Anda di halaman 1dari 10

BLOK BASIC MEDICAL SCIENCE-2

SELF LEARNING REPORT


JIGSAW-SMALL GROUP DISCUSSION (JSGD)
KELAINAN SISTEM LIMFATIKA-IMUNITAS
AUTOIMMUNE DISEASE

Tutor/ Pembimbing :
drg.

Disusun Oleh :
Citra Veony Finastika
G1G012034

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2013

AUTOIMMUNE DISEASE

A. Gambaran Umum
Menurut Underwood, (1999), penyakit autoimun (autoimmune disease)
merupakan penyakit yang menyerang sistem imun, baik imunitas humoral
(antibodi) maupun imunitas sel perantara yang menyebabkan kerusakan
jaringan karena adanya reaksi imun dengan antigen sendiri. Sproat, dkk.,
(2006) menyatakan, penyakit autoimun terjadi apabila limfosit bereaksi
melawan antigen yang terdapat pada jaringan tubuh sendiri. Greenwood, dkk.,
(2009), penyakit autoimun terjadi karena tubuh kehilangan mekanisme
toleransi diri sendiri. Mekanisme toleransi merupakan mekanisme untuk
mengeliminasi sel-sel limfosit yang reaktif terhadap diri sendiri. Penyakit
autoimun lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pada pria.
Menurut Underwood, (1999), penyakit autoimun memiliki dua cakupan,
yaitu penyakit autoimun organ spesifik dan penyakit autoimun non organ
spesifik.
1. Penyakit Autoimun Organ Spesifik
Menurut Underwood, (1999), penyakit autoimun organ spesifik terjadi
apabila sistem imun bereaksi melawan antigen yang hanya ada pada satu
organ. Reaksi ini menyebabkan terjadinya penyakit yang spesifik untuk organ
tersebut. Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun tipe ini dilakukan oleh
hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) atau antibody-dependent lymphocyt
toxicity. Mekanisme hipersentisivitas tipe II ini terjadi melalui ikatan antibodi
dengan antigen yang merupakan bagian dari sel atau jaringan tubuh.
Selanjutnya akan terjadi pengaktifan komplemen atau fagositosis sel sasaran
atau sitotoksisitas oleh sel yang diperantarai oleh sel dependen-antibodi.
Penyakit autoimun organ spesifik banyak mempengaruhi jaringan endokrin
dan memiliki kecenderungan penyakit yang dapat dikaitkan dengan penyakit
lainnya.

Beberapa contoh penyakit autoimun organ spesifik antara lain diabetes


tipe I, penyakit autoimun thyroid, Addisons disease, coeliac disease,
pemphigus (Greenwood, dkk., 2009).
2. Penyakit Autoimun Non Organ Spesifik
Menurut Underwood, (1999), penyakit autoimun organ non spesifik
terjadi apabila sistem imun bereaksi melawan antigen sendiri yang ada pada
banyak jaringan, sehingga menimbulkan kerusakan tidak spesifik untuk salah
satu organ saja melainkan untuk banyak jenis jaringan. Apabila terbentuk
kompleks imun, umumnya akan terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III yang
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat, ginjal, kulit, sinovial, dan
dinding arteri.
Beberapa contoh penyakit autoimun non organ spesifik antara lain
systemic

lupus

erythematosus

(SLE),

Sjgren

syndrome,

vasculitis,

rheumatoid arthritis, sclerodema, Behets syndrome (Greenwood, dkk.,


2009).
B. Etiologi
Menurut Underwood, (1999), etiologi penyakit autoimun dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain.
1.

Kerusakan mekanisme supresi


Pusat mekanisme supresi aktif yang diperankan oleh limfosit T supresor

mengalami kerusakan. Kerusakan ini dapat disebabkan karena adanya invasi


virus, sehingga limfosit T supresor tidak dapat berfungsi untuk menekan
aktivitas limfosit T helper dan reaktivitas limfosit B terhadap antigen sendiri.
2.

Meningkatnya atau abnormalitas rangsangan antigen


Antigen pada tempat-tempat tertentu, seperti mata, sistem saraf pusat,

dan testis tidak dapat teridentifikasi sebagai antigen sendiri karena tidak
adanya limfosit T supresor primer. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena

tidak adanya klon limfosit B reaktif atau klon limfosit T helper terhadap
antigen pada tempat-tempat tersebut.
3.

Meningkatnya kekuatan imunogenisitas antigen sendiri


Antigen sendiri pada penyakit autoimun tertentu terlihat telah mengalami

modifikasi, sehingga bersifat lebih imunogenik oleh bahan kimia, seperti


obat-obatan. Obat antihipertensi dan metildopa misalnya, dapat menstimulasi
produksi antibodi terhadap antigen golongan darah rhesus pada eritrosit.
4.

