Anda di halaman 1dari 12

ZAMAN PERUNDAGIAN

Kehidupan Manusia Purba Masa perundagian- Zaman


perundagian adalah zaman di mana manusia sudah mengenal pengolahan logam.
Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari bahan logam. Adanya
penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya penggunaan barang-barang dari
batu. Pada masa perundagian, manusia masih juga menggunakan barang-barang
yang berasal dari batu. Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas
sebagaimana halnya bahan dari batu. Persediaan logam sangat terbatas. Hanya
orang-orang tertentu yang memiliki barang-barang dari logam. Kemungkinan
hanya orang-orang yang mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan
persediaan tersebut memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan.
Adanya perdagangan tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada zaman
perundagian telah mengadakan hubungan dengan luar.
a. Sistem sosial-ekonomi Manusia Purba Masa perundagian
Masyarakat pada masa perundagian diperkirakan sudah mengenal
pembagian kerja. Hal ini dapat dilihat dari pengerjaan barang-barang dari logam.
Pengerjaan barang-barang dari logam membutuhkan suatu keahlian, tidak semua
orang dapat mengerjakan pekerjaan ini. Selain itu, ada orang-orang tertentu yang
memiliki benda-benda dari logam. Dengan demikian pada masa perundagian
sudah terjadi pelapisan sosial.Bahkan bukan hanya pembuat dan pemilik, tetapi
adanya pedagang yang memperjualbelikan logam.
Pada masa perundagian kehidupan sosialnya sudah mengenal sistem
kemasyarakatan yang sudah teratur. Masyarakat hidup diikat oleh norma-norma
dan nilai. Norma-norma dan nilai-nilai ini diciptakan oleh mereka sendiri,
disepakati dan dijadikan pegangan dalam menjalan kehidupannya. Sebagaimana
layaknya dalam suatu sistem kemasyarakatan, pada masa ini sudah ada pemimpin
dan ada masyarakat yang dipimpin. Struktur ini dikatakan ada kalau dilihat dari
penemuan alat-alat untuk penguburan. Kuburan-kuburan yang ada terdapat
kuburan yang diiringi dengan berbagai bekal bagi mayat.
Model kuburan ini diperkirakan hanya untuk para pemimpin. Sistem mata
pencaharian pada masa perundagian sudah mengalami kemajuan. Keterikatan
terhadap bahan-bahan makanan yang disediakan oleh alam mulai berkurang.
Mereka mampu mengolah sumber-sumber daya yang ada di alam untuk dijadikan
bahan makanan. Cara bertani berhuma sudah mulai berubah menjadi bertani
dengan bersawah. Ada perbedaan dalam cara bertani berhuma dengan bersawah.
Dalam bertani berhuma ada kebiasaan meninggalkan tempat olahannya, apabila
tanahnya sudah tidak subur, jadi hidup mereka pun tidak menetap secara
permanen. Sedangkan dalam bertani bersawah tidak lagi berpindah, mereka
tinggal secara permanen. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah pertanian sudah
menggunakan pupuk yang membantu kesuburan tanah. Dengan demikian
masyarakat tidak akan meninggalkan lahan garapannya. Bukti adanya kehidupan
bersawah yaitu dengan ditemukannya alat-alat pertanian dari logam, seperti bajak,
pisau, dan alat-alat yang lainnya.

