Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat
Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang
shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di
pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu
sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya
tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001
Malam.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia
dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran
sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer
Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang
bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu
kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas
belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu
Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara
dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin
Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang
telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina,
Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M),
Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M).
Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina,
Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat
menejelang sakaratul mautnya. Konon, sebelum mati ia minta
keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak
jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat
menolak dan mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat
kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya
saya penghuni kubur yang sudah lama."
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya
menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh
liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.
Rate This
http://www.al-funun.org
Ilahi lastu lilfirdausi ahla wala aqwa ‘ala naril jahimi Fahab li tawbatan
waghfir dzunubi fainaka ghafirud dzanbil adzimi.
Senandung syair yang menyentuh hati itu mengalun begitu merdu.
Sembari menunggu datangnya shalat Maghrib dan Subuh, para jamaah
shalat kerap melantunkan syair itu dengan syahdu di mushala dan masjid.
Meski syair itu telah berumur hampir 11 abad, namun tampaknya tetap
akan abadi. Syair pengingat dosa dan kematian itu boleh dibilang begitu
melegenda, seperti nama besar pengarangnya Abu Nuwas yang hingga kini
tetap dikenang dan diperbincangkan. Abu Nuwas atau Abu Nawas adalah
seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam. Orang Indonesia
begitu akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan
sufi. Sejatinya, penyair yang bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin
Hini Al-Hakami itu memang seorang humoris yang lihai dan cerdik dalam
mengemas kritik berbungkus humor.
Penyair yang dikenal cerdik dan nyentrik itu tak diketahui secara pasti
tempat dan waktu kelahirannya. Diperkirakan, Abu Nuwas terlahir antara
tahun 747 hingga 762 M. Ada yang menyebut tanah kelahirannya di
Damaskus, ada pula yang meyakini Abu Nuwas berasal dari Bursa. Versi
lainnya menyebutkan dia lahir di Ahwaz. Yang jelas, Ayahnya bernama
Hani seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan II-
Khalifah terakhir bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya bernama
Golban atau Jelleban seorang penenun yang berasal dari Persia. Sejak lahir
hingga tutup usia, Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan sang ayah.
Dari Budak Menjadi Penyair
Ketika masih kecil, sang ibu menjualnya kepada seorang penjaga toko
dari Yaman bernama, Sa’ad Al-Yashira. Abu Nuwas muda bekerja di toko
grosir milik tuannya di Basra, Irak. Sejak remaja, otak Abu Nuwas yang
encer menarik perhatian Walibah ibnu A-Hubab, seorang penulis puisi
berambut pirang. Al-Hubab pun memutuskan untuk membeli dan
membebaskan Abu Nuwas dari tuannya. Sejak itu, Abu Nuwas pun
terbebas dari statusnya sebagai budak belian.
Al-Hubab pun mengajarinya teologi dan tata bahasa. Abu Nuwas juga
diajari menulis puisi. Sejak itulah, Abu Nuwas begitu tertarik dengan dunia
sastra. Ia kemudian banyak menimba ilmu dari seorang penyair Arab
bernama Khalaf Al-Ahmar di Kufah. Sang guru memerintahkannya untuk
berdiam di padang pasir bersama orang-orang badui untuk mendalami dan
memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama satu tahun. Setelah itu,
dia hijrah ke Baghdad yang merupakan metropolis intelektual abad
pertengahan di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Syair-Syair Khumrayat
Sebagai penyair yang nyentrik, masa mudanya penuh dengan gaya
hidup yang kontroversial, sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai
tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Ketika masih muda,
puisi-puisi yang dikarangnya kerap diinspirasi khammar (minuman keras),
salah satunya khumrayat (penggambaran minuman keras). Adalah Dr
Muhammad al-Nuwaihi dalam kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan
Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras. Sebagai penyair,
tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya
membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya.
Ditambah sikapnya yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh
warna. Namun, di mata Ismail bin Nubakht Abu Nuwas adalah seorang
yang cerdas dan kaya pengetahuan. ”Saya tak pernah melihat orang yang
mau belajar lebih luas dibanding Abu Nuwas. Tak ada seorang pun. Dengan
ingatan yang sangat kaya, namun koleksi bukunya sangat sedikit. Setelah
dia tutup usia, kami mencari rumahnya dan hanya menemukan sebuah
buku di rumahnya,” papar Ismail bin Nubakht dalam catatannya.
