Anda di halaman 1dari 5

Jejak-jejak Peradaban Islam Masa Abu Bakar

1. Mengumpulkan Al-Qur’an Dalam Satu Mushaf (Pembukuan Al-Qur’an)


Pada perang Yamamah yang terjadi pada tahun ke dua belas Hijriah terdapat
tujuh puluh penghafal Al-Qur’an dari sahabat yang gugur sebagai syuhada. Maka dari
itu, Umar bin Khattab sangat khawatir kalau peperangan di tempat-tempat lainnya
akan membunuh banyak lagi penghafal. Sehingga Umar bin Khattab mengusulkan
kepada Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah. Pada awalnya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq menolak
usulan tersebut dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun
terus dibujuk oleh Umar bin Khattab hingga Allah SWT membuka hati sang khalifah
untuk menerima usulan Umar bin Khattab tersebut. Khalifah Abu Bakar membentuk
panitia pengumpulan Alqur’an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit sang juru tulis
wahyu Rasulullah SAW. Zaid bin Tsabit memulai mengerjakan tugas berat tersebut
dengan bersandar pada hafalan para penghafal dan catatan para penulis. Kemudian
lembaran tersebut disimpan oleh Khalifah Abu Bakar sampai ia wafat pada tahun ke-
13 Hijriah.
2. Sastra pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sastra sangat melekat pada masyarakat Arab pada waktu itu, sastra merupakan
sebuah cermin dari segala kehidupan. Baik yang berhubungan dengan spiritual,
politik, budaya juga kehidupan sehari-hari. Sastra sangat berhubungan dengan bahasa,
khususnya bahasa Arab karena Bahasa Arab merupakan bahasa yang paling kaya
dengan perbendaharaan kalamnya. Termasuk bahasa yang paling tua, mudah diterima,
dan sanggup menghadapi perubahan zaman. Bahasa Arab merupakan bahasa umat
yang Ummi (buta huruf) berbeda dengan bahasa Yunani juga Cina. Bahasa Arab bisa
menyesuaikan diri dengan setiap waktu dan tempat. Perkembangan sastra sebelum
masuknya Islam dan awal-awal Islam hampir sama, belum begitu menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Yang berkembang di masyarakat adalah yang
digunakan untuk Khitabah (pidato) dan beberapa puisi. Akan tetapi kesusasteraan
Arab dimulai dengan lembaran-lembaran yang langsung dari Allah yaitu dengan
mulai turunnya Alquran. Bahasa Arab merupakan bahasa yang sempurna dan bahasa
yang halus. Pengamat sastra menyatakan ada dua pendapat tentang perkembangan
sastra pada masa Khulafa' al-Rasyidun:
 Sastra mengalami Stagnasi" karena perhatian yang lebih kepada bahasa Al-
Qur’an, sehingga syair dan sastra kurang berkembang.
 Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk kegiatan sastra,karena dalam
berdakwah diperlukan bahasa yang indah.
 Pengaruh Al-Qur’an dan Hadis tidak bisa dilepas karena keduanya menjadi
sumber pokok ajaran Islam."
Puisi pada masa ini tidak jauh berbeda dengan puisi puisi pada masa sebelum
Islam (Jahiliyah) juga puisi masa Rasulullah. Puisi kurang maju dan berkembang pada
masa ini karena masyarakat lebih memerhatikan bahasa Alquran, sehingga aroma
struktural dalam puisi sangat terpengaruh oleh bahasa Alquran. Prosa pada waktu itu
hanya berkembang dalam dua bentuk yaitu Khitabah (bahasa pidato) juga Kitabah
(bahasa korespondensi"). Khitabah menjadi alat yang paling efektif untuk media
berdakwah. Khitabah berkembang cukup sempurna karena merujuk pada bahasa
Alquran. Perkembangan Khitabah ini mulai pada masa Rasulullah sampai para
khalifah. Mereka-mereka merupakan seorang pemimpin sekaligus sastrawan yang
pandai dalam berkhotbah bin Tsabit menggunakan bahasa-bahasa yang indah. Hasan
bin Tsabit dan Kaab bin Zuhair, merupakan penyair yang terkenal yang hidup pada
dua masa yaitu masa Jahiliyah hingga masa Islam. Mereka dikenal dengan sebutan
Mukhadhram.
3. Masjid Abu Bakar Shiddiq
Masjid Abu Bakar Shiddiq berada di sebuah jalan lebar di barat daya Masjid
Nabawi, dekat dengan Masjid Al-Ghamamah. Masjid ini merupakan salah satu tempat
yang pernah digunakan untuk shalat ‘Id oleh Rasulullah dan Abu Bakar Shiddiq,
kemudian nama masjid ini pun dinisbahkan kepadanya. Masjid Abu Bakar Shiddiq
dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu direnovasi oleh Sultan
