47 kasus fraktur tertutup femur pada 46 anak <10 tahun dengan reduksi tertutup dini dan immobilisasi dengan gips spika Mereka menjalani proses mulai dari penyatuan tulang, pelepasan gips spika, dan hingga latihan mengangkat beban. Usia rata-rata pada saat terjadi patah tulang adalah 4,4 tahun. Mekanisme trauma dibagi atas trauma kuat dan trauma ringan.
Trauma Kuat
12 dari 23 kasus patah tulang (52%) membutuhkan paling tidak 1 kali pengulangan reduksi tertutup. 4 anak memerlukan perpanjangan waktu traksi skeletal kemudian kembali menggunakan gips spika.
Trauma Ringan
2 dari 24 kasus patah tulang (8%) membutuhkan pengulangan reduksi tertutup dan tidak perlu dilakukan traksi skeletal. Usia mean anak yang mengalami patah tulang akibat trauma kuat > tua dibandingkan kelompok anak yang mengalami patah tulang akibat trauma ringan.
Keuntungan reduksi tertutup dan immobilisasi menggunakan gips spika dibandingkan traksi skeletal
Memperpendek waktu dirawat di RS Mengurangi kaku lutut akibat pengobatan. Menghindari komplikasi yg dapat terjadi akibat penggunaan jepitan traksi.
Group 1 dengan trauma kuat, misalnya kecelakaan mobil Goup 2 dengan trauma ringan, misalnya terjatuh
Gips Spika
Daerah perineum ke bawah diusahakan bebas tanpa pakaian, dan tungkai ditarik secara manual. Tungkai yang mengalami fraktur posisi netral hingga sedikit abduksi dan tungkai lainnya 0 diabduksi kira-kira 25 dari panggul. Gips spika dipasangkan dengan hati-hati untuk memastikan gipsnya terbentuk dengan baik Diletakan palang diantara kedua tungkai untuk meningkatkan stabilitastraksi secara manual.
Gips Spika
Foto ro untuk menilai reduksi dan penyatuan bagian patahan. Penyatuan dianggap baik
overlapping kurang dari 2 cm. tidak tampak gangguan penyatuan tulang varus atau valgus kurang dari 5 derajat angulasi anterior kurang dari 30 derajat
Gips Spika
Foto ro dilakukan selama 3 hingga 4 minggu pertama untuk menilai kemajuan pengobatan dan mempertahankan reduksi. Reduksi perlu diulangi bila terdapat :
Pemendekan lebih dari 2,5 cm. Pemendekan lebih dari 2 cm namun progresif Angulasi anterior lebih dari 30 derajat. Varus atau valgus yg lebih dari 10 derajat.
Hasil
Empat puluh tujuh kasus patah tulang pada 46 anak diamati perkembangannya sampai terjadi penyatuan tulang. 41 dari 47 kasus fraktur (87%). Umur rata-rata pada saat mengalami patah tulang adalah 4,4 tahun. 23 orang adalah anak perempuan dan 23 lainnya adalah anak lakilaki. Tulang paha dibagi atas 3 bagian untuk menentukan lokasi patahan. Terdapat 9 kasus patah tulang pada daerah proximal femur, 32 pada bagian tengah, dan 6 pada distal femur. 22 kasus merupakan fraktur transverse, 18 fraktur oblique, dan 7 fraktur spiral. 4 kasus terdapat comminution. Tidak ada diantara kasus ini yang tidak mengalami penyatuan tulang atau keterlambatan penyatuan tulang. Tidak ada anak yang setelah 3 bulan terjadi penyatuan tulang mengalami keterbatasan gerak pada sendi panggul atau sendi lutut.
Group 1
Pada 2 anak (9%), setelah terjadi penyatuan tulang, didapatkan keadaan yang tidak memuaskan. Anak I, laki-laki berusia 9,9 tahun, dengan fraktur 1/3 tengah femur, sembuh tp terjadi 3 cm pemendekan tulang walaupun sudah dilakukan reduksi tertutup ulangan. Anak II, laki-laki berusia 7,4 tahun dengan fraktur 1/3 proksimal femur, sembuh namun terjadi pemendekan tulang 3,5 cm.
Group 1
12 kasus fraktur Gips spika gagal mempertahankan posisi lurus yang diharapkan traksi skeletalgips spika.
Group 2
Dua dari 24 anak pada kelompok 2 membutuhkan reduksi ulangan dan penggantian gips spika sebelum terjadi penyatuan tulang.
Komplikasi
Lapisan kulit superficial bisa terkelupas akibat dari traksi kulit yang dilakukan sebelum penggunaan gips spika atau akibat dari gips spika itu sendiri. Tidak membutuhkan pembedahan atau menimbulkan bekas luka yang menetap. Seorg anak Group 1 mengalami spasme bronkus dan bradikardi saat pemasangan ulangan gips spika traksi skeletal yg dilakukan dalam pembiusan memberikan respon yang baik setelah dilakukan intubasi dan pemberian atropine.
Kesimpulan
12 dari 23 kasus fraktur disebabkan trauma kuat membutuhkan reduksi tertutup ulangan maupun traksi skeletal untuk memperbaiki pemendekan tulang / keterlambatan penyatuan tulang. Sebaliknya, hanya 2 dari 24 anak oleh trauma ringan membutuhkan reduksi tertutup ulangan dan tidak perlu dilakukan traksi skeletal.
Kesimpulan
Tingginya kegagalan pada penggunaan gips spika untuk mempertahankan reduksi setelah trauma kuat bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab:
Terbukanya periosteum dan jaringan lunak atau otot paha bisa menyebabkan kurangnya stabilitas fraktur.
Kesimpulan
Anak dengan cedera multipel, terutama cedera kepala, operasi perbaikan fraktur femoris telah direkomendasi untuk mempermudah perawatan dan rehabilitasi Dalam kasus ini 24 dari 25 fraktur sembuh tanpa intervensi lanjutan dan tidak ada malunion, nonunion atau infeksi.
Gejala Klinis
Nyeri Pemendekan Angulasi Bengkak Krepitasi
Pemeriksaan Penunjang
Foto ro: untuk tau lokasi fraktur Hitung darah lengkap HT: untuk tau HT atau tidak. pe SDP.
Penatalaksanaan
Spica cast setelah reduksi tertutup pada fraktur femur 0 Posisi fraktur tungkai diatur pada fleksi 90 pada panggul dan lutut. Dalam hal mencegah deformitas varus sekunder, fraktur tungkai dijaga agar tetap dalam abduksi yang netral Radiografi rutin dalam dua plane disarankan setelah pemasangan cast
Spica Cast
Trimakasih.