b. Benda-benda yang dihasilkan Manusia Purba Masa perundagian
Benda-benda yang dihasilkan pada zaman perundagian mengalami
kemajuan dalam hal teknik pembuatan. Teknik pembuatan barang dari logam
yang utama adalah melebur, yang kemudian dicetak sesuai dengan bentuk yang
diinginkan. Ada dua teknik pencetakan logam yaitu bivolve dan a cire
perdue. Teknik bivolve dilakukan dengan cara menggunakan cetakan-cetakan
batu yang dapat dipergunakan berulang kali. Cetakan terdiri dari dua bagian
(kadang-kadang lebih, khususnya untuk benda-benda besar) diikat. Kedalam
rongga cetakan itu dituangkan perunggu cair. Kemudian cetakan itu dibuka
setelah logamnya mengering.
Teknik a cire perdue dikenal pula dengan istilah cetak lilin. Cara yang
dilakukan yaitu dengan membuat cetakan model benda dari lilin. Cetakan tersebut
kemudian dibungkus dengan tanah liat. Setelah itu tanah liat yang berisi lilin itu
dibakar. Lilin akan mencair dan keluar dari lubang yang telah dibuat. Maka
terjadilah benda tanah liat bakar yang berongga. Bentuk rongga itu sama dengan
bentuk lilin yang telah cair. Setelah cairan logam dingin, cetakan tanah liat
dipecah dan terlihatlah cairan logam yang telah membeku membentuk suatu
barang sesuai dengan rongga yang ada dalam tanah liat. Pada masa perundagian
dihasilkan benda-benda yang terbuat dari perunggu, yaitu sebagai berikut.
1) Bejana Manusia Purba Masa perundagian
Bentuk bejana perunggu seperti gitar Spanyol tetapi tanpa tangkainya.
Pola hiasan benda ini berupa pola hias anyaman dan huruf L.Bejana ditemukan di
daerah Madura dan Sumatera.

Bejana perunggu dari Madura
2) Nekara Manusia Purba Masa perundagian
Nekara ialah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di
bagian tengahnya dan sisi atapnya tertutup. Pada nekara terdapat pola hias yang
beraneka ragam. Pola hias yang dibuat yaitu pola binatang, geometrik, gambar
burung, gambar gajah, gambar ikan laut, gambar kijang, gambar harimau, dan
gambar manusia. Dengan hiasan yang demikian beragam, maka nekara memiliki
nilai seni yang cukup tinggi.

Nekara dari kepulauan Selayar

Moko dari Alor
Beberapa tempat ditemukannya nekara yaitu Bali, Sumatra, Sumbawa,
Roti, Leti, Selayar, Alor, dan Kepulauan Kei. Di Bali ditemukan nekara yang
bentuknya besar dan masyarakat di sana mempercayai bahwa benda itu jatuh dari
langit.Nekara tersebut disimpan di sebuah pura (kuil) di desa Intaran daerah
Pejeng. Puranya diberi nama Pura Panataran Sasih (bulan). Di Alor banyak
ditemukan nekara dengan bentuk kecil tapi memanjang. Nekara ini disebut moko.
Hiasan-hiasan yang ada pada nekara di Alor ini bergambar, bentuk hiasannya ada
yang merupakan hiasan jaman Majapahit. Hubungan antarwilayah di Indonesia
diperkirakan sudah terjadi pada masa perundagian dengan ditemukannya nekara.
Hal ini dapat dilihat dari Nekara yang berasal dari Selayar dan Kepulauan Kei
dihiasi gambar-gambar gajah, merak, dan harimau. Sedangkan binatang yang
tercantum pada nekara tersebut tidak ada di di daerah itu. Hal ini menunjukkan
bahwa nekara berasal dari daerah Indonesia bagian barat atau dari benua Asia.
Hal yang menarik lagi ditemukannya nekara di Sangean. Nekara yang ditemukan
di daerah ini bergambar orang menunggang kuda beserta pengiringnya yang
memakai pakaian orang Tartar. Dengan adanya gambar tersebut menunjukkan
terjadi hubungan bangsa Indonesia pada saat itu dengan Cina. Jadi, hubungan
antara Indonesia dengan Cina sudah ada sejak zaman perunggu. .
Periode perundagian dimulai pada zaman ketika manusia telah melakukan
pengolahan logam, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai,
dari kettledrum sebagai nama yang sering digunakan. Nama lokal di Indonesia,
seperti bulan (sasih) untuk menyebut nekara dari Pejeng
(Bali), tifaguntur (Maluku), makalamau (Sangeang), sarisatangi, bo so napi,
untuk menyebut nekara tipe Heger I. Untuk menyebut nekara tipe Pejeng di Pulau
Alor digunakan nama moko, di Pulau Pantar disebut kuang, dan di Kabupaten
Flores Timur dinamakan wulu. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara
adalah gendang perunggu berbentuk seperti dandang, berpinggang pada bagian
tengah dengan selaput suara berupa logam atau perunggu.

