Anda di halaman 1dari 2

Teori Deontologi VS Utilitarian

Bagaimana jika misalnya harta rampasan/curian atau yang didapat dengan cara yang tidak halal digunakan untuk membantu masyarakat miskin dan kurang mampu? Satu pertanyaan ini akan mampu menguraikan tentang teori utilitarian serta teori lawannya yaitu deontologi. Menurut paham etika yang dikenalkan oleh Jeremi Bentham dan John Stuart Mill, bahwa utilitarian berprinsip pada the greatest happiness for the greatest number yang berarti kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin. Jika ditinjau dari terminologinya, utilitarian berasal dari bahasa latin, utilis yang berarti bermanfaat. Suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, faedah, kegunaan yang tidak hanya dinikmati satu-dua orang saja, melainkan sebanyak-banyaknya atau masyarakat keseluruhan. Paham tersebut mempunyai makna baik atau buruknya tindakan adalah oleh akibat dari tindakan itu sendiri. Disini suatu sebab yang bisa menghasilkan suatu akibat diabaikan, atau proses untuk mendapatkan hasil tidaklah penting. Sehingga dalam utilitarian berlaku nilai semua perbuatan itu dianggap baik asalkan perbuatan tersebut mampu menghasilkan manfaat atau kebahagiaan bagi banyak orang. Orang-orang yang mengikuti paham ini akan berpikir tentang akibat atau hasil tindak perbuatannya tanpa memperdulikan baik-buruk cara atau jalan yang ditempuhnya. Setiap tindakan yang hendak diperbuat haruslah dipertimbangkan kemanfaatan hasilnya. Sayangnya teori ini ternyata banyak mendapat kritik oleh para etikawan. Teori utilitarian nyatanya cenderung akan mengesampingkan antara hak dan kewajiban. Karena perbuatan tetaplah dianggap baik meskipun perbuatan tersebut melanggar hak-hak orang lain atas manfaatnya yang lebih besar. Mencuri itu bisa dibenarkan jika hasil curiannya bisa digunakan untuk banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Disisi lain hak pemilik harta atas curian tadi dirampas. Lawan dari teori utilitarian adalah teori deontologi. Paham teori deontologi ini lebih menekankan pada proses tindakannya. Dalam setiap sebab perbuatan pasti menghasilkan konsekuensi yang disebut akibat. Akibat dari suatu perbuatan tak lagi menjadi pertimbangan karena paham ini menuntun pada kewajiban yang harus dilakukan. Suatu perbuatan dianggap baik bukan dari

sesuatu yang dihasilkannya baik, melainkan karena perbuatan tersebut memang harus atau wajib dijalankan. Apalagi melakukan perbuatan buruk untuk mendapatkan hasil yang baik. Jadi untuk menjawab pertanyaan di atas menurut sudut pandang utilitarian adalah baik, meskipun dilakukan dari cara yang buruk atau tidak halal karena harta curian tersebut mampu memberikan lebih banyak manfaatnya untuk masyarakat. Namun, teori deontologi tidak membenarkan. Apapun yang menjadi hasilnya, baik atau buruk, yang penting jalan proses perbuatan itu dilakukan sesuai kaidah atau aturan. Jika secara prosedural kewajiban atau prosesnya sudah dijalankan dengan baik, maka dianggap baik pula terlepas proses perbuatan tersebut bisa menghasilkan banyak manfaat atau tidak. Jika teori ini diterapkan dalam profesi akuntan, maka seseorang akan cenderung menggunakan teori deontologi. Penggunaan paham ini tidak lantas menjadikan akuntan membiarkan suatu tindakan (misalkan auditing) memberikan hasil yang tidak sesuai IFRS. Malah dengan adanya kewajiban akuntan mengikuti SPAP diharapkan mampu menghasilkan laporan keuangan yang baik. Karena setiap prosedur auditing akan memberikan dampak pada laporan keuangan yang dibuat. (erandiska)

Anda mungkin juga menyukai