik dipengaruhi oleh pandangan Rabi’ah. Namun, demikian Malik
berpisah denagn Rabi’ah dalam keadaan damai.11 Malik menerima hadis dari guru

6
Untuk melihat perbedaan antara asar dan hadis dapat dilihat pada buku-buku ilmu hadis.
7
M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kritis Hadis, Cet. Ke-1. (Yogyakarta: Teras, 2003), h. 2.
8
Al-Qadhi Iyadh, juz I, s.46.
9
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz. III. (Heyderabad: Dairat al-Ma’arif al-Nizhamiyah,
1325 H), s. 358. Lihat juga, Jalaluddin as-Suyuti, Is’af al-Mubtha’ bi Rijal al-Muwattha. (Kairo: Isa al-Babi al-
Halabi, t.th), s. 13. Untuk selanjutnya akan disebut al-Mubtha’
10
Yang dimaksud “seribu kali seribu” ialah suatu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak orang dari
orang banyak. Dalam hal ini ‘aml ahli madinah’. Sedangkan yang dimaksud dengan “satu kali satu” ialah hadis
ahad. Tegasnya, maksud pertanyaan Rabi’ah tersebut ialah aml ahli madinah lebih kuat untuk dijadikan Hujjah
daripada hadis ahad, sebab aml ahli madinah diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak pula. Lihat, al-
Qadhi Iyadh, juz. I,.s. 38.
11
Terdapat beberapa fatwa Rabi’ah yang tidak sejalan dengan kecenderungan Malik, ia keberatan
dalam menerima fatwa tersebut. Tidaklah mengherankan sikap Malik seperti itu. Sebab tampaknya, menurut
Malik pendapat Rabi’ah tidak sesuai dengan pendapat tabi’in (generasi setelah sahabat) yang lain. Lihat pula,
tersebut sebanyak dua belas hadis.12 Lima buah diantaranya adalah hadi mustanad
(ditrima) dengan balaghani (telah sampai kepadaku) tanpa disebutkan orang yang
meriwayatkan hadis tersebut.
2.) Guru Malik juga mendapatkan kedudukan khusus ialah Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-
Jaelani (w. 120 H/737 M) yang bergelar Faqih al-Madinah. Ia salah seorang yang ditugasi
Umar ibn Abdul Aziz ke Mesir untuk mengajarkan al-Qura’an dan sunnah. Di kalangan
ulama hadis, riwayat Ma’ik dari Nafi’ dari ibn Umar merupkan riwayat “mata rantai
emas” (silsilah ad-Dzahab).13 Riwayat itu dujumpai pada kitab al-Mutawatta’ sebanyak
delapan puluh hadis.14 Malik sendiri memberi komentar pada riwayat itu, dengan
perkataan : “Jika aku menerima hadis dari Nafi’ ibn Umar, tidak perlu lagi aku mencari
riwayat lain untuk menguatkannya”.
3.) Sang guru yang paling lama menempa pemikiran Imam Malik adalah ibn Hurmuz Abu
Bakar bin Yazid (w. 147 H).15 Selama tiga belas tahun, menurut riwayat lain enam belas
tahun, Malik belajar kepadanya.16 Raiwayat lain mengatakan, Malik berguru kepada
Hurmuz selama kurang lebih delapan tahun dalam ilmu kalam, ‘itikad dan ilmu fiqih,
“Biasanya aku datang pada pagi hari dan tidak pulang dari rumah Ibn Humuz sampapi
malam”, tutur Malik dalam salah satu riwayat.17 Hubungan murid dengan guru ini
kelihatan begitu dekat sampai kepada hal-hal tertentu selalu terbuka bagi Malik tetapi
tidak bagi yang lain.

Ibn Qayyim, Ilm al-Mawaqi’in. Juz. III. (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), s. 96. Bandingkan dengan ibn Khalikan, Wafiyat
al-‘Aya. Juz. I. (Beirut: Dar Shadir, t.th.), s. 183.
12
Ibn Abd al-Barr, Tajrid al-Tamhid, (kairo: Muktabat al-Qudsi, 1350 H), s. 34.
13
Tahdzib al-Tahdzib. Juz. X, s. 413.
14
Ibn Abd al-Barr, s. 170.
15
Ada dua orang yang disebut dengan nama Ibn Hurmuz ini. Pertama, Abd al-Rahman ibn Hurmuz
dengan panggilan (kunyah) al’-Aa’raj, dan berjulukan / gelar (laqab) Abu Dawud. Ia adalah seorang tabi’in yang
ahli hadis yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudhri, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muridnya adalah az-Zuhri, Abu Zinad dan lain-lain. Ia wafat di Iskandariyah pada tahun 117 H. Lihat Tahdzib al-
Tahdzib, juz VI, s. 290. Kedua, Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz yang mempunyai julukan Abu Bakar dan dikenal
pula dengan panggilan al-‘Asham. Ia adalah seorang ahli fikih madinah, wafat pada tahun 148 H. Lihat Ibn Abi
Hatim, al-Jarhu wa Ta’dil. Juz VIII, (Haydarabad: Dairat al-Ma’rif, 1952), s. 199. Di antara dua nama tersebut
manakah yang menjadi guru Imam Malik itu? Di kalanga para peneliti terdapt perbedaan pendapat. Menurut
Abu Zahrah, guru Imam Malik itu adalah yang disebut pertama. Dengan pertimbangan, banyak riwayat yang
menunjukkan bahwa Imam Malik belajar ke guru ini sewaktu ia masih kecil, sedangkan gurunya sudah tua.
Seandainya gurunya itu adalah yang kedua, yaitu yang wafat pada tahun 148 H, demikian tegas Abu Zahrah,
berarti pada awal pertemuan Malik dengan guru ini, Malik sudah dewasa. Selain itu, nama yang pertama
adalah seorang ahli hadis, bertemu dengan “Fuqaha as-Sab’ah” (tujuh serangkai ahli hukum) dan beberapa
sahabat. Malik sendiri dalam al-Muwattha’, banyak meriwayatkan melalui Abu Zinad, seraya ia mengutip
pernyataan al-Imam Bukhari yang menyatakan “sanad hadis Abu Hurairah yang paling Shahih adalah dari Abu
al-Zinad dari al-‘Aaraj (Abd ar-Rahman ibn Hurmuz al-‘Aaraj dan Abu Hurairah. Lihat, Tarikh al-Madzahib, Juz II,
s. 179.
16
Al-Qadhi Iyadh, juz I, s. 71.
17
Ibid, s. 117
Pengaruh ibn Hurmuz yang sangat terkesan pada diri Malik adalah sikap rendah
hatinya. Malik mendengar ibn Hurmuza berkata : “seorang alim pada majlis pengajian
perlu mewariskan sikap hait-hati dan mengatakan “saya tidak tahu” (la adri) apabila
ditanya tentang sesuatu yang memang ia tidak tahu jawabannya”.18 Sikap seperti ini sudah
melekat pada diri Malik , sehingga pada al-Muwatta dan al-Mudawwanah-nya yang
kedua-duanya karya Malik banyak dijumpai kata-kata “la adri”. Ibn Wahab berkata,
Malik banyak menyampaikan jawaban “la adri” apabila ia ditanya”.19 Nama guru ini
terdapat pada deretan perawi hadis dalam al-Muwatta dan al-Mudawwanah, karena ia
bersumpah agar namanya jangan dicantumkan dalam perawi hadis.20
4.) Guru Malik yang lain ialah Ibn Shihab az-Zuhri (w. 124 H). Ia salah seorang ulama besar
di Madinah dan terhitung orang pertama yang membukukan hadis secara resmi atas
intruksi seorang khalifah, Umar ibn Abdul Aziz. Ibn Syihab termasuk tokoh penting
Dinasti Umayyah karena pernah menjabat sebagai Qadhi dan mufti. Terakhir ia menetap
di Madinah utnuk mengajar. Salah satu muridnya adalah al-Imam Malik. Dari guru ini
Imam Malik mewarisi ilmu hadis dan meriwayatkan hadis darinya sebanyak 132 hadis. Di
antaranya 32 musnad (lengkap dengan sanad) dan selebihnya munqathi dan mursal.21
5.) Guru Malik yang lain lagi adalah Abi al-Zinad Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-
Hadhiri al-Taimy al-Qurasy (w. 131 H). Beliau adalah saudara Rabi’ah ar-Ra’y, seorang
ahli fiqih hijaz dan Madinah, ahli hadis juga seorang qori yag tergolong Sayyidat al-
Qurra’. Di bidang keagamaan ia mempunyai kedudukan yang tinggi sehingga pada massa
khalifah Umar ibn Abdul Aziz ia jadi pejabat pajak di Irak. Guru ini disebut-seut sebagai
amir al-mukminindi bidang hadis. Al-Bukhari berkata : “Sanad hadis yang paling sahih
adalah Abu al-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah”. Hadis dengan / dari jalur sanad
tersebut terdapat dalam al-Muwatta sebanyak empat puluh lima hadis.22
Kelima guru tersebut di atas semuanya mewarisi ilmu engetahuan dari al-Fuqaha as-
Sab’ah.23 Tiga orang diantaranya yaitu, Nafi, ibn Syihab dan Abu al-Zinad termasuk ahli
hadis sedangkan yang lainnya adalah ahli fiqih. Selanjutnya al-Fuqaha as-Sab’ah ini
memperoleh hadis dari para sahabat terutama sahabat yang bermukim di Madinah seperti
Umar ibn Khatab, Zaid ibn Tsabit, Abd ar-Rahman ibn al-‘Auf, Usman ibn Affan dan