Nekara Bulan Pejeng, gianyar Bali
Di Jerman nekara disebut dengan nama pauke; Meyer dan Foy dan De Groot
menyebutnya bronze pauke. Kemudian Heger menyebutnya metalltrommen,
dalam bahasa Belanda menjadi ketletrom, dalam bahasa Denmark kedeltrommen,
dalam bahasa Prancis tambour metallique, dan dalam bahasa Inggris kettledrum.
Bahasa istilah tersebut pada umumnya memiliki arti yang sama, yaitu genderang.
Nekara secara proporsional dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian atas,
tengah dan bawah. Pertama, bagian atas dibagi menjadi bidang pukul dan bahu.
Istilah bidang-pukul diberikan pada bagian atas yang berarti tempat atau bagian
yang dipukul. Bagian bahu adalah bagian yang terletak tepat di bawah bagian
bagian pukul. Pegangan atau telinga terdapat antara bagian bahu dan tengah.
Kedua, bagian tengah atau sering juga disebut bagian pinggang. Ketiga, bagian
bawah atau juga sering disebut kaki adalah bagian bagian yang paling bawah
berongga tidak tertutup.
Pada nekara terdapat hiasan-hiasan yang pada umumnya terbagi dalam kelompok-
kelompok besar, kemudian terbagi lagi ke dalam kelompok kecil. Ada pun pola
hiasan yang ada dalam nekara antara lain adalah pola-pola geometris seperti: garis
sejajar horizontal; lingkaran tangent, berupa lingkaran kecil dengan garis miring
untuk menyambungkan dengan lingkaran berikutnya; meander berupa garis-garis
miring yang terkadang distilir sebegitu rupa sehingga sulit dikenali bentuk
aslinya.
Teknik pembuatan alat-alat perunggu pada zaman prasejarah terdiri dari 2
(dua) cara yaitu:
1. Teknik a cire perdue atau cetakan lilin. Caranya adalah membuat bentuk
benda yang dikehendaki dengan lilin, setelah model dari lilin terbentuk maka
cetakan ditutup dengan menggunakan tanah, dan dibuat lubang dari atas dan
bawah. Setelah itu cetakan dibakar, sehingga lilin yang terbungkus dengan tanah
akan mencair, dan keluar melalui lubang bagian bawah. Untuk selanjutnya
melalui lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu. Apabila sudah dingin,
cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang dikehendaki.-
2. Teknik bivalve atau setangkap. Caranya yaitu menggunakan cetakan yang
ditangkupkan dan dapat dibuka, sehingga setelah dingin cetakan tersebut dapat
dibuka, maka keluarlah benda yang dikehendaki. Cetakan tersebut terbuat dari
batu atau pun kayu.
Di Asia Tenggara logam mulai dikenal sejak 3.000-2.000 SM. Di Indonesia
penggunaan logam diketahui pada masa sebelum Masehi. Berdasarkan temuan-
temuan arkeologi, Indonesia mengenal alat-alat yang terbuat dari perunggu dan
besi, dan juga telah mengenal emas sebagai bahan perhiasan. Dengan dikenalnya
peralatan dari logam, maka secara berangsur-angsur peralatan yang terbuat dari
batu mulai ditinggalkan, setelah pengetahuan tentang peralatan dari logam dikenal
luas di masyarakat.
Nekara menjadi salah satu hasil dari kebudayaan zaman perundagian; yang
menjadi unsur penting pada zaman perundagian ini adalah peralatan yang terbuat
dari logam. Unsur terpenting dari artefak logam yang ditemukan di Indonesia
adalah nekara perunggu. Nekara berbentuk seperti dandang terbalik. Benda ini
dianggap sebagai drum sehingga disebut kettle drum, metal drum, kettle
gong, dan metal trommeln.
Nekara perunggu ditemukan di Indonesia ada dua tipe, yaitu tipe Pejeng dan tipe
Heger. Tipe Pejeng diambil dari tempat penemuannya nekara ini yang terbesar
dan pertama. Sedangkan tipe Heger diambil dari nama F. Heger yang
mengklasifikasikan nekara ini. Nekara tipe Pejeng dianggap berasal dari
Indonesia, sedangkan tipe Heger berasal dari luar Indonesia.