Berbekal kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas bisa berkenalan
dengan para pangeran. Sejak dekat para bangsawan, puisi-puisinya
berubah memuja penguasa. Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa
Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh
canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan
angkatan baru. Karir Abu Nuwas di dunia sastra pun makin kinclong
setelah kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun
Al-Rasyid. Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas
akhirnya didapuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Abu Nawas pun
diangkat sebagai pendekar para penyair. Tugasnya menggubah puisi puji-
pujian untuk khalifah. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera
humor yang tinggi membuatnya menjadi seorang legenda. Namanya juga
tercantum dalam dongeng 1001 malam. Meski sering ngocol, ia adalah
sosok yang jujur. Tak heran, bila dia disejajarkan dengan tokoh-tokoh
penting dalam khazanah keilmuan Islam.
Kedekatannya dengan khalifah berakhir di penjara. Suatu ketika Abu
Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang membuat khalifah
tersinggung dan murka. Ia lantas di penjara. Setelah bebas, dia mengabdi
kepada Perdana Menteri Barmak. Ia hengkang dari Baghdad setelah
kejayaan Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu, ia hijrah ke Mesir
dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-
Ajami. Abu Nuwas akhirnya kembali lagi ke Baghdad, setelah Harun al-
Rasyid meninggal dan digantikan Al-Amin.
Syair-Syair “Pertaubatan”
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi
religius. Kepongahan dan aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan
kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang pertobatan
bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan.
Puisi serta syair yang diciptakannya menggambarkan perjalanan
spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang
berliku dan mengharukan. Setelah ‘menemukan’ Allah, inspirasi puisinya
bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia
menjalani hidup zuhud. Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun
kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia
dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.
Sang Penyair Khamar yang Bertobat
Penyair khamar. Begitu Abu Nuwas dijuluki sebagian orang, karena
dia mengangkat minuman haram sebagai tema puisinya. Dalam puisi
khumrayat, ia menggambarkan kelezatan dan keburukannya, pemerasan,
pengolahan, rasa, warna, dan baunya hingga para peminumnya.
Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah. Abu
Nuwas juga sempat dituding sebagai penyair zindik atau pendosa besar
gara-gara puisinya yang bertema mujuniyat yang sering dianggap
melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama. Tak pernah
ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting
yang diajarkan Abu Nuwas.
Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup yang berbau
maksiat. Namun di masa tuanya, Abu Nuwas berubah menjadi seorang
sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya
yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan
bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas
mengisi kehidupannya dengan ibadah.
Simaklah puisi pertobatan yang ditulisnya:
”Tuhan, Jika dosaku semakin membesar,
sungguh aku tahu ampunanmu jauh lebih besar.
Jika hanya orang-orang baik yang berseru kepada-Mu,
lantas kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?”
Secara umum, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri dari beberapa
tema. Ada yang bertema pujian (madah), satire (hija’), zuhud (zuhdiyat),
bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), serta canda
(mujuniyah). Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu
Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di
Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), cetakan litrografi di Kairo,
Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India
(1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan
Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Pada tahun 1855, kumpulan
puisinya diedit oleh A Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas
des Grosten Lyrischen Dichters der Araber.
Ketokohan figur Abu Nawas ternyata tak hanya diakui umat Islam,
namun juga oleh orang-orang Barat. Mereka memandang karya-karya Abu
Nuwas adalah sebuah kekayaan peradaban dunia dari abad pertengahan
yang begitu berharga. Sayangnya, umat Islam terkadang tak menyadarinya
bisa pula tak mengetahuinya sama sekali.
Warisan Sastrawan Arab Klasik Terkemuka
Abu Nuwas adalah salah seorang sastrawan Arab terbesar.
Pengaruhnya begitu besar di jagad sastra. Omar Kayam dan Hafiz – dua
sastrawan Islam kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu
Nuwas. Namanya semakin populer lantaran karikatur Abu Nuwas dalam
legenda 1001 Malam. Dalam budaya Swahili di Afrika Timur, nama Abu
Nuwas juga begitu populer sebagai ‘Abunuwasi’.
Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Beberapa di antaranya adalah O Tribe That Loves Boys yang
dialihbahasakan oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.
Jaafar Abu Tarab juga telah menerjemahkan karya Abu Nawas
dalam Carousing With Gazelles. Kegan Paul juga telah
menerjemahkan Poems of Wine and Revelry: The Khamriyyat of Abu
Nuwas. Secara khusus kiprah dan karya Abu Nuwas juga mendapat
perhatian para penulis Barat. Philip F Kennedy, misalnya, secara khusus
menulis The Wine Song in Classical Arabic Poetry: Abu Nuwas and the
Literary Tradition, yang diterbitkan, Open University Press tahun 1997.
Penerbit OneWorld Press pada 2005 juga menerbitkan buku karya Philip
Kennedy yang berjudul Abu Nuwas: A Genius of Poetry.