18
Ibid,s. 120.
19
Ibid.
20
Ibid., juz. I, s. 131.
21
Ibn Abd al-Barr, s. 116.
22
Ibid., s. 92-99.
23
Yang dimaksud al-fuqaha as-Sab’ah ialah tujuan serangkaian ulama Madinah yang terkemuka di
bidang fiqih. Ketjuh orang itu adalah Sa’id al-Musayyab, ‘Urrrwahhh ibbbn Zubbbaiiir , Ubaidillah ibn Abdulllah,
Sualiman ibn Yasar, al-Qasim ibn Muhammad, Abu Bakr ibn ar-Rahman da Kharijah ibn Zayd. Lihat, ad-Dahlawi,
Hujjat al-Balighat. Juz .I. (Beirut: Dar al-Ma’rif, t.th.), s. 145.
yang lainnya. Dari kenyataan hasil bergurunnya ini dapat dikatakan semenjak / muali dari
sahabat hingga tabi’in baik fiqih asar maupun fikih ra’y menjelma pada diri Malik.
Selain pada guru yang telah disebutkan di atas, ada juga yang menyatakan bahwa
Imam Malik pernah belajar kepada Ja’far as-Shddiq salah seorang dari Imam Syi’ah.
Meskipun demikian hubungan mereka tidak banyak dijumpai dalam periwayatan hadis
baik dalam karya Malik itu sendiri maupun dalam berbagai karya kalangan sunni alinnya.
Bahkan Malik sendiri tampaknya menempatkan Ja’far dalam kapasitasnya sebagai alim
al-Madinah yang menerima penghargaan luar biasa dari kalangan syi’ah kecuali ia hanya
dikaitkan dengan sembilan hadis yang dicantumkan dalam al-Muwatta yang berasal dari
Ja’far as-Shiddiq. Lima dari hadis itu muttashil juga musnadahyang mana sanadnya dari
Jabir at-Thawil mengenao / berkenaan denga masalah haji, sedangkan yang empat lainnya
munqathi.24 Disini dapat kita lihat tampaknya hubungan Malik dengan Ja’far tidak hanya
di bidang hadis atau fiqih saja melainkan terjadi juga ilmu lain yaitu, falak (astronomi),
kimia dan matematika.
Pada umumnya para pakar hadis berpendirian perlunya itsbat dan tadlil (pengkajian
ulang) terhadap hadis Malik yang berasal dari salah satu Imam Syi’ah tersebut. Padahal,
Ja’fa as-Shiddiq cukup dikenal sebagai orang alim al-Madinah yang tidak melibatkan diri
dalam politikdan kekuasaan hingga tidak mengherankan kalau kemudian banyak kalangan
sunni mempunyai hubungan baik dengan Ja’far menurut Kamil Husein yang mengutip
kitab ad-Divaj, bahwa Malik sendiri memiliki karya tulis dalam bidang falak, kimia dan
ilmu matematika (ilmu pasti) tersebut, dan ini sangat besar sekali kemungkiannya
diperoleh dari Ja’far al-Shadiq tersebut, namun demikian karya itu belum diketemukanm,
khususnya di Indonesia ini.25
b.2). Murid-muridnya
murid-murid al-Imam Malik dapat diklasifikasikan tiga kelompok: 1) yang menerima
hadis dari kalangan tabi’in diantaranya Sufyan ibn Uyainah, Abu Hanifah (bukan seorang
Imam madzhab fiqih), Abu Yusuf, Syarik ibn Lahiah, dan Ismail ibn Khatir, 2) yang
menerima hadis dari kalangan tabi’at-Tabi’in adalah Ayub as-Syihktiyani, Abu Aswad,
Yahya ibn sa’id al-Anshari, Musa ibn Uqbah dan Hisyam ibn Urwah, 3) yang menerima
hadis bukan tabi’in, di antaranya Nafi’ ibn Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn Abi
Umayyah. Abu an-Nadri, Maulaa Umar ibn Abdullah, as-Syafi’i dan ibn al-Mubarak.
C. Karya-karya
Diantara karya-karya yang berhasl ditulis al-Imam Malik diantaranya: (1) al-Muwatta’, (2) Kutub
Aqdiyah, (3) Kutub Nujum, Hisab Madar az-Zaman, Manazil al-Qamar, (4) Kitab Manasik, (5) Kitab

24
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Muqaddimah al-Muwatta li Imam al-Aimmat wa ‘Alim al-Madinah
Malik. Juz. I. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), s. 1.
25
Ibid.
Tafsir li Gharib al-Qur’an, (6) Ahkam al-Qur’an, (7) al-Mudawwanah al-Kubra, (8) Tafsr al-Qur’an,
(9) Kitab Masa Islam, (10) Risalah Matruf Gassan, (11) Rislah ila al-Lais, (12) Risalah ila ibn Wahb.
Namun dari beberapa karya tersebut yang sampai kepada kita sekarang ini hanya dua, yakni al-
Muwatta dan al-Mudawwanah al-Kubra dan menurut penelitian para ulama, master peace dari kedua
karya Malik ini adalah al-Muwatta kemudian baru al-Mudawwanh al-Kubra dalam urutannya.
D. Al-Muwatta’ dan Manhajnya
d.1) Latar Belakang Penyusunan
sebelum menjelaskan tentang al-Muwatta al-Imam Malik perlu penulis katakan ungkapkan
terlebih dahulu, bahwa term atau istilah al-Muwatta menurut istilah ahli hadis ialah kitab yang ditulis
dalam sistematisasi bab-bab fikih dan meliputi hadis-hadis marfu’,26, munqathi27 seperti istilah
28
mushanaf , walaupun berbeda dalam segi penamaannya. Inilah salah satu manhaj dalam kitab
tersebut. Kemudia kenapa penulis ketika masa Malik menamakan karyanya dengan al-Muwatta
mengingat sebelum dan sesudah al-Muwatta Malik, ada juga al-Muwatta yang lain dan apa
sebenarnya dibalik indikator penamaan itu?
Telah tercatat ada tiga kitab karya yang menamakan kitabnya itu sebagai atau dengan al-Muwatta
ini, diantaranya: 1) Al-Muwatta karya Imam Malik ibn Anas al-Madani (w. 179 H); 2) Al-Muwatta
karya Abi Dzi’bi Muhammad ibn Abdurrahman al-Madani (w. 158 H); dan terakhir 3) al-Muwatta
karya abi Muhammad Abdillah ibn Muhammad al-Mawarzy ynag sering kali populer disebut abdan
(w. 293 H).29. dari sini dapat kita lihat bahwa seccara inisiasi tahun kematian penulis al-Muwatta
ternyata Malik yana juga menulis dalam siste al-Muwatta ini telah ada sebelum dan sesudahnya al-
Muwatta Malik. Barulah setelah itu muncul suatu manhaj dengan cara al-Musnad atau al-Sunan.
Namun dari ketiga sistem al-Muwatta itu mungkin hanya al-muwatta Malik yang sampai sekarang
kita.
Kemudian mengenai sebab-sebab dari ketiga sistem al-Muwatta itu, penulis kurang begitu jelas.
Akan tetapi khususnya al-Muwatta Malik yang menjadi bahasan ini, ada beberapa versi yang