Nekara Bulan Pejeng,
di Pura Penataran Sasih, Pejeng, Bali.
Nekara tipe Pejeng sangat berbeda dengan nekara-nekara lain yang ditemukan di
Asia Tenggara, yang dikenal dengan nama Tipe Heger. Nekara Pejeng berbentuk
langsing bidang pukulnya menjorok keluar dari bagian bahunya. Bagian bahu
berbentuk silinder atau lurus yang sama bentuknya pada bagian kaki.
Nekara ini sangat besar dengan tingginya 190 cm dan garis tengah bidang pukul
160 cm. Bentuk yang lebih kecil nekara tipe ini ditemukan di Kabupaten Alor
yang oleh penduduk disebut moko, di Kabupaten Flores Timur disebut dengan
nama wulu, dan di Pulau Pantar kuang.
Tipe Nekara
a. Nekara Tipe Pejeng
Penemuan sebuah nekara perunggu berukuran besar pada tahun 1705 oleh
Rumphius di Desa Pejeng, Gianyar. Nekara ini oleh penduduk setempat disebut
Bulan Pejeng, dan dianggap sebagai roda bulan yang jatuh ke bumi. Selama
beberapa abad bahkan sampai sekarang di Bali termasuk daerah Pejeng,
masyarakatnya menganut agama Hindu-Buddhabahkan pada zaman dulu di sini
berdiri kerajaan Hindu-Buddha.
Sebagai pusat ajaran Hindu-Buddha, tidak heran kalau di daerah Bali kita akan
banyak menemukan kuil (pura). Di antara kuil ini adalah pura Panataran Sasih
yang diperkirakan merupakan tempat pemujaan pada masa perundagian. Sasih
atau Bulan adalah nama yang diberikan pada nekara yang ditemukan di daerah
Pejeng.

Nekara tipe Pejeng dengan pola hias baru yang meniru pola hias pada candi
dan pola hias bulan sabit, dari Pulau Alor, NTT

W.O.J. Nieuwenkamp mengatakan bahwa nekara ini berbeda dengan nekara
yangberasal dari Asia Tenggara, yang dikenal dengan tipe Heger. Nekara Pejeng
berbentuk langsing bidang pukulnya yang menjorok keluar dari bagian bahunya.
Bagian bahu berbentuk silinder atau lurus yang sama bentuknya pada bagian kaki.
Nekara tipe Pejeng banyak ditemukan di wilayah Indonesia, seperti Pulau Jawa,
Pulau Bali, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Frores Timur, dan
Kabupaten Alor. Penemuan-penemuan nekara tipe Pejeng nampaknya tersebar
dari wilayah Pulau Jawa sampai ke wilayah Indonesia bagian timur. Ditemukanya
persebaran nekara ini menandakan bahwa nekara perunggu dikenal di Nusantara
pada masa praaksara.
Nekara Tipe Heger

Nekara perunggu tipe Heger I dalam posisi terbalik sebagai wadah kubur.
Hasil ekskavasi dari Palawangan, Kabupaten Rembang, J awa Tengah.
Nekara tipe Heger ditemukan dari penggalian tidak sengaja atau penggalian secara
sistematis oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Informasi awal tentang
keberadaan nekara perunggu di Indonesia diberikan oleh G.E. Rumphius dalam
bukunya yang berjudul D Amboinsche Rariteitkamer. Dalam buku tersebut
dijelaskan tentang beberapa temuan artefak dan logam di Indonesia. Artefak
logam yang ditemukan antara lain berupa nekara perunggu yang ditemukan di
Kepulauan Maluku. Penemuan-penemuan nekara perunggu terus berlangsung,
bahkan sesudah perang dunia ke II nekara perunggu ditemukan di berbagai
tempat, yaitu Pulau Gorom, Papua, Alor, Lombok, Jawa, Sumatra dan
Kalimantan.

Nekara tipe Heger I dari Pulau Sangeang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Sebagian besar nekara yang ditemukan sebelum Perang Dunia II disimpan di
Museum Nasional Jakarta, atau di angkut ke Eropa untuk di simpan di beberapa
museum atau menjadi koleksi pribadi. Sedangkan nekara yang ditemukan setelah
Perang Dunia II disimpan di Museum Negeri Provinsi, Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala atau masih disimpan sebagai
pusaka di lokasi temuan.
Selain nekara tipe Pejeng yang tersebar di wilayah Indonesia, ternyata nekara tipe
Heger juga tersebar di wilayah-wilayah Indonesia seperti, Pulau Sumatra, Pulau
Jawa, Pulau Lombok, Pulau Songeang, Pulau Sumbawa, Pulau Rote, Pulau Alor,
Pulau Kalimantan, Pulau Selayar, Kepulauan Maluku, dan Papua.
Fungsi Nekara
a. Nekara Tipe Pejeng
Di Kabupaten Alor, nekara tipe Pejeng semula digunakan sebagai alat
pembayaran. Nekara diperlakukan sebagai mata uang sehingga banyak
pembayaran dilakukan dengan nekara, baik untuk membayar pajak, pembelian
hasil bumi, pembayaran hasil kerja, seperti pembuatan perahu. Maupun untuk
ditukarkan dengan lilin (lebah), madu, kain, dan burung. Nekara juga digunakan
untuk pembayaran denda, pajak atau upeti kepada raja (pemimpin). Pembayaran
denda dengan nekara yang dilakukan oleh tua adat.
Nekara ternyata masih mendapat penghormatan tinggi di masyarakat. Selain
masih digunakan sebagai maskawin dalam pernikahan oleh golongan masyarakat
tertentu, juga ternyata masih dihargai sebagai benda keramat. Seperti pada
penduduk pedalaman, mereka berjongkok di depan nekara yang diletakkan di
sebuah tempat (meja atau sesuatu yang ditinggikan) dan dengan penuh rasa
hormat memandang, mengusap, dan mencium pada saat berlangsung suatu
upacara.
Sebagai contoh, di wilayah Flores Timur nekara disimpan di para-para yang
terletak di bawah atap rumah. Nekara ini hanya diturunkan pada waktu upacara
tertentu dengan penuh kekhidmatan yang luar biasa. Nekara dianggap sebagai
tempat tinggal roh nenek moyang sehingga harus di hormati dan disimpan di
tempat rahasia.
Di Pulau Bali nekara ditempatkan di pura desa tempat nekara tersebut ditemukan,
seperti nekara Bulan Pejeng disimpan di Pura Panataran Sasih di Pejeng dan
disebut dengan nama Ratu Sasih atau Ratu Bulan. Di Bali kedudukan nekara
disejajarkan dengan dewa dan mendapatkan sebutan Batara walau pun dalam
tingkatan yang berbeda. Nekara hanya boleh dipegang, difoto, atau diturunkan
pada waktu upacara odalan pura tersebut (Poesponegoro, 2008: 356).
Kepercayaan terhadap nekara sebagai benda yang mengandung nilai magis
memang sudah mulai luntur seiring dengan masuknya ajaran agama Islam dan
Kristen. Namun kita bisa melihat hubungan magis ini pada masyarakat di Pulau
Adonara. Oleh penduduk di Pulau Adonara, nekara dianggap memiliki kekuatan
magis, maka nekara disimpan di tempat yang tinggi dan hanya boleh diturunkan
dengan upacara yang khidmat pada waktu panen raya. Nekara tidak boleh
disentuk oleh sembarang orang, karena jika hal itu dilakukan, pemilik atau
kampungnya akan mengalami bencana.
Anggapan yang sama muncul juga pada masyarakat Bali yang menunjukkan
dengan meletakkan nekara di dalam pura dan memberi sebutan Bhatara sehingga
tidak boleh disentuh tanpa adanya upacara. Nekara dianggap memunyai kekuatan
yang dapat melindungi warga desa tempat nekara itu disimpan.