Mahmud II pada tahun 1254 H. Masjid Abu Bakar Shiddiq berbentuk segi empat.
Panjang rusuknya sembilan meter. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat
dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan
kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang.
Jalan masuk langsung mengantarkan jamaah menuju ruang shalat. Ruang
shalatnya beratapkan kubah yang dari dalam, tingginya mencapai 12 meter. Di bagian
atas leher kubah terdapat delapan jendela kecil untuk penerangan. Mihrabnya terletak
di tengah dinding masjid sebelah selatan dengan tinggi ± 2 meter. Luas cekungan
(celah) mihrab sekitar 80 cm.
Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area
persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas
penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan
bagian paling atas berbentuk bulan sabit. Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat
teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar
enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah.
Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna
putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah.
4. Baitul Mal
Baitul mal sudah dikenal sejak tahun ke-2 hijriah pemerintahan Islam di
Madinah. Berdirinya lembaga ini diawali dengan 'cekcok' para sahabat Nabi SAW
dalam pembagian harta rampasan Perang Badar. Rasulullah mendirikan baitul mal
yang mengatur setiap harta benda kaum Muslimin, baik itu harta yang keluar maupun
yang masuk. Bahkan, Nabi SAW sendiri menyerahkan segala urusan keuangan negara
kepada lembaga keuangan ini.
Sistem pengelolaan baitul mal kala itu masih sangat sederhana. Belum ada
kantor resmi, surat menyurat, dokumentasi, dan lain-lain layaknya sebuah lembaga
keuangan resmi negara. Harta benda yang masuk langsung habis dibagi-bagikan
kepada kaum Muslimin yang berhak mendapatkannya. Atau, dibelanjakan untuk
keperluan umum. Oleh karena itu, tidak ditemukan catatan-catatan resmi tentang
laporan pemasukan dan pengeluaran baitul mal.
Perbaikan pengelolaan baitul mal terjadi di masa Khalifah Abu Bakar as-
Shiddiq RA. Khalifah pertama itu menekankan pentingnya fungsi baitul mal. Sumber-
sumbernya berasal dari zakat, zakat fitrah, wakaf, jizyah (pembayaran dari non-
Muslim untuk menjamin perlindungan keamanan), kharraj (pajak atas tanah atau hasil
tanah), dan lain sebagainya.
Dalam buku Pajak Menurut Syariah, Gusfahmi mengatakan, di tahun kedua
kepemimpinannya, Abu Bakar menjalankan fungsi baitul mal secara lebih luas. Baitul
mal tidak semata difungsikan untuk menyalurkan harta, tetapi untuk menyimpan
kekayaan negara. Pada masa itu pula ditetapkan gaji untuk khalifah yang diambil dari
uang kas negara. Terdapat kisah menarik tentang awal mula penetapan gaji itu. Suatu
ketika, Abu Bakar memanggul barang-barang dagangannya ke pasar. Di tengah jalan,
sang khalifah bertemu Umar bin Khatthab RA.Umar pun bertanya, ''Anda mau ke
mana, wahai Khalifah?'' ''Ke pasar,'' jawab Abu Bakar. Kata Umar, ''Bagaimana
mungkin Anda melakukannya, padahal Anda seorang pemimpin umat Muslim?'' Abu
Bakar menjawab, ''Lalu, dari mana aku akan memberi nafkah keluargaku?'' Umar
kemudian berkata, ''Mari kita pergi kepada Abu Ubaidah (pengelola baitul mal) agar
dia menetapkan sesuatu untukmu.''
Sejak saat itu, seorang khalifah mendapatkan gaji yang hanya cukup untuk
hidup sederhana, layaknya rakyat biasa. Tetapi, sebelum Abu Bakar meninggal dunia,
ia justru berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan uang gaji itu kepada
negara sebesar 6.000 dirham. Umar pun berkata, ''Semoga Allah merahmati Abu
Bakar. Ia telah membuat orang setelahnya kepayahan.'' Maksud Umar, kearifan Abu
Bakar telah membuat khalifah setelahnya akan merasa berat mengikuti sikapnya.
Daftar Pustaka

Atiq, A. G. (2017). Jejak Langkah Abu Bakar Ash-Shidiq.


Hannan Putra, C. A. (2014, Oktober 28). Masjid-Masjid Bersejarah di Madinah: Masjid Abu
Bakar Shiddiq. Retrieved from Republika.co.id.
Sasongko, A. (2018, April 04). Mengenal Baitul Mal. Retrieved from Republika.co.id.
Syaikh Manna Al-Qaththan, t. H.-M. (2005). Mabahits Fi Ulumi Al-Qur’an,Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Anda mungkin juga menyukai