26
Hadis Marfu’ adalah hadis yang secara khusus disandarkan atau dinisbatkan kepada Nabi saw. Tidak
dapat disebut sebagai hadis Marfu’ jika disandarkan pada orang-orang selain Nabi, baik itu hadis muttashil
maupun munqathi. Namun ada pula yang mendefinisikan sebagai hadis yang menceritakan mengenai perilaku
dan sabda Rasululllah saw. Yang diriwayatka oleh seorang sahabat. Lihat, An-Nawawi, At-Taqrib wa at-Taisir li
Ma’rifat as-Sunan al-Basyir an-Nadzir. Terj. Syarif Hade Masyah. Cet. I. (Jakrta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 14.
27
Menurut pendapat yang dianut oleh ahli fikkih seperti Khatib al-Baghdadi, Ibnu Abd al-Basri dan
lainnya, bahwasanya munqathi atau hadis munqathi adalah hadis yang sanadnya tidak muttashil (sambung)
kepada Rasulullah saw. Dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Ada pula yang mendefinisikan, hadis
munqathi adalah hadis yag terdapat cacad pada salah seorang rawi atau periwayat sebelum periwayat tabi’in,
baik kaarena periwayat tersebut tidak disebutkan identitasnya atau disamarkan penyebutannya, seperti rajul
(seorang laki-laki). Pendapat lain, mendefinisikan bahwa hadis munqathi adalah hadis yang dirirwayatkan dari
seorang tabi’in atau periwayat yang dibawahnya berbentuk ucapan atau berupa tindakan dari tabi’in itu.
Namun ini merupakan pendapat yang jarang dipakai dan dinilai sangat lemah. Lihat, Imam An-Nawawi. Ibid.
28
Mushannaf adalah karya atau buku himpunan hadis, sistem masa hadis itu diriwayatkan.
29
Mahmud al-Thuhhan, Ushul Takhrij wa Dirasat al-Asanid. (Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1399
H/1979 M), s. 135-135.
mnegemukakan tentang latar belakang penyususnan tersebut. Menurut Noel J. Coulson,30 bahwa
problem polotik dan sosial keagamaan itu cukup melatarbelakangi penyusunan al-muwatta Malik.
Bahkan kondisi politik yang penuh konfllik pada masa transisi Dinasti Umayyah ke Dinasti
Abbasyiyah melahirkan tiga kelompok besar (khawarij, Syiah dan keluarga istana) juga cukup
mengancam integritas kaum muslim ketika itu. Idtambah lagi kondisi sosial keagamaan yang
berkkembang pesat ternyata juga penuh nuansa perbedaan dan dari perbedaan-perbedaan pemikiran
yang berkembang (khususnya pada bidang hukum) yang beranjak dari perbedaan metode Nash di
suatu sisi, rasio di sisi lain, ternyata juga melahirkan pluralitas yang penuh konflik.31
Versi lain menyatakan, bahwa penulisan al-Muwatta dikarenakan adanya permintaan khalifah
Ja’faar al-Manshur ibn al-Muqaffa yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa yang cukup
bergejolak dan pertentagan yang berkembang saat itu. Sementara versi lain, disamping terinisisasi
usula Ja’far al-Manshur, kakhlifah kedua dari Dinasti Abbas sebenarnya Malik sendiri memiliki
keinginan kuat untuk menyusun suatu karya yang dapat disajikan secara mudah atau memudahkan
umat islam memahami agama supaya memnjadi pegangan, piajkan pada saat itu khususnya. Namun,
dari beberapa pendapat yang ada, lagi-lagi penulis tidak menemukan bukti yang kuat untuk
menyatakan secara pasti akan tetapi yang jelas pada masa Malik, selain ulama itu ahli hadis juga ahlli
fiqih. Apalagi pada masa tabi’in ini, fikih ijtihadi cukup berkembang pesat.
d.2) Penamaan Kitab
sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa sebaenarnya penamaan kitab al-Muwatta ini
emang berasal dari al-Imam Malik sendiri. Hanya saja mengapa tentang kitab itu dinamakan al-
Muwatta ada beberapa pendapat yang muncul: Pertama, sebelum kitab tersebut disebarluaskan, Malik
telah menyodorkan karyanya ini dihadapan 70 ulama fikih Madinah dan mereka memnyapakatinya
(Acc). Dalam sebuah riwayat as-Suyuthi mengatakan: “Al-Imam Malik berkata berkata aku
mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli fiqih Madinah, mereka semua setuju denganku atas pengajuan
kitabku maka aku namai dengan itu.”32 Kedua, disebut al-Muwatta karena kitab itu “memudahkan”
khalayak umat islam letika itu, baik dalam memilih maupun memnjadi pegangan hidup dalam
beraktifittas dan beragama. Ketiga, disebut al-muwatta karena merupakan perbaikan terhadap kitab-
kitab fiqih sebelumnnya.
d.3) Isi Kitab
kitab ini menghimpun hadis-hadis Nabi saw, pendapat sahabat, qaul tabi’in , ijma ahl al-
Madinah dan pendapat al-Imam Malik sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah hadis yang ada di al-Muwatta Malik: a) Ibn Hubbab
yang dikutif oleh Abu Bakar al-‘Arabi dalam Syarah al-Tirmidzi mengatakan : “Ada 500 hadis yang

30
Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), h.
59.
31
Amim al-Khulli, Malik bin Anas. (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), s. 139-140.
32
Muhammad Abu Zuhu, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Keiro: al-Maktabah al-Salafiyyah, t.th), s. 246
disaring dari 100.000 hadis”; b) Abu Bakar al-Abhari berpendapat, ada 1726 hadis dengan perincian
600 musnad atau bersanad , 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.33; c) Al-Harasi dalam
Ta’liqah fi al-Ushul” mengatakan : “Kitab Malik memuat 700 hadis dari 9000 hadis yang telah
disaring”; d) abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada il” mengatakan: “Ada 10.000 hadis dalam kitab al-
Muwatta ; e) Arnold John Weinsick menyatakan dalam al-Muwatta berisi 1824 hadis34 ; f)
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi mengatakan Kitab Al-Muwatta berisi 1824 hadis35; g) ibn Hazm
berpendapat dengan tanpa menyebutkan jumlah perssnya, 500 lebih hadis musnad, 300 lebih hadis
mursal, 70 hadislebih yang tidak diamalkan Malik dan beberapa hadis dhaif; i) M. Syuhudi Ismail
mmenyatakan: “Kitab al-Muwatta hadisnya ada 1804”.36
Perbedaan tersebut di atas ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan dan perbedaan cara
penghitungan. Ada ulama hadis yang hanya menghitung hadis berdasarkan jumlah hadis yang
disandarkan kepada Nabi saw, saja. Adapula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa
sahabat, fatwa tabi’in yang memang tertulis dalam al-Muwatta tersebut. Kemudian tentang
periwayatan bahwa mmenurut as-Suyuthi lebih dari seribu orang yang meriwayatkan al-Muwatta dan
banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah 14 naskah menurut al-Qodhi Iyad ada 20
naskah meski ada yang berpendapat ada 30 naskah.37
Diantara naskah tersebut di atas adalah: 1) Naskah Yahya ibn Yahya al-Masmudi al-Andalusi (w.
204 H). Beliaulah yang pertama yag mengambil al-Muwatta dari Yazid ibn Abdurrahman ibn Ziyad
al-Lahmi (al-Busyikatun) dan pembawa madzhab Maliki di Andalusia; 2) Naskah Ibn Wahb (w. 197
H); 3) Naskah Abu Ubaidillah Abd ar-Rahman ibn al-Qasim ibn Qalid al-Mishri (w. 191 H); 4)
Naskah Abu Abd al-Rahman Abdullah bin Maslamah bin Qa’nabi al-Harisi (w. 221 H); 5) Naskah
Abdullah bin Yusuf al-Dimasyqi Abu Muhammad at-Tunisi (w. 217 H); 6) Naskah Mu’an al-Qazzazi
(w. 198 H); 7) Naskah Sa’id bin Uffair (w. 226 H); 8) Naskah ibn Bukair (w. 231 H); 9) Naskah Abu
Mas’ab Ahmad bin Abu Bakar al-Qasim az-Zuhri (w. 242 H); 10) Naskah Muhammad ibn al-
Mubarak al-Quraisyi (w. 215 H); 11) Naskah Mus’ab ibn Abdullah al-Zubair (w. 215 H); 12) Naskah
Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawi (w. 240 H); 13) Naskah Muhammad ibn al-Hasan as-
Syaibani (w. 179 H); 14) Naskah Yahya bin Yahya al-Taimi (w. 226 H); dan 15) Naskah Abi Hadafah
al-Sahmi (w. 259 H). Diatara naskah-naskah tersebut Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling cuku[
populer.38

33
Jalaluddin al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarah ala Muwatta. Malik, juz. I, (Beirut: Dar Ihya Kutub al-
‘Arabiyyah, t.th.), s. 9
34
Arnold Jhon Wensick, Miftah Kunuz al-Sunnah. Terj. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Lahore:Suhail,
1981), tepatnya pada lam mim.
35
Lihat, Malik ibn Anas, al-Muwatta’. Juz Ii, s. 1004 (yang telah di-tahqiq oleh Abdul Baqi)
36
Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 82-83.
37
Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masalik ila Muwatta Malik. (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1990), s. 10
38
Ibid., s. 250.
Ada perbedaan pendapat yang berkembang ketika dihadapkan pada pertanyaan, apakah al-
Muwatta ini kitab fiqih sekaligus kitab hadis? Menurut Abu Zahra39, al-Muwatta ini merupakan kitab
fiqih karena ia melihat dari tujuan Malik dan tujuan Malik kerika itu memang mengumpulkan supaya
bisa dilihat sisi fiqih dan undang-undangannya, bukan kesahihan dan dalam kenyataannya Malik
sendiri menyusunnya dalam bentuk bab-bab dalam sistematika fikih secara isinya. Senada dengan
Abu Zahra, Ali Hasan Abu Qadir juga melihat al-Muwatta sebagai kitab fiqih dengan mencantumkan
hadisnya. Sebab tradisi yag dipakai ketika itu tentunya tradisi karya fiqih dan biasanya hanya
menyebut sebagian sanad atau bahkan tidak menyebutnya sama sekali, dan ini menurut Ali Hasan
agar ringkas dan praktis. Sedangkan menurut Abu Zuhu, al-Muwatta ini bukan semata-mata kitab
fiqih tapi juga kitab hadis. Hal ini, karena menggunakan sistematika fiqih dan dipakai dalam kitab-
kitab hadis yang lain. Selain itu masih menurut Abu Zuhu, disamping al-Imam Malik melakukan
kritik melalui pendapatnya dalam mengomentari sebuah riwayat hadis, juga menggunakan kriteria-
kriteria dalam menyeleksi hadisnya,40 untuk permasalahan ini akan diikuti di bagian berikutnya.
d.4). Sistematika Kitab
sebagaimaa telah disinggung di bagian sebelumnya, bahwa al-Muwatta Malik secara manhajnya
menggunakan sistematika fiqih. Hal ini, berdasarkan bukti yang digunakan penulis dari hasil
tahqiqkan Muhammad Fuad Abd al-Baqi terhadap kitab itu. Al-Muwatta secara bentuknya terdiri dari
2 juz, 61 kitab (bab) dan berisi 1824 hadis, adapun perinciannya sebagai berikut:
Juz 1: 1) Waktu-waktu shalat, 80 tema, 30 hadis; 2) Bersuci, 32 tema, 115 hadis; 3) Shalat, 80
tema, 70 hadis; 4) Lupa dalam Shalat, 1 tema, 3 hadis; 5) Shalat Jum’at, 9 tema,21 hadis; 6) Shalat
pada bulan Ramadhan, 2 tema, 7 hadis; 7) Shalat malam, 5 tema, 33 hadis; 8) Shalat Jama’aah, 10
tema, 38 hadis; 9) Meng-qasar Shalat dalam Perjalanan, 25 tema, 95 hadis; 10) Dua hari Raya, 7 tema,
13 hadis; 11) Shalat dalam keadaan Takut, 1 tema, 4 hadis; 12) Shalat gerhana matahari dan bulan, 2
tema, 4 hadis; 13) Shalat minta hujan, 3 tema, 6 hadis; 14) menghadap kiblat, 6 tema, 15 hadis; 15)
Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadis; 16) Shalat mayat, 16 tema, 59 hadis; 17) Zakat, 30 tema, 55 hadis; 18)
Puasa, 22 tema,600 hadis; 19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadis; dan 20) Haji, 83 tema, 255 hadis. Sedangkan
di Juz II: 21) Jihad, 21 tema, 50 hadis; 22) Nadzar dan Sumpah, 9 tema, 17 hadis; 23) Qurba, 6 tema ,
13 hadis; 24) Sembelihan, 4 tema, 19 hadis; 25) Bintang buruan, 7 tema, 19 hadis; 26) Aqiqah, 2
tema, 7 hadis; 27) Faraid, 15 tema, 16 hadis; 28) Nikah, 22 tema, 58 hadis; 29) Talaq’, 35 tema, 109
hadis; 30) Persusuan, 3 tema, 17 hadis; 31) Jual beli, 49 tema, 101 hadis; 32) Pinjam-meminjam, 15
tema, 16 hadis; 33) Penyiraman, 2 tema, 3 hadis; 34) Menyewa tanah, 1 tema, 5 hadis; 35) Syufa’ah, 2
tema, 4 hadis; 36) Hukum, 41 tema, 54 hadis; 37) Wasat, 10 tema, 9 hadis; 38) Kemerdekaan dan
persaudaraan, 13 tema, 25 hadis; 39) Budak Muktabah, 13 tema, 15 hadis; 40 ) Budak Mudharabah, 7
tema, 8 hadis; 41) ) Hudud 11 tema, 35 hadis; 42) Minuman, 5 tema, 15 hadis; 43) Orang yang