Presentasi antigen oleh molekul HLA kelas II


Sel limfosit T helper hanya dapat mengenali antigen dalam kaitannya

dengan HLA kelas II. Hal ini memungkinkan sel limfosit T helper untuk
merespon antigen yang sesuai, apabila pada permukaan sel beberapa jaringan
tujuan penyakit autoimun mengekspresikan molekul HLA kelas II (HLADR).
5.

Tipe antigen HLA.


Beberapa tipe HLA tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya

penyakit autoimun. Hal ini terjadi

karena antigen tersebut memiliki

kemiripan dengan berbagai antigen di sekitarnya, sebagai akibatnya


menghasilkan autoimunitas terhadap antigen HLA itu sendiri.

Menurut Sproat, dkk., (2006), penyakit autoimun dapat disebabkan oleh


multifaktor dengan faktor genetik yang menjadi penyebab utama. Selain itu,
Greenwood,

dkk.,

(2009),

menambahkan

faktor-faktor

yang

dapat

meningkatkan risiko penyakit autoimun yaitu faktor lingkungan, seperti


obat-obatan dan infeksi virus/ bakteri.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Greenwood, dkk., (2009), terdapat beberapa penyakit autoimun
dengan manifestasi klinis masing-masing, antara lain

1. Penyakit Autoimun Organ Spesifik


a. Autoimmune thyroid disease/ hyperthyroidism
Gejala yang dapat timbul antara lain penurunan berat badan, anorexia,
diare, anxiety, tremor, berkeringat, dan exophtalmos.
b. Addisons disease
Gejala yang dapat timbul antara lain lemah, depresi, pigmentasi pada
kuit, mukosa bukal, dan bekas luka.
c. Diabetes Melitus Tipe I
Gejala khas yang dapat timbul antara lain polifagia, poliuria,
polidipsia, lemas, dan penurunan berat badan.
d. Coeliac disease
Gejala yang dapat timbul antara lain sedikit berenergi, kegagalan
pertumbuhan pada anak-anak, diare atau konstipasi, anemia, ruam kulit
yang berair, dan dermatitis herpetiformis.
2. Penyakit Autoimune Non Organ Spesifik
a. Rheumatoid arthritis (RA)
Rheumatoid arthritis memiliki karakteristik adanya inflamasi kronis
pada persendian, yang dapat memicu kerusakan progresif pada
persendian. Gejala yang dapat timbul antara lain ulceration,
neutropenia, dan lymphadenopathy.
b. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem,
yang dapat menyerang beberapa organ. Manifestasi klinis yang dapat
ditimbulkan antara lain thrombocytopenia, penurunan jumlah leukosit,
anemia hemolitik, hepatitis, dan penyakit ginjal. Pada kulit, gejala
yang dapat timbul antara lain ulcer, alopecia, dan Raynauds

phenomenon (perubahan warna pada ekstrimitas jika terkena paparan


dingin).
c. Sjgren syndrome
Gejala yang dapat timbul antara lain mata kering, mulut kering, dan
inflamasi arthritis.
d. Vasculitis
Vasculitis menunjukkan suatu inflamasi pada pembuluh darah. Efek
yang ditimbulkan pada vasculitis tergantung pada ukuran dan lokasi
pembuluh darah yang terserang. Gejala yang dapat timbul antara lain
nephritis,

skin

ulceration,

colic,

muntah,

gastrointestinal

haemorrhage, demam, penurunan berat badan, myalgia, conjunctivitis,


sinusitis, dan hipertensi.
e. Behets syndrome
Gejala yang dapat timbul antara lain genital ulcers dan iritis, eritema
nodusum, folliculitis, dan pathergi (papula >2mm 24-48 jam setelah
ditusuk dengan jarum).
D. Patofisiologi
Tidak terjadinya reaksi terhadap komponen tubuh sendiri merupakan
sebuah kondisi yang normal dari sitem imun. Hal ini merupakan ciri khas dari
mekanisme toleransi. Secara fisiologis normal, respon antibodi tubuh
terbentuk ketika terdapat antigen yang diproses oleh sel pembawa antigen
dihadapkan kepada sel limfosit T helper yang spesifik. Selanjutnya komponen
tersebut ditransfer dengan faktor pembantu yang dapat larut pada sel B
reaktif. Sel B bermultiplikasi dan mengalami maturasi. Sebagai hasilnya, sel
B reaktif mensekresikan antibodi/ imunoglobulin (Price dan Wilson, 2006).
Pada kondisi patologi, yaitu pada saat terjadinya penyakit autoimun,
kondisi fisiologis normal ini mengalami perubahan. Autoantibodi atau sel T
sitotoksik autoreaktif timbul akibat sel-sel imunokompeten mengalami mutasi