b. Nekara Tipe Heger
Nekara yang ditemukan di pulau-pulau kecil Indonesia bagian timur dianggap
sebagai pusaka desa. Masyarakat memberikan sesaji berupa makanan dan bunga
di dekat nekara. Mereka juga menempatkan nekara di suatu tempat khusus, yang
bahkan mengakibatkan rusaknya nekara itu. Bagi penduduk Pulau Sangeang
nekara dipercaya dapat mendatangkan hujan dengan meletakkan nekara secara
terbalik, yaitu bidang pukul berada di bawah. Posisi seperti inilah yang selalu
didapati pada waktu nekara ditemukan dalam penggalian, baik oleh penduduk
maupun peneliti.
Mereka juga percaya bahwa dengan membacakan matra-mantra di dekat nekara
mereka dapat mencelakakan musuhnya dari jarak jauh. Di Paulau Luang nekara
sangat ditakuti dan dihormati. Nekara ini juga diletakkan di tempat yang khusus,
yaitu di bukit kecil, yang justru mengakibatkan kerusakan. Penduduk percaya
bahwa nekara mempunyai daya kekuatan sehingga jika dipukul akan
mengakibatkan kematian atau penyakit, kecuali bila disertai sajian kurban atau
babi.
Seperti apa yang diungkapkan di atas, nekara yang ditemukan di beberapa tempat
khususnya di daeah-daerah pedalaman, mereka memercayai adanya sebuah
kekuatan magis. Dengan adanya kekuatan tersebut maka mereka harus melakukan
ritual-ritual tertentu apabila ingin memegang, mengambil gambar dan lain-lain.
Apabila semua itu tidak dilakukan mereka percaya akan mengakibatkan bencana
terhadap masyarakat sekitar atau pada orang yang memilikinya.
Kepercayaan yang mereka lakukan ini secara tidak langsung sudah melestarikan
kebudayaan nenek moyang kita yang pada saat sekarang ini sudah mulai luntur
dengan masuknya pengaruh-pengaruh dari luar seperti islam dari Arab dan
Kristen dan Eropa. Akan tetapi pengaruh dari India yang membawa agama Hindu-
Buddha tidak begitu signifikan pengaruhnya, hal ini bisa dilihat di Bali.
3) Kapak corong Manusia Purba Masa perundagian
Kapak ini disebut kapak corong karena bagian atasnya berbentuk corong yang
sembirnya belah. Benda ini terbuat dari logam. Ke dalam corong itu dimasukkan
tangkai kayunya yang menyiku pada bidang kapak. Kapak tersebut disebut juga
kapak sepatu, karena hampir mirip dengan sepatu bentuknya. Ukuran kapak kecil
itu beragam, ada yang kecil dan sangat sederhana, besar memakai hiasan, pendek
besar, bulat, dan panjang sisinya. Ada kapak corong yang satu sisinya
disebut candrasa. Tempat ditemukannya kapak tersebut yaitu di Sumatra Selatan,
Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar, dan Irian dekat danau Sentani.

Berbagai macam kapak corong
Kapak yang beragam bentuknya tersebut, tidak semua digunakan sebagaimana
layaknya kegunaan kapak sebagai alat bantu yang fungsional. Selain itu, kapak
juga digunakan sebagai barang seni dan alat upacara, seperti candrasa. Di
Yogyakarta, ditemukan candrasa yang dekat tangkainya terdapat hiasan gambar
seekor burung terbang sambil memegang candrasa.

Candrasa panjangnya kira-kira satu meter

4) Perhiasan Manusia Purba Masa perundagian
Manusia pada perundagian sudah memiliki apresiasi yang cukup terhadap seni.
Hal ini dibuktikan ditemukannya berbagai hiasan. Hiasan yang ditemukan berupa
gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, dan bandul kalung. Bendabenda
tersebut ada yang diberi pola hias dan ada yang tidak. Benda yang diberi pola hias
seperti cincin atau gelang yang diberi pola hias geometrik. Ditemukan pula cicin
yang berfungsi bukan untuk perhiasan, tetapi sebagai alat tukar. Cincin yang
seperti ini ukurannya sangat kecil bahkan tidak bisa dimasukkan ke dalam jari
anak. Tempat-tempat ditemukannya benda-benda tersebut antara lain Bogor,
Malang, dan Bali.
Perhiasan-perhiasan lainnya yang ditemukan pada masa perundagian yaitu manik-
manik. Pada masa prasejarah manik-manik banyak digunakan untuk upacara,
bekal orang yang meninggal (disimpan dalam kuburan), dan alat tukar. Pada masa
perundagian, bentuk manik-manik mengalami perkembangan.
Pada zaman prasejarah lebih banyak terbuat dari batu, sedangkan pada masa ini
sudah dibuat dari kulit kerang, batu akik, kaca, dan tanah-tanah yang dibakar.
Manik-manik memiliki bentuk yang beragam, ada yang berbentuk silindris, bulat,
segi enam, oval, dan sebagainya. Di Indonesia beberapa daerah yang merupakan
tempat ditemukannya manik-manik antara lain Bogor, Sangiran, Pasemah,
Gilimanuk, dan Besuki.

Gelang dan cincin dari perunggu ditemukan di Pasemah,
Sumatera Selatan

Manik-manik
5) Perunggu Manusia Purba Masa perundagian
Pada masa perundagian dihasilkan pula arca-arca yang terbuat dari logam
perunggu. Dalam pembuatan arca ini dilakukan pula dengan menuangkan cairan
logam. Patung yang dibuat berbentuk beragam, ada yang berbentuk manusia dan
binatang. Posisi manusia dalam bentuk arca itu ada yang sedang menari, berdiri,
naik kuda dan sedang memegang panah. Arca binatang itu ada yang berupa arca
kerbau yang sedang berbaring, kuda sedang berdiri, dan kuda dengan pelana.
Tempat ditemukan arca-arca tersebut yaitu di Bangkinang (Provinsi Riau),
Lumajang, Palembang, dan Bogor.

Arca Perunggu dari Bangkinang, Riau Sumatera
c. Sistem kepercayaan Manusia Purba Masa perundagian
Pada masa perundagian memiliki sistem kepercayaan yang tidak jauh berbeda
dengan masa sebelumnya. Praktek kepercayaan yang mereka lakukan masih
berupa pemujaan terhadap leluhur. Hal yang membedakannya adalah alat yang
digunakan untuk praktek kepercayaan. Pada masa perundagian, benda-benda yang
digunakan untuk praktek kepercayaan biasanya terbuat dari bahan perunggu.
Sistem kepercayaan yang dilakukan oleh manusia pada zaman perundagian masih
memelihara hubungan dengan orang yang meninggal. Pada masa ini, praktek
penguburan menunjukkan stratifikasi sosial antara orang yang terpandang dengan
rakyat biasa. Kuburan orang-orang terpandang selalu dibekali dengan barang-
barang yang mewah dan upacara yang dilakukan dengan cara diarak oleh orang
banyak. Sebaliknya, apabila yang meninggal orang biasa, upacaranya sederhana
dan kuburan mereka tanpa dibekali dengan barang-barang mewah.
Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami perkembangan. Mereka
melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan tetapi berkaitan
dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan. Misalnya ada upacara
khusus yang dilakukan oleh masyarakat pantai khususnya para nelayan. Upacara
yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini, yaitu penyembahan kekuatan yang
dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa inilah yang mereka anggap
memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang di daerah pedalaman atau
pertanian ada upacara persembahan kepada kekuatan yang dianggap sebagai
pemberi berkah terhadap hasil pertanian.

Anda mungkin juga menyukai