39
Ahmad al-Syarbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Malik. Terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi.
(Jakarta: Bui Aksara, 1992), h. 105.
40
Abu Zuhu, s. 256.
berakal, 24 tema, 16 hadis; 44) Sumpah, 5 tema, 2 hadis; 45) al-Jami’, 7 tema, 26 hadis; 46) Qadar, 2
tema, 10 hadis; 47) Akhlak yang baik, 4 tema, 18 hadis; 48) Memakai Pakaian, 8 tema, 19 hadis; 49)
Sifat Nabi saw, 13 tema, 39 hadis; 50) Mata, 7 tema, 18 hadis; 51) Rambut, 5 tema, 17 hadis; 52)
Penglihatan, 2 tema, 7 hadis; 53) Salam, 3 tema, 8 hadis; 54) Minta Izin, 17 tema, 44 hadis; 55)
Bai’ah 1 tema, 3 hadis; 56) Kalam, 12 tema, 27 hadis; 57) Jahannam, 1 tea, 2 hadis; 58) Sadaqah, 3
tema, 15 hadis; 59) Ilmu, 1 tema, 1 hadis; 60) Dakwah orang yang teraniaya, 1 tema, 2 hadis; 61)
Nama-nama Nabi saw, 1 tema, 1 hadis.
d.5). Kualitas Periwayatan dan Hadis-hadisnya
setelah kita mengetahui hal-hal di atas, ada juga bagian yang terpenting dalam kajian manhaj al-
Muwatta ini, yakni mengetahui kualitas baik hadis maupunperiwayatannya. Hal ini, tentunya ada
beberapa kriteria atau karakteristik yang dilakukan oleh al-Imam Malik mengenai al tersebut. Dalam
periwayat, bahwasannya Malik menggunakan tahapan-tahapan berupa: a) Penyeleksia terhadap hadis-
hadis yang disandarkan kepada Nabi saw.; b) Asar / fatwa sahabat; c) fatwa tabi’in; d) ijma’ ahli
Madinah; e) pendapat Malik sendiri. Meskipun kelima tahapan itu tidak selalu muncul bersamaan
dalam setiap pembahasanny, tetapi urutan pembahasan dengan mendahulukan penelusuran yang
dimulai dari hadis Nabi saw. Yang telah diseleksi merupakan acuan pertama yang dipakai Malik.
Sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dipaparkan Malik tatkala menurutnya perlu dipaparkan.
Dalam hal ini, ada empat kriteria periwayat yang dikemukakan Malik dalam mengkritisi periwayat
yang digunakan: 1) periwayat bukan orang yang berperilaku jelek apalagi jahat (tidak wara); 2) bukan
ahli Bid’ah; 3) bukan orang yang suka berdusta dalam hadis (bercerita menyampaikan ke yang lain);
4) bukan orang yang tahu ilmu tetapi tidak mengamalkannya.41
Dengan demikian al-Imam Malik telah berupaya secara selektif mungkin, dalam memfilter hadis-
hadis yang diterima, lalu dihimpun menjadi al-Muwatta. Namun demikian tetap saja, para ulama
hadis pada masa setelahnya telah berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas
hadis-hadisnya: 1) Sufyan ibn Uyainah dan as-Suyuti mengatakan seluruh hadis yang diriwayatkan
Malik itu sahih, karena diriwayatkan dari oarng-orang yang terpercaya; 2) Abu Bakar al-Abhari
berpandangan tidak semua hadis dalam al-Muwatta itu shahih; 222 hadis mursal, 623 hadis mauquf da
285 hadis maqthu’; 3) Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan, hadis-hadis yang termuat dalam al-muwatta
itu shahih menurut Malik dan pengikutnya, tetapi menurutnya bahwa di al-muwatta itu ada hadis yang
mursal juga munqathi; 4) Ibn Hazm dalam penilaiannya yang tertulis di dalam al-Maratib al-
Dhinayah, ada 500 hadis musnad, 300 hadis mursal, dan 70 hadis dhaif yang ditinggalkan Malik.42 5)
Al-Gafiqi berpendapat dalam al-muwatta ada 27 hadis mursal dan 15 hadis mauquf.43
Meskipun di al-muwatta tidak semuanya shahih, ada yang munqathi, mursal dan mu’dhal.
Banyak ulama hadis berikutnya yang mencoba mentakhrij dan me-muttashilkan hadis-hadis yang

41
Ahmad Syarbasi, h. 104.
42
Jalaluddin as-Suyuti, juz. I, s. 9.
43
Al-Kandadlawi, s. 44.
munqthi, mursal dan mu’dhal tersebut seperti Sufyan ibn Uyainah, Sufyan al-Tsuri dan ibn Abi
Dzi’bi. Dalam pandangan ibn Abd al-Barr dari 61 hadis yang dianggap tidak muttashil semuanya itu
sebenarnya musnad dengan jalur selain Malik.44
d.6). Kitab-kitab Syarahnya
kitab al-muwatta ini telah di-syarahi oleh beberapa ulama diantaranya:45 1) at-Tahmid lima fi al-
Muwatta min al-Ma’ani wa al-Asanid, karya Abu Umar ibn abdil Barr al-Numairi al-Qurtubi (w. 463
H); 2) Al-Istidzkaar fi Syarh Mazahib Ulama Al-Amshar, karya Abdil Barr (w. 463 H); 3) Khasif al-
Mughits fi Syarh al-Muwatta, karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H); 4) Tanwir al-Hawalik, karya
Jalaluddi as-Suyuti (w. 911 H); 5) Syarah at-Ta’liq a-Mumajjad ‘ala Muwatta, Imam Muhammad
karya Hakim ibn muhammad al-Laknawi al-Hindi; 6) al-Muntaqa karya Abu Walid al-Bajdi; 7) Al-
Maswa, karya al-Dahwi al-Hanafi (w. 1176 H); 8) Aujaz al-Masalik ila Muwatta Malik, karya
Maulana al-Kandahlawi; 9) Syarh az-Zarqani, karya al-Zarqani al-Mishri al-Maliki (w. 1014 H).
d.7). Komentar para ulama terhadap al-Muwatta
diantara ulama yang memberikan penilaian terhadap kitab al-Muwatta adala: a) As-Syafi’i :
“Didunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih shahih daripada kitab Malik”; b) Al-
Hafidz al-Mughlatayi al-Hanafi: “Buah karya Malik adalah kitab shahih yang pertama kali”; c) Ibn
Hajar al-Asqalani:”kitab Malik shahih manurut Malik dan pengikutnya”; d) Waliyullah al-Dahlawi
menyatakan kitab yang paling shahih masyhur dan paling terdahulu penumpulannya adalah al-
Muwatta.
Dari berbagai uraian tentang al-Imam Malik dan manhajnya tersebut di atas, ada empat hal yang
dapat disimpulkan oelh penulis diantaranya:
1) Al-Imam Malik selain ahli hadis juga agll fiqih, hal ini terbukti oleh salah satu karyanya, al-
Muwatta.
2) Al-Muwatta bukanlah sekedar sebuah nama, manhaj dari berbagai deretan karya yang dapat
dilihat secara indikatornya, akan tetapi al-Muwwatta memberikan satu icon besar masa
penulisan karya hadis, yang pernah dilakukan dan cukup populer di abad ke-2, setelah
melalui periode-periode yang sederhana di abad 1 atau Rasulullah dan para shabat.
3) Al-Muwatta Malik, meskipun berbagai hadis dicantumkan, perkataan sahabat, tabi’in juga
fatwanya, secara kualitas periwayat dan hadis-hadisnya dapat dipertanggung jawabkan.
4) Meskipun bagaimana dan kenapa..., al-Muwatta tetap memberikan inspirasi dan kemudahan
bagi ulama-ulama hadis masa berikutnya, baik dari inventarisir terhadap hadis-hadisnya
maupun manhajnya. Wa Allahu ‘Alam bi as-Shawab.

44
Menurut Abu al-Barr, dari 61 hadis ada empat buah hadis yang dianggap tidak muttashil dalam
penelitiannya, semua itu sebenarnya musnad dengan jalur selain Malik ibn Anas, juz I, s. 101.
45
Abu Zuhu, s. 250-252; ad-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala. Juz. VIII. (Beirut: Muassasat al-
Risalah, 1990), s. 48.
DAFTAR PUSTAKA

Anas, ibn Malik al-Muwatta’. Juz II, h. Tahqiq oleh Abdul Baqi

Al-Asqalani, Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib. Juz. III, X, VI. Heyderabad; Dairat al-MA’arif al-
Nizhamiyyah, 1325 H.

Al-Barr, Ibn Abd, Tajrid al-Tamhid, Kairo: Maktabat al-Qudsi, 1350 H.

Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd., Muqaddimah al-Muwatta’ li Imam al-Aimmat wa ‘Alim al-
MadinahMalik. Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.

Cuolson, Noel J., Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987

Ad-Dahlawi, Hujjat al-Balighat. Juz I. Beirut: Dar al-MA’arif, t.th.

Ad-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala. Juz VIII. Beirut: Muassasat al-Risalah, 1990

Hatim, ibn Abi, al-Jarhu wa Ta’dil. Juz VIII. Heydarabad: Dairat al-MA’arif, 1952

Ismail, Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Iyadh, Abu Fadhl al-Qadhi, Tartib al-Mudarik wa Targhib al-Mashahih li MA’rifat al-Madzhab
Malik. Juz I. Rabat: Wuzaratal-Awqaf, t.th.

Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masalik ila Muwatta’ Malik. juz I. Beirut: al-Sa’adah, 1973

Khalikan, Ibn, Wafiyat al-‘Ayan. Juz I. Beirut: Dar al-Shadir, t.th.

Kholil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1998

Al-Khulli, Amin, Malik bin Anas, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 139-140

An-Nawawi, At-Taqrib wa at-Taisirli MA’rifat al-Sunan al-Basyir an-Nadzir. Terj. Syarif Hade
Masyah. Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
As-Suyuti, Jalaluddin, Tazyin al-Mamalik, Beirut: Dar al-Fikr, 1986

................................, IS’af al-Mubtha’ bi Rijal al-Muwatta’. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.

.............................., Tanwir al-Hawalik Syarah ala Muwatta’ Maik, Juz I. Beirut: Dar Ihya Kutub
al-‘Arabiyyah, t.th.

Suryadilaga (ed), M. Alfatih, Studi Kritik Hadis. Cet ke-I. Yogyakarta: Teras, 2003

As-Syarbasi, Ahamd, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab. Terj. Sabil Huda dan A.
Ahmadi, Jakrta: Bumi Aksara, 1992

At-Thuhan, Mahmud, Ushul Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Beirut: Dar al-Quran al-Karim,
1399H/1979 M

Weisick, Arnold John, Miftah Kunuz al-Sunnah. Terj. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Lahore:
Suhai, 1981.

Qayyim, Ibnul, Ilm al-Muwaqqi’in. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Zuhu, Muhammad Abu, al-Hadis wa al-Muhaddtsin, Kairo: al-Maktabah al-Salafiyyah, t.th.

Az-Zaraqani, Syarah az-Zarqani ala Muwatta Imam Malik. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990.

Anda mungkin juga menyukai