atau aktivasi sel yang telah ditekan tetapi tidak hilang sempurna. Antigen
sendiri tetap dianggap asing bagi jaringan limfoid yang matang. Apabila
terjadi invasi antigen yang pernah diketahui, maka akan menimbulkan respon
imun yang berupa kerusakan sekunder pada organ yang cedera atau struktur
yang berkaitan dengan antigen. Kemungkinan lain yang dapat terjadi yaitu
invasi oleh bakteri atau virus yang mengakibatkan perubahan pada komponen
jaringan sendiri sehingga berubah menjadi asing bagi sistem kekebalan.
Akibatnya, antibodi yang dihasilkan dari proses tersebut dapat memiliki
spesifitas yang cukup luas yang dapat bereaksi dengan sel jaringan asli atau
yang telah berubah, maupun sel tubuh lainnya. Sehingga dapat disimpulkan,
reaksi imun autoagresif dapat berasal dari klon sel-sel limfosit mutan
terlarang yang diprogram untuk mengenali komponen tubuh sendiri sebagai
benda asing dan juga dapat berasal dari invasi virus yang dapat merusak sel
limfosit T supresor (Price dan Wilson, 2006).
E. Manifestasi Oral
Menurut Greenwood, dkk., (2009), terdapat beberapa penyakit autoimun
yang menunjukkan manifestasi dalam rongga mulut, antara lain

a. Diabetes Melitus Tipe I


Pada penderita diabetes melitus tipe I dapat menunjukkan adanya
komplikasi oral berupa infeksi candida/ candidiasis, mulut kering, sialosis,
glossitis, dan periodontitis.
b. Scleroderma
Manifestasi oral yang dapat terlihat antara lain keterlibatan periartikular
dari TMJ dengan mikrostomia, penyempitan lubang mulut, penebalan,

kekakuan pada lidah, telingeactasia pada mulut, dan pelebaran ruang


membran periodontal tanpa mobilitas gigi.
c. Sjgren syndrome
Sjgren syndrome merupakan rangkaian dari tiga gejala, salah satunya
adalah mulut kering. Manifestasi oral lainnya dari sindrom ini yaitu
adanya peningkatan diet kariogenik karena terjadi gangguan dalam
merasa, gingivitis, kesulitan menelan, candidiasis, angular stomatitis,
parotitis, dan pembesaran dari kelenjar saliva.
d. Behets syndrome
Pada Behets syndrome manifestasi oral yang paling penting adalah
adanya oral ulceration. Manifestasi ini sekaligus menjadi penanda utama
dari sindrom ini.
F. Relevansi dengan Kedokteran Gigi
Menurut Sproat, dkk., (2006), relevansi dengan bidang kedokteran gigi
dari penyakit autoimun antara lain penyakit autoimun dapat dilihat pertama
kali melalui manifestasi dalam rongga mulut, misalnya oral ulcers pada
Behets syndrome. Selain itu, pemberian corticosteroid kepada penderita
penyakit autoimun memungkinkan terjadinya penundaan penyembuhan dan
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi lain.
Menurut Greenwood, dkk., (2009), beberapa penyakit autoimun dapat
ditemukan pada praktik kedokteran gigi. Penyakit-penyakit tersebut tentunya
memiliki manifestasi masing-masing, yang juga berkaitan dengan perawatan
serta pengobatan yang akan diberikan. Berikut beberapa contoh penyakit
autoimun beserta hal-hal penting dalam perawatannya pada kedokteran gigi

a. Penyakit autoimun thyroid/ hyperthyroidism

Risiko dalam anastesi dapat terjadi apabila penderita tidak terdiagnosis


dengan baik. Hal ini disebabkan karena carbimazole yang digunakan
dalam terapi hyperthyroidism dapat menyebabkan agranulositosis, juga
dapat memicu oropharyngeal ulceration.
b. Addisons disease
Pemberian anastesi dan perawatan gigi pada penderita krisis Addison,
dapat menyebabkan collapse, sakit pada perut, dan hipotensi.
c. Diabetes Melitus Tipe I
Pada penderita diabetes melitus tipe I risiko terjadinya periodontitis sangat
tinggi, apabila penderita tidak mengontrol kadar gula darah secara rutin.
Berkaitan dengan hal ini, perawatan gigi dan mulut yang akan diberikan
harus dilakukan secara hati-hati, untuk meminimalisir terjadinya luka
pasca perawatan. Luka yang terjadi dapat lama untuk disembuhkan.
d. Scleroderma
Pada penderita scleroderma, apabila akan diberikan anastesi umum
masalah yang dapat ditimbulkan meliputi dysphagia, penyakit paru-paru,
jantung, dan ginjal.
G. Referensi
Greenwood, M., Seymour, R. A., dan Meechan J. G., 2009, Textbook of
Human Disease in Dentistry, Wiley BlackWell, United
Kingdom.
Price, S. A., dan Wilson L. M., 2002, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, terjemahan oleh Brahm U. Pendit, 2006, EGC,
Jakarta.
Sproat, C., Burke, G., McGurk, M., 2006, Essential Human Disease for
Dentist, Elsevier, Philadelphia.

Underwood, J. C. E., 1996, Patologi Umum dan Sistemik Edisi 2, terjemahan


oleh Sarjadi, 1999, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai