Anda di halaman 1dari 143

Stilistetika Tahun II Volume 3, Nopember 2013

ISSN 2089-8460

i

Pengantar Redaksi

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni merupakan salah satu institusi
akademik yang berkonsentrasi pada ilmu pendidikan bahasa dan seni. Dinamika
ilmu pendidikan bahasa dan seni amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah
untuk menghimpun dan menyosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan bahasa
dan seni tersebut. Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika,
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya
melalui jurnal Stilistetika yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan mei dan
nopember. Apa yang ada di tangan pembaca budiman saat ini merupakan jurnal
Stilistetika Tahun II Volume 3, Nopember 2013.
Jurnal Stilistetika ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi ini selain
disebarkan secara internal dalam kampus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni,
juga didistribusikan pada komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal Stilistetika
kali ini memuat sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen,
mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, dan beberapa artikel ilmiah dari
dosen luar kampus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, yakni dua artikel dari
Politeknik Negeri Bali. Adanya sumbangan tulisan dari luar kampus Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas
akademik.
Semoga penerbitan jurnal Stilistetika ini menjadi wahana yang baik untuk
membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan
saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutya.


R e d a k s i





Stilistetika Tahun II Volume 3, Nopember 2013
ISSN 2089-8460

ii

Halaman
Pengantar Redaksi i
Daftar Isi ii

Analisis Kebutuhan Pengembangan Learning Center (LC) dengan
Model Pembelajaran Mandiri Bahasa Inggris Berbasis TOEFL untuk
Meningkatkan Nilai TOEFL Mahasiswa Politeknik Negeri Bali
I Made Rai Jaya Widanta, Luh Nyoman Chandra Handayani, I
Nyoman Rajin Aryana..........................................




1

Menjadi Mahasiswa yang Aktif, Efektif dan Kreatif dengan
Pembelajaran Mandiri: Strategi Meningkatkan Skor Toefl Mereka
I Made Ardana Putra, I Made Rai Jaya Widanta...................................


25

Esensi Sekar Alit sebagai Sarana Pembelajaran Budi Pekerti
I Nyoman Sadwika.........................................................................

37

Pemerolehan Bahasa Kedua dalam Lingkungan Keluarga pada Anak
Usia 3 Tahun
Putu Agus Permanamiarta.....................


54

Penggunaan Metode Membaca SQ3R untuk Meningkatkan
Keterampilan Menulis Kembali Isi Bacaan Siswa Kelas XC SMA
PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Kadek Deli...



71

Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game
Tournament (TGT) dalam Meningkatkan Penguasaan Anggah-
Ungguhing Basa Bali Pada Siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013
Dewa Ayu Wiwin Ida Apriyani...




80

Penerapan Metode Demonstrasi untuk Meningkatkan Kemampuan
Menembangkan Pupuh Maskumambang Siswa Kelas VII A SMPN 1
Kecamatan Kuta Utara Badung Tahun Pelajaran 2012/2013
I Ketut Suswanto .......



91

Prestasi Menggambar Ilustrasi Wajah Manusia pada Siswa Kelas XI
IPS SMA Taman Satsra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013
I Putu Gede Sumiata............................................


103

Penggunaan Strategi Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan
Keterampilan Menari Tari Legong Kuntul Siswa Kelas XI Seni Tari 2
SMK N 5 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Ni Wayan Candri Purniarsih...........



117
Stilistetika Tahun II Volume 3, Nopember 2013
ISSN 2089-8460

iii




Peningkatan Kemampuan Memahami Kosakata Bahasa Bali Ranah
Pertanian dengan Menggunakan Media Gambar pada Siswa Kelas IIIB
SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013
Ni Wayan Oktavitin Ruslita Dewi...........


128

Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

1

ANALISIS KEBUTUHAN PENGEMBANGAN LEARNI NG CENTER (LC)
DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI BAHASA INGGRIS
BERBASIS TOEFL UNTUK MENINGKATKAN NILAI TOEFL
MAHASISWA POLITEKNIK NEGERI BALI

Oleh
I Made Rai Jaya Widanta, Luh Nyoman Chandra Handayani,
I Nyoman Rajin Aryana
Politeknik Negeri Bali

rai_widanta@yahoo.com, Chandra_handayani@yahoo.com,
mister_nyoman@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kebutuhan pengembangan
learning center (LC) dengan model pembelajaran mandiri bahasa Inggris berbasis
TOEFL untuk meningkatkan nilai TOEFL mahasiswa. Penelitian ini dilakukan
dengan metode surve pada 5 (lima) perguruan tinggi di Bali. Subjek penelitian adalah
5 dekan atau ketua jurusan, 5 dosen, 90 orang mahasiswa, dan 5 SAP. Objek yang
dikaji adalah tanggapan dekan atau ketua jurusan dan dosen terhadap pengembangan
LC, kecenderungan model yang diterapkan dosen selama ini, intensitas dosen
menerapkan pembelajaran mandiri atau self-directed learning (SDL), karakter
mahasiswa, dan intensitas penggunaan model SDL dalam SAP. Data dikumpulkan
dengan teknik wawancara, angket, observasi, dan tes. Data dianalisis secara
deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) dekan dan/atau ketua jurusan belum
melakukan pembinaan tentang pengembangan model SDL khususnya LC, (2) para
dosen belum mengembangkan dan menggunakan model-model SDL khusnya dalam
pembelajaran matakuliah listening, grammar, dan reading, (3) kompetensi bahasa
Inggris mahasiswa yang diuji dengan TOEFL masih terkategori rendah, (4) masih
terdapat 41,89% mahasiswa yang memiliki karakter yang perlu ditingkatkan
kualifikasinya ke arah yang lebih baik, dan (5) hampir semua SAP (untuk mata kuliah
listening, grammar, dan reading) belum menggunakan model SDL khususnya LC.
Implikasinya, pengembangan LC dengan model DSL sangat strategis untuk
dilakukan.

Kata kunci: learning center (LC), model SDL, TOEFL
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

2

Abstract


The research was aimed at analyzing the needs on developing learning center
(LC) with self-directed model to learn TOEFL to improve students TOEFL score.
The research was undertaken with a survey on five higher institutions in Bali. The
research subjects were five deans and/or department heads, five lecturers, 90
students, and five syllabuses. The objects studied were response of deans and/or
department heads on development of LC, teaching models currently applied in those
institution, intensity of lecturers in applying SDL or especially LC model, students
character, and intensity of the model used in syllabuses. The data was collected with
various techniques, including interview, questionnaire, observation, and test. The
data was analyzed with descriptively. The result of analysis showed that (1) the deans
and/or department heads have not been carrying out upgrading on developing SDL
particularly LC model, (2) the lecturers have not been developing and utilizing the
models, particularly for some specific subjects as listening, grammar, and reading,
(3) the students English competence showed by their TOEFL score are still
considered insufficient, (4) there are still 41,89% students whose character
qualification shall be improved to be better, (5) almost all syllabuses (particularly
those of listening, grammar, and reading) have not been using SDL particularly LC
model. In conclusion, development of LC with SDL model is very strategic to develop.

Key words: learning center (LC), SDL model, TOEFL


Pendahuluan

Hampir seratus persen pembelajaran bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali
(PNB) selama ini dilaksanakan dengan berbantukan pengajar (teacher-assissted
learning). Konsep pembelajaran ini sudah membudaya disetiap pembelajaran bahasa
Inggris yang selalu diimplementasikan baik pada proses belajar mengajar (PBM) di
dalam kelas maupun di lab bahasa. Ada beberapa alasan dasar mengapa metode ini
diimplementasikan. Pertama, dosen dan mahasiswa merasa lebih nyaman dalam
proses PBM tersebut karena dilakukan secara interaktif. Kedua, dosen dan mahasiswa
sama-sama merasa nyaman karena metode tersebut mampu meminimalisasi tantangan
dan hambatan dalam PBM. Ketiga, dosen tidak terlalu dituntut untuk
mengembangkan materi ajar, model pembelajaran baru untuk meningkatkan kualitas
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

3

PBM mereka. Paradigma berfikir dengan kosep lama tersebut ternyata mendapat
tantangan yang cukup berat seiring dengan perubahan Kebijakan Pendidikan PNB,
yaitu lulusan harus memiliki kompetensi Bahasa Inggris yang memadai sesuai dengan
yang disyaratkan oleh para pengguna lulusan (stakeholder) di dunia kaerja.
Pembelajaran bahasa Inggris di PNB masih menitikberatkan pada penguasaan
kompetensi umum seperti yang digariskan dalam kurikulum saja. Sebagai keahlian
penunjang (supporting skill) pembelajaran bahasa Inggris bertujuan untuk membekali
mahasiswa dengan keahlian tambahan pada saat mencari kerja. Oleh karena itu
bahasa Inggris dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahasa Inggris umum atau general
English (GE) yang diajarkan pada semester awal, dan bahasa Inggris khusus atau
English for Specific Purposes (ESP) yang diajarkan setelah mahasiswa mendapatkan
cukup pengetahuan GE. ESP ini dirancang secara berbeda di satu jurusan dendan
jurusan lain sesuai dengan kompetensi yang difokuskan.
Konsep pembelajaran seperti itu mendapat tantangan berat setelah setiap
lembaga Politeknik Negeri di Indonesia mengeluarkan kebijakan baru tentang
kompetensi bahasa Inggris lulusannya. Pada tahun 2008 PNB mengeluarkan
Peraturan Pendidikan tentang kompetensi bahasa Inggris lulusan, yaitu bahwa calon
wisudawan PNB harus memiliki sertifikat yang menunjukkan kompetensi bahasa
Inggris yang memadai. Semenjak itu Proficiency Test of English (PTE) dipakai
sebagai alat uji kompetensi bahasa lulusan yang standar dan mensyaratkan calon
wisudawan untuk mendapatkan nilai minimal yaitu 450 sebagai passing grade. Spirit
peraturan ini betul-betul mensyaratkan agar lulusan PNB berkompeten dalam bahasa
Inggris yang sangat menunjang keberhasilan mereka dalam berkompetisi di dunia
kerja. Hal ini diupayakan untuk merespon tantangan dan permintaan para pengguna
lulusan (stakeholder) di dunia kerja. Setelah try out dengan PTE diselenggarakan
untuk mahasiswa semester 2, diperoleh bahwa rerata nilai PTE mahasiswa 291,64
(hasil tes PTE bulan Maret 2008). Rerata ini masih sangat jauh untuk mencapai
passing grade 450. PTE sempat diimplementasikan di PNB selama 3 tahun.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

4

Setelah mengadakan studi penelusuran ke berbagai perusahaan pengguna
lulusan, PNB mengubah alat uji kompetensi bahasa Inggris tersebut menjadi TOEFL
pada tahun 2010. Hal ini dilakukan karena hampir seluruh pengguna lulusan
mensyaratkan sertifikat TOEFL. Peraturan Pendidikan PNB yang mensyaratkan
bahwa calon wisudawan harus memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai
dengan sertifikat TOEFL ITP dengan nilai minimal 400 (sebagai passing grade)
memberikan tantangan yang lebih berat lagi kepada tim pengajar bahasa Inggris dan
mahasiswa. Selain tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan PTE,
pengerjaan TOEFL memerlukan setrategi khusus.
Sesuai dengan uji coba dengan dua puluh orang subjek penelitian empiris
yang dilakukan tanggal 31 Maret 2011, nilai rata-rata TOEFL mahasiswa masih
sangat rendah, yaitu 300 (Try out ITP TOEFL PNB tanggal 31 Maret 2011). Nilai ini
masih jauh dari kategori lulus. Kondisi ini sangat perlu mendapat penanganan serius
dari bidang akademik.
Ada dua kendala yang dihadapi oleh mahasiswa dan dosen pengajar bahasa
Inggris di PNB melihat kompetensi bahasa Inggris mahasiswa tersebut; (1)
pengajaran bahasa Inggris masih dilaksanakan sebatas untuk menuntaskan materi
yang tercakup dalam kurikulum, (2) kesempatan mahasiswa belajar bahasa Inggris di
kelas masih belum memadai, yaitu hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum.
Pengajaran bahasa Inggris yang masih berorientasi pada kurikulum sangat tidak
relevan dengan TOEFL secara langsung. Walaupun mahasiswa akan mampu
meningkatkan nilai TOEFL jika mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang
memadai, namun hal itu memerlukan waktu yang cukup lama. Jumlah jam pelajaran
bahasa Inggris juga masih kurang. Jumlah jam tersebut sangat sulit untuk ditambah
karena justru akan mengurangi porsi jam matakuliah inti (core subject) lainnya. Di
lain pihak, TOEFL merupakan suatu alat uji yang perlu dipelajari secara intensif.
Pengerjaan tes ini memerlukan suatu pemahaman tentang mekanisme, metode
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

5

menjawab setiap bagian tes (listening, structure, dan reading). Semakin sering
peserta tes berlatih mengerjakan tes tersebut, mereka akan semakin paham system,
teknik megerjakannya.
Salah satu cara yang ditempuh agar mahasiswa bisa melatih TOEFL secara
lebih intensif dan sekaligus mendukung aktifitas pembelajaraan bahasa Inggris di
kelas mereka adalah memfasilitasi mereka dengan sarana yang memadai. Mahasiswa
harus diberikan suatu fasilitas di mana mereka bisa melatih mengerjakan tes TOEFL
secara mandiri. Mereka harus mempunyai waktu yang lebih khusus, perasaan nyaman
dalam berlatih, serta tempat yang eksklusif agar usaha mereka tersebut memberikan
bermakna (meaningful) sehingga pembelajaran mandiri tersebut efektif. Kondisi ini
bisa dijawab dengan memfasilitasi mahasiswa dengan suatu pusat belajar atau
learning centre (LC). LC ini akan menyediakan mahasiswa suatu system
pembelajaran mandiri (self-directed learning) di mana mereka bisa mempelajari,
berlatih, mengakses TOEFL dengan bebas, nyaman, dan tidak terikat waktu.
Rancangan LC dengan model pembelajaran mandiri bahasa Inggris berorientasi
TOEFL seperti itu akan mampu membantu mahasiswa untuk meningkatkan nilai
TOEFL mereka.
Kondisi seperti itu juga sedang terjadi di beberapa perguruan tinggi lainnya di
Bali. Setelah mengadakan studi perbandingan ke beberapa institusi di luar PNB,
berhasil diungkap bahwa pembelajaran TOEFL masih diajrkan secara terintegrasi
denagn materi bahasa Inggris umum yang masih diatur oelh kurikulum. TOEFL
masih diselipkan di tengah-tengah para dosen mengajarkan bahasa Inggrris umum.
Hal ini sudah barang tentu tidak bisa membuahkan hasil secara maksimal.
Jika kita rangkum, banyak pendapat menyatakan pembelajaran sebagai suatu
usaha ke arah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2001:57) pembelajaran adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

6

pembelajaran. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa konsep-konsep pembelajaran
meliputi: 1) pembelajaran merupakan persiapan di masa depan, 2) tujuan
pembelajaran adalah penguasaan pengetahuan, 3) dalam pembelajaran, guru
dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa, 4) kegiatan pembelajaran hanya
berlangsung dalam kelas. Beberapa konsep tadi sedikit kontroversial dengan
kenyataan di lapangan bahwa pembelajaran bisa dilaksanakan di luar sekolah.
Pembelajaran bahasa Inggris bisa dilakukan di luar kelas, misalnya dengan praktek
berkomunikasi dengan orang lain. Mudyaharjo (dalam Tegeh 2005) menyatakan
bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang menyangkut hal-hal sebagai
berikut: 1) pembelajaran bertujuan membentuk manusia berbudaya, 2) pembelajaran
berarti suatu proses pewarisan, 3) siswa sebagai generasi muda ahli waris
kebudayaan. Pembelajaran bahasa Inggris di PNB sekarang ini masih berorientasi
pada pengembangan ketiga sasaran tadi, kognitif, afektif dan psikomotorik sesuai
yang digariskan oleh kurikulum. Tujuan pembelajaran tersebut menyaratkan pengajar
membuat suatu model tertentu agar efektif dan efisien untuk memenuhi tuntutan
tersebut, maka itu sebuah model pembelajaran sederhana diaplikasikan untuk
melangsungkan proses pembelajaran tersebut. Dalam pada itu, UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Selanjutnya, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional omor 41
Tahun 2007 mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan melalui pembelajaran
adalah sebagai proses pembudayaan dan perberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Kedua konsep yang diulas dalam UU dan Permen
tersebut pada dasarnya menyiratkan bahwa ada dua fungsi utama pendidikan di
Indonesia, yaitu (1) Pendidikan Nasional bertujuan untuk membangun karakter
bangsa, (2) pendidikan Nasional juga bertujuan untuk membangun penalaran peserta
didik.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

7

Untuk membangun dua tujuan besar pendidikan nasional tersebut
(pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik), diperlukan fasilitas yang mampu
memberikan keteladanan, membangun motivasi, dan mengembangkan potensi serta
kreatifitas peserta didik. Hal ini merupakan salah satu implementasi dari bergesernya
paradigma dari teaching menuju learning. Implikasinya, model-model pembelajaran
tidak tepat lagi jika menganut paham teacher-centered, namun harus bergeser
menjadi student-centered (Santyasa, 2012:101).
Namun, pembelajaran TOEFL di PNB kenyataannya belum bisa dikatakan
menganut paham student-centered. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor yang
diulas di depan tadi, di antaranya fasilitas pendukung belum memadai, model-model
pembelajaran belum dikembangkan untuk memfasilitasi konsep student-centered tadi,
motivasi dosen dan siswa masih kurang karena terbatasnya fasilitas pendukung.
Penelitian yang memakan waktu 3 (tiga) tahun ini pada hakekatnya dirancang untuk
menciptakan suatu learning center (LC) dengan model pembelajaran mandiri bahasa
Inggris berorientasi TOEFL. Namun demikian, hal ini memerlukan berbagai proses,
sehingga penelitian tiga tahun ini dilakukan secara bertahap, dari tahap analisis
kebutuhan, membuat model dan modul ajar, dan mengimplementasikan model
tersebut sehingga pada akhirnya terbentuklah model LC yang valid dan standar.
Seperti diulas tadi, permasalahan di tahun pertama (tahun 2013) yang
diupayakan pemecahannya adalaha sebagai berikut; (1) bagaimana tanggapan dekan
dan/atau ketua jurusan terhadap pengembangan model LC dengan model SDL, dan
upaya-upaya pembinaan yang telah dilakukannya?, (2) bagaimana tanggapan dosen-
dosen terhadap pentingnya pengembangan model ini?, (3) bagaimana karakter
mahasiswa di perguruan tinggi di Bali?, (4) bagaimana kompetensi bahasa Inggris
mahasiswa tersebut?, dan (5) bagaimana kosep pembelajaran ini dikembangkan
dalam SAP?.


Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

8

Metode
Penelitian Pengembangan Learning Center (LC) dengan Model
Pembelajaran Mandiri Berorientasi TOEFL untuk Meningkatkan Nilai TOEFL
mahasiswa Politeknik Negeri Bali ini meggunakan disain Research & Development
(R&D) sebagai teori utama dan dipadukan dengan teori pembelajaran Dick & Carey,
1990, dan lain-lain. Dick & Crey (1990) menyusun model perancangan pembelajaran
dengan menggunakan kerangka berpikir secara sistematis. Gustafson (dalam Plomp
& Ely, 1996) menjelaskan bahwa model ini merupakan salah satu model desain
pembelajaran yang memfokuskan pada sistem pembelajaran dan memberikan tekanan
pada pengembangan bahan pembelajaran.
Karena penelitian ini akan dilakukan selama tiga tahun, maka sasaran
penelitian di setiap tahunnya berbeda satu dengan yang lainnya. Tahapan dan sasaran
penelitian selama tiga tahun (tahun 2013-2015) dilukiskan pada gambar berikut.



























Tahun I (2013) Tahun II (2014) Tahun III (2015)
Analisis Kebutuhan:
Tahap surve dan
analisis mencakup
beberapa hal:
Tanggapan &
Pemahaman
dekan/ketua jurusan
tentang model LC
Tanggapan &
pemahaman dosen
tentang model LC
Keberadaan LC di
universitas di Bali
Kompetensi Dasar
mahasiswa di
perguruan tinggi di
Bali
Karakter mahasiswa
di perguruan tinggi di
Bali
Penerapan SCL di
perguruan tinggi

Luaran:
Laporan penelitian
Artikel ilmiah
Draf kasar model LC
Proses Pengembangan:
Pengembangan model LC
mencakup hal-hal berikut:
Pengembangan modul
tes TOEFL (listening,
structure, reading)
Pengembangan kaset
untuk listening.
Pembuatan kartu tanda
peserta LC
Pengembangan kartu
kredit untuk
pencatatan skor peserta
setiap kali
mengerjakan tes
Mendisain ruangan
dan perlengkapannya
Mendisain perangkat
listening

Luaran
Modul latihan TOEFL
Kaset untuk latihan
listening
Kartu peserta LC
Kartu kredit untuk
mencatat skor peserta
Rak buku tempat
menyimpan modul dan
perlengkapan lainnya
Tape player untuk
latihan listening
SOP pelaksanaan LC
Answer sheet & kunci
jawaban
Tahap Implementasi:
Tahap ini meliputi hal-
hal:
Mengundang siswa
untuk mengikuti LC
Memfasilitasi siswa
yang mengikuti LC
Memfasilitasi siswa
yang berkonsultasi
tentang materi LC
Mencek pekerjaan
siswa & menilai
Mencatat skor yang
diperolah siswa

Luaran:
Aktifnya mahasiswa
mengikuti LC
Peserta bisa
melakukan latihan
setiap saat
Adanya skor yang
didapat siswa.
Terfokusnya siswa
untuk melakukan
latihan TOEFL
Meningkatnya skor
TOEFL siswa





Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

9

Penelitian tahun I (tahun 2013) difokuskan pada analisis kebutuhan (needs
assessment). Tahap ini mencakup pengumpulan data tentang (1) keberadaan LC di
perguruan tinggi di Bali, (2) tanggapan Dekan/Ketua Jurusan tentang pengembangan
LC, (3) tanggapan dosen tentang pengembangan LC, (4) karakter mahasiswa, dan (5)
kompetensi dasar mahasiswa, (6) intensitas implementasi model tersebut dalam SAP
(6) publikasi ilmiah, dan (6) membuat draf kasar model LC.
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa, dosen, dan dekan atau ketua jurusan
di 5 perguruan tinggi di Bali. Pengambilan sampel penelitian ini ditetapkan dengan
teknik stratified random sampling. Pada tahun I (2013), sampel tempat penelitian,
jumlah mahasiswa, dekan atau ketua jurusan yang diambil di lima perguruan tinggi di
seluruh Bali, di antaranya Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Udayana,
Universitas Warmadewa, Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Mahasraswati, dan
Politeknik Negeri Bali. Pemilihan kelima perguruan tinggi ini adalah berdasarkan
ketersediaan jurusan bahasa Inggris di lembaga tersebut, baik di bawah program
pendidikan bahasa Inggris maupun program Sastra Inggris. Hal ini erat kaitannya
dengan ketersediaan atau implementasi TOEFL sebagai tes standar bahasa Inggris.
Namun dalam kenyataanya, sebagian besar perguruan tinggi tersebut belum
memberlakukan TOEFL sebagai persyaratan kelulusan seperti halnya di PNB.
Penentuan jumlah ini juga sudah diasumsikan dapat mewakili gambaran umum
tentang perguruan tinggi lainnya. Berikut adalah sampel responden dekan dan/atau
ketua jurusan, dan dosen.

No Nama Perguruan Tinggi Jumlah
Mahasiswa
Jumlah
Dosen
Jumlah
Dekan/Kajur
1 Universitas Pendidikan
Ganesha
20 1 1
2 Universitas Udayana 10 1 1
3 Universitas Warmadewa 20 1 1
4 Sekolah Tinggi Bahasa
Asing (STIBA) Saraswati
20 1 1
5 Politeknik Negeri Bali (PNB) 20 1 1
Jumlah 90 5 5
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

10

Jumlah mahasiswa yang dites kompetensi dasarnya dengan memakai TOEFL
juga ditentukan 20, angka tersebut merupakan jumlah rtandar mahasiswa di kelas-
kelas yang dites. Hanya saja, jumlah tersebut belum tercapai di kelas di Universitas
Udayana karena kebanyakan mahasiswa pada saat tes mengambil cuti sakit dan
kegiatan upacara agama. Sedangkan untuk menggali pemahaman dan pendapat
pimpinan perguruan tinggi tentang pengembangan model LC ini, peneliti
mewawancarai satu orang dekan atau ketua jurusan di masing-masing lembaga.
Pemilihan dekan atau ketua jurusan ini dianggap cukup mewakili seorang rector
untuk memberikan informasi-informasi yang diperlukan untuk penelitian ini.
Pemilihan satu orang dosen yang mengajar di mahasiswa yang dites juga sangat
cukup representatif.
Objek kajian penelitian yang dilakukan sekarang atau di tahun I (2013) adalah
(1) pemahaman dan pandangan dosen tentang LC, (2) pemahaman dan pandangan
dekan atau ketua jurusan tentang LC, (3) karakter mahasiswa, (4) kompetensi dasar
mahasiswa, dan (5) deskripsi hasil pengamatan terhadap SAP dan LKM.
Instrumen yang digunakan menggali data adalah pedoman wawancara untuk
dekan dan/atau ketua jurusan, angket untuk dosen, tes TOEFL untuk menggali
kompetensi mahasiswa, angket untuk meneliti karakter mahasiswa. Data dianalisis
secara kualitatif, dan hasil analisis direpresentasikan dengan metode deskriptif
kualitatif.

Hasil
Hasil pengukuran kompetensi dasar mahasiswa di 5 (lima) universitas
menunjukkan suatu kondisi dimana mahasiswa tersebut memiliki kemampuan bahasa
Inggris yang cukup bervariasi. Secara umum kemampuan bahasa Inggris mahasiswa
di kelima perguruan tinggi tersebut tergolong dalam level intermediate. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai rata-rata mahasiswa yaitu 394,11. Namun nilai ini merupakan
akumulasi dari 90 orang mahasiswa yang berasal dari lima perguruan tinggi. Intinya,
tidak bisa diketahui kemampuan mahasiswa perguruan tinggi mana yang paling tinggi
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

11

dan yang paling rendah. Dari Sembilan puluh mahasiswa yang dites 32 orang
mahasiswa yang mendapatkan nilai minimal 400 ( 400). Sisanya, 58 orang
mendapat nilai di bawah 400 ( 400). Nilai tertinggi mahasiswa tersebut adalah 493
dan nilai terendah mahasiswa adalah 327.
Sebagai gambaran umum, penentuan standar nilai TOEFL oleh sangat
bervariasi bergantung pada keperluannya dan lembaga pemakainnya. Di Politeknik
Negeri Bali (PNB), dimana program LC berbasis TOEFL akan dikembangkan,
memberlakukan TOEFL sebagai persyaratan kelulusan mahasiswa. Sesuai dengan
peraturan pendidikan di PNB, mahasiswa harus mendapatkan nilai TOEFL 400
sebelum mereka bisa diwisuda. Nilai ini merupakan nilai terendah yang setiap siswa
harus dapatkan. Ini tidak menuntut kemungkinan bahwa passing grade akan selalu
ditingkatkan menjadi yang lebih tinggi di masa mendatang. Hal ini juga terkait
dengan permintaan para stakeholder yang menyediakan lowongan kerja untuk para
calon alumni PNB yang selalu menyaratkan nilai TOEFL 450.
Dari akumulasi sepuluh karakter yang diulas di depan, dapat ditarik simpulan
bahwa sebanyak 46,31% mahasiswa berpeluang memiliki karakter sangat baik,
15,67% mahasiswa berpeluang memiliki karakter baik, 7,66% mahasiswa berpeluang
memiliki karakter cukup baik, 10,69% mahasiswa berpeluang meiliki karakter kurang
baik, 7,87% mahasiswa berpeluang memiliki karakter tidak baik, dan tidak ada (0%)
mahasiswa yang berpeluang memiliki karakter sangat tidak baik. Jumlah mahasiswa
yang karakternya harus dikembangkan ke arah yang lebih baik adalah 41,89%.
Dari hasil surve tentang tanggapan para dosen tentang pengembangan model
SCL dengan menggunakan angket, dapat diperoleh hal-hal sebagai berikut. Para
dosen di lembaga yang diwawancarai sangat setuju (100%) jika adanya suatu model
pembelajaran yang disepakati untuk diimplementasikan. Hal ini dimaksudkan agar
mahasiswa memiliki prosedur yang jelas dalam mencapai tujuan pembelajaran
tersebut. Model pembelajaran juga disetujui (20%) untuk dibuat agar dosen lebih
mudah mengkondisikan siswa untuk belajar lebih giat. Dari kedua prioritas tersebut,
alasan pertama jelas menganut prinsip berpusat pada siswa (student-centered) dan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

12

yang kedua menganut sisten teacher-centered. Ada beberapa alasan mengapa para
dosen tersebut menyetujui proposisi ini, karena beberapa hal di antarnya: tanpa model
pembelajaran akan menjadi mati, dengan model pembelajaran mahasiswa dapat
menerima materi pembelajaran dengan lebih mudah, dan mempermudah dosen untuk
melaksanakan pembelajaran. Ada beberapa model yang cenderung
diimplementasikan di lembaga tersebut. Model pembelajaran yang paling mendapat
prioritas adalah model ceramah diikuti dengan tanyajawab (80%). Model ini
nampaknya menjadi ikon dalam pembelajaran di perguruan tinggi non vokasi. Hal ini
selaras dengan sistem, misi, dan target atau luaran yang ingin dicapai oleh lembaga
bersangkutan. Model yang menjadi prioritas kedua adalah model penugasan kepada
mahasiswa untuk melakukan eksperiment berdasarkan contoh dari dosen (60%).
Model prioritas ketiga (40%) tampak bervariasi dari setiap lembaga, di antaranya
model ceramah klasikal, model pemberian tugas rumah, dan model demonstrasi oleh
dosen. Pilihan terakhir yang memiliki prioritas paling rendah adalah model pemberian
informasi dari dosen kepada mahasiswa (20%). Sedangkan model lainnya, seperti
simulasi computer dari dosen kepada maahsiswa, dan yang lainnya merupakan model
yang tidak pernah diimplementasikan oleh dosen. Ada beberapa alasan mengapa para
dosen memilih model-model pembelajaran tersebut, di antaranya sebagai berikut;
untuk memunculkan keaktifan siswa, sesuai dengan kebutuhan siswa dan dapat
dikondisikan sesuai dengan kelas, mahasiswa dapat mengingat, mengetahui, dan
mengalami materi-materi pembelajaran secara langsung. Pendapat dosen tersebut
tentang pengembangan model-model pembelajaran inovatif juga bervariasi. Mereka
pada paling setuju dengan adanya pembelajaran inovatif agar beban dosen tidak
bertambah berat (80%). Selain itu mereka juga setuju dengan adanya pembelajaran
inovatif demi beban dosen menjadi lebih mudah (20%). Dengan kata lain, tidak ada
dosen yang tidak setuju jika diterapkannya model-model pembelajaran inovatif. Ada
beberapa alasan mengapa mereka setuju dengan implementasi model tersebut, di
antaranya: akan membuat suasana PBM lebih komunikatif dan menyenagkan,
menghindari ketidakterikatan dosen yang akan menyebabkan hasil usaha manusia sia-
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

13

sia, dosen terbantu untuk melaksanakan pembelajaran dengan lebih mudah. Namun
demikian, dosen diharapkan agar dosen berkomitmen untuk mempersiapkan materi-
materi inovatif.
Pandangan dan pendapat dosen tentang model pembelajaran SCL juga
beragam. 20% dosen mengatakan bahwa SCL tidak baik diterapkan untuk budaya di
Indonesia. Di lain pihak 40% dosen mengatakan bahwa model SCL dapat diterapkan
apabila di sekolah sudah tersedia fasilitas belajar yang lengkap. 40% dosen juga
mengatakan bahwa SCL dapat diterapkan di fakultas jika ada komitmen dosen untuk
bekerja keras. Mereka tidak setuju jika penerapan model ini hanya untuk sekolah
yang berorentasi pada profit saja dan untuk menyiapkan siswa sebelum mengikuti tes
saja. Dasar pemikiran para dosen tersebut adalah bahwa model ini susah diterapkan di
jurusan yang memerlukan bahasa Inggris sebagai matakuliah pendudkung, mahasiswa
susah untuk menjadi aktif dan hanya menunggu penjelasan dulu. Dalam hal ini
komitemen pengajar merupakan kunci keberhasilan implementasi mode tersebut di
samping dukungan fasilitas-fasilitas yang memadai. Ada beberapa model
pembelajaran yang selama ini telah diterapkan oleh institusi tersebut di antaranya
pembelajaran kooperatif (40%), model student-team achievement division (STAD),
model pembelajaran investigasi (40%), model pembelajaran berbasis masalah (20%),
model pembelajaran learning center (20%), serta ada model ceramah (20%).
Sebaliknya ada beberapa model pembelajaran yang tidak lazim untuk diterapkan di
lembaga tersebut, di antaranya model pembelajaran perubahan konseptual, model
pembelajaran berbasis proyek, model pembelajaran berbasis hakikat keilmuan (nature
of science atau NOS), model pembelajaran berbasis lingkungan, dan model
pembelajaran regulasi diri (self-regulated learning atau SRL). Dan alasan-alasan pare
dosen memilih untuk menerapkan model-model tersebut dapat dirangkum sebagai
berikut: karena cocok diterapkan (sebagai contoh model klasikal cocok untuk kelas
besar), mahasiswa dapat termotivasi karena diajak ikut bersama dengan dosen untuk
memahami materi. Dari model yang diterapkan tersebut, satu model yang selama ini
sudah secara tidak langsung diterapkan yaitu STAD.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

14

Setelah dipaparkannya konsep SCL ada beberapa proposisi tentang segi
kebaikan model SCL. Keunggulan pertama (80%) adalah SCL dapat memfasilitasi
mahasiswa untuk membangun kerjasama yang intensif. Dua keunggulan kedua (60%)
dari penerapan model ini adalah dapat mendidik mahasiswa untuk bertanggungjawab
dalam kehidupannya dan dapat mendidik mahasiswa untuk memiliki sikap
keterbukaan dalam berfikir, berkata dan bertindak. Sedangkan keunggulan lain yang
sama-sama mendapatkan persentase yang sama (40%) adalah: dapat mendidik siswa
menjadi demokratis, dapat mendidik mahasiswa untuk berperilaku jujur dalam
mengambil keputusan, dapat mendidik siswa untuk mengakui kekurangan pada
dirinya dalam segala hal, sebagai ajang mendidik mahasiswa untuk mengakui
kelebihan orang lain, dan untuk mendidik mahasiswa agar tidak bergantung pada
orang lain. Opini dosen tersebut juga didasari beberapa alasan yang tidak digradasi
sesuai dengan urgensinya namun hanya diinventarisasi semata-mata. Alasan tersebut
pada dasarnya mirip dan saling terintegrasi dengan poin pertanayaan lainnya. Alasan
tersebut di anatarnya sebagai berikut: mahasiswa harus bisa mandiri, dosen akan
dengan mudah mengetahui kemampuan siswa, siswa akan melakukan PBM sendiri
dengan bantuan orang lain atau teman. Selain keunggulan model SCL, ada beberapa
kelemahan yang dirumuskan oleh responden tersebut yang digradasi dari persentasi
yang tinggi ke yang terendah. Memerlukan fasilitas yang lengkap merupakan
kelemahan SCL tertinggi (60%), diikuti oleh dua alasan yang lebih lemah (40%)
yaitu waktu yang dibutuhkan tidak sesuai dengan yang dialokasikan dalam
kurikulum, dan memerlukan kompetensi yang tinggi bagi dosen mencakup
kompetensi pedagogis, professional, sosial dan personal. Satu alasan pada angket
yang tidak dipilih oleh para responden (0%) yaitu SCL sulit dilaksanakan dalam
praktek. Hal ini berarti bahwa model SCL bukan merupakan hal yang tidak mungkin
untuk diimplementasikan. Alasan atau saran yang diajukan oleh responden tersebut
adalah perlu disediakannya fasilitas pendukung, dosen akan termotivasi untuk
menggali untuk bisa mengikuti perkembangan siswa, siswa sering memerlukan waktu
yang jauh lebih panjang dibandingkan dosen untuk menyimpulkan. Tanggapan dosen
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

15

terhadap pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau di tingkat
perguruan tinggi lebih dikenal dengan istilah Satuan Acara Pembelajaran (SAP) juga
mengarah kepada hal yang positif untuk pengembangan model LC ini. Dari tanggapa
tersebut, paling banyak dosen (80%) menyatakan bahwa SAP harus dibuat dengan
mengutamakan pemberdayaan potensi siswa.
Hasil pengamatan terhadap kecendereungan SAP menerapkan model-model
pembelajaran, ditemukan bahwa model pembelajaran berkualifikasi LC baik sangat
bervariasi dari total dilakukan, sering dilakukan, kadang-kadang dilakukan, jarang
dilakukan dan tidak pernah dilakukan. Dari hasil tersebut, penggunaan metode
diskusi paling total dimuat dalam SAP (100%), kemudian diikuti oleh penggunaan
metode eksperimen (40%), dan pendekatan berbasi skil (listening, reading, dan
grammar) masih jarang dilakukan sehingga menduduki posisi (10%). Sedangkan dua
metode yang tidak pernah digunakan adalah pendekatan outdoor learning dan
pembelajaran berbasis perpustakaan (0%). Kualifikasi LC sangat baik juga bervariasi.
Penggunaan pendekatan berbasis lab bahasa menduduki posisi 60% sedangkan
metode yang mengutamakan independensi mahasiswa belum pernah dilakukan (0%).
Kualifikasi LC cukup malahan berkategori selalu digunakan (100%), yaitu
penggunaan metode demonstrasi dan model ceramah. Dan kualifikasi LC tidak baik,
yaitu dengan menggunakan model dan teknik yang tidak jelas belum pernah
digunakan (0%). Sebagi tambahannya, ada dua model tambahan yang digunakan
dalam 20% SAP yang dikaji, yaitu metode presentasi dan model kerja berpasngan
dalm praktek bahasa Inggris.
Kompetensi siswa yang ingin dikembangkan lewat SAP dengan kualifikasi
LC sangat baik berkisar antara posisi 20% hingga 40%. Kompetensi mahasiswa pada
penalaran dan mengatur waktu dan bekerja sendiri dan bertanggungjawab menduduki
posisi 40% atau lebih sering digunakan dari pada berfikir kritis dan menggunakan
tantangan sebagai stimulus untuk pengembangan diri yang hanya digunakan kadang-
kadang (20%). Kompetensi mahasiswa dengan kualifikasi LC baik ditemukan di
paling banyak SAP, misalnya kompetensi memahami konsep, menghafal konsep, dan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

16

berfikir kritis tentang bahasa Inggris ditemukan di SAP yang dikaji dengan persentase
yang bervariasi berturut-turut 100%, 80%, dan 80%. Kompetensi ini dianggap
merupakan kompetensi yang dominan yang dikembangkan selama ini. Tidak bebeda
dari kompertensi tadi, kompetensi mahasiswa dalam SAP dengan kualifikasi LC
cukup juga mendapat posisi yang sama. Hanya saja ada dua kompetensi yang
mendapatkan kualifikasi cukup, yaitu sikap ilmiah dalam mengerjakan bahasa Inggris
(100%) dan keterbukaan dalam memahami dan mengerjakan bahasa Inggris (80%).
Sedangkan kompetensi dengan kualifikasi LC tidak baik, yaitu untuk menjadi
kebergantungan pada orang lain juga ditemukan kurang lebih di 40% SAP yang telah
dikaji. Selain hal itu juga ditemukan kompetensi lain di 20% SAP yaitu kompetensi
untuk menyimpulkan dan menceritakan kembali dengan bahasa sendiri, dan
mengarahkan fokus perhatian mahasiswa kepada topik pembicaraan.
LKM bahasa Inggris yang digunakan sebagai perangkat pembelajaran dengan
kualifikasi LC sangat baik adalah menggunakan metode kerja perorangan. Metode ini
dimuat di sekitar 80% SAP dan menggunakan pendekatan yang memicu rasa ingin
tahu mahasiswa untuk lebih bereksplorasi yang sementara hanya dapat dijumpai pada
40% LKM. Hal ini menandakan LKM tersebut sudah sesaui dengan konsep LC.
Sedangkan LKM dengan kualifikasi LC baik dimuat di semua SAP. Metode-metode
yang digunakan adalah metode diskusi, metode kerja kelompok, dan mengacu pada
materi yang diuraikan pada SAP. Sedangkan LKM yang digunakan sebagfai
perangkat pembelajaran dengan kualifikasi LC cukup terdapat pada 80% SAP yaitu
menggunakan metode Tanya jawab, dan pada 20% SAP yaitu menggunkan
pendekatan outdoor learning. Hanya ada satu pendekatan LKM dengan kualifikasi
LC tidak baik yang ditemukan pada 20% SAP yaitu pendekatan, model, metode dan
model pembelajaran yang digunakan tidak jelas. Sedangkan dilihat dari kompetensi
mahasiswa yang dikembangkan, ada tiga kompetensi yang dikembangkan yang
menurut kualifikasi LC sangat baik, yaitu kompetensin sosial dan mandiri, untuk
menjadi lebih berinisiatif, dan untuk bekerja sendiri dan bertanggungjawab. Ketiga
kompetensi tersebut dapat ditemukan berturut-turut pada 60%, 40%, dan 40% LKM.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

17

Pengembangan kompetensi siswa dengan kualifikasi LC baik adalah memahami
konsep (ditemukan pada setiap LKM/ 100%), penalaran serta mengatur waktu (pada
80% LKM), berfikir kritis dan menggunakan tantangan sebagai stimulus untuk
pengembangan diri (pada 40% LKM), dan berfikir kritis tentang bahasa Inggris (pada
30% LKM). Kompetensi dengan kualifikasi LC cukup adalah menghafal (pada 100%
LKM), keterbukaan dalam memahami dan mengerjakan bahasa Inggris (pada 80%
LKM), dan sikap ilmiah dalam mengerjakan bahasa Inggris (pada 40% LKM). Tidak
ada kompetensi mahasiswa dengan kualifikasi LC tidak baik dibahas.
Ditinjau dari segi penilaian dan evaluasi sebagai perangkat pembelajaran,
butir dengan kualifikasi LC baik adalah diasiapkan untuk mengevaluasi hasil belajar
yang dijumpai pada semua SAP (100%), dilengkapi dengan pedoman pengamatan
kinerja siswa yang dijumpai pada semua SAP (100%), serta dilengkapi dengan rubric
penilaian yang ditemukan pada 60% SAP yang dikaji. Ada dua butir proposisi yang
berkualifikasi LC cukup, yaitu ada tes tulis pilihan ganda yang ditemukan pada 80%
SAP dan ada tes esai yang ditemukan pada 80% SAP. Sedangkan dilihat dari
kualifikasi LC tidak baik, ada tiga pernyataan yang memiliki persentase
keterkandungan berbeda dalam SAP, di antaranya disiapkan untuk mengevaluasi
proses pembelajaran dapat ditemukan pada 40% SAP, dan tidak ada evaluasi proses
dan tidak ada rubrik, serta tidak ada tes yang dapat ditemukan di SAP manapun (0%).

Pembahasan
Bertolak dari UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 menyatakan
bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab (Santyasa, 2012:85). Dari konsep tersebut
dapat disarikan bahwa pendidikan di Indonesia bertujuan untuk dua hal; (1)
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

18

membangun karakter bangsa, yaitu membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, menjadikan manusai Indonesai yang beriman, demokratis dan
bertanggungjawab; (2) membangun penalaran peserta didik, yaitu mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan
mandiri.
Dari pemantauan terhadap kompetesi dasar mahasiswa secara umum,
mahasiswa di Bali
termasuk belum berkompeten dalam bidang bahasa Inggris, khususnya TOEFL.
Dengan memakai parameter kelulusan di Politeknik Negeri Bali (PNB), hanya 32
mahasiswa yang terkategori lulus (dengan nilai di atas 400) sedangkan 58 dari
mereka belum dianggap berkompeten dengan nilai di bawah 400.
Jika perhatian dikerucutkan ke kondisi kompetensi mahasiswa PNB, hanya 2
orang dari 20 mahasiswa yang dites mendapatkan nilai di atas 400. Sedangkan 18
orang sisanya masih dianggap belum berkompeten. Hal ini berarti bahwa hanya 10%
mahasiswa yang lulus dan 90% sisanya tidak dinyatakan lulus. Dan, secara umum,
hanya 31,5% mahasiswa di Bali yang dianggap berkompeten dan 68,5% dianggap
belum berkompeten.
Hal ini sudah barang tentu disebabkan oleh beberapa hal, seperti metode
pembelajaran, kesempatan belajar TOEFL, sistem monitoring dan evaluiasi proses
PBM tersebut, serta ketersediaan sarana dan prasarana lainnya. Oleh karena itu,
pengembangan LC berbasis TOEFL dengan model pembelajaran mandiri sangat
relevan untuk memecahkan masalah tersebut.
Berkaitan dengan karakter mahasiswa, ada 10 (sepuluh) pilar karakter
mahasiswa yang ditelusuri dalam penelitian ini. Dari sepuluh karakter tersebut,
karakter kepemimpinan dan keadilan merupakan karekter yang dimiliki oleh paling
banyak mahasiswa dengan kategori sangat baik (83,30%), menyusul karakter
hormat dan santun dengan persentase 73,30%. Tiga karakter terpopuler pada
mahasiswa terakhir dengan persentase 71,05% adalah toleransi dan kedamaian.
Sedangkan karakter yang paling sulit dimiliki mahasiswa dengan kateori sangat baik
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

19

adalah berturut-turut kejujuran dan keramahan (7,70%), dermawan, suka
menolong dan gotong royong (11,65%), dan kemandirian dan tanggungjawab
(35,50%). Karakter kurang baik yang masih tinggi pesentase pemilikannya oleh
mahasiswa di Bali adalah berturut-turut Cinta Tuhan dan ciptaanya, kemanditrian
dan tanggungjawab, hormat dan santun masing-masing 16,10%, 15,50%, dan 12,
20%.
Dari akumulasi sepuluh karakter yang diulas di depan, dapat ditarik simpulan
bahwa sebanyak 46,31% mahasiswa berpeluang memiliki karakter sangat baik,dan
sisanya 41,89% berpeluang memiliki karakter baik, cukup baik, kurang baik, dan
tidak baik. Pemilikan karakter seperti itu seyogyanya dapat diperbaiki kearah yang
lebih baik. Hal ini sudah barang tntu harus didukung oleh usaha pemerintah melalui
pemantapan pendidikan karakter di semua tingkat pendidikan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan dalam membangun karakter siswa kea rah yang lebih baik adalah
dengan menerapkan model pembelajaran yang perkompeten.
Respon dekan atau ketua jurusan sebagai salah seorang pejabat pemegang
kebijakan di tingkat fakultas juga membenarkan bahwa pembelajaran yang berfokus
pada kebutuhan mahasiswa belum banyak diaplikasikan di tingkat universitas. Hal ini
disebabkan karena faham yang cukup lama dianut para pendidik di level pendidikan
ini yaitu member kuliah (lecturing). Oleh karena itu, paradigm teacher centered
learning masih sangat kuat melekat dipikiran para dosen. Namun demikian, konsep
ini sudah bisa ditinggalkan karena efektifitas model tersebut dirasakan kurang
optimal untuk diterapkan di era sekarang. Secara langsung konsep pembelajaran
mandiri (SCL) juga harus mulai ditanamkan dibenak mahasiswa. Pembelajaran
mandiri akan memberi peluang yang sangat maksimal kepada mahasiswa untuk
berproses secara natural. Proses yang sangat ketat dan luar biasa tersebut akan
memberikan dampak positif kepada mahasiswa tersebut. Mengekplorasi sesuatu
secara mandiri hingga menuai hasil yang gemilang merupakan konsep pembelajaran
bermakna yang sangat diharapkan terjadi pada mahasiswa tersebut. Proses tersebut
sebetulnya yang menjadi pembelajaran karakter bagi mereka karena mereka selalu
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

20

melatih hampir kesepuluh pilar karakter bangsa yang digariskan oleh pemerintah
lewat departemen pendidikan nasional (Suyanto, 2010).
Keberadaan SAP dan LKM juga sangat berkontribusi terhadap kesuksesan
pembelajaran tersebut. Hasil surve dan kajian menunjukkan bahwa SAP dan LKM
belum sepenuhnya menganut model SCL terutama model pembelajaran mandiri
berorientasi LC. Dari SAP dan LKM yang diriview dari lima perguruan tinggi di
Bali, hanya beberapa SAP dan LKM yang akan diarahkan untuk bisa menerapkan
pembelajaran mandiri dengan LC. Di samping itu, perangkat penunjang pembelajaran
seperti lab bahasa juga masih menggunakan sisntem pembelajaran lama yaitu
klasikal. Mahasiswa dituntuk oleh dosen untuk belajar bersama dalam satu ruangan
dengan keseragaman waktu mulai, materi ajar, materi latihan, dan sebgainya sehingga
mereka tidak mampu mengembangkan kreatifitas mereka. Dengan adanya
pengembangan model pembelajaran mandiri di LC, SAP dan LKM seyogyanya
dikondisikan sehingga bisa mengakomodasikan dan mengimplementasikan konsep
SCL tersebut

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab
di depan, diajukan simpulan-simpulan penelitian sebagai berikut.
Pertama, para dekan atau ketua jurusan di perguruan tinggi tersebut merespon
bahwa pengembangan model LC berbasis TOEFL dengan model pembelajaran
mandiri (student- directed learning) sangat penting. Untuk meningkatkan nilai
TOEFL mahasiswa mereka, pengembangan ini diharapkan segera dilakukan. Di
internal Politeknik Negeri Bali sendiri, segeap ketua jurusandan pimpinan juga
mengharapkan agar pengembangan model ini dapat terwujud segera. Pihak
mahasiswa, sebagai pemakai langsung model ini, sangat mengharapkan agar LC
segera dibentuk sehingga mempermudah mereka untuk belajar TOEFL tanpa
menggangu mengganggu perkuliahan mereka, dan mereka bisa memanfaatkan waktu-
waktu luang mereka dengan effekti dan efisien.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

21

Kedua, para dosen pengajar matakuliah listening, grammar, dan reading yang
secara langsung berkaitan dengan TOEFL juga sangat setuju untuk mulai memikirkan
untuk mengimplementasikan model pembelajaran mandiri (SDL) seperti ini. Mereka
sangat setuju untuk membuat model LC untuk pembelajaran matakuliah tersebut
disamping pembelajaran teori di kelas. Tatap muka di kelas bisa dikurangi dan
memfokuskan mahasiswa untuk belajar mandiri di LC. Mereka juga siap untuk
mengembangkan modul-modul ketiga mata kuliah tersebut berbasis SDL. Hal ini
akan sangat membantu mereka untuk menumbuhkembangkan kemandirian dan
kepercayaandiri mahasiswa.
Ketiga, kompetensi bahasa Inggris mahasiswa yang ditunjukkan dengan nilai
TOEFL masih tergolong rendah memicu para dosen dan staf pimpinan fakultas untuk
meningkatkannya. Hal ini sangat penting karena TOEFL merupakan persyaratan
kelulusan (terutama di PNB), dan perguruan tinggi lain di Bali juga akan segera
mengeluarkan kebijakan tersebut. Hal ini dipandang sangat perlu untuk selalu
meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa, karena untuk merealisasikan
visi dan misi lembaga mereka, yaitu berdaya saing internasional.
Keempat, secara deskriptif, peluang pemilikan karakter bangsa bagi siswa
yang diungkap dari 90 siswa, menunjukkan bahwa sebanyak 46,31% mahasiswa
berpeluang memiliki karakter sangat baik,dan sisanya 41,89% berpeluang memiliki
karakter baik, cukup baik, kurang baik, dan tidak baik. Pembelajaran dengan sistem
student-centered learning (SCL) terutama yang berfokus pada pembelajaran mandiri
(SDL) akan mampu memperbaiki karakter mahasiswa tersebut.
Kelima, pembelajaran mandiri dengan model LC ini akan berjalan lancar jika
didukung oleh beberapa faktor, salah satunya SAP dan LKM. Pada surve dan kajian
tentang SAP dan LKM, ditemukannya bahwa SAP dan LKM yang disiapkannuntuk
pembelajaran di setiap perguruan tinggi masih belum mendukung model yand
dikembangkan. Hal ini disebabkan karena pembelajaran tersebut masih bersifat
klasikan dan kuliah. Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan model SDL
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

22

dengan sistem LC ini, SAP dan LKM yang diterjemahkan menjadi modul ajar harus
memasukan unsur-unsur SDL.
Keenam, telah dilakukannya penyusunan draft model LC. Draf kasar ini akan
dilengkapi pada penelitian tahun ke-2 (2014).

Saran
Penelitian ini telah mengungkap bahwa belum adanya upaya-upaya dosen,
dekan, atau ketua jurusan untuk melakukan pengembangan model LC dengan model
SDL. Oleh karena itu, diajukan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, kepada pemerintah melalui dinas pendidikan tinggi untuk memberi
dukungan terhadap pengembangan LC dengan model SDL di level perguruan tinggi.
Bantuan berupa kebijakan, ide, sarana dan prasarana atau financial sangat diperlukan
untuk pengembangan ini sehingga terwujudnya proses pembelajaran yang optimal.
Kedua, kepada dekan, kajur atau pimpinan fakultas atau juga perguruan tinggi
di Bali, dianjurkan agar melakukan pembinaan pengembangan profesionalisme
dosen, yang mencakup pengembangan pembelajaran, pengembangan model ajar,
pengembangan perlengkapan dan media pembelajaran, serta kompetensi pedagogi.
Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan mengembangkan LC dengan
model SDL ini. Pengembangan model ini tudak hanya akan mampu meningkatkan
professionalisme dosen, kreatifitas dosen dalam meneliti, mengembangkan dan
membuat modul ajar, meningkatkan cara belajar mahasiswa untuk meningkatkan nilai
TOEFL mereka namun juga akan mampu mengembangkan krastifitas, karakter
mahasiswa itu sendiri (seperti kemandirian, ketekunan, ketakwaan, kesabaran,
kompetensi personal dan sosial) yang sangat penting untuk meraih tujuan pendidikan
Indonesia, yaitu menbentuk manusia yang cerdas dan bermartabat.
Ketiga, disarankan kepada para dosen pengampu matakuliah tersebut atau
mata kuliah bahasa Inggris lainnya untuk selalu berfikiran kreatif dan inovatif untuk
melatih diri untuk mengembangkan profesionalisme mereka (seperti lewat seminar,
workshop, latihan, penataran) serta aktif mencoba dan menciptakan model-model
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

23

pembelajaran yang diperlukan sesuai dengan pengembangan iptek. Upaya-upaya
tersebut akan memicu para dosen untuk selalu aktif berkarya dengan mengadakan
penelitian tindakan kelas (PTK), penelitian dan pengembangan (R&D). Upaya-upaya
ini akan membatu mereka menjadikan dirinya professional, produktif, berdayajual
tinggi.

Daftar Pustaka
Ardana, I.W. & Willis, V. 1989. Reading in Instructional Development; Volume
Four. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, P2PLPTK
Arsyard. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Degeng, I.N.S. 1989. Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK Depdikbud
Dick, W. & Carey, L. 1990. The Systematic Design of Instruction. Second Edition.
Illinois: Scott, Foresman and Company
Dirjen Dikti. 2004. Instrumen PSABK PGSMP/SMA
Gene Maeroff. 1991. Assessing Alternative Assessment. Toronto Board Education:
California
Hart, D. 1994. Authentic Assessment: A Handbook for Educators. Wesley Publishing
Group: California
Henich, R., Smaldino, Shoron, E. & James, R.D. 2005. Instrutional Technology and
Media for Learning. New Jersey : Person Merrill Prentice.
Hamalik, O. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakarta: Bumi Aksara.
Japa, I Wayan. 2001. Self-Access Material on English Grammar: Facilitating the
Students in Writing. Makalah Lokakarya STKIPN Singaraja
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi 2002. Bandung: Remaja
Rosdakarya
OMalley, J.M. & Pierce, L.V. 1996. Authentic Assessment for English Language
Learners. Practical Approach for Teachers. Ontario: Addison: Wesley
Publishing Company.
Paramartha, S. 2005. Keterampilan Menyimak dan Self Acess Learning: Suatu proses
Berbasis Individu. Dalam PRASI Volume 3 No. 5 Januari-Juni 2005.
Putra, K.D.C. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Mandiri Bahasa Inggris
Berorientasi TOEFL. Laporan Penelitian Politeknik Negeri Bali
Sadiman, S.A., Raharjo, S., Anung, H.R. & Rahardjito. 2005. Media Pendidikan
Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

24

Santyasa, I Wayan. 2009. Metode Penelitian Pengembangan dan Teori
Pengembangan Modul. Makalah disajikan dalam penelitian bagi guru TK,
SD, SMP, SMA dan SMK di kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Bali.
Santyasa, I wayan. 2012. Laporan penelitian Hibah Pascasarjana: Pengembangan
Model Student-Centered Learning untuk Meningkatkan Penalaran dan
Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas. Universitas Pendidikan Ganesha.
Stewart, L.J. & Wilkerson, L.V. 1999. ChemConnection; A Guide to Teaching with
modules, (online), (http://science.uniserve.edu.au)
Sudaryanto.1993.Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Suparman, A. 1997. Desain Instruktional. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdikbud.
Suyanto, 2010. Urgensi Pendidikan Karakter. http://.www.hdrstats.undp.org/
countires/country fact sheets/sty fs IDN.html.
Tegeh, I M. 2005. Pengembangan Paket Pembelajaran dengan Model Dick & Carey
pada Mata Kuliah Sinetron Pendidikan Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP
Singaraja. Tesis (tidak diterbitkan). Malang: Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Malang

Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

25


MENJADI MAHASISWA YANG AKTIF, EFEKTIF DAN KREATIF DENGAN
PEMBELAJARAN MANDIRI: STRATEGI MENINGKATKAN SKOR
TOEFL MEREKA


Oleh
I Made Ardana Putra, I Made Rai Jaya Widanta
Politeknik Negeri Bali

Ardana_rena@yahoo.com , rai_widanta@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kebutuhan pengembangan SDL berbasis
TOEFL untuk meningkatkan nilai TOEFL mahasiswa. Penelitian ini dilakukan dengan metode
surve pada 5 (lima) jurusan di Politeknik Negeri Bali (PNB). Subjek penelitian adalah 5 ketua
jurusan, 5 dosen, 100 orang mahasiswa, dan 5 SAP. Objek yang dikaji adalah tanggapan ketua
jurusan dan dosen terhadap pengembangan model pembelajaran mandiri (SDL), kecenderungan
model yang diterapkan pada SAP selama ini, dan kompetensi dasar mahasiswa. Data
dikumpulkan dengan teknik wawancara, angket, observasi, dan tes. Data dianalisis secara
deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) ketua jurusan belum melakukan pembinaan
tentang pengembangan model SDL berbasis TOEFL, (2) para dosen belum mengembangkan dan
menggunakan model-model SDL pada pembelajaran bahasa Inggris di kelas masing-masing, (3)
kompetensi bahasa Inggris mahasiswa yang diuji dengan TOEFL masih terkategori rendah, (4)
hampir semua SAP belum menggunakan model SDL berbasis TOEFL. Implikasinya,
pengembangan model SDL berbasis TOEFL sangat strategis untuk dilakukan.

Kata kunci: pengembanagan, model pembelajaran mandiri (SDL), berbasis TOEFL


Abstract

The study intended to analyze the needs on developing TOEFL-based Self-Directed learning to
improve students TOEFL score. The research was carriedout with a survey on five departments
Politeknik Negeri Bali. The research subjects were five department heads, five lecturers, 101
students, and five syllabuses. The objects studied were response of department heads on
development of SDL, response of lecturers on the importance of developing the model and the
current teaching models so far applied in those department, intensity of lecturers in applying
SDL paertularly that basing on TOEFL, students character, and intensity of the model used in
syllabuses. The data was collected with various techniques, including interview, questionnaire,
observation, and tes. The data was analyzed descriptively. The result of analysis showed that (1)
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

26

the department heads have not been carrying out upgrading on developing SDL particularly LC
model, (2) the lecturers have not been developing and utilizing the models in the teaching of
English, (3) the students English competence are still considered to be insufficient, (4) almost
all syllabuses of the English have not been using SDL particularly that basing on English. In
conclusion, development of LC with SDL model is very strategic to develop.

Key words: development, student-centered learning (SDL) model, TOEFL-based.


Pendahuluan

Semenjak diberlakukannya Peraturan Pendidikan Politeknik, Politeknik Negeri Bali
(PNB) menetapkan kriteria baru tentang persyaratan TOEFL bagi calon wisudawan sejak tiga
tahun terkhir ini. Konsekuensinya, terjadinya dualisme dalam pembelajran bahasa Inggris dan
sistem evaluasi. Pembelajaran Bahasa Inggris (PBI) memfokuskan pada dua hal, yaitu
pembelajaran bahasa Inggris sesuai kurikulum dan pembelajaran bahasa Inggris untuk tujuan
TOEFL. Sistem evaluasi PBI tersebut juga ditujukan pada dua hal, yaitu evaluasi dependen
untuk mengukur capaian dan kelajuan mahasiswa di bidang bahasa Inggris di kelas (seperti UTS,
UAS, quiz, tes formatif, dan lain-lain) dan evaluasi indipenden yang bertujuan untuk mengetahui
kompetense bahasa Inggris mahasiswa secara umum (seperti TOEFL).
Implementasi persyaratan TOEFL dengan passing grade minimal 400 bagi calon
wisudawan untuk bisa diwisuda cukup menuntut. Hal ini disebabkan karena nilai tersebut
kenyataanhya masih sulit untuk dicapai oleh sebagaian besar mahasiswa terutama yang berasal
dari bidang Teknologi (Teknik Sipil, Mesin dan Elektro). Secara faktual, banyak calon
wisudawan diharuskan menempuh remidi hingga tiga atau empat kali untuk meraih passing
grade tersebut walaupun dengan local TOEFL. Perseyaratan ini juga membuat gundah para
dosen pengajar bahasa Inggris di setiap jurusan karena hal tersebut merupakan tanggungjawab
mereka.
Kondisi tersebut memicu para dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris di masing-
masing jurusan untuk mencoba menciptakan dan menggunakan berbagai strategi dalam
mengajarkan bahasa Inggris di kelas agar mampu meningkatkan. Beberapa dosen membagi
jumlah pertemuan pada satu semester menjadi dua bagian, yaitu 8 kali pertemuan pertama
digunakan untuk mengajar bahasa Inggris sesuai dengan kurikulum dan 8 kali kedua digunakan
untuk mengajarkan TOEFL. Beberapa dosen yang lain malahan memfokuskan ke 16 pertemuan
tersebut untuk mengajar TOEFL. Beberapa dosen yang lain hanya memberikan sekilas
pemahaman, strategi dan contoh latihan TOEFL dan menyuruh mahasiswanya untuk berlatih
TOEFL sendiri-sendiri di luar jam pelajaran.
Kegalauan di antara pengajar bahasa Inggris tersebut memicu diupayakan suatu model
pembelajaran dalan riset ini, yaitu Pembelajaran Mandiri Berbasis TOEFL. Model ini didisain
untuk mengkolaborasi antara pembelajaran bahasa Inggris sesuai dengan kurikulum dan TOEFL.
Karena TOEFL merupakan suatu alat uji standar yang memiliki suatu taktik khusus untuk
dikuasai sehingga peserta tes bisa berhasil meraih nilai yang diinginkan, maka dia dipakai sebagi
suatu parameter berdasarkan apa latihan soal dan lembar tes di setiap bab pada modul bahasa
Inggris dibuat.


Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

27

Manfaat Penelitian

Hasil pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris mandiri berorientasi TOEFL
akan sangat bermanfaat bagi tiga pengguna, di antaranya mahasiswa, pengajar, dan institusi.
Untuk mahasiswa, model ini akan membantu mereka untuk belajar lebih efisien dan
efektif. Pembelajaran akan dilakukan hanya sekali oleh mahasiswa tersebut. Mahasiswa akan
mampu belajar materi pada modul dengan baik dan pada saat bersamaan juga mampu belajar
TOEFL karena evaluasi materi pada akhir setiap bab didisain dalam bentuk TOEFL. Mahasiswa
akan menguasai dengan baik materi di setiap bab karena selalu diakhiri dengan evaluasi dalam
bentuk TOEFL.
Dosen pengampu matakuliah bahasa Inggris tersebut juga akan tertolong dengan adanya
model ini. Pembelajaran akan bisa dilakukan sekali untuk dua tujuan. Pembelajaran akan lebih
efektif karena bersifat tematik. Setiap tema dalam setiap bab betul-betuk akan dikuasai karena
ditutup dengan evaluai dengan model TOEFL. Paradigma pembelajaran student-centered
learning sebagai paradigm yang sedang digalakkan oleh pemerintah akan terrealissasi dengan
baik. Dosen akan nlebih banyak berperan sebagai fasilitator dan motivator.
Kontribusinya terhadap institusi juga besar. Model ini bisa diadopsi oleh institusi untuk
dijadikan model acuan untuk pembelajaran mata kuliah lainnya. Institusi akan mampu memacu
para dosen amta kuliah lain untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang senada atau
yang lebih mutakhir. Dengan efektifnya model ini diterapkan, capaian akademis mahasiswa akan
bisa meningkatkan indeks dan grade lembaga untuk tujuan akreditasi dan hal lainnya.

Urgensi Penelitian
Upaya pengembangan model pembelajaran yang dilakukan secara serius dan
berkesinambungan akan sangat efektif untuk urusan-urusan internal lembaga, namun juga untuk
pihak eksternal. Sementara ini, upaya yang dilakukan lembaga pendidikan masih hingga batas
menciptakan luaran atau out put yang berkualitas. Lembaga pendidikan berlomba-lomba
mencetak lulusan dengan nilai akademis yang tinggi. Namun demikian, maksud dan nupaya
pemerintah untuk menciptakan out come belum terpenuhi. Pengembangan model ini, dengan
upayanya untuk meningkatkan nilai TOEFL lulusan, memiliki tingkat urgensi tinggi untuk
mendukung terciptanya out come yang memadai. Selain sebagai syarat kelulusan, TOEFL juga
selalu dipakai kriteria perusahaahn penyedia lowongan kerja (stakeholder) untuk merikrut
karyawan baru. Perusahaan BUMN besar seperti PT. PLN Persero, TELKOM, PERTAMINA,
serta perusahaan-persahaan asing selalu mensyaratkan pemilikan sertifikat TOEFL dengan nilai
minimal 400 bagi calon pelamarnya. Di samping itu, pemilikan nilai TOEFL tinggi juga
merupakan bukti nyata atas pemilikan soft skill bagi para alumni. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
setiap penyedia lowongan kerja untuk meningkatkan produktifitas perusahaannya.


Masalah Penelitian
Ada beberapa permasalahan yang dapat dirangkum dalam penelitian ini di antaranya
sebagai berikut.
1. Bagaimana dapat dikembangkannya model pembelajaran mandiri bahasa Inggris berbasis
TOEFL untuk meningkatkan nilai TOEFL mahasiswa PNB.
2. Bagaimana merivie dan mengembangkan SAP dan LKM?
3. Bagaimana mengetahui kompetensi dasar mahasiswa PNB?
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

28

4. Bagaimana mengetahui karakteristik mahasiswa di perguruan tinggi di Bali?
5. Bagaimana dapat dikembangkannya draf modul dan SOP pembelajaran tersebut?


Metode

Pengembanagan ini mengunakan model yang ditawarkan oleh Dick & Carey (1990).
Penelitian dan Pengembagan menurut pakar dalam bidang pendidikan ini menitikberatkan pada
tahapan-tahapan pengembanagan, di antaranya menetapkan materi ajar, mengidentifikasi
kompetensi dasar, menganalisis karakteristik mahasiswa, menyusun dan menulis buku ajar,
memproduksi modul, melakukan uji isi, uji media pembelajaran, uji produk, dan terakhir
melakukan uji komparasi. Tahapan tersebut sangatlah padat sehingga tidak mungkin dilakukan
selama setahun, oleh karenanya penelitian ini dengan langkah-langkah seperti itu dilakukan
selama 3 tahun. Tahapan-tahapan tersebut dirinci dengan lengkap seperti pada tahapan-tahapan
berikut.
Tahapan pada tahun 1 (tahun 2013) memuat beberapa kajian sederhana, di antaranya
tanggapan & pemahaman ketua jurusan tentang model SDL berbasis TOEFL, tanggapan &
pemahaman dosen tentang model ini, keberadaan model ini di jurusan-jurusan di PNB yang
diteliti dengan meriviu SAP dan kompetensi dasar mahasiswa di PNB.
Pemahaman ketua jurusan tentang keberadaan modl ini sangat krusial untuk digali karena
ketua jurusan merupakan pemimpin tertinggi di suatu jurusan yang berwenang untuk membuat
dan meniadakan suatu aturan, kebijakan, tren, atau kegiatan dijurusan. Pemahamannya,
ketertarikannya, serta kesefamahamannya tentang model yang sedang dikembangkan ini akan
sangat membantu peneliti untuk menawarkan suatu solusi baru agar dapat berterima di jurusan
tersebut. Dengan berterimanya konsep pembelajaran baru ini maka segenap dosen pengajar yang
terkait akan mudah untuk diberi pemahaman, dimotivasi serta digerakkkan untuk mendukung
rencana akademis tersebut.
Selain itu, pemahaman dosen terhadap model yang dikembangkan merupakan suatu pintu
gerbang yang terbuka lebar terhadap keberhasilan implementasi model tersebut. Hal ini
disebabkan karena dosen itu sendiri akan bertindak sebagai person in charge proses PMB yang
mgngunakan model tersebut. Jika ketua pelaksana kegiatan PBM tersebut sudah memahami,
memutuskan, serta berkomitmen untuk merealisasikan konsep ini, maka segala program yang
telah terencana akan berjalan baik. Demikian pula dalam implementasi modddel yang
dikembangkan ini.
Eksistensi model tersebut juga harus ditelusuri. Hal ini harus diupayakan agar program
pengembangan model pembelajaran tersebut tidak mubasir karena model yang sama atau yang
miri sudah tersedia dan terimplementasikan di jurusan tersebut. Oleh karenanya, meriviu SAP
merupakan salah satu cara yang tepat (di samping mewawancarai para ketua jurusan dan dosen
pengampu mata kuliah berkaitan) untuk mengetahui keberadaan model tersebut di jurusan serta
model-model yang telah digunakan selama ini dalam PBM.
Terakhir yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengetahui kompetensi dasar
mahasiswa yang akan diberikan pembelajaran dengan model tersebut atau mahasiswa lainnya di
masing-masing jurusan. Hal ini diuapayakan untuk memaksimalkan kebermaknaan
pengembangan model tersebut. Jika mahasiswa yang dipakai sebagai sampel memiliki rerata
kompetensi bahasa Inggris yang dites dengan TOEFL sama dengan atau lebih tinggi dari passing
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

29

grade yang ditentukan oleh PNB, makapengembanagan ini tidak akan bermakna maksimal atau
malahan mubasir.
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa, dosen, dan ketua jurusan di lingkungan PNB.
Pengambilan sampel penelitian ini ditetapkan dengan teknik stratified random sampling. Pada
tahun I (2013), sampel tempat penelitian, jumlah mahasiswa, ketua jurusan, dan dosen yang
diambil di seluruh PNB ditampilkan pada table berikut.
Ada lima jurusan (ketua jurusan, does, dan mahasiswa) yang diambil sebagai sampel
subjek. Dalam setiap jurusan ada satu orang ketua jurusan dan dosen yang diwawancarai sistem
dengan angket dan satu kelas mahasiswa dengan jumlah yang berbeda-beda dites dan diminta
mengisi angket. Mahasiswa yang dites adalah mahasiswa semester IV karena mahasiswa
semester tersebut dianggap sudah mengalamai proses pembelajaran dengan cukup. Satu jurusan
yang mahasiswanya tidak bisa dites, yaitu jurusan teknik Sipil karena mahasiswa sedang
mengikuti program PKL.
Objek kajian penelitian tahun I (2013) adalah (1) pemahaman dan pandangan dosen
tentang model tersebut, (2) pemahaman dan pandangan ketua jurusan tentang model tersebut, (3)
karakter mahasiswa, (4) kompetensi dasar mahasiswa, dan (5) deskripsi hasil pengamatan
terhadap SAP. Sedangkan objek kajian di tahun II (2014) dirinci sebagai berikut, di antaranya (1)
modul latihan bahasa Inggris berbasis TOEFL dan (2) SOP penyelenggaraan model.

Hasil
Menurut ketua Jurusan di lingkungan PNB, pengembangan ini sangat selaras dengan
usaha lembaga dan masing-masing jurusan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris
para lulusannya. Hal ini harus diupayakan untuk membuat lulusan yang berkompeten sehingga
mampu bersaing di dunia kerja paska perkuliahan mereka. Di samping itu, mereka setuju dengan
usaha keras ini untuk merialisasikan salah satu visi PNB, yaitu mencetak lulusan yang
professional dan berdaya saing internasional. Hampir selurh ketua jurusan tersebut menyambut
pengembangan ini sehingga suatu model baru yang dihasilkan bisa diterapkan di setiap jurusan
untuk membenahi kelemahan PBM selama ini. Berikut ini adalah data tanggapan ketua jurusan
tentang pengembangan model pembelajaran mandiri berbasis TOEFL di PNB.
Jika diteropong secara seksama, para ketua jurusan di PNB sangat menyetujui dengan
pengembanagan model ini. Hal ini dapat dilihat dari pendapat mereka tentang pengembangan
model ini yang menyatakan bahwa 80% ketua jurusan menyetujui pengembangan ini karena
dengan pengembanagan ini dosen-dosen pengajar bahasa Inggris tersebut akan lebih mudah
untuk mengkondisikan siswa untuk belajar lebih giat. Selain itu 70% menyatakan bahwa
pengembanagan model ini akan membantu mahasiswa karena mahasiswa memiliki prosedur
yang jelas dalam mencapai tujuan pembelajaran. Terkait dengan implementasi model
pembelajaran yang selama ini dilakukan, model ceramah merupakan model yang selalu
digunakan (100%) oleh para dosen pengajar. Model diskusi dan seminar merupakan dua model
yang agak sering juga digunakan dengan persentase masing-masing (35%) dan (30%), sedangkan
model yang paling jarang digunakan dari yang diimplementasikan tersebut adalah model
pelatihan (10%). Lebih lanjut, para ketua jurusan tersebut belum intensif melakukan pembinaan
terhadap dosen-dosen tentang implementasi model pembelajaran mandiri (SDL). Para ketua
jurusan tersebut mengatakan bahwa hanya 15% dari agenda kegiatan mereka melibatkan
pembinaan terhadap dosen terkait implementasi model pembelajaran mandiri (SDL) dan
selebihnya (85%) dari kegiatan tersebut tidak berkaitan dengan pembinaan-pembinaan tersebut.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

30

Program pembinaan terhadap dosen-dosen oleh pihak jurusan tentang pengembangan RPP yang
menggunakan model pembelajaran mandiri telah dilakukan hanya 30%. Hal ini dilaksanakan
secara tidak langsung yaitu pada saat revisi kurikulum di jurusan masing-masing. Seperti hal nya
RPP, program pembinaan terhadap dosen tentang pengembangan LKM berbasis pembelajaran
mandiri juga masih jarang dilakukan (30%) dari program-program yang telak dilaksanakan. Hal
ini berarti jauh lebih banyak (70%) program kerja jurusan merupakan program non
pengembangan PBM khususnya berorientasi pada SDL. Pembinaan tentang implementasi SDL
tersebut hanya dilakukan untuk para dosen pengajar mata kuliah inti (core subject) di jurusan
masing-masing.
Dilihat dari sikap para ketua jurusan dalam memberikan dukungan kepada para dosen
untuk mengisi diri dalam mengembangkan pembelajaran berbasis SDL, mereka mendukung
sepenuhnya hal tersebut. Semua ketua jurusan sepakat mendukung para dosen dan memberikan
kesempatan keada para dosen untuk mengikuti pelatihan, seminar, atau workshop tentang
pelatihan penggunaan SDL. Hal ini berarti tidak ada ketua jurusan yang tidak setuju untuk
mendukung program penguatan metode pengajaran dosen.
TOEFL sebagai alat uji standar yang dipakai sebagai parameter ukur indipenden bagi
mahasiswa yang akan diwisuda juga masih belum menggunakan model SDL. Menurut para
ketua jurusan tersebut, pembelajaran TOEFL masih jauh lebih sering dilakukan secara terpisah
dari pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Hal ini disebabkan model dan metode untuk
mengkombinasikan TOEFL dengan pelajaran bahasa Inggris di kelas masih belum dirancang
dengan baik. Tercatat hanya 20% pembelajaran tersebut terkombinasikan, terutama di saat-saat
ada waktu untuk memberikan refreshment atau pelatihan tentang TOEFL. Menurut pendapat
para ketua jurusan tersebut, pengembangan program SDL berbasis TOEFL untuk mahasiswa
masih belum pernah dilakukan (0%). Terkait dengan hal itu, pegajaran matakuliah yang terkait
dengan TOEFL seperti listening, structure, reading belum pernah dilakukan dengan model SDL
(0%). Hal ini berarti bahwa model-model lain seperti disebutkan di depanlah yang selalu atau
bisasnya dipakai untuk pengajaran di kelas. Walaupun ada lab bahasa di setiap jurusan,
pembelajaran di lab bahasa tersebut belum sama sekali menggunakan model SDL. Hal ini
disebabkan pleh beberapa faktor, di antaranya kesiapan alat pendukung pembelajaran terbatas,
model pembelajaran tersebut belum dipahami dengan baik oleh pengajar, program dalam
komputer masih sangat belum mendukung model pembelajaran yang dikembangkan itu.
Deskripsi kompetensi dasar mahasiswa juga menunjukkan suatu situasi dimana
mahasiswa dapat dikatakan belum berkompeten dalam bahasa Inggris. Hal ini bisa dilihat dari
hasil tes tersebut, dimana ada dua bagian nilai yang secara umum dapat digambarkan, yaitu
kelompok nilai di bawah 400 (< 400) dan kelompok nilai di atas 400 ( 400). Hal ini
dimaksudkan karena untuk mempermudah mengenali kemampuan mahasiswa tersebut karena
nilai 400 merupakan batas minimal kelulusan yang dipergunakan oleh PNB (passing grade).
Secara umum kemampuan bahasa Inggris mahasiswa di kelima jurusan tersebut masih
kurang. Hal ini terbukti dari jumlah mahasiswa dengan nilai di bawah 400 (< 400) lebih banyak
dibandingkan dengan mahasiswa dengan nilai di atas 400 ( 400). Jumlah mahasiswa dengan
nilai < 400 adalah 70 orang sedangkan jumlah mahasiswa dengan nilai 400 adalah 30 orang.
Dengan kata lain, sebanyak 70% peserta tes mendapatkan nilai < 400 dan sebanyak 30%
mahasiswa mendapatkan nilai 400, atau sebanyak 70% peserta tes yang tidak memenuhi
persyaratan lulus dan hanya 30% yang memenuhi persyaratan lulus.
Jumlah mahasiswa yang dianggap berkompeten masih sangat kurang dibandingkan
dengan yang tidak berkompeten. Hal ini mencerminkan bahwa penguasaan bahasa Inggris
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

31

mereka belum tergolong berterima. Hal ini merupakan indikasi bahwa lebih banyak lulusan PNB
yang akan gugur dalam seleksi administrasi rekrutmen pegawai BUMN dan perusahaan besar
lainnya. Indikasi ini mengisyaratkan bahwa harus ada suatu perlakuan untuk mencegah hal
tersebut terjadi pada peserta tes sebelum mereka diwisuda dan juga angkatan-angkatan
berikutnya.
Dari hasil surve tentang tanggapan para dosen tentang pengembangan model SDL dengan
menggunakan angket, dapat diperoleh hal-hal sebagai berikut. Para dosen di lembaga yang
diwawancarai sangat setuju (100%) jika adanya suatu model pembelajaran yang disepakati untuk
diimplementasikan. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki prosedur yang jelas dalam
mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Model pembelajaran juga disetujui (20%) untuk dibuat
agar dosen lebih mudah mengkondisikan siswa untuk belajar lebih giat. Dari kedua prioritas
tersebut, alasan pertama jelas menganut prinsip berpusat pada siswa (student-centered) dan yang
kedua menganut sisten teacher-centered. Ada beberapa alasan mengapa para dosen tersebut
menyetujui proposisi ini, karena beberapa hal di antarnya: tanpa model pembelajaran akan
menjadi mati, dengan model pembelajaran mahasiswa dapat menerima materi pembelajaran
dengan lebih mudah, dan mempermudah dosen untuk melaksanakan pembelajaran. Ada beberapa
model yang cenderung diimplementasikan di lembaga tersebut. Model pembelajaran yang paling
mendapat prioritas adalah model ceramah diikuti dengan tanya jawab (80%). Model ini
nampaknya menjadi ikon dalam pembelajaran di perguruan tinggi non vokasi. Hal ini selaras
dengan sistem, misi, dan target atau luaran yang ingin dicapai oleh lembaga bersangkutan. Model
yang menjadi prioritas kedua adalah model ceramah klasikal dan demonstrasi oleh dosen (60%).
Model prioritas ketiga (50%) adalah model pemberian informasi oleh dosen kepada mahasiswa.
Model pemberian tugas tertulis dan penugasan kepada mahasiswa mendapatkan nilai 40% dan
model yang paling jarang dilakukan adalah model simulasi dengan komputer (10%). Hwa
model-model inovatif tidak diperlukan (0%) dan penggunaan-penggunaan model inovatif
tersebut akan menambah berat beban dosen saja (0%). Hal ini berarti bahwa para dosen
menginginkan adanya implementasi model-model pembelajaran inovatif untuk mendukung PBM
tersebut. Sedangkan 10% diberikan kepada proposisi bahwa mereka tidak mengerti tentang hal
tersebut dan model tersebut hanya istilah yang tidak perlu diseriusi.
Pendapat dosen tersebut tentang pengembangan model-model pembelajaran inovatif juga
bervariasi. Mereka pada paling setuju dengan adanya pembelajaran inovatif (80%) namun harus
dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi dari dosen itu sendiri, dosen tersebut juga setuju
dikembangknanya model-model inovatif (60%) untuk mempermudah beban dosen dalam
mengajar. Pendapat yang selaras dengan hal ini adalah bahwa dosen tidak setuju biagar beban
dosen tidak bertambah berat (80%). Selain itu mereka juga setuju dengan adanya pembelajaran
inovatif demi beban dosen menjadi lebih mudah (20%). Dengan kata lain, tidak ada dosen yang
tidak setuju jika diterapkannya model-model pembelajaran inovatif. Ada beberapa alasan
mengapa mereka setuju dengan implementasi model tersebut, di antaranya: akan membuat
suasana PBM lebih komunikatif dan menyenagkan, menghindari ketidakterikatan dosen yang
akan menyebabkan hasil usaha manusia sia-sia, dosen terbantu untuk melaksanakan
pembelajaran dengan lebih mudah. Namun demikian, dosen diharapkan agar dosen berkomitmen
untuk mempersiapkan materi-materi inovatif.
Pandangan dan pendapat dosen tentang model pembelajaran SDL juga beragam. 10%
dosen mengatakan bahwa SDL tidak baik diterapkan untuk budaya di Indonesia. Di lain pihak
40% dosen mengatakan bahwa model SDL dapat diterapkan apabila di sekolah sudah tersedia
fasilitas belajar yang lengkap. Sedangkan 70% dosen juga mengatakan bahwa SDL dapat
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

32

diterapkan di fakultas jika ada komitmen dosen untuk bekerja keras. Sebanyak 50% beranggapan
bahwa moderl tersebut baik diimplementasikan bagi mahasiswa yang akan menghadapi tes. Dan
10% dari pendapat tersebut mengatakan bahwa model ini baik diimplementasiokan pada sekolah
atau lembaga yang berfisat profit oriented saja.
Ada beberapa model pembelajaran yang selama ini telah diterapkan oleh institusi tersebut
di antaranya pembelajaran kooperatif (60%), model student-team achievement division (STAD),
model pembelajaran investigasi (40%), model pembelajaran berbasis masalah (20%), model
pembelajaran learning center (20%), serta ada model ceramah (20%). Sebaliknya ada beberapa
model pembelajaran yang tidak lazim untuk diterapkan di lembaga tersebut, di antaranya model
pembelajaran perubahan konseptual, model pembelajaran berbasis proyek, model pembelajaran
berbasis hakikat keilmuan (nature of science atau NOS), model pembelajaran berbasis
lingkungan, dan model pembelajaran regulasi diri (self-regulated learning atau SRL). Dan
alasan-alasan para dosen memilih untuk menerapkan model-model tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut: karena cocok diterapkan (sebagai contoh model klasikal cocok untuk kelas
besar), mahasiswa dapat termotivasi karena diajak ikut bersama dengan dosen untuk memahami
materi. Dari model yang diterapkan tersebut, satu model yang selama ini sudah secara tidak
langsung diterapkan yaitu STAD. Hal ini menunjukkkan bahwa model pembelajaran mandiri
(self-regulated learning, self-directed learning, self-accessed learning) memang belum pernah
dilakukan dan pemilihan opsi lain dengan nilai bervariasi tersebut sebernya mendukung pendapat
mereka untuk menyetujui adanya pengembangan model pembelajaran mandiri berbasis TOEFL
ini.
Setelah dipaparkannya konsep SDL ada beberapa proposisi tentang segi kebaikan model
SDL. Dari sekian pendapat (80%) mengatakan bahwa SDL dapat memfasilitasi mahasiswa untuk
membangun kerjasama yang intensif. Nilai sama juga diberikan pada opsi bahwa SDL dapat
mendidik mahasiswa agar menjadi lebih terbuka dalam berfikir, berkata, dan berbuat dan 60%
juga mengatakan bahwa SDL akan membuat mahasiswa menjadi orang yang lebih bertangg
ungjawab. Penilaian yang lebih rendah diberikan pada opsi dimana pengembangan SDL tersebut
membuat mahasiswa menjadi demokratis, berfikir jujur, berfikir pasrah menerima
kekurangannya, dan melatih mereka menjadi bersahaja dengan menerima dan mengakui
kelebihanorang lain. Dan penilain tertinggi diberikan pada opsi bahwa SDL mampu mendidik
mahasiswa menjadi orang yang indipenden dan tidak bergantung kepada orang lain (80%).
Selain keunggulan model SDL, ada beberapa kelemahan yang dirumuskan oleh
responden tersebut yang digradasi dari persentasi yang tinggi ke yang terendah. Kelemahan
tersebut sekaligus bisa dipakai sebagai perspektif para dosen bagaimana mereka mengasumsikan
perlunya pengembangan model pembelajaran ini. Dari semua opsi yang disediakan, paling
banyak disoroti tentang pentingnya komitmen guru atau dosen tentang implementasi model
pembelajaran mandiri tersebut (80%) dan perlunya pengadaan fasilitas pendukung implementasi
model pembelajaran tersebut (70%). Kekawatiran dosen dengan keselarasan kurikulum dengan
jam belajar mahasiswa masih sebatas (40%) dan 20% percaya bahwa pengembangan model SDL
akan menghambat mahasiswa untuk menguasai materi ajar di kelas. 10% pendapat juga
mengatakan bahwa implementasi tersebut memerlukan kompetensi pengajar itu sendiri dan
model ini dikatakan cocok untuk kelas dengan jumlah mahasiswa 20-25 orang. Optimisme para
dosen terindikasi baik dengan mengatakan bahwa model ini cocok untuk mahasiswa dengan
tingkat IQ rata-rata (5%), dan model ini sulit dipraktekkan (0%). Keseluruhan pendapat tersebut
pada dasarnya mendukung pengembangan model ini dan dua pendapat yang sangat mendukung
keberhasilan pengembangan ini adalah bahwa model ini tidak sulit dilaksanakan dalam praktek,
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

33

pengembanagn tersebut tidak memerlukan IQ mahasiswa yang rata-rata ke atas serta tidak
memerlukan kompetensi pedagogis dosen pengajar yang tinggi.
Tanggapan dosen kesesuaian RPP dengan faktor lainnya juga bervariasi. Dosen tidak
melihat (0%) harus ada hubungan antara RPP dengan administrasi, namun hubungan RPP
dengan usaha eksfloratif dosen dan mahasiswa dinyatakan perlu (20%), dengan prosedur
pembelajaran (sintak) jauh lebih perlu (60%), dan dengan potensi peserta didik sangat lebih
diperlukan (80%). Sedangkan dosen tidak menyetujui sama sekali jika RPP tidak dibuat (0%).
Hubungan RPP dengan pembelajaran dan keterlibatan mahasiswa juga bervariasi namun
masih tetap mengacu ke arah yang positif. Dikatakan bahwa RPP harus mengacu pada model
yang ditetapkan (80%) atau berbasis model ata sebaliknya yaitu model pembelajaran harus
berbasis RPP mendapat nilai (70%). Jika RPP hanya mengacup pada sebatas model eksflorasi
saja, hal ini masih belum baik (20%), dan tidak ada yang setuju jika kedua segmen tersebut tidak
berhubungan sama sekali.
Keterkaitan RPP dan LKM dengan keterlibatan siswa menunjukkan bahwa 100% setuju
bahwa kedia perangkat pembelajaran tersebut harus melibatkan siswa secara total dan utuh.
Keterlibatan mahasiswa dalam pembelajaran dengan eksistensi RPP dan LKM sebanyak 75%,
50%, dan 25% diberikan nilai masing-masing 70, 50, dan 25. Dan ketidak terikatan antara RPP
dan LKM dengan keterlibatan mahasiswa dalam pembelajaran diberi nilai (0%).
Keterkaitan antara model pembelajaran dengan penilaian juga menunjukkan hasil yang
positif, dimana pembelajaran dan penilaian harus selalu bisa mengungkap hasil belajar
mahasiswa (100%), pembelajaran harus sesuai dengan penilaian (30%), pembelajaran harus
mampu merespon kebutuhan mahasiswa (20%). Kesediaan para dosen mengikuti pelatihan
tentang pengembangan model ini juga menunjukkan hasil yang positif di mana 90% dari mereka
setuju untuk mengikuti pengembangan itu, 30% bersedia mengikuti hal tersebut jika ada
pendanaan dari lembaga, dan tidak ada dosen (0%) yang tidak bersedia mengikuti program
tersebut. Pendapat para dosen tentang keperluan mereka dan lembaga terhadap pengembangan
model ini menunjukkan bahwa 100% dosen setuju jika dilakukannya pengembanagan, 80%
menyatakan perlu segara dilakukannya pengembangan tersebut, 20% menyatakan kurang perlu
dan tidak ada yang menolak adanya pengembangan tersebut.
Sikap dan dukungan para dosen terhadap pengembangan model ini menunjukkan bahwa
90% dosen sangat mendukung, 80% mendukung terhadap pengembangan model ini. Hanya 20%
yang menyatakan nkurang mendukung dan tidak ada (0%) yang menyatakan tidak mendukung
pengembangan model pembelajaran ini.
Pemantauan terhadap SAP dan LKM menunjukkan bahwa SAP yang selama ini dipakai
di masing-masing jurusan menganut beberapa model pembelajaran, di antaranya diskusi (80%),
metode demonstrasi (90%), metode eksperimen (50%), metode tanya jawab (80%), metode
ceramah (90%), outdoor learning (5%), berbasis perpustakaan (5%), berbasis skil dasar listening,
structure, reading (80%), berbasis laboratorium (60%), menggunakan metode tak jelas (0%), dan
metode lainnya (20%).
Terkait dengan kompetensi yang dikembangkan, SAP tersebut didisain untuk
memfasilitasi mahasiswa dengan beberapa kompetensi, diantaranya: menghafal (80%),
memahami konsep (95%), berfikir kritis (90%), sikap ilmiah dalam mengajarkan bahasa Inggris
(85%), keterbukaan dalam memahami bahasa Inggris (85%), penalaran dan mengatur waktu
(60%), sosial dan kemandirian (60%), berfikir kritis dan menggunakan tantangan untuk bekerja
sendiri dan bertanggungjawab (40%), menjadikan keberuntungan pada orang lain (40%), serta
informasi lainnya (20%).
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

34

Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam LKM bahasa Inggris sementara ini cukup
bevariasi namun cukup mendukung pentingnya pengembanagan ini model SDL, di antaranya:
menggunakan metode diskusi (80%), menggunakan metode kerja kelompopk (80%),
menggunakan metode kerja perorangan (50%), menggunakan pendekatan outdoor learning
(30%), menggunakan motode tanya jawab (70%), mengacu pada materi yang diuraikan dalam
SAP (90%), menggunakan pendekatan yang memicu rasa ingintahu mahasiswa untuk lebih
erekplorasi (80%), pendekatan, model, metode, dan model pembelajaran yang digunakan tidak
jelas (20%), dan informasi lainnya (20%).
LKM didesain untuk memfasilitasi mahasiswa mengembangkan kompetensi berikut, di
antaranya: enghafal konsep (80%), memahami konsep (95%), berfikir kritis tentang bahasa
Inggris (60%), sikap ilmiah dalam mengerjakan bahasa Inggris (50%), keterbukaan dalam
memahami dan mengerjakan bahasa Inggris (30%), penalaran serta mengatur waktu (40%),
sosial dan kemandirian (75%), berfikir kritis dan menggunakan tantangan sebagai stimulus untuk
pengembangan diri (70%), untuk menjadi lebih berinisiatif (50%), untuk berkerja sendiri dan
bertanggungjawab (40%), dan informasi lainnya (10%).
Penilaian dan evalusi sebagai perangkat pembelajaran yang tercermin dalam LKM
menerangkan bahwa proposisi LKM disiapkan untuk mengevaluasi proses pembelajaran
mendapat nilai 50%, LKM disiapkan untuk megevaluasi hasil belajar mendapatkan nilai 85%,
dilengkapi dengan pedoman pengamatan kinerja siswa dengan nilai 70%, dilengkapi dengan
rubrik penilaian mendapatkan nilai 70%, tidak ada evaluasi proses dengan nilai 0%, tidak ada
rubrik dengan nilai 0%, ada tes tulis pilihan ganda 70%, ada tes esai dengan nilai 70%, tidak ada
tes dengan nilai 0%, ada informasi lainnya (10%).

Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab di depan,
diajukan simpulan-simpulan penelitian sebagai berikut.
Ketua jursan di lingkungan PNB sangat setuju dan antusias dengan dilakukannya
pengembangan ini untuk memfasilitasi mahasiswa dan dosen dengan suatu model pembelajaran
yang muthakhir dan mampu merespon kekurangan-kekurangan PMB selama ini. Pembelajaran
bahasa Inggris dengan mengkombinasikan tujuan PMB berdasarkan kurikulum dengan sistem
SDL untuk meningkatkan nnilai TOEFL mahasiswa mendapat sambutan hangat dari para ketua
jurusan.
Para dosen pengasuh mata kuliah bahasa Inggris juga mengharapkan agar pengembangan
model pembelajaran tersebut direalisasikan sehingga para dosen tertolong dalam melaksanakan
PBM sesuai dengan target yang diharapkan dewasa ini. Para dosen juga sangat menyambut jika
mereka dilibatkan dalam pelatihan, workshop, dan seminar tentang model tersebut sebelum
diimplementasikan di kelas masing-masing.
Kompetensi dasar mahasiswa yang menunjukkan suatu gambaran dimana kemampuan
mahasiswa di bawah passing grade masih jauh melampaui jumlah mahasiswa yang melewaaati
passing grade. Hal ini berarti bahwa masih lebih banyak mahasiswa yang harus melakukan
remidi TOEFL setiap tahunnya. Kondisi seperti ini, jika dibiarkan, akan mengancam gagalnya
misi-misi lembaga PNB, di antaranya menciptakan lulusan yang berdaya saing internasional dan
memperpendeeek masa tunggu lulusan hingga mendapatkan kerja. Adanya upaya pengembangan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

35

model belajar ini sangat diharapkan oleh mahasiswa sehingga mereka bisa terbantu untuk
meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka serta nilai mata kuliah bahasa Inggris di kelas.
Pengembangan model ini juga diharapkan agar bisa membentuk mahasiswa yang mandiri,
kreatif, bisa memanfaatkan peluang, menghargai waktu dan inovatif.
Keberadaan SAP dan LKM di setiap jurusan juga memberikan gambaran bahwa beberapa
subsatnsi SAP dan LKM tersebut sudah mengarah pada pemenuhan kriteria pembentukan SAP
dan LKM yang berbasis pembelajaran mandiri. Hanya saja beberapa item dan substansi harus
perlu disesuaikan dengan cirri model tersebut.


Saran-Saran
Penelitian ini telah mengungkap bahwa belum adanya upaya-upaya dosen, dekan, atau
ketua jurusan untuk melakukan pengembangan model model SDL berorientasi TOEFL. Oleh
karena itu, diajukan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, kepada pemerintah melalui dinas pendidikan tinggi untuk memberi dukungan
terhadap pengembangan model SDL ini di level perguruan tinggi. Bantuan berupa kebijakan, ide,
sarana dan prasarana atau financial sangat diperlukan untuk pengembangan ini sehingga
terwujudnya proses pembelajaran yang optimal.
Kedua, kepada dekan, kajur atau pimpinan fakultas atau juga perguruan tinggi di Bali,
dianjurkan agar melakukan pembinaan pengembangan profesionalisme dosen, yang mencakup
pengembangan pembelajaran, pengembangan model ajar, pengembangan perlengkapan dan
media pembelajaran, serta kompetensi pedagogi. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah
dengan mengembangkan model SDL berbasis TOEFL ini. Pengembangan model ini tudak hanya
akan mampu meningkatkan professionalisme dosen, kreatifitas dosen dalam meneliti,
mengembangkan dan membuat modul ajar, meningkatkan cara belajar mahasiswa untuk
meningkatkan nilai TOEFL mereka namun juga akan mampu mengembangkan krastifitas,
karakter mahasiswa itu sendiri (seperti kemandirian, ketekunan, ketakwaan, kesabaran,
kompetensi personal dan sosial) yang sangat penting untuk meraih tujuan pendidikan Indonesia,
yaitu menbentuk manusia yang cerdas dan bermartabat.
Ketiga, disarankan kepada para dosen pengampu matakuliah tersebut atau mata kuliah
bahasa Inggris lainnya untuk selalu berfikiran kreatif dan inovatif untuk melatih diri untuk
mengembangkan profesionalisme mereka (seperti lewat seminar, workshop, latihan, penataran)
serta aktif mencoba dan menciptakan model-model pembelajaran yang diperlukan sesuai dengan
pengembangan iptek. Upaya-upaya tersebut akan memicu para dosen untuk selalu aktif berkarya
dengan mengadakan penelitian tindakan kelas (PTK), penelitian dan pengembangan (R&D).
Upaya-upaya ini akan membatu mereka menjadikan dirinya professional, produktif, berdayajual
tinggi.

Daftar Pustaka
Candiasa, I Made. 2004. Analisis Butir. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.
Degeng, I.N.S. 1989. Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK Depdikbud
Dick, W. & Carey, L. 1990. The Systematic Design of Instruction. Second Edition. Illinois: Scott,
Foresman and Company
Dirjen Dikti. 2004. Instrumen PSABK PGSMP/SMA
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460

36

Hamalik, O. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi
Aksara.
Japa, I Wayan. 2001. Self-Access Material on English Grammar: Facilitating the Students in
Writing. Makalah Lokakarya STKIPN Singaraja
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi 2002. Bandung: Remaja Rosdakarya
OMalley, J.M. & Pierce, L.V. 1996. Authentic Assessment for English Language Learners.
Practical Approach for Teachers. Ontario: Addison: Wesley Publishing Company.
Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2013. Program Kegiatan P3M. Denpasar:
Politeknik Negeri Bali
Paramartha, S. 2005. Keterampilan Menyimak dan Self Acess Learning: Suatu proses Berbasis
Individu. Dalam PRASI Volume 3 No. 5 Januari-Juni 2005.
Putra, K.D.C. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Mandiri Bahasa Inggris Berorientasi
TOEFL. Laporan Penelitian Politeknik Negeri Bali
Sadiman, S.A., Raharjo, S., Anung, H.R. & Rahardjito. 2005. Media Pendidikan Pengertian,
Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Santyasa, I Wayan. 2009. Metode Penelitian Pengembangan dan Teori Pengembangan Modul.
Makalah disajikan dalam penelitian bagi guru TK, SD, SMP, SMA dan SMK di
kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Bali.
Santyasa, I wayan. 2012. Laporan penelitian Hibah Pascasarjana: Pengembangan Model Student-
Centered Learning untuk Meningkatkan Penalaran dan Karakter Siswa Sekolah
Menengah Atas. Universitas Pendidikan Ganesha.
Sudaryanto.1993.Metode dan Aneka Teknik Analisi Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press
Tegeh, I M. 2005. Pengembangan Paket Pembelajaran dengan Model Dick & Carey pada Mata
Kuliah Sinetron Pendidikan Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP Singaraja. Tesis (tidak
diterbitkan). Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang


Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
37

ESENSI SEKAR ALIT SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN
BUDI PEKERTI

oleh
I Nyoman Sadwika
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
IKIP PGRI BALI
Abstrak
Paradigma pembelajaran memberikan peran lebih banyak bagi anak-anak
untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk
manusia yang mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia,
berkepribadian, memiliki kecerdasan, memilki estetika, sehat jasmani dan rohani,
serta kebutuhan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat dan Negara. Salah satu
acuan budaya yang dapat dijadikan sebagai landasan pembelajaran terdapat pada
Pupuh-pupuh (Sekar Alit). Yang merupakan potret pandangan dan pedoman hidup
bagi anak-anak, dimana banyak mengandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peranan
sekar alit dalam pembelajaran budi pekerti pada anak-anak? Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Digunakan juga strategi survey
bertujuan untuk mengumpulkan besar variable melalui alat pengukur wawancara.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui sejauhmana peranan
sekar alit dapat mempengaruhi budi pekerti para anak-anak.

Kata Kunci: Esensi, Budi Pekerti

Abstract
Learning paradigms provide more roles for children to develop their
potential and creativity itself in order to form a human who has the spiritual
power of religion, morality, personality, intelligence, have the aesthetic, physical
and spiritual health, as well as the needs required by him, the public and the
State. One of the cultural references that can serve as the basis of learning found
in pupuh-pupuh (Sekar Alit). Which is the portrait view and way of life for the
children, which contains a lot of values noble character.
The problem addressed in this research is how the role of sekar alit in
learning manners in children? The method used was descriptive qualitative
method. Used survey strategy also aims to collect a large variable gauges through
interviews. The purpose of this study was to determine the extent of the role of
sekar alit may affect the character of the children.

Keywords: Essence, character
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
38

PENDAHULUAN
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran
tentang belajar. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda-beda satu
sama lainnya. Ada yang menyebutkan belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman(learning is defined as the
modification or strengthening of behavior through experiencing). Menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu,
yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan
pengubahan kelakuan (Hamalik, 2011: 27).
Belajar dalam kehidupan masyarakat Bali sering disebut dengan
melajah. Melajah dalam kosa kata orang Bali bisa berarti sempit dan bisa juga
berarti luas. Dalam arti sempit kata melajah bisa dihubungkan dengan kata
lainnya, seperti melajah nulis (belajar menulis), melajah memaca (belajar
membaca), melajah ngigel (belajar menari), melajah nyupir (belajar mengemudi),
melajah magending (belajar menyayi). Tetapi kalau dalam arti luas kata melajah
(belajar) untuk kehidupan yang lebih luas dikatakan sebagai melajahang dewek
(membelajarkan diri). Dalam membelajarkan diri bagi masyarakat bali yang
memiliki keyakinan belajar merupakan sarana dan jalan utama untuk
meningkatkan kualitas diri, belajar hidup bermasyarakat, belajar mengembangkan
ketrampilan, dan belajar digunakan sebagai sarana untuk mencari nafkah dalam
kehidupan (pengupa jiwa) lahir dan bathin. Belajar, karena sangat penting
tidaklah dapat dipisahkan dari hakekat dan sumber ilmu pengetahuan.
Pengetahuan menurut keyakinan orang Bali dapat digambarkan atau disimbolkan
dengan Dewi Saraswati.
Dewi Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan digambarkan sebagai
dewi yang sangat cantik dan menarik. Menurut Sukadi (2010 : 36-37) menyatakan
pembelajaran dalam konsepsi sebagai yadnya adalah melakukan tindakan sebagai
bentuk pengorbanan suci. Pengorbanan suci tersebut adalah dalam rangka
memberdayakan potensi yang dimiliki anak-anak. Memberdayakan peserta didik
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
39

berarti membantu dan memfasilitasi, membimbing, mendidik, mengajar, melatih,
mengontrol, mendorong, atau memotivasi, dan mengarahkan perkembangan anak-
anak agar memiliki berbagai kapabilitas atau kecakapan untuk kehidupan mereka.
Kecakapan tersebut meliputi, antara lain : kapabilitas fisik, berpikir, emosional,
sosial, berkarya, berbudhi luhur, dan kesadaran rohaniah, yang optimal
pengembangan berbagai kecakapan tersebut penting bagi anak dalam rangka
melaksanakan tugas-tugas swadarma mereka dalam kehidupan dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bali banyak sekali punya
karya sastra yang dapat dipakai sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti salah satu contohnya puisi bali purwa(sekar alit) yang mana didalam puisi
tersebut banyak sekali petuah-petuah yang dapat diambil dan dapat diterapkan
untuk kemajuan bangsa dan negara. Namun karena perkembangan jaman dan
teknologi lambat laun puisi Bali teradisional semakin dilupakan oleh masyarakat
bali khususnya para pemuda. Keadaan puisi Bali tradisonal sekarang ini seperti
menempuh suatu perjalanan yang sangat melelahkan. Puisi bali purwa (sekar alit)
hanya tumbuh dikalangan komunitas yang sangat terbatas yaitu pada kalangan
orang tua saja. Didalam pergaulan sehari-hari anak-anak kuarang berminat dan
kurang pemahamannya terhadap arti, makna, serta ajaran-ajaran kehidupan yang
bisa menjadi cerminan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
sehingga apa yang tersurat dan tersirat dalam sekar alit tersebut tidak dapat
dipahami serta diterapkan oleh anak-anak dalam pergaulannya. Tetapi dengan
adanya kesenjangan dan permasalahan dalam kehidupan masyarakat Bali.
Fenomena lain yang terjadi tawuran antar pelajar , serta prilaku suka mabuk-
mabukan minum-minuman keras, dan berjudi. Maraknya geng motor yang sering
kali menjurus pada tindak kekerasan, kriminalitas, yang meresahkan masyarakat
bahkan tindakan kriminal, seperti pemalakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Semua prilaku negative masyarakat Bali baik yang terjadi dikalangan pelajar dan
mahasiswa maupun kalangan lainnya, jelas menunujukkan kerapuhan budi pekerti
yang cukup parah tidak optimalnya pengembangan pendidikan budi pekerti di
lembaga pendidikan. Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
40

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menegskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peredaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Pendidikan budhi pekerti perlu dimplementasikan pada jalur
pendidikan melelui pembelajaran khususnya pemahaman anak-anak terhadap
karya sastra puisi bali purwa (sekar alit) yang banyak mengandung petuah-
petuah, ajaran-ajaran kebenaran yang dapat diteladani dijadikan acuan,
pandangan hidup. Karena semakin merosot minat anak-anak terhadap pupuh-
pupuh yang banyak mengandung petuah dan ajarn-ajaran Tuhan, tetai meskipun
anak-anak jaman sekarang dapat menembangkannya dengan baik dan tepat.
Tetapi anak- anak tidak paham arti, makna, yang tersirat dan tersurat didalam
pupuh-pupuh (sekar alit) tersebut. sehingga tidak dapat mengiplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari
Sesuai dengan uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut.
1) Bagaimanakah peran sekar alit dapat dipakai sebagai sarana pendidikan
budi pekerti dalam kehidupan anak-anak masyarakat Bali.
2) Apakah sekar alit cukup efektip dipakai sebagai sarana pendidikan budi
pekerti dalam kehidupan anak-anak masyarakat Bali.


PEMBAHASAN
Konsep Belajar
Belajar merupakan merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungan. Pada prinsipnya belajar itu
merupakan perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara atau usaha
pencapaiannya. Pengertian ini menitik beratkan pada interaksi antara individu
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
41

dengan lingkungannya.didalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman-
pengalaman belajar.

Belajar adalah suatu proses
Belajar bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai
tujuan. Jadi merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh. Peserta
didik harus memilki empat pilar pendidikan dari UNESCO, yakni (1) belajar
mengetahui(learning to know), (2) belajar mengerjakan(learning to do), (3)
belajar memiliki(learning to be), (4) belajar hidup bersama(learning to live
together)
Pilar pertama, belajar mengetahui mengkondisikan peserta didik mendapat
pengalaman belajar yang menyenangkan dan budi pekerti, beretika yang luhur.
Perhatikan pupuh Sinom yang menggambarkan pesan dan pikiran yang baik eda
bonggan teken awak, lagu teka ucap ririh, eda duleg teken timpal, dyastu nista ya
kasihin, desek paekin saisai, yan prade perlu katulung, jelasang apanga
terang(janganlah menganggap diri paling pintar, setiap berbicara diaggap pintar,
jangan meremehkan orang lain, biar miskin dikasihani, dekatilah setiap hari, bila
perlu dibantu, beri tahu biar jelas).
Pilar kedua, belajar mengerjakan menunujukkan bahwa belajar tidak
hanya ingat saja, tetapi harus mengerti, bahkan terampil baik verbal maupun non
verbal. Bukan belajar tatabahasa (gramatikal), tetapi langsung berkomunikasi.
Anak muda harus piawai berbicara dan berbahasa.
Pilar ketiga, belajar memiliki menjelaskan bahwa kemampuan atau
keterampilan lahir batin harus menjadi milik pribadi peserta didik. Peserta didik
membentuk pemahamannya sendiri. Dengan cara begitu peserta didik diharapkan
mampu hidup didunia dengan baik dan segalanya terpenuhi
Pilar keempat, belajar hidup bersama mengacu kepada belajar
berkelompok. Peserta didik belajar bersama-sama, saling asah saling asih saling
asuh (saling bantu membantu), saling asah artinya saling menambah ilmu, saling
asih artinya saling tolong, saling asuh artinya saling memberitahu. Saling asah
saling asih dan saling asuh merupakan tingkah laku yang memperlihatkan rasa
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
42

kasih sayang yang tulus. Dengan maksud untuk menciptakan kebahagiaan
diantara mereka. Berdasarkan empat pilar itu peserta didik dikondisikan agar
menjadi berani berbuat dan berani bertanggung jawab dalam mengarungi
kehidupan.

Belajar dengan Jalan Mengalami
Pengalaman diperoleh berkat interaksi antara individu dengan lingkungan.
Pengalaman adalah sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan, bersifat
pendidikan, yang merupakan satu kesatuan disekitar tujuan murid, pengalaman
pendidikan bersifat kontinyu dan interaktif, membantu integrasi pribadi murid.
Pengalaman itu terbagi menjadi dua yaitu, (A) Pengalaman langsung partisipasi
sesungguhnya, berbuat dan sebagainya. (B) pengalaman pengganti yaitu melalui
observasi langsung, dengan cara : (1) melihat kejadian-kejadian aktual, menangani
objek-objek, dan benda-benda yang kongkret, (2) melalui melihat drama dan
pantomimik. Melalui gambar yaitu dengan cara: (a) melihat gambar hidup, (b)
melihat fotografi. Melalui grafis dengan cara sebagai berkut: peta, diagram,
grafik, blue print. Melalu kata-kata dengan cara, membaca dan mendengarkan.
Melalui simbol-simbol dengan cara simbol-simbol teknis, terminologi, rumus-
rumus, dan indeks.
Pengertian Budi Pekerti
Secara etimologis budi pekerti dapat dimaknai sebagai penampilan diri
yang berbudi. Budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak, dan watak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pusat bahasa Departemen
Pendidikan Nasional (2008:215) mengatakan, kata budi artinya alat bathin yang
merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbulkan baik dan buruk.
Selanjutnya budi juga bermakna akhlak, perangai, tabiat, kesopanan, jadi budi
pekerti artinya perangai, akhlak, dan watak. Dan budi pekerti dapat diartikan
sebagai baik hati(Majid,2011:3).
Secara oprasional budi pekerti dapat dimaknai sebagai prilaku yang
tercermin dalam kata, perbutan, pikiran, sikap, dan perasaan, keinginan,dan hasil
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
43

karya. Dalam hal ini budi pekerti dapat artikan sebagai sikap atau prilaku sehari-
hari, baik individu, keluarga, maupun masyarakat bangsa yang mengandung nilai-
nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan,
integritas dan kesinambungan masa depan dalam suatu sistem nilai moral, dan
menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan bersumber pada falsafah Panca sila. Budi pekerti memiliki
hbungan dengan etika, akhlak, dan moral. Moral berarti ajaran tentang baik dan
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan
sebagainya. Moral juga berarti akhlak, budi pekerti dan susila (Gunawan 2012:13-
14).

APLIKATIF SEKAR ALIT SEBAGAI PEMBELAJARAN BUDI PEKERTI

Begitu pentingnya makna membelajarkan diri bagi masyarakat Bali, para
leluhur di Bali telah memberikan pitutur/petuah yang bijaksana kepada setiap
orang untuk membelajarkan dirinya. Peran budhi yang sering disebut sebagai hati
nurani mungkin dapat menjadi fungsi eksekutif bagi tubuh dan pikiran. Karena
budhi yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan reflektif dan pengetahuan
moral memiliki peran fungsi yang sangat vital dalam proses belajar. Hal ini terjadi
karena pengendali, koordinasi, integrasi, dan pengarah bagaimana sistem
pengetahuan manusia diupayakan agar dengan landasan dharma (kebajikan) dapat
memperoleh artha (manfaat kesejahteraan) dan kama (kesenangan) dan mencapai
moksa (kemerdekaan dan kesejahteraan abadi). Budhi dalam ajaran agama hindu
merupakan pengembangan fungsi pikiran yang diperluas dan bertugas
mengendalikan dan mengarahkan tri guna yang mengikat kepribadian dan prilaku
atau perbuatan manusia. Bagaimana setiap orang harus membelajarkan dirinya,
pitutur atau petuah itu telah diwujudkan dalam pesan simbolik dalam sekar alit
(pupuh-pupuh)atau tembang antara lain menyebutkan :

1. Pupuh Pucung
Bibi anu (siapapun saudara)
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
44

Lamun payu luas manjus (jika jadi pergi mandi)
Antenge tekekang (selendangnya diperketat)
Yatnain ngaba masui (waspadalah membawa diri)
Tiuk puntul (pisau tumpul)
Bawang anggon pasikepan (bawang digunakan sebagai jimat)

Belajar karena tidaklah dapat dipisahkan dari hakekatnya dan suber ilmu
pengetahuan dalam proses belajar memunculkan perasaan tertarik terhadap objek
yang dipelajari membangun perasaan senang, gembira, ceria, percaya diri, bangga,
menghargai kedisplinan, ketertiban, keuletan, kerapian, menghargai kebersihan,
keindahan, kebebasan berkreasi, berkreativitas, mendorong hal-hal yang bersifat
fositif, hingga memunculkan perasaan senang dan bahagia, damai, sejahtera,
merasa sukses yang patut terus dikembangkan agar menjadi energi yang
bercahaya dalam pembelajaran. Konsekwensinya karena itu, manusia haruslah
membangun kesadaran dirinya sendiri secara terus menerus. Artinya manusia
haruslah membangun pengetahuannya sendiri tanpa henti. Manusia tidak cukup
hanya menjadi pintar
dan kemudian berhenti belajar. Manusia haruslah terus memberdayakan dirinya
dengan membangun dan mengembangkan pengetahuan dirinya sendiri.
Begitu pula dengan pupuh pucung diatas tersirat upaya pembelajaran
manusia, pupuh ini memberi makna bahwa kata bibi anu dalam bahasa Indonesia
sama artinya siapapun saudara / barang siapa hendaknya ingat dengan diri, eling
dengan keadaan yang sebenarnya sehingga tidak neka-neka atau mengada-ada
yang bermakna dalam bahasa bali artinya mulat sarira (selalu ingat dengan diri).
Begitu pula dengan tembang selanjutnya lamun payu luas manjus yaitu kata
manjus yang dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan mandi
membersihkan diri baik secara badaniah maupun bathiniah, membersikan diri
secara badaniah artinya membersihkan diri menggunakan air bersih sehingga
badan terasa bersih, nyaman dan sehat. Membersihkan diri secara bathiniah
artinya membersihkan diri dari berbagai kegelapan seperti : kebencian, kelobaan,
kesombongan, kebodohan, irihati, kemelaratan, kemiskinan, kemalasan, dan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
45

sebagainya. Jadi kata manjus intinya bermakna memberantas kegelapan atau
kebodohan. Untuk bisa membersihkan diri secara bathiniah atau membersihkan
diri dari kebodohan haruslah kita melalui giat dan rajin belajar antenge tekekang.
Disini kata anteng, memiliki dua pengertian yaitu, kata anteng juga bisa berarti
selendang dan bisa juga berarti rajin atau tekun.
Tekekang bisa berarti eratkan, pegang kuat-kuat, keratkan, pegang teguh.
Jadi disini arti yang cook dipakai untuk kata tekekang adalah peganglah kuat-kuat
apa yang ingin dicapai baik disiplin, rajin bekerja, rajin belajar, dan ulet dalam
belajar untuk mencapai suatu cita-cita dan selalu berjalan dijalan yang benar
(yatnain ngaba masui). yatnain berarti berhati-hatilah, waspadalah, selalu
berhati-hati dalam berbuat tidak ceroboh, selalu sadar dan tidak lupa dan lalai
dengan kewajiban. Ngaba artinya membawa, disini manusia harus bisa membawa
diri dengan sebaik-baiknya, dan dapat melindungi diri dari segala hal-hal yang
bersifat negatif. Masui bisa berarti buah pala yang hangat baunya menyengat.
Tetapi masui juga berasal dari suku kata ma yang berasal dari ringkesan
tradisional margi yang berarti jalan. Su berarti baik. Dan I merupakan simbol
tuhan sebagai sanghyang Iswara. Sehingga Makna kata masui disini dapat
diartikan apapun yang dilakukan, dilasaksanakan, dijalankan, harus berdasarkan
jalan yang baik dan benar, yaitu berjalan sesuai dengan ajaran Tuhan. Maka setiap
usaha belajar haruslah dapat menunutun manusia kearah yang lebih baik sesuai
dengan ajaran-ajaran tuhan. Orang yang mau belajar dan belajar sudah tentu dapat
memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk dalam mengarungi
kehidupan. Maka setiap orang yang belajar sudah pasti akan dapat menuntun
dirinya kearah yang lebih baik, diberikan sinar suci oleh tuhan dan
menghindarkan segala hal-hal yang bersifat negatif dalam dirinya. Artinya belajar
juga harus berlandaskan dharma. Belajar sesuai dengan ajaran agama, ajaran
tuhan sudah tentu membuat orang tidak sombong, angkuh, menganggap diri
paling pinter, tidak membodohi orang lain, tidak egois, tidak melukai perasaan
orang lain dan ini diibaratkan seperti (tiuk puntul ). Sama artinya pisau yang
tumpul, yang tidak akan melukai orang lain, tidak menyebabkan orang lain
terluka, tidak menyebabkan orang lain menjadi sakit. Apabila pisau yang tumpul
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
46

itu diasah dengan baik akan menjadi tajam dan sangat berguna bagi kita dan orang
lain. Sama halnya seperti manusia sebodoh-bodohnya seseorang apabila mau
belajar niscaya akan tahu dan pintar. Begitupula manusia yang pintar tidak akan
sombong, tidak mungkin akan melukai perasaan orang lain. Oleh sebab itu
bersikaplah seperti bawang, kalau semakin dikuliti semakin tidak kelihatan isinya,
dan selalu kelihatan kulit ari yang menandakan semakin dikuliti semakin banyak
kulit ari yang dilihat bagaikan orang belajar semakin banyak yang dipelajari
semakin banyak pula yang tidak diketahui. Tetapi jika terus dikupas tidak akan
pernah kelihatan intinya, isinya atau kosong tetapi itu ada sama artinya dengan
sunia. begitulah sifat ilmu pengetahuan makin dipelajari, dikupas, semakin
membuat orang menjadi kosong dan terasa semakin banyak yang tidak diketahui.
Apabila sudah belajar dan tehu apa yang kita pelajari maka seperti yang tersurat
dalam tembang, bawang anggen pasikepan artinya semakin banyak dipelajari
semakin banyak punya bekal untuk meneruskan kehidupan didunia ini. Sama
seperti sifat sifat tuhan dikatakan tidak ada tetapi sesungguhnya ada, dibilang
ada tetapi tidak kelihatan, keberadaannya dapat dirasakan setiap orang didalam
bhatinnya masing-masing. Makin dipelajari semakin terang jiwanya. Begitulah
ilmu pengetahuan yang berdasarkan kesucian, makin dipedomani semakin
membawa manusia kejalan yang benar. Akan membantu manusia untuk
menentukan jalan hidupnya, menjauhkan diri dari kegelapan dan kebodohan.
Seperti yang tersurat dalam pupuh ginanti dibawah ini, makna kehidupan
yang harus dipahami, diketahui, berdasarkan belajar sehingga paham yang harus
dilakukan didunia ini. Yang pada nantinya berguna bagi diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan negara.

` 2. Pupuh Ginanti
Mirib suba liu tahu,(mungkin sudah banyak tahu)
Kadi ne munggah ring aji,(seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan)
Jatin sengara punika,(sebenarnya kehancuran itu)
Wetu saking tingkah pelih,(disebabkan oleh prilaku yang salah)
Pelih saking ketambetin,(salah dari kebodohan)
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
47

Tambet dadi dasar sedih,(bodoh bisa menyebabkan kesedihan)

Berkembangnya kamampuan moralitas manusia diakui tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Setiap tingkah laku manusia harus berlandaskan budhi pekerti manusia untuk
mengenali hakekat hidupnya sebagai mahluk yang harus menyeimbangkan diri
dari hakekat biologis, mahluk individu, mahluk sosial, dan mahluk religius. Pupuh
atau tembang ini sering ditembangkan oleh orang tua untuk mendidik anaknya
sebagai petuah yang harus diikuti. Yang mana harapan orang tua supaya menjadi
anak yang suputra dan berguna bagi bangsa dan negara. Tembang tersebut
memberikan pitutur kepada anaknya supaya mau rajin belajar. Seperti bait-bait,
mirib suba liu tahu dalam bahasa Indonesia artinya Mungkin sudah banyak tahu,
makna dalam baris tebang ini memberikan pesan meskipun sudah banyak tahu
(pintar) tetapi masih banak pula yang perlu dipelajari, dan selalu berbuat
kebenaran dan bertingkah laku baik yang harus dilakukan, diperbuat dalam hidup
ini, kita tidak boleh lupa dengan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari(kadi ne
munggah ring aji). Seperti apa yang terdapat dalam ilmu pengetahuan maksudnya
disini manusia harus tetap eling pada perkembangan jaman, jangan lupa berbuat
sesuai dengan ajaran tuhan, ajaran agama, tidak berbuat kejahatan dan
membodohi orang lain dengan pengetahuan yang dimilki (jatin sengara puniku).
Karena kehancuran itu datang berdasarkan tingkah polah manusia yang jahat, iri
hati, dengki, sombong, bodoh, perbuatan yang salah(wetu saking tingkah pelih).
Apapun adanya itu apabila perbutan tidak dilakukan sesuai dengan kebenaran
maka hasilnya akan merugikan diri sendiri dan orang lain, oleh sebab itu manusia
harus mau belajar sehingga tidak bodoh dan dibodohi orang lain karena dunia itu
hancur disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakatnya (wetu saking tingkah pelih). Kebodohan, kesalahan, akan
menyebabkan kemelaratan sehingga terjadi kejahatan yang disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan manusia(pelih saking ketambetan). Apabila sudah bodoh
gampang diolok-olok oleh orang lain. Gampang dibodohi, sehingga tidak dapat
membela diri terjadilah kesedihan(tambet dadi dasar sedih).
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
48

Disaat seseorang berada pada lintasan umur menuntut ilmu atau belajar,
hatinya mesti lebih terdorong untuk mengisi diri dan bertekad bulat menuntut
ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan slogan Masa muda masa belajar dan
berjuang. Bukan masa muda dijadikan ajang sebagai masa bermalas-malasan dan
hura-hura. Hal itu tidak demikian semestinya karena sejarah telah membuktikan
bahwa pemuda adalah tulang punggung negara. Mereka hendaknya mampu
membuat perubahan jaman, seolah-olah sebagai pembuat sejarah dalam kehidupan
berbangsa dan negara. Dalam agama hindu masa belajar disebut dengan brahma
cari asrama yang pertama dalam catur asrama. Tatanan hidup rohani setiap umat
selama dalam batas umur brahmacari asrama ialah menuntut ilmu pengetahuan.
Mengisi diri menuju kedewasaan rohani, jasmani, sehingga berkembang sejalan
dan sehimbang. Apabila hal ini terwujud dalam diri manusia, orang itu akan
menunjukkan sikap bertanggung jawab. Artinya setiap orang yang dikerjakan atau
diperbuatnya harus disertai dengan sikap pertanggungjawaban.
Masa brahmacari asrama itu dalah masa menuntut ilmu, yakni masa
belajar dan berjuang, mengisi diri, menuju peringkat hidup yang lebih baik, dalam
usaha melenyapkan atau menghilangkan kegelapan menuju kecerdasan. Terutama
dalam era globalisasi ini iptek (ilmu pengetahuan) dan imtak( iman dan takwa)
harus sehimbang. Artinya antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
harus diselaraskan dengan prilaku iman dan takwa. Apabila tidak sehimbang
antara penguasaan iptek dan pengalaman prilaku imtak hal ini dapat menimbulkan
kesombongan.
Sekar alit merupakan dari pupuh-pupuh yaitu jenis tembang bali yang
bahasanya sangat sederhana diperntukkan bagi masyarakat bali yang sangat
banyak mengandung petuah-petuah dan tutur yang adiluhung. Seperti pupuh
ginanti yang disusun berdasarkan bait-bait puisi ssuai dengan pola atau struktur
tembangnya masing-masing. Serta metrum-metrum yang mengaturnya dalam
bahasa bali disebut dengan pada lingsa, dan setiap puph memiliki pada lingsa
yang berbeda-beda sehingga karakter pupuhpun berbeda-beda. Disin dicontohkan
pupuh ginanti yang sarat dengan nilai pendidikan dan pembelajaran.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
49

3.Pupuh Ginanti
Saking tuhu manah guru(dari lubuk yang paling dalam seorang guru),
Mituturin cening jani(menasehati anak-anak sekarang)
Kawruhane luir sanjata(ilmu itu bagaikan senjata)
Ne dadi prabotang sai(yang dapat pipakai setiap hari)
Kaanggen ngaruruh merta(dipakai mencari artha benda)
Saenun ceninge urip(selama engkau hidup didunia ini).

Teks pupuh ginanti ini mengajarkan kepada anak-anak oleh guru dengan
hati yang sangat tulus iklas mengajarkan siswanya supaya menjadi anak yang
berbakti, baik, sopansantun, memiliki ilmu yang tinggi (saking tuhu manah guru).
Dengan sangat telaten dan sabar seorang guru selalu mengajarkan murid-
muridnya kearah yang lebih baik karena pengetahuan itu sangat berguna dari yang
bodoh menjadi pintar dan yang pintar menjadi lebih pintar(mituturin cening jani).
Karena ilmu itu bagaikan senjata, apabila senjata itu dipakai dengan baik, maka
senjata itu akan mengasilkan sesuatu yang baik. Begitu pula apabila senjata itu
tumpul bila diasah dengan tepat maka akan menjadi tajam itulah sifat-sifat
manusia semakin diasah dan mau bejar niscaya akan pintar dan pandai(kaweruha
luir sanjata). Kecerdasan, kepandaian, pengetahuan, itu bagaikan senjata yang
sangat tajam dalam hidup ini yang dapat dipakai mencari nafkah, arta
benda(pengupa jiwa) dalam bahasa bali selama orang itu masih hidup (saenun
ceninge urip).

4. Pupuh Sinom
Tingkahe mlajahang awak(prilaku mendidik diri)
Patut telebe sujati(benar tekun itu yng utama)
Eda mebina-binayang(janganlah membeda-bedakan)
Teken peplajahan sami(dengan semua pelalajaran)
Makejang patut demenin(semua patut disenangi)
Sulit abot dangan ipun(susah senang pikul bersama)
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
50

Makejang pada maguna(semua pada berguna)
Twara dadi ya belasin(tidak bias dipisahkan)
Sinah lebur(pasti hancur)
Yan kelidang sayan buyar(apabila dihindari pasti berantakan)

Apapun ajaran itu berisi hal-hal yang menyangkut budi pekerti luhur, yang
berkaitan dengan budi pekerti manusia yang memilki sikap kepahlawanan, agama,
etika, moral, kebenaran, dan prilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran itu
sesungguhnya sebenarnya tidak hanya mengenal hal-hal yang baik saja, tetapi
juga mencakup hal-hal yang buruk. Keduanya dihajarkan supaya dapat
membedakan budi pekerti yang baik dan sifat-sifat buruk. Pendidikan yang baik
wajib diteladani, sedangkan sifat-sifat yang buruk ditinggalkan dan disimpan
sebagai pengetahuan jika suatu saat mengahadapi yang buruk itu.
Seperti yang terdapat dalam pupuh sinom berikut, tingkahe mlajahang
awak yang memiliki arti manusia sebagai ciptaan tuhan harus selalu belajar
bertingkah laku yang baik, tidak dibodoh-bodohi orang lain, mengkuti
perkembangan jaman agar tidak ketinggalan informasi. Apapun yang kita
kerjakan apabila berdasarkan, ketekunan, kejujuran, etika, moral, kebaikan,
darma, sopan santun,niscaya hasilnya pasti akan baik. Dihormati oleh orang lain
(patut telebe sujati). Dalam pergaulan sehari-hari janganlah membeda-bedakan
orang lain, membeda-bedakan pelajaran, membeda-bedakan keyakinan,
membeda-bedakan setatus social(eda mabina-binayan). Apaun ajaran/ilmu itu
pasti mengandung ajaran-ajaran yang mulia janganlah kita membeda-bedakannya
karena tidak ada pengetahuan/pendidkan itu menyengsarakan atau menyesatkan
umatnya(teken pepelajahan sami). Karena ilmu pengetahuan itu bagaikan dewi
saraswati sangat cantik sebagai dewi ilmu pengetahuan yang setiap orang ingin
mengetahui dan berlomba-lomba untuk memilikinya(makejang patut demenin).
Maka seberapapun beratnya kehidupan ini harus dijalani secara bersama-sama
dengan keiklasan yang didasari oleh ilmu pengetahuan,sehingga tercipta
keharmonisan(sulit abot dengan ipun). Semuanya akan berguna, semuanya
memiliki manfaat, semuanya memilki arti, makna, tujuan yang sudah ditentukan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
51

oleh tuhan tinggal melaksanakanya sesuai dengan kemampuan. Apapun itu
adanya pasti berguna(makejang pada maguna). Karena yang satu dengan lainnya
memilki ikatan yang tak dapat pisahkan, memilki fungsi, manfaat, kegunaan
masing-masing (tuara dadi ya belasin). Jika dipisahkan pasti akan berantakan,
hancur, berat sebelah, tidak memilki kekuatan, tidak memilki acuan dalam
kehidupan(sinah lebur). Ilmu pengetahuan itu seemakin tidak dipelajari akan
semakin terlupakan, ketinggalan jaman, keadaan semakin tidak jelas, ditinggalkan
oleh orang lain dalam dunia pendidikan maka hacurlah dunia ini(yan kelidang
sayan buyar)

5. Pupuh Durma
Eda tampu(jangan malas)
Nyemak geginan melajah(ngambil pekerjaan belajar)
Mula tugas dadi murid(memang tugas jadi siswa)
Bekelang kayang kawekas(bekal sampai akhir hayat)
Kabisane tuara hilang(kepandaiannya tidak akan hilang)
Saenun ragane urip(selama hayat masih dikandung badan)
Eda tungkas(jangan bertentangan)
Asing pituture luih(semua ajaran itu baik)

Makna dari pupuh diatas sangat jelas, bahwa pendidikan itu sangat
dibutuhkan oleh setiap orang. Selain harus tekun belajar sehari-hari generasi muda
juga harus rajin sembahyang dan mendengarkan pitutur (istilah bali). Karena
dalam pupuh durma tersebut banyak tutur / nasehat yang harus ditaati sebagai
siswa. Seperti bait pertama menyebutkan eda tampu, janganlah kita malas karena
banyak yang harus kita kerjakan dalam hidup ini untuk menyongsong hari esok
yang lebih baik . maka melalui belajar sebagai suatu kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh generasi muda untuk mengisi dirinya sebagai bekal
hidup(nyemak geginan melajah). Pekerjaan yang namanya belajar memang tugas
seorang siswa, tidak boleh malas belajar dan harus tetap rajin, tetap semangat
menuntut ilmu setinggi langit untuk sebuah cita-cita belajarlah terus sebagai tugas
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
52

siswa(mula tugas dadi murid).jika dikaitkan dengan kehidupan masa kini, maka
pupuh ini sangat berperan sesungguhnya untuk mengarahkan pikiran para
generasi muda khususnya siswa. Untuk menhindari dari segala kebodohan,
kegelapan, kemelaratan, kebencia irihati, dengki, sombong dan sebagainya.
Sehingga dapat dijadikan bekal hidup untuk selamanya(bekelang kayang
kawekas). Demikianlah dijelaskan tentang hal ilmu pengetahuan tersebut. Yang
menimbulkan kebahagiaan pupuh ini sangat penting untuk dipahami sehingga
mampu mengendalikan diri dari segala godaan karena ilmu itu tidak akan pernah
hilang dan sust walaupun dimakan jaman(kabisane twara hilang). Pekerjaan
apapun yang ada dan dilakukan didunia ini pasti berdasarkan ilmu pengetahuan.
Inilah sesungguhnya orang yang pandai menempatkan diri dengan menunjukkan
cirri khas pendidikan yang mempunyai keteguhan diri dengan menjungjung tinggi
rasa hormat, tunduk pada diri sediridalam menghadapi semua orang dengan tidak
membedakan posisi ataupun kedudukan. Karena ilmu itu akan selalu digunakan
selama hayat masih dikandung badan(sa henun ragane hurip). Itu sebabnya
usahakanlah belajar dengan baik jangan menetang petujuk, karena akan
menyengsarakan. Namun sering-seringlah sujud mohon petunjuk, karena ilmu itu
dapat dipecahkan melalui diskusi bersama teman untuk dilaksanakan dalam
kehidupan. Jagan melawan segala perintah tuhan, jauhi larangannya dan laksakan
perintahnya(ede tungkas). Dalam pandangan hidup orang bali hidup itu mengalir
bagaikan aliran air sungai dari waktu kewaktu, dari hari kehari, yang dapat
menghanyutkan. Bagi orang bali hidup ini boleh saja mengikuti arus, namun
jangan hal itu sampai tidak disadari. Karena dalam kehidupannya selalu
berdasarkan budi pekerti yang luhur, dan selalu berbuat sesuai dengan petuah
(pitutur )istilah bali yang dijadikan acuan dalam mengarungi hidup ini sehigga
tercapai kesejahteraan(asing pituture luih).
SIMPULAN
Berdasarkan pemamparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pembelajaran budi pekerti patut direvitalisasi bersama-sama untuk dapat selalu
disosialisasikan pada setiap kesempatan untuk menjaga stabilitas bangsa,
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460
53

sekaligus untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Aplikasi pembelajaran
budi pekerti tidak perlu melalui bidang studi khusus, melainkan dapat dilakukan
oleh semua elemen bangsa baik melalui jalur pembelajaran formal maupun
nonformal.
Pembelajaran sekar alit yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya Bali
dan agama Hindu sangat banyak mengandung nilai-nilai budi pekerti. Kearifan
local etnik Bali yang berupa ajaran yang bersumber dari sekar alit itu dapat
dimanfaatkan sebagai model dalam menanamkan budi pekerti bagi bangsa
Indonesia. Penanaman budi pekerti melalui pupuh tersebut dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Djamarah Bahri Syauiful. dan Zain Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta Rineka Cipta.

Gunawan Heri. 2012 . Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung.
Alfabeta.

Hamalik Oemar. 2011. Poses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Denpasar.

Remen Iketut. 1982. Penuntun Mempelajari Sekar Alit.

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.

Sukadi. 2010. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Yadnya Sebagai Sarana
Pendidikan Karakter dan Budi Pekerti. Orasi disampaikan pada
pengenalan jabatan guru besar tetap dalam bidang ilmu pendidikan
kewarganegaraan. Universitas Pendidikan Ganesa. Singaraja.
54

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA DALAM LINGKUNGAN
KELUARGA PADA ANAK USIA 3 TAHUN

oleh
Putu Agus Permanamiarta
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
Email: juzz.permanamiarta@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemerolehan bahasa kedua
anak usia tiga tahun. Penelitian ini mendeskripsikan tentang panjang ayat, struktur
kalimat dan ujaran anak usia tiga tahun setiap giliran tutur dalam percakapan yang
dianalisis menggunakan metode kualitatif. Proses pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode observasi. Data yang diperoleh dari
metode observasi selanjutnya dianalisis dan diolah dengan metode analisis
deskriptif sinkronis, didasarkan atas pola berpikir induktif. Pola berpikir induktif
yang dimaksud, yaitu pola berpikir yang berangkat dari data atau fakta yang
khusus atau peristiwa yang nyata, kemudian menuju kepada kesimpulan yang
bersifat umum.
Berdasarkan hasil observasi, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama,
berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya
mengucapkan kata-kata secara terpenggal serta penguasaan bahasa yang dikuasai
anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu. Kedua, anak umur tiga tahun
sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat
sederhana dan terbatas. Ketiga, Berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur
dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya menjawab pertanyaan dari mitra
tutur.

Abstract
This study was aim at describing the second language acquisition of three
year old child. This study was described the long paragraph, sentence structure
and speech of three year old child in each speech in daily conversation that
analyzed by using qualitative methods. The process of collecting data in this study
was carried out by the method of observation. Data obtained from observation
methods were then analyzed and processed to the synchronic descriptive analysis
method, based on inductive reasoning patterns. The pattern was inductive
thinking, ie thinking patterns that depart from the specific data or facts or real
events, then headed to the general conclusions.
Based on observations, we can conclude several things. First, based on the
long paragraph three year old child in the general told the words were
fragmented and controlled child language acquisition obtained through certain
stages. Second, the three years old child had been able to construct a sentence in
55

the recalled though still very modest and limited. Third, by the number of
utterances per speech turn of three year old child was evidenced tells only answer
questions from the hearer.

1 PENDAHULUAN
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung
di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu
seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa
pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Performansi
terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-
kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau
mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan
melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri. Sehinnga yang
menjadi tolak ukur pemerolehan bahasa kedua adalah bagaimana mempelajari
bahasa.
Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa
manusia. Lazimnya pemerolehan bahasa pertama dikaitkan dengan perkembangan
bahasa kanak-kanak manakala pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada
perkembangan bahasa orang dewasa (Language Acquisition: On-line).
Terdapat dua proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam
kalangan anak-kanak yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua
faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor
nurture dan faktor nature. Namun para pengkaji bahasa dan linguistik tidak
menolak kepentingan tentang pengaruh faktor-faktor seperti biologi dan
persekitaran.
Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa
disadari atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara
formal untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang
dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya. Penelitian tentang pemerolehan
56

bahasa sangat penting terutamanya dalam bidang pengajaran bahasa. Pengetahuan
yang cukup tentang proses dan hakikat pemerolehan bahasa boleh membantu
bahkan menentukan kejayaan dalam bidang pengajaran bahasa.
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa masalah yang dibahas
antara lain:
1. Bagaimanakah panjang ayat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam
bertutur?
2. Bagaimanakah struktur kalimat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam
bertutur?
3. Bagaimanakah ujaran setiap giliran tutur yang digunakan anak usia tiga
tahun dalam bertutur?

2 PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan materi-materi pendukung dalam penelitian
ini seperti pengertian pemerolehan bahasa kedua, peranan lingkungan dalam
pemerolehan bahasa kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan
bagasa kedua dan metode penelitian.

2.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua
Menurut Dardjowidjojo dalam bukunya Psikolinguistik, istilah
pemerolehan dipakai untuk menerjemahkan bahasa Inggris acquisition, yang
diartikan sebagai proses penguasaan bahasa secara alami dari seorang anak saat ia
belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini berbeda dari istilah
pembelajaran yang dalam bahasa Inggris adalah learning. Dalam pengertian
pembelajaran, proses itu berada dalam suasana yang formal, belajar di kelas serta
ada seorang guru yang mengajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses seorang
anak belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses
orang dewasa yang belajar di kelas adalah pembelajaran.
Menurut Wikipedia, pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang
belajar bahasa kedua disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua
merujuk kepada apa yang siswa lakukan dan tidak merujuk kepada apa yang guru
57

lakukan. Penelitian pemerolehan bahasa kedua mempelajari psikologi dan
sosiologi dari proses pembelajaran. Terkadang istilah pemerolehan dan
pembelajaran tidak diperlakukan sebagai sinonim tapi justru mengacu pada
aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing proses. Bahasa kedua atau B2
biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu mereka,
yang juga disebut bahasa pertama atau B1.

2.2 Peranan Lingkungan Bahasa dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
Secara umum lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1)
lingkungan formal, yang dijumpai dalam proses belajar, mengajar, (2) lingkungan
informal (Krashen, 1982:40). Krashen juga menyatakan bahwa untuk menguasai
bahasa kedua pembelajar dapat menggunakan dua cara yakni melalui proses
pembelajaran dan melalui proses pemerolehan. Pembelajaran merupakan proses
yang disadari dan bertitik berat pada perhatian pembelajar pada bentuk bahasa
atau struktur. Sedangkan pemerolehan merupakan proses yang serupa pada saat
menerima bahasa pertama. Pemerolehan berlangsung sejalan dengan aktivitas
yang tidak disadari oleh pembelajar. Dalam proses ini lazimnya lebih menekankan
pada makna atau pesan, berlangsung secara alami, tanpa pengajaran formal (Ellis,
1986:6).
Uraian di atas memperjelas bahwa lingkungan formal sangat berkaitan
dengan pembelajaran. Lingkungan informal berkaitan dengan proses
pemerolehan. Dalam komunikasi situasi formal frekuensinya relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan situasi informal. Hal ini menjadikan lingkungan informal
lebih berperan daripada lingkungan formal.
Lingkungan informal terjadi secara alami. Yang tergolong lingkungan
informal adalah bahasa yang dipakai teman sebaya, bahasa pengasuh, bahasa
orang tua, bahasa yang dipakai di media cetak atau elektronik dan bahasa yang
dipakai guru dalam proses belajar mengajar di kelas.
Dulay (1982) menyatakan terdapat empat hal dari lingkungan bahasa yang
berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua, yakni, (1) sifat alami bahasa
sasaran, (2) cara pembelajar dalam berkomunikasi, (3) adanya acuan yang
58

konkret, dan (4) model bahasa sasaran. Dalam lingkungan bahasa yang bersifat
alami titik berat komunikasi adalah isi pesan, bukan bentuk linguistiknya atau tata
bahasa. Belajar bahasa secara alami akan memperlihatkan hasil kemampuan
berbahasa yang lebih baik daripada melalui lingkungan formal yang lebih
menitikberatkan pada pemerolehan bahasa secara sadar tentang aturan-aturan
bahasa ataupun pemakaian bentuk formal linguistik.
Pemerolehan bahasa kedua, yang memungkinkan pembelajar mampu
berkomunikasi dua arah penuh. Tentunya hal ini terjadi secara bertahap.
Adanya acuan bahasa yang konkret juga harus diperhatikan. Oleh karena itu,
peristiwa yang diangkat sebagai bahan harus merupakan peristiwa atau hal yang
dapat dilihat, didengar atau dirasakan secara langsung oleh pembelajar ketika
percakapan sedang berlangsung. Komunikasi yang demikian dapat menjamin
pembelajar dapat memahami banyak hal tentang apa yang dikatakannya dalam
bahasa kedua. Dengan demikian dapat memicu perkembangan dan pemerolehan
struktur dan kosakata bahasa sasaran.
Terkait dengan ketersediaan acuan konkret Long (Ellis, 1982:157-158)
menyatakan agar masukan dapat terpahami maka perlu diperhatikan bebeapa hal,
(1) struktur dan kosakata yang digunakan berkomunikasi hendaknya sudah
dikuasai oleh pembelajar, (2) berorientasi pada bahan yang bersifat here and
now, (3) struktur interaksi dalam komunikasi harus dimodifikasi sedemikian
rupa.
Dalam mempelajari bahasa kedua, pembelajar selalu memilih model yang
mampu menghasilkan ujaran yang baik dan benar. Model bahasa kedua ini dapat
dipilih sendiri oleh pembelajar dari lingkungan bahasanya. Model tersebut bisa
jadi dari kawan, guru, orang tua, buku-buku, majalah atau koran, penyiar radio
atau televisi dan sebagainya.
Peran Lingkungan Informal terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua telah
diuraikan bahwa lingkungan informal berperan dalam pemerolehan bahasa kedua.
Peran tersebut menyangkut keberadaannya sebagai bahan masukan sekaligus
bahan monitor. Salah satu lingkungan bahasa yang banyak berperan adalah teman
59

sebaya. Teman sebaya tampaknya memiliki pengaruh lebih besar dari pada orang
tua atau guru terhadap pembelajar bahasa kedua.
Lingkungan keluarga tampaknya hanya terbatas pada peran bahasa
pengasuh terhadap pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan untuk pembelajar
dewasa, kekuatan bahasa pengasuh ini semakin berkurang, lebih-lebih bila
dihubungkan dengan pemerolehan bahasa kedua. Bahasa pengasuh lebih mirip
dengan bahasa penutur asing.


2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua
Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh enam faktor.
Pertama, faktor motivasi. Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat,
akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi, dalam perspektif ini meliputi
dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang menggerakkan seseorang
untuk belajar bahasa. Motivasi berasal dalam diri individu, yang dapat
digolongkan sebagai motivasi integratif dan motivasi instrumen. Motivasi
integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan penutur,
sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh
prestasi atau pekerjaan tertentu.
Kedua, adalah faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan
informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang
sedemikian rupa, artifisial, bagian dari pengajaran, dan diarahkan untuk
melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah (Krashen, 2002). Lingkungan
informal adalah lingkungan alami dan natural yang memungkinkan anak
berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal,
terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses
pemerolehan bahasa. Selain itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantu
anak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi cetak, buku-buku bergambar,
dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian dari
lingkungan yang diperkaya.
Ketiga, adalah usia. Menurut Lambert (1962), anak-anak memiliki peluang
untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih berada pada masa umur kritis
60

berbahasa (Paivio, 1981). Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang untuk
berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara
natural (Brewer, 1995)
Keempat, adalah kualitas pajanan. Materi pembelajaran yang dipajankan
secara natural memberikan makna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari. Di lain
pihak, pajanan yang disajikan secara formal membuat anak menguasai kaidah
secara relatif cepat, meskipun mungkin mereka tidak dapat mengeskpresikan
penguasaannya dalam komunikasi yang natural (Ellis, 1986).
Kelima, adalah bahasa pertama. Jika bahasa pertama memiliki kedekatan
kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar mempunyai kemudahan
mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan percampuran
kode lebih mudah terjadi, sebagaimana banyak ditemukan percampuran kode
dalam tuturan anak-anak Taman Kanak-kanak di DIY (Musfiroh, 2003).
Keenam, adalah faktor intelligensi. Walaupun belum terbukti secara akurat
dan bertentangan dengan teori multiple intelligences, diduga tingkat kecerdasan
anak mempengaruhi kecepatan pemerolehan bahasa keduanya. Anak-anak
bilingual memiliki performansi yang secara signifikan lebih baik daripada anak-
anak monolingual, baik pada tes inteligensi verbal maupun nonverbal (Lambert,
1962)

2.4 Metode Penelitian
Metode merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penelitian. Tercapai
tidaknya tujuan penelitian sangat tergantung pada metode yang digunakan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif secara umum
dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah
laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan
menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana
metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang
tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit
untuk dipahami secara memuaskan (Strauss dkk, 2003).
61

Data yang diperoleh dari hasil wawancara adalah berupa tuturan langsung
subyek penelitian dan cacatan tentang percakapan subyek penelitian. Teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik interpretasi dengan cara menganalisis
data sesuai dengan teori pemerolehan bahasa dalam peristiwa tutur yang dianalisis
berdasarkan panjang ayat, struktur kalimat, dan ujaran setiap giliran tutur yang
digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur.
Adapun subyek penelitian yang telah diteliti adalah seorang anak yang
usianya berkisar 3 tahun yang bertutur dalam bahasa Bali. Bahasa tersebut
merupakan bahasa ibu anak itu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan
keluarga ayah ibunya sendiri. Berikut identitas anak tersebut.
1. Identitas Anak
Nama : I Putu Pande Bagas Yana Putra
Tempat, Tanggal Lahir : 21 Nopember 2009
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 3 Tahun 1 Bulan
Anak Ke : 1
Alamat : Jl. Karang Suwung, Perumahan Graha
Canggu, Blok D/7

2. Identitas Orang Tua
a. Ayah
Nama : I Made Herman Saputra
Tempat, Tanggal lahir : 24 Desember 1981
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Karang Suwung, Perumahan Graha
Canggu, Blok D/7
b. Ibu
Nama : Ni Luh Putu Idayanti
Tempat, Tanggal lahir : 11 Mei 1981
Umur : 31 Tahun
62

Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Karang Suwung, Perumahan Graha
Canggu, Blok D/7
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode
observasi. Metode observasi adalah suatu cara yang dilakukan peneliti untuk
mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung dan
sistematis, yang mana data-data yang diperoleh dalam observasi itu dicatat dalam
suatu catatan observasi (Nurkancana, 1986:46).
Peneliti menggunakan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). Teknik
ini berarti peneliti juga berpartisipasi langsung di dalam percakapan yang terjadi.
Teknik SBLC ini dimaksudkan si peneliti menyadap perilaku berbahasa di dalam
suatu peristiwa tutur dengan tanpa keterlibatannya dalam peristiwa tutur tersebut.
Jadi, peneliti hanya sebagai pengamat. Teknik ini digunakan dengan dasar
pemikiran bahwa perilaku berbahasa hanya dapat benar-benar dipahami, jika
peristiwa berbahasa itu berlangsung dalam situasi yang sebenarnya dan berada
dalam konteks yang lengkap.
Dalam penerapannya, selain dengan pengamatan, dilakukan pula
pencatatan/teknik catat, dan rekaman/teknik rekam yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Pengamatan
2. Pencatatan/teknik catat
3. Rekaman/teknik rekam

3 HASIL
Dalam bagian ini terdapat empat peristiwa tindak tutur yang diuraikan.
Peristiwa tindak tutur tersebut sebagai berikut.

Peristiwa Tutur I
Bagas : Subyek Analisis
Herman : Bapak dari Subyek Analisis
Idayanti : Ibu dari Subyek Analisis
63

Herman
Bagas
Herman

Bagas
Herman
Bagas
Idayanti
Bagas
:
:
:

:
:
:
:
:
Diam dik bagas, udah besar engga boleh nangis.
Bu.. (sambil menagis)
Tunggu sebentar, ibunya dik bagas lagi kerja. Sama bapak
dulu ya?
Ing nyak, maunya sama Ibu
Bapak punya mobil-mobilan, mau main?
Enggak Bu (akhirnya ibunya datang)
Tinggal sebentar kok nangis?
Liin jajak!

Peristiwa Tutur II
Bagas : Subyek Analisis
Herman : Bapak dari Subyek Analisis
Idayanti : Ibu dari Subyek Analisis
Bagas
Herman
Bagas

Herman
:
:
:

:
Lambutnya ibu luung ya pak.
Iya, ibunya sapa dulu dong dik bagas?
Ibunya bagas dong pak. (ciaaaatt ciaaatt, sambil
memukul bapaknya)
Maem dulu es krimnya dik, nanti dihabisin lo!
Bagas : Adik ga suka es yim, es yim jelek.

Peristiwa Tutur III
Bagas : Subyek Analisis
Idayanti : Ibu dari Subyek Analisis
Bagas
Ibu
Bagas
Ibu
Bagas
Ibu
:
:
:
:
:
:
Bu, kiap.
Ya, tunggu sebentar, Ibu masih masak.
Cepat.
Sabar dik bagas, nanti ga ibu beliin mainan ya?
Ibu jelek!
Tunggu sebentar dik bagas bagus genjing.

64

Peristiwa Tutur IV
Bagas : Subyek Analisis
Agus : Om dari Subyek Analisis
Anita : Tante dari Subyek Analisis
Agus
Bagas
Agus
Bagas
Agus
Bagas
Anita
Bagas
Anita
Bagas
Agus
Bagas
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Dik bagas, satu tambah satu berapa?
Dua
Pinter dik Bagas lo!
Ya dong, dik bagas gitu lo!
Bagas mau coklat?
Ing nyak.
Kok ga mau?
Ga dikasi sama Ibu aem coklat.
Ayo, Bagas apa bisa berhitung?
Dueeeegg. (dengan nada lantang)
Ayo gimana berhitungnya?
Atu, dua, tiga, pat .

3.1 Analisis Berdasarkan Panjang Kalimat
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang
diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang
semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya
sampai ia memilih berdasarakan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa
yang baik serta paling sederhana dari bahasa (Tarigan, 1984). Lebih jelasnya
pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang pertama kali dilakukan
oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan potensi kognitif yang
dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara alamiah.
Bahasa yang pertama kali dikenal dan diperoleh anak-anak dalam
kehidupannya adalah bahasa Ibu (mother language) atau sering disebut dengan
bahasa pertama (first language). Bahasa inilah yang mula-mula dikenal oleh anak
kecil dan dipergunakan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai bahasa
65

komunikasi. Pada saat ini, maka telah mempunyai kemampuan bawaan
memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari melalui pembentukan
hipotesis karena adanya struktur internal pada mental mereka.
Pada hakekatnya, proses pemerolehan bahasa itu pada setiap anak sama,
yaitu melalui pembentukan dan pengujian hipotesis tentang kaidah bahasa.
Pembentukan kaidah itu dimungkinkan oleh adanya kemampuan bawaan atau
struktur bawaan yang secara mental dimiliki oleh setiap anak. Inilah yang disebut
dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device/ LAD). Dengan ini
setiap anak dapat memperoleh bahasa apa saja serta ditentukan oleh faktor lain
yang turut mempengaruhinya. Data kebahasaan yang harus diproses lebih lanjut
oleh anak merupakan hal yang penting.
Dalam analisis khususnya panjang ayat anak usia tiga tahun tidak terlepas
dari penguasaan dan pemerolehan bahasa. Pemerolehan ini yang terjadi secara
alamiah.

Analisis Peristiwa Tutur I
Herman
Bagas
Herman

Bagas
Peneliti
Bagas
Idayanti
Bagas
:
:
:

:
:
:
:
:
Diam dik bagas, udah besar engga boleh nangis.
Bu.. (sambil menagis)
Tunggu sebentar, ibunya dik bagas lagi kerja. Sama bapak
dulu ya?
Ing nyak, maunya sama Ibu
Bapak punya mobil-mobilan, mau main?
Enggak Bu (akhirnya ibunya datang)
Tinggal sebentar kok nangis?
Liin jajak!
Dalam percakapan di atas, bahwa Bagas mengucapkan kata-kata yang
terpenggal. Jadi, dapat disimpulkan anak usia tiga tahun sebenarnya sudah bisa
berkomunikasi, meskipun secara terbatas. Komunikasi secara terbatas dalam tutur
ini karena keadaan situasi yang sedang dialami Bagas. Dalam keadaan menangis
Bagas secara tidak langsung akan memanggil yang namanya Ibu, karena hanya
ibulah orang yang terdekat yang merawat dia.
66

Selain penjelasan di atas pada dasarnya pemerolehan bahasa anak-anak itu
melalui beberapa tahap. Anak tidak secara langsung bisa mengucapkan semua
fonem dalam tataran bunyi. Misalnya Bu, karena fonem /b/ merupakan bunyi
labial yang pertama kali dikuasai anak.

Analisis Peristiwa Tutur II
Bagas
Herman
Bagas

Herman
:
:
:

:
Lambutnya ibu luung ya pak.
Iya, ibunya sapa dulu dong dik bagas?
Ibunya bagas dong pak. (ciaaaatt ciaaatt, sambil mukulin
bapaknya)
Maem dulu es krimnya dik, nanti dihabisin lo!
Bagas : Adik ga suka es yim, es yim jelek.

Werdiningsih (2002:6-7) menjelaskan bahwa pemerolehan atau
penguasaaan fonem /r/ diperoleh pembelajar bahasa Indonesia melalui empat
tahap, yaitu:
1. Tahap zero (kosong) yang tampak pada ucapan /rambut/ menjadi /ambut/.
2. Tahap /r/ berubah menjadi /y/ yang tampak pada ucapan /rambut/ menjadi
/yambut/.
3. Tahap /r/ berubah menjadi /l/ yang tampak pada ucapan /rambut/ menjadi
/lambut/.
4. Tahap /r/ terelisasi fonem /r/ yang tamak pada ucapan /rambut/ diucapkan
/rambut/ pula

Dalam percakapan tuturan di atas jelas sebagai bukti bahwa penguasaan
fonem /r/ mengalami tahapan-tahapan tertentu. Bagas dalam mengucapkan fonem
/r/, rambut dan krim diucapkan lambut dan yim. Sehingga dalam hal ini bagas
dapat dikatakan mengalami tahap II dalam penguasaan fonem /r/, yakni fonem /r/
berubah menjadi fonem /y/ dan tahap III dalam penguasaan fonem /r/, yakni
fonem /r/ berubah menjadi fonem /l/.

67

3.2 Analisis Berdasarkan Struktur Kalimat
Pemerolehan bahasa pertama, anak juga sudah mampu menyusun kalimat
meskipun masih sangat sederhana. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks
(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Busri,
2002:37-38). Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh
jeda, diakhiri oleh intonasi selesai dan diikuti oleh kesenyapan yang
memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan
huruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik,
tanda tanya atau tanda seru dan sementara itu disertai pula di dalamnya berbagai
tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua dan
atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Tanda titik (.), tanda
tanya (?), dan tanda seru (!), sepadan dengan intonasi selesai, sedangkan tanda
baca sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan diwujudkan sebagai ruang kosong
setelah tanda titik, tanda tanya dan tanda perintah atau ruang kosong sebelum
huruf kapital permulaan. Alunan titi nada pada kebanyakan hal tidak ada
pedananya dalam bentuk tertulis.
Dipandang dari sudut logika, kalimat didefinisikan sebagai ujaran yang
didefinisikan pikiran lengkap yang tersusun dari subyek dan predikat. Pengertian
bahwa subyek adalah tentang apa sesuatu dikatakan dan predikat adalah apa yang
dikatakan tentang subyek, yang perlu diperhatikan ialah bahwa istilah subyek dan
predikat itu mengacu kepada fungsi, tidak kepada jenis kata.

Analisis Peristiwa Tutur III
Bagas
Ibu
Bagas
Ibu
Bagas
Ibu
:
:
:
:
:
:
Bu, kiap.
Ya, tunggu sebentar, Ibu masih masak.
Cepat.
Sabar dik bagas, nanti ga ibu beliin mainan ya?
Ibu jelek!
Tunggu sebentar dik bagas bagus genjing.
Percakapan dalam tuturan ini dapat sebagai bukti bahwa anak umur tiga
tahun, sudah dapat menggunakan kalimat. Kalimat-kalimat yang diucapkan
68

biasanya masih sangat sederhana tetapi sudah dapat berdiri sebagai kalimat.
Misalnya Bu, kiap, penggalan tuturan itu sudah dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat karena secara fungsi kalimat tersusun atas Subyek (S) dan Predikat (P).
Bu berkedudukan sebagai S dan ngantuk berkedudukan sebagai (P). Sama halnya
dengan Ibu jelek. Ibu berkedudukan sebagai S, jelek berkedudukan sebagai P.
Secara lisan kata-kata yang diucapkan Bagas sudah dapat dikatakan
sebagai kalimat, karena kalimat dalam bahasa lisan diawali kesenyapan disela jeda
dan diakhiri kesenyapan pula. Meskipun hanya satu kata cepat secara lisan juga
sudah dikatakan kalimat. Cepat dalam konteks ini diucapkan dengan titi nada
tinggi atau dikenal dengan fonem suprasegmental sehingga secara lisan sudah
dapat dikatakan sebagai kalimat.

3.3 Analisis Berdasarkan Jumlah Ujaran Setiap Giliran Tutur
Pengambil giliran (turn taking) merupakan satu strategi yang penting
dalam sesuatu komunikasi khususnya dalam komunikasi dua hal. Dengan adanya
strategi ini, sesuatu tuturan dapat berjalan dengan lancar dan teratur menurut
prinsip-prinsip komunkasi. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ujaran setiap
giliran untuk subyek penelitian, Bagas dengan orang dewasa, yaitu Peneliti dan
Tante Anita adalah hampir sekata. Hal ini mungkin disebabkan observasi yang
dilakukan itu lebih merupakan tuturan yang berupa soal jawab antara Bagas
dengan Peneliti dan Tante Anita. Oleh karena itu, dalam peristiwa tutur tersebut,
Bagas hanya berperanan untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh
kedua orang dewasa.

Analisis Peristiwa Tutur IV
Peneliti
Bagas
Peneliti
Bagas
Peneliti
:
:
:
:
:
Dik bagas, satu tambah satu berapa?
Dua
Pinter dik Bagas lo!
Ya dong, dik bagas gitu lo!
Bagas mau coklat?
69

Bagas
Tante Anita
Bagas
Tante Anta
Bagas
Peneliti
Bagas
:
:
:
:
:
:
:
Ing nyak.
Kok ga mau?
Ga dikasi sama Ibu aem coklat.
Ayo, Bagas apa bisa berhitung?
Dueeeegg. (dengan nada lantang)
Ayo gimana berhitungnya?
Atu, dua, tiga, pat .
Percakapan di atas membuktikan bahwa Bagas dalam bertutur hanya
menjawab pertanyan dari mitra tutur. Jumlah ujaran-ujaran yang diucapkan relatif
pendek dan sederhana. Hal ini sejalan dengan tingkat penguasaan bahasa oleh
anak usia tiga tahun. Terkadang Bagas menjawab pertanyaan dari mitra tutur
menggunakan bahasa Bali, karena bahasa pertama Bagas adalah bahasa Bali.

4 SIMPULAN
Berdasarkan masalah yang disampaikan di bagian pendahuluan, maka
dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, berdasarkan panjang ayat anak usia tiga
tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal
serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan
tertentu. Kedua, anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam
bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas. Ketiga, Berdasarkan
jumlah ujaran setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga tahun dalam bertutur hanya
menjawab pertanyaan dari mitra tutur.

DAFTAR PUSTAKA

Busri, Hasan. 2002. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: FKIP Unisma.

Brewer, Ann Jo. 1995. Introduction to Early Childhood Education: Preschool
Through Primary Grades. Universiti Utara Malaysia

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

70

Dulay, Heidi; and Burt M. and Krashen S.D. 1982. Language Two. Oxford:
Oxford University Press.
Ellis, Rod. 1982. The Origins of Interlanguage. Oxford Journals: Applied
Linguistics Volume III(3): 207-223.

________. 1986. Interlanguage Variability in Narrative Discourse: Style Shifting
In The Past Tense, Studies in Second Language Acquisition.

________. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford
University Press.

Krashen, Stephen D. 1982. Principles and Practice in Second Language
Acquisition. New York: Pergamon Press.

Lambert, Wallace E. 1962. Language, Psychology, and Culture. California:
Stanford University Press.

Language Acquisition. (On-line): http//en. wikipedia.org/wiki/ Language
acquistion. Diakses 24 Desember 2012.

Musfiroh, Tadkiroatun. 2003. Diktat Psikolinguistik. Yogyakarta : UNY.

Nurkancana, I Wayan dan Sunartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional

Paivio, Allan and Begg. 1981. Psychology of Language. London: Prentice Hall,
Inc. Englewood Cliffs.

Strauss, Ansem dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata
Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Malang: FKIP Unisma.


Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

71

PENGGUNAAN METODE MEMBACA SQ3R UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENULIS KEMBALI ISI BACAAN SISWA KELAS
XC SMA PGRI 6 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2012/2013

oleh
Kadek Deli, NIM 2008.II.1.0133
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Abstrak
Melalui tulisan seseorang dapat mengingat bacaan lebih lama karena
tulisan tersebut tersaji dalam bentuk yang tersurat. Namun kenyataannya
keterampilan menulis siswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013 masih tergolong rendah. Rendahnya keterampilan menulis siswa
disebabkan oleh kurangnya keterampilan membaca pemahaman yang berdampak
pada rendahnya keterampilan menulis siswa.
Berdasarkan hasil pengolahan data, penelitian ini menyimpulkan terjadi
peningkatan skor rata-rata kelas siklus I dan siklus II dari 67,05 menjadi 71,15.
Selain itu respon siswa tergolong tinggi. Ini bisa dilihat adanya peningkatan nilai
rata-rata siswa dari 68,71 dengan persentase 35,9% pada siklus I dan 80,15
dengan persentase 92,30% pada siklus II.

Kata kunci: metode SQ3R, menulis kembali isi bacaan

Abstract

Through writing one can also recall reading longer because the text
presented in the form of explicit. But in reality the writing skills of high school
students classes XC 6 Denpasar PGRI school year 2012/2013 is still relatively
low. The low student writing skills due to lack of reading comprehension skills
that adversely affects the students' writing skills.
Based on the results of data processing, the study concluded an increase in
the average score of the class I and cycle II cycle from 67.05 to 71.15. In addition
to the student's response is high. This could be an increase in the average value of
68.71 with the percentage of students from 35.9% in the first cycle with a
percentage of 92.30 and 80.15% in the second cycle.

Keywords: SQ3R method, rewrite the content of reading


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Salah satu keterampilan berbahasa yang penting untuk dikuasai, adalah
keterampilan menulis.Menulis merupakan keterampilan menyampaikan pesan
(komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya (Suparno dan
Yunus, 2007:1.3). Keterampilanmenulis merupakan satu dari empat keterampilan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

72

berbahasa yang mempunyai peranan penting di dalam kehidupan manusia.
Dengan menulis seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan gagasan untuk
mencapai maksud dan tujuan. Melalui tulisan pula seseorang dapat mengingat
bacaan lebih lama karena tulisan tersebut tersaji dalam bentuk yang tersurat.
Berdasarkan wawancara penulis dengan guru bidang studi bahasa
Indonesia kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar yaitu Drs. I Wayan Witra prestasi
belajar siswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar pada mata pelajaran bahasa
Indonesia masih tergolong rendah, terutama pada materi menulis. Rendahnya
keterampilan menulis siswa disebabkan oleh kurangnya keterampilan membaca
pemahaman yang berdampak pada rendahnya keterampilan menulis
siswa.Banyaknya anggapan bahwa pengajaran membaca itu telah berakhir ketika
seorang anak didik telah dapat membaca permulaan dari ia mulai duduk di bangku
sekolah dasar. Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi, pengajaranmembaca lanjut
tidak mendapat perhatian. Akibatnya, kebiasaan membaca yang buruk terus
berkembang sampai anak menjadi dewasa.
Melihat permasalahan ini, besar keinginan penulis untuk bisa membantu
mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi oleh siswa kelas XC SMA PGRI 6
Denpasar.Penulis beranggapan bahwa rendahnya kemampuanmenulis siswa
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh cara belajar siswa yang terlalu
monoton. Ini terlihat dari temuan penulis yang menunjukkan bahwa siswa belajar
hanya dengan cara menghafal materi yang telah dicatat dari penjelasan guru,
mengerjakan LKS, dan siswa masih berprinsip belajar hanya untuk ulangan
semata.
Penerapan metode belajar SQ3R diharapkan dapat mengatasi permasalahan
yang penulis temukan di kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar, oleh karena itu
penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan judul
Penggunaan Metode Membaca SQ3R untuk Meningkatkan Keterampilan
Menulis Kembali Isi Bacaan Siswa Kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013.



Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

73

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai
ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan cakupan
masalah yang telah dilakukan. Rumusan masalah seyogyanya diformulasi secara
ringkas, padat, jelas, dan dituangkan dalam bentuk kalimat tanya (Dwiloka,
2005:36). Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah penggunaan metode membaca SQ3R dapat meningkatkan
keterampilan menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC SMA PGRI 6
Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013 ?
2) Bagaimanakah respon siswa terhadap penggunaan metode membaca SQ3R
dapat meningkatkan keterampilan menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC
SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini diuraikan ke dalam
tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis siswa.

1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus sesuai dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas,
penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan metode membaca SQ3R dalam
meningkatkan keterampilan menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC
SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013.
2) Untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan metode membaca
SQ3R untuk meningkatkan keterampilan menulis kembali isi bacaan siswa
kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013.

Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

74

1.4 Manfaat Penelitian
Salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan
penelitian adalah manfaat dari hasil penelitian yang sedang dilakukan. Banyak
manfaat yang diperoleh dari dilaksanakannya penelitian tindakan kelas yang
terkait dengan komponen utama pendidikan.Manfaat penelitian ini dibedakan atas
manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
pemahaman aplikatif dari sebuah metode. Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
yang sejenis, serta hasil penelitian ini dapat menambah kasanah bahan bacaan
dibidang keterampilan menulis.

1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
sebagai berikut.
1) Bagi siswa, hasil penelitian ini menjadi tolak ukur atas kemampuan dirinya
dalam menulis kembali isi bacaan.
2) Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi feedback atau umpan balik atas
kemampuan siswanya sehingga guru dapat mengambil langkah-langkah
perbaikan dalam strategi mengajar.
3) Bagi penyusun buku ajar, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
untuk mengembangkan media pembelajaran yang digunakan agar lebih
variatif dan inovatif.
4) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat menjadi alternatif
media pembelajaran khususnya menulis dalam menyusun silabus dan
kurikulum berikutnya.
1.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teknik tes dan nontes. Untuk mendapatkan data yang lengkap maka penelitian ini
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

75

menggunakan metode yaitu: metode observasi, metode tes, dan angket. Metode
tersebut akan diuraikan seperti dibawah ini:

1.5.1 Metode Observasi
Observasi adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian degan jalan
mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis (Nurkancana dan
Sunartana, 1992: 51).

1.5.2 Metode Tes
Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian berbentuk suatu tugas
atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak-anak atau murid, sehingga
menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang
dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak lain atau dengan
nilai standar yang ditetapkan (Nurkancana dan Sunartana, 1992:34).

1.5.3 Kuesioner atau Angket
Kuesioner ini juga sering disebut sebagai angket di mana dalam kuesioner
tersebut terdapat beberapa macam pertanyaan yang berhubungan erat dengan
masalah penelitian yang hendak dipecahkan, disusun, dan disebarkan ke
responden untuk memperoleh informasi di lapangan (Sukardi, 2003:76).
Menurut (Suharsimi, 2000:135-136), angket adalah kumpulan dari
pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang atau responden, dan
cara menjawab juga dilakukan dengan tertulis. Angket merupakan daftar
pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang
diberi tersebut bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna.

1.6 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian tindakan kelas ini, tindakan atau proses analisis data
dilakukan dari awal hingga akhir penelitian. Data yang diperoleh dari hasil
observasi, tes, dan respon siswa dalam bentuk keterampilan menulis kembali isi
bacaan akan diolah dengan metode statistik deskriptif. Menurut Trianto (2011: 62)
statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk mendeskripsikan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

76

kegiatan siswa selama proses belajar mengajar. Adapun tahap-tahap pengolahan
data tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mengubah skor mentah menjadi skor standar
2. Menentukan Kriteria Predikat Kemampuan Siswa
3. Mencari skor rata-rata
4. Analisis data angket

2. Hasil dan Pembahasan
2.1 Hasil
1) Penggunaan metode membaca SQ3R dapat meningkatkan keterampilan
menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013.
2) Siswa memberikan respon positif terhadap penggunaan metode membaca
SQ3R dalam pembelajaran menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC SMA
PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013.

2.2 Pembahasan
Berdasarkan refleksi siklus I yang dilakukan atas penggunaan metode
membaca SQ3R untuk meningkatkan keterampilan menulis kembali isi bacaan
siswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar, ditemukan bahwa keterampilan menulis
kembali isi bacaan siswa meningkat, namun belum mencapai kriteria
keberhasilan. Hal ini terlihat dari belum tercapainya indikator keberhasilan, yaitu
rata-rata kelas mencapai standar minimal 70 sebagai nilai KKM dengan ketentuan
sebagian besar (75%) siswa mampu memperoleh nilai 70 ke atas pada
keterampilan menulis kembali isi bacaan. Oleh karena itu, perlu ditindaklanjuti
dengan pelaksanaan siklus II.
Pada pelaksanaan siklus II dengan beberapa perbaikan yang dilakukan
berdasarkan hasil refleksi siklus I, diperoleh hasil observasi, hasil tes, dan angket
penggunaan metode membaca SQ3R untuk meningkatkan keterampilan menulis
kembali isi bacaan telah mencapai kriteria keberhasilan sehingga peneliti
menghentikan penelitian hanya pada sikllus II.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

77

Penggunaan metode membaca SQ3R dalam pembelajaran menulis kembali
isi bacaan dari siklus I dan siklus II yang dilaksanakan menunjukan peningkatan.
Hal ini terlihat dari hasil tes siklus I yang menunjukan bahwa dari 39 siswa kelas
XC SMA PGRI 6 Denpasar yang mengikuti tes keterampilan menulis kembali isi
bacaan dengan penggunaan metode membaca SQ3R diperoleh hasil bahwa 2
orang atau 5% siswa memperoleh skor 55 dengan predikat cukup, 10 orang atau
26% siswa memperoleh skor 60 dengan predikat cukup, 5 orang atau 13% siswa
memperoleh skor 65 dengan predikat cukup, 16 orang atau 41% siswa
memperoleh skor 70 dengan predikat baik, 4 orang atau 10% siswa memperoleh
skor 75 dengan predikat baik, dan terakhir 2 orang atau 5% siswa mencapai skor
80 dengan predikat baik. Skor tertinggi yang dicapai siswa adalah 80 dan skor
terendah adalah 55 dengan persentase ketuntasan pada siklus I adalah 56,4%.
Hasil tes siklus II menunjukan dari 39 siswa kelas XC SMA PGRI 6
Denpasar yang mengikuti tes keterampilan menulis kembali isi bacaan dengan
penggunaan metode membaca SQ3R diperoleh hasil bahwa 4 orang atau 10%
siswa memperoleh skor 65 dengan predikat cukup, 27 orang atau 69% siswa
memperoleh skor 70 dengan predikat baik, 3 orang atau 8% siswa memperoleh
skor 75 dengan predikat baik, dan terakhir 5 orang atau 13% siswa mencapai skor
80 dengan predikat baik. Skor tertinggi yang dicapai siswa adalah 80 dan skor
terendah adalah 65 dengan persentase ketuntasan pada siklus I adalah 89,7%.
Hasil angket yang dibagikan kepada siswa sesudah tes, menunjukan
respon positif dari siswa terhadap penggunaan metode membaca SQ3R dalam
pembelajaran menulis kembali isi bacaan. Sebagian besar siswa mengaku tertarik
dan senang atas pembelajaran menulis kembali isi bacaan dengan metode
membaca SQ3R. Dalam pelaksanaan siklus I sebanyak 7 orang siswa atau 17,9%
masih terlihat belum begitu baik merespon penggunaan metode membaca SQ3R.
Namun, pemahaman siswa terhadap pembelajaran menulis kembali isi bacaan
menggunakan metode SQ3R mulai terlihat pada siklus II. Hal tersebut terlihat dari
hasil angket pada siklus II, sebanyak 32 orang siswa atau 82,1%merespon positif
penggunaan metode membaca SQ3R dalam pembelajaran menulis kembali isi
bacaan.

Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

78

3.Penutup
3.1Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan metode membaca SQ3R untuk
meningkatkan keterampilan menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC SMA
PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
1) Penggunaan metode membaca SQ3R dapat meningkatkan keterampilan
menulis kembali isi bacaansiswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013. Hal ini terbukti dengan peningkatan skor rata-rata kelas
siklus I dan II dari 67,05 menjadi 71,15. Selain itu, dilihat dari tingkat
ketuntasan siswa dengan jumlah 39 siswa yang menjadi subjek penelitian, 35
siswa atau 89,75% dinyatakan berhasil dan 4 siswa 10,25% dikategorikan
belum berhasil.
2) Respon siswa kelas XC SMA PRGI 6 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013
atas penggunaan metode membaca SQ3R untuk meningkatkan keterampilan
menulis kembali isi bacaan, adalah baik. Pernyataan ini berdasarkan hasil
angket siklus I dan siklus II yang sebagian besar siswa merespon positif
terhadap penggunaan metode membaca SQ3R dalam pembelajaran menulis
kembali isibacaansiswa.

3.2 Saran-saran
Dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia, khususnya menulis kembali isi bacaan di tingkat SLTA serta sebagai
tindak lanjut dari hasil penelitian yang sudah dilakukan maka terdapat beberapa
saran yang penulis dapat sampaikan sebagai berikut.
1) Penggunaan metode membaca SQ3R dapat meningkatkan keterampilan
menulis kembali isi bacaan siswa kelas XC SMA PGRI 6 Denpasar, maka
guru diharapkan dapat menjadikan metode pembelajaran ini sebagai sarana
pembelajaran dan dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia
khususnya dalam pembelajaran menulis kembali isi bacaan.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460

79

2) Diharapkan penggunaan metode membaca SQ3R dapat dilakukan secara
berkesinambungan bagi guru dan siswa dalam pelajaran bahasa Indonesia,
khususnya pelajaran menulis kembali isi bacaan.
3) Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dapat
ditingkatkan dengan frekuensi latihan. Oleh karena itu, disarankan kepada
guru bahasa Indonesia agar memberikan lebih banyak latihan kepada siswa
untuk menuangkan ide dan imajinasinya ke dalam bentuk tulisan.
4) Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang penggunaan
metode membaca SQ3R dalam menulis kembali isi bacaan disarankan untuk
menggunakan subjek penelitian yang lebih besar dan lebih luas.
Demikianlah seluruh proses penelitian ini penulis akhiri dengan hasil yang
belum begitu memuaskan dan mencapai kesempurnaan, walaupun harapan yang
terkandung di dalamnya sungguh tiada terbatas.
Akhirnya tulisan ini dipersembahkan bagi keperluan pengembangan,
pembinaan, dan pelestarian bahasa dan sastra Indonesia khususnya dalam rangka
peningkatan ilmu pengetahuan bagi guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia,
yang diharapkan setelah guru mempelajari, guru akan menerapkannya dalam
kegiatan belajar khususnya menulis kembali isi bacaan.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Dwiloka, Bambang. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurkancana, Wayan dan PPN Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Usaha Nasional.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Suparno. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.

Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi
Pustaka.


Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


80

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) DALAM MENINGKATKAN
PENGUASAAN ANGGAH-UNGGUHI NG BASA BALI PADA SISWA
KELAS VIB SD NEGERI 10 SUMERTA DENPASAR TIMUR
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

oleh
Dewa Ayu Wiwin Ida Apriyani, NIM 2009.II.2.0221
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang bertujuan (1)
meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan (2) mendeskripsikan respon siswa
terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Penelitian ini
dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa Kelas VIB SD
Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 28
orang siswa. Objek dalam penelitian ini ada dua, yaitu: (1) penguasaan atau hasil
belajar siswa terhadap materi anggah-ungguhing basa Bali dan (2) respon siswa
terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pengajaran
anggah-ungguhing basa Bali. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode tes, metode observasi, dan metode kuesioner.
Temuan hasil penelitian ini adalah penguasaan anggah-ungguhing basa Bali
siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur mengalami peningkatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) rata-rata hasil belajar siswa Kelas VIB
SD Negeri 10 Sumerta pada observasi awal sebesar 32,6. Pada siklus I meningkat
menjadi 55,2 dengan ketuntasan belajar klasikal sebesar 39,28%. Pada siklus II
hasil belajar siswa mengalami peningkatan menjadi 79,5 dengan ketuntasan
belajar klasikal sebesar 82,14%. (2) Respon siswa mengenai penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan penguasaan anggah-
ungguhing basa Bali juga meningkat. Pada siklus I respon siswa hanya sebesar
29,78 dengan kategori cukup positif, pada siklus II meningkat menjadi 36,75
dengan kategori sangat positif.

Kata kunci: model pembelajaran kooperatif, TGT, anggah-ungguhing basa Bali


Abstract
This research is a classroom action research (CAR), which aims to (1)
improve of mastery the levels in Balinese language using cooperative learning
model with TGT type and (2) to describe the students response to the use of
cooperative learning model with TGT type. This study was conducted in two
cycles. The subjects were student 6th Class Public Elementary Schools Number 10
of Sumerta, East Denpasar, Academic Year 2012/2013, amounting to 28 students.
Objects in this study was twofold: (1) mastery or student learning outcomes to the
material the levels in Balinese language and (2) students response to the use of
cooperative learning model with TGT type in teaching the levels in Balinese
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


81

language. Methods of data collection used in this study is the method of testing,
method of observation, and questionnaire method. The findings of this research
are mastery of the levels in Balinese language at students 6th Class Public
Elementary Schools Number 10 of Sumerta, East Denpasar, were increased. The
results showed that (1) the average learning outcomes students 6th Class Public
Elementary School Number 10 Sumerta the initial observation was 32.6. In the
first cycle increased to 55.2 with a classical learning completeness was 39.28%.
In the second cycle student learning outcomes has increased to 79.5 with a
classical learning completeness was 82.14%. (2) The response of students on the
use of cooperative learning model with TGT type to improve mastery the levels in
Balinese language also increased. In the first cycle was student responses only
29.78 with fairly positive category, the second cycle increased to 36.75
categorized as very positive.

Keywords: cooperative learning, TGT, the levels in Balinese language

PENDAHULUAN
Mata pelajaran bahasa daerah Bali dituangkan dalam bentuk silabus
dengan beberapa materi pembelajaran yang menyangkut empat aspek
keterampilan berbahasa yang meliputi keterampilan menyimak, berbicara,
membaca dan menulis. Salah satu materi pembelajaran yang sangat penting
diajarkan pada siswa adalah pemahaman sistem anggah-ungguhing basa Bali.
Istilah anggah-ungguhing basa Bali merupakan tingkatan-tingkatan bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi oleh masyarakat Bali. Tingkatan-tingkatan
bahasa ini terjadi karena adanya pelapisan masyarakat Bali, yaitu pelapisan
masyarakat Bali tradisional dan masyarakat Bali modern (Suwija, 2009: 1).
Pelajaran anggah-ungguhing basa Bali pada siswa sekolah dasar
merupakan materi yang dianggap sulit. Pemahaman mengenai perbedaan kata
yang termasuk kruna alus dan kruna kasar yang kurang, ditambah lagi kurangnya
penggunaan bahasa itu di dalam keseharian siswa yang menyebabkan rendahnya
penguasaan siswa terhadap anggah-ungguhing basa Bali. Oleh karena itu,
pengajaran bahasa seharusnya lebih ditekankan kepada siswa.
Observasi awal yang peneliti lakukan memperoleh hasil yang tidak
memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil tes yang peneliti lakukan pada awal
penelitian. Seluruh siswa memperoleh nilai di bawah KKM yang ditentukan oleh
sekolah. Nilai KKM sekolah adalah 65 sedangkan nilai rata-rata yang diperoleh
oleh siswa adalah 32,6.
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


82

Setelah peneliti melakukan wawancara kepada beberapa orang siswa,
ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tes tersebut tidak
memuaskan. Pertama, guru tidak pernah mengkhususkan materi yang diajarkan
sehingga siswa menjadi tidak tahu secara terperinci materi yang dipelajarinya.
Kedua, metode yang digunakan guru walaupun sudah bervariasi namun masih
susah diterima oleh siswa karena dianggap kurang menarik dan tidak dijelaskan
tujuan pembelajaranya. Ketiga, rendahnya minat siswa untuk belajar sehingga
siswa tidak mengetahui bahwa bahasa Bali memiliki beberapa tingkatan. Siswa
hanya mengetahui bahasa Bali memiliki basa alus dan basa andap saja sedangkan
basa alus yang bisa dibedakan lagi tidak diketahui oleh siswa. Keempat, dalam
proses pembelajaran guru lebih aktif daripada siswa. Guru jarang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menampilkan hasil pekerjaannya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, upaya meningkatkan penguasaan
anggah-ungguhing basa Bali dapat dilakukan dengan perbaikan pelaksanaan
strategi dan metode pembelajaran di kelas. Guru perlu menerapkan strategi
pembelajaran yang beragam, salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan oleh guru adalah model pembelajaran kooperatif tipe team game
tournament (TGT). Model pembelajaran TGT mudah diterapkan karena
melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan
dan reinforcement.
Berdasarkan permasalahan di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut. (1) Apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe team game
tournament (TGT) dapat meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali
pada siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur tahun pelajaran
2012/2013? (2) Bagaimana respon siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013 terhadap penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe team game tournament (TGT) dalam pembelajaran
anggah-ungguhing basa Bali?
Model pembelajaran kooperatif berbentuk kelompok dan proses belajar
mengajarnya lebih berpusat kepada siswa. Seperti pendapat Thompson (dalam
Jauhar 2011: 53) dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Pembelajaran
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


83

kooperatif memiliki kelebihan yang sangat besar untuk mengembangkan
hubungan antara siswa dari latar belakang etnik yang berbeda dan antara siswa-
siswa pendidikan khusus terbelakang secara akademik dengan teman sekelas
mereka, ini jelas melengkapi alasan pentingnya untuk menggunakan pembelajaran
kooperatif dalam kelas yang berbeda-beda.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara berkelompok belum tentu
mencerminkan pembelajaran kooperatif. Menurut Johnson, Smith, dan Anita Lie
dalam Jauhar (2011: 55-58) agar benar-benar mencerminkan pembelajaran
kooperatif, maka perlu diperhatikan elemen-elemen pembelajaran kooperatif,
yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3)
tatap muka, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi.
Model pembelajaran kooperatif bermacam-macam, salah satunya adalah
model Team Game Tournament (TGT). Model pembelajaran kooperatif tipe TGT
mudah diterapkan karena melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa membedakan
perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya, dan mengandung
unsur permainan dan reinforcement. Ada 5 (lima) komponen utama dalam model
pembelajaran kooperatif TGT (Slavin, 2010: 166-174), yaitu: (1) presentasi di
kelas, (2) tim, (3) game, (4) turnamen, dan (5) rekognisi tim/team recognize.
Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa
dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan
Agustina, 2004: 2). Hubungan antara bahasa dan tingkatan sosial di dalam
masyarakat dapat diambil dari contoh masyarakat tutur bahasa Bali. Di Bali ada
sebuah istilah yang disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Menurut
Suarjana (2011: 69), anggah-ungguhing basa Bali berarti aturan tentang tingkat-
tingkatan atau tinggi rendahnya rasa dalam berbahasa Bali. Pembagian tingkat-
tingkatan rasa berbahasa (anggah-ungguhing basa) yang dikemukakan oleh pakar
bahasa berbeda-beda, namun menurut Suarjana (2011: 97-98) anggah-ungguhing
basa Bali dibedakan menjadi 4, yaitu: (1) basa kasar, yang dibedakan menjadi 2,
yaitu: a) basa kasar pisan dan b) basa kasar jabag, (2) basa andap, (3) basa
madia, dan (4) basa alus, yang dibedakan menjadi 3, yaitu: a) basa alus sor, b)
basa alus mider, dan c) basa alus singgih.

Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


84

METODE
Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan persiklus sesuai dengan
prosedurnya. Penelitian ini dilaksanakan di Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur. Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester II tahun
pelajaran 2012/2013, penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender
akademik sekolah karena penelitian tindakan kelas memerlukan beberapa siklus
yang membutuhkan proses belajar mengajar yang efektif di kelas.
Penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam
meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali. Dengan melakukan
kolaborasi bersama guru bahasa Bali yang mengajar di Kelas VIB SD Negeri 10
Sumerta Denpasar Timur, untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan.
Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilaksanakan di kelas tempat
siswa mengalami proses belajar mengajar (PBM). Penelitian ini menekankan pada
pemecahan masalah yang terjadi di kelas dan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan siswa dalam proses pembelajaran.
Penelitian tindakan kelas menghendaki adanya tahapan demi tahapan yang
berbentuk siklus sampai tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan hasil
terbaik. Dalam satu siklus terdiri atas 4 tahapan, yaitu: (1) tahap perencanaan, (2)
tahap pelaksanaan/tindakan, (3) tahap observasi, dan (4) tahap refleksi.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik penilaian
hasil tes siswa sebagai data kuantitatif, sedangkan pengambilan data dengan
menggunakan teknik observasi dan kuesioner untuk data kualitatif.
Arikunto (2009: 53) berpendapat bahwa tes adalah alat atau prosedur yang
digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara
atau aturan-aturan yang sudah ditentukan. Instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data penguasaan anggah-ungguhing basa Bali adalah berupa tes
objektif dan tes uraian. Ada 3 jenis tes objektif yang digunakan, yaitu: (1) tes
isian, siswa disuruh mengisi kruna alus sor dan kruna alus singgih dari kruna
andap yang telah ditentukan, (2) tes menjodohkan, siswa disuruh mengisi kalimat
rumpang dengan pilihan jawaban yang telah disediakan, (3) tes benar-salah,
siswa disuruh membaca wacana. Wacana tersebut terdiri dari kalimat-kalimat
bernomor yang berisi kata bercetak miring, tidak semua kata yang dicetak miring
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


85

tersebut benar. Siswa disuruh menentukan apakah kata tersebut benar atau salah
dan apabila salah siswa disuruh memberikan kata yang benar sesuai dengan
kaidah anggah-ungguhing basa Bali. Jenis tes kedua yang digunakan berbentuk
tes uraian, siswa disuruh membuat kalimat sederhana untuk meminta sesuatu pada
orang-orang tertentu.
Observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati
setiap kejadian yang sedang berlangsung dan mencatatnya dengan alat observasi
tentang hal-hal yang akan diamati atau diteliti (Sanjaya, 2011: 86). Instrumen
yang digunakan untuk mengumpulkan data respon siswa dan pelaksanaan
tindakan yang direncakan adalah lembar observasi.
Kuesioner juga sering disebut dengan angket, sebab dalam kuesioner
tersebut terdapat beberapa macam pertanyaan yang berhubungan erat dengan
masalah penelitian yang hendak dipecahkan, disusun, dan disebarkan ke
responden untuk memperoleh informasi di lapangan (Darmadi, 2011: 260).
Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data mengenai respon siswa terhadap
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Kuesioner dibuat dengan 5
pernyataan dan 5 pilihan jawaban.
Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar digunakan rumus skala
seratus/skala persentil. Rumusnya sebagai berikut.


Keterangan:
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor maksimal ideal (Gunartha, 2010: 74)

Untuk mencari skor rata-rata digunakan rumus seperti berikut ini.


Keterangan:
Me = rata-rata
fX = epilson (jumlah) nilai siswa ke-1 sampai ke-n
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


86

N = jumlah siswa/individu (Nurkancana dan Sunartana, 1992: 174)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa
Bali siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur. Penelitian ini
dilaksanakan pada semester II tahun pelajaran 2012/2013. Secara lengkap
peningkatan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali siswa dapat dilihat pada
tabel berikut.

Perbandingan Hasil Belajar Siswa pada Siklus I dan Siklus II
No. Nama Siswa
Nilai
Siklus
I
Predikat
Nilai
Siklus
II
Predikat
(1) (2) (3)
(5)
(4) (5)
1. I Made Aditya Dharma
Yudha
68 Cukup 81 Baik
2. Raihan Ahmad Arandi 56
Cukup
85 Baik
3. Rizkyansyah Mandarochman 44
Kurang
60
Cukup
4. I Gede Sudiarta 42 Kurang 67 Cukup
5. I Gusti Agung Ananta
Kusuma
65 Cukup 93 Sangat baik
6. I Komang Indra Wiguna 52
Kurang
82
Baik
7. I Gede Fery Aditya 66
Cukup
86
Sangat baik
8. I Made Ratih Kencanawati 68
Cukup
99
Sangat baik
9.
I Gede Dikta Mahendra 27
Sangat
kurang
40
Sangat
kurang
10. Kadek Diantika Heni Haruni 68
Cukup
93
Sangat baik
11. I Gede Putra Bismantara 65
Cukup
84
Baik
12. Ni Luh Putu Mertiani 78
Baik
92
Sangat baik
13. Putu Agus Kahendra
Pratama
36
Sangat
kurang
58
Cukup
14. I Dewa Gede Agus Warasma
Putra
55 Kurang 75 Baik
15. I Gusti Ayu Mirah Eka Putri 78
Baik
95
Sangat baik
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


87

16. I Wayan Robi Ari Pradana 39
Kurang
68
Cukup
17. I Made Supardi Artha 55
Kurang
82
Baik
18. I Made Arya Putra Utama 48
Kurang
87
Sangat baik
19. I Gst Ngr A. Arjun Arta
Dewangga
37
Sangat
kurang
66 Cukup
20.
Komang Juli Putra 30
Sangat
kurang
56 Cukup
21. Ni Wayan Nidiastari 71
Baik
95 Sangat baik
22. Ni Made Emik Puspita dewi 70
Cukup
97
Sangat baik
23. I Gusti Kadek Swastika 47
Kurang
58
Cukup
24. Shanty Indah Setiawati Putri
Sudirman
60
Cukup
88
Sangat baik
25. Putu Ayu Sabdha Gotami 76
Baik
94
Sangat baik
26. Ni Luh Ade Suryani 55
Kurang
98
Sangat baik
27. I Putu Wiranata 48 Kurang 69 Cukup
28. I Gede Angga Sumantara 41
Kurang
82
Baik
Jumlah 1545 2230
Rata-rata 55,2 Kurang 79,6 Baik

Dari hasil tindakan siklus I ke siklus II menunjukkan peningkatan nilai.
Hasil tes siklus I menunjukkan bahwa ada 28 orang siswa Kelas VI B SD Negeri
10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013 yang mengikuti tes
peningkatan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT diperoleh hasil bahwa 4 orang siswa atau
14,28% berada pada kategori baik, 9 orang siswa atau 32,14% berada pada
kategori cukup baik, 10 orang siswa atau 35,71% berada pada kategori kurang
baik, dan 5 orang siswa atau 17,85% berada pada kategori sangat kurang baik.
Diketahui skor terendah yang diperoleh siswa adalah 27 dan skor tertinggi adalah
78 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal pada siklus I adalah 39,28%.
Hasil tes siklus II menunjukkan bahwa ada 28 orang siswa Kelas VI B SD
Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013 yang mengikuti
tes peningkatan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali dengan penerapan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


88

model pembelajaran kooperatif tipe TGT diperoleh hasil bahwa 12 orang siswa
atau 42,86% berada pada kategori sangat baik, 7 orang siswa atau 25% berada
pada kategori baik, 8 orang atau 28,57% berada pada kategori cukup baik, dan 1
orang atau 3,57% berada pada kategori sangat kurang baik. Diketahui skor
terendah yang diperoleh siswa adalah 40 dan skor tertinggi adalah 99 dengan
presentase ketuntasan klasikal pada siklus II adalah 82,14%.
Nilai respon siswa dari observasi dan kuesioner yang diolah pada tiap-tiap
siklus mengalami peningkatan. Pada siklus I menunjukkan rata-rata 29,71 dari
skor maksimal 45 dengan kategori cukup positif. Kemudian pada siklus II
menunjukkan rata-rata 36,75 dari skor maksimal 45 dengan kategori sangat
positif.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas ini dapatlah disimpulkan
sebagai berikut.
1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe team game tournament (TGT)
dapat meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali pada siswa
Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013
dengan skor rata-rata 55,2 pada siklus I meningkat menjadi 79,6 pada siklus II.
Ketuntasan belajar klasikalnya juga meningkat. Pada siklus I ketuntasan belajar
klasikal sebesar 39,28% meningkat menjadi 82,14% pada siklus II.
2. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe team game tournament (TGT)
dalam meningkatkan penguasaan anggah-ungguhing basa Bali mendapatkan
respon yang sangat positif dari siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013. Hal ini dibuktikan dari hasil
belajar siswa yang meningkat dan pada siklus II nilai respon siswa dari
observasi dan kuesioner yang diolah menunjukkan rata-rata 36,75 dari skor
maksimal 45 dengan kategori sangat positif.
Berdasarkan hasil simpulan penelitian penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe team game tournament (TGT) dalam meningkatkan penguasaan
anggah-ungguhing basa Bali pada siswa Kelas VIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013 terjadi peningkatan hasil belajar dan
Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


89

mendapat respon sangat positif dari siswa, dapatlah disarankan hal-hal sebagai
berikut.
1. Bagi siswa yang telah mendapatkan nilai yang tinggi agar tetap
mempertahankan prestasinya dan siswa yang memperoleh nilai rendah agar
belajar lebih giat lagi untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
2. Bagi guru, hendaknya proses belajar mengajar di kelas menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT sebagai upaya meningkatkan kemampuan
siswa untuk bekerjasama, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa
persaingan secara sehat, menambah rasa percaya diri siswa, serta mengasah
kemampuan komunikasi siswa.
3. Bagi pihak sekolah hendaknya model pembelajaran kooperatif tipe TGT bisa
dijadikan bahan pertimbangan untuk diterapkan pada pelajaran lain serta
mengakomodasi dan memfasilitasi instrumen pendukung yang diperlukan.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Gunartha, I Wayan. 2010. Materi Kuliah Evaluasi Pembelajaran. Diktat.
Denpasar: FPBS IKIP PGRI Bali.

Jauhar, Mohammad. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik Sampai
Konstruktivistik (Sebuah Pengembangan Pembelajaran Berbasis CTL).
Jakarta: Prestasi Pustakarya.

Nurkancana, Wayan dan PPN. Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar.
Surabaya: Usaha Nasional.

Sanjaya, Wina. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana.

Slavin, Robert E. 2010. Cooverative Learning (Teori, Riset, dan Praktik).
Bandung: Nusa Media.
Suwija, I Nyoman. 2009. Sari Kuliah Mabaos Basa Bali 1. Denpasar: Palawa
Sari.

Stilistetika Tahun II Volume 3, November 2013
ISSN 2089-8460


90

Suarjana, I Nyoman Putra. 2011. Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali
Dalam Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma
Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama




Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


91

PENERAPAN METODE DEMONSTRASI UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENEMBANGKAN PUPUH MASKUMAMBANG SISWA
KELAS VII A SMPN 1 KECAMATAN KUTA UTARA BADUNG TAHUN
PELAJARAN 2012/2013

oleh
I Ketut Suswanto
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Bali
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
IKIP PGRI Bali, Denpasar

Abstrak
Mata pelajaran bahasa Bali merupakan salah satu muatan lokal disetiap
sekolah yang ada di Bali, dari tingkat sekolah dasar sampai tikat sekolah lanjutan
atas. Materi matembang merupakan salah satu subpokok bahasan dalam mata
pelajaran bahasa Bali.
Penelitian ini dilakukan di kelas VII A SMPN 1 Kuta Utara, Kabupaten
Badung tahun pelajaran 2012/2013, dengan tujuan untuk mengetehui efektivitas
penerapan metode demonstrasi dalam meningkatkan kemampuan menembangkan
Pupuh Maskumambang dan untuk mengetahui respon siswa atas penerapan
metode demonstrasi dalam pembelajaran menembangkan Pupuh Maskumambang.
Penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan kemampuan
menembangkan Pupuh Maskumambang pada siswa juga dapat meningkatkan
Respon siswa.

Kata kunci: metode demonstrasi, Pupuh Maskumambang

Abstract
Balinese subject is one of local subject in every school in Bali, starting
from the elementary school until the senior high school degree. Matembang is one
of the subsubject of discussion in Balinese subject.
This research is done in VII A class of SMPN 1 Kuta Utara, Badung
regency, in 2012/2013 period, with a purpose to understand the effectiveness of
the application of demonstration method in improving the skill of singing Pupuh
Maskumambang and to understand the studentss response upon the application
of demonstration method in learning about how to sing Pupuh Maskumambang.
The application of demonstration method can improve the studentss skill
in singing Pupuh Maskumambang and increase their response.

Keyword: demonstration method, Pupuh Maskumambang

Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


92


Pendahuluan

Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kemajuannya yang begitu cepat
memberikan dampak tertentu terhadap sistem pengajaran sehingga pengajaran
beralih pendekatannya dari cara lama kecara baru. Beberapa paradigma baru
dalam sistem pengajaran, antara lain pendidikan dipersiapkan membantu peserta
didik agar mampu hidup dalam kehidupan sehari-hari, sebagai organisme yang
hidup, tumbuh, dan berkembang, memperbaiki kualitas kehidupan dengan berbuat
dan mengalami langsung serta terlibat secara aktif dalam lingkungan belajar.
Sehubungan dengan itu, metode, isi, dan alat pengajaran besar pengaruhnya
terhadap proses belajar peserta didik. Pengajaran baru lebih menitik beratkan
penggunaan metode yang lebih banyak memberikan peluang bagi siswa untuk
berperan serta aktif dalam kegiatan belajar yang bertujuan dan bermakna baginya.
Meteri matembang merupakan salah satu subpokok bahasan dalam mata
pelajaran bahasa Bali. Materi matembang menuntut proses pengajaran integratife,
artinya, aspek kognitif, apektif, dan psikomotor berjalan secara sinergi atau antara
aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berjalan seimbang. Karena itu, guru
harus mampu marancang pengajaran matembang secara baik dan benar dengan
mempertimbangkan cara pemilihan metode dan bahan, di samping menciptakan
situasi yang memungkinkan peserta didik berperan serta aktif berdasarkan
keinginan dan minatnya. Dengan demikian rasa cemas peserta didik dapat
dihindarkan.
Sesuai dengan observasi awal dan wawancara penulis dengan guru bidang
studi bahasa daerah Bali di SMPN 1 Kuta Utara, pengajaran menembangkan
pupuh selama ini di SMPN 1 Kuta Utara, menemukan beberapa permasalahan,
yaitu (1) siswa tidak memiliki dasar dalam menembangkan Pupuh
Maskumambang (2) penggunaan metode yang kurang tepat (3) guru tidak bisa
memberikan contoh kongkrit untuk menembangkan Pupuh Maskumambang.
Dalam proses pengajaran matembang selama ini guru hanya memberikan tugas
untuk mencari Pupuh Maskumambang dan siswa disuruh mencari kata-kata yang
dianggap sukar oleh siswa.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


93

Permasalahan yang teridentifikasi dalam obsevasi awal, perlu segera
ditindak lanjuti supaya siswa dalam pembelajaran matembang dapat
meningkatkan hasil belajarnya dengan maksimal. Adanya interaksi dalam
pembelajaran akan meningkatkan kualitas interaksi dengan meningkatnya kualitas
interaksi di dalam kelas akan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Dengan kondisi seperti itu, dalam proses pembelajaran bahasa Bali di
sekolah SMPN 1 Kuta Utara, Kabupaten Badung tahun pelajaran 2012/2013,
maka peneliti mencoba untuk meberikan alernatif pemecahan masalah dengan
menerapkan metode demonstrasi dalam pembelajaran pendidikan bahasa Bali
khususnya matembang. Penggunaan metode ini diharapkan adanya peningkatan
aktivitas dan hasil belajar siswa, sehingga siswa dapat memahami materi yang
dijelaskan dengan peragaan dan mempertunjukkan tentang sesuatu proses, situasi
atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya tiruan. Penerapan metode
demonstrasi, juga sebagai strategi mengajar karena memberikan kesempatan yang
lebih luas kepada siswa untuk mengamati secara langsung dan membandingkan
antara teori dan kenyataan, serta penerapan metode demonstrasi akan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melatih mental didalam memperagakan dan
mempertunjukkan tentang suatu proses.
Setelah berdiskusi dengan guru mata pelajaran bahasa Bali akhirnya
peneliti sepakat berkolaborasi dengan guru mata pelajaran bahasa Bali, untuk
mengangkat permasalahan tersebut kedalam penelitian ilmiah dalam bentuk
skripsi. Dapat dan tidaknya metode demontrasi meningkatkan hasil belajar siswa,
dalam belajar pendidikan bahasa Bali siswa kelas VII A SMPN 1Kuta Utara,
Kabupaten Badung tahun pelajaran 2012/2013, untuk itulah perlu diteliti melalui
penelitian yang berjudul "Penerapan Metode Demonstrasi untuk Meningkatkan
Kemampuan Menembangkan Pupuh Maskumambang Siswa Kelas VII A SMPN 1
Kuta Utara, Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2012/2013".

1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan metode
demonstrasi dalam meningkatkan kemampuan menembangkan Pupuh
Maskumambang siswa kelas VII A SMPN 1 Kuta Utara, Kabupaten Badung tahun
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


94

pelajaran 2012/2013, dan untuk mengetahui respon siswa kelas VII A SMPN 1
Kuta Utara, Kabupaten Badung pelajaran 2012/2013 atas penerapan metode
demonstrasi dalam pembelajaran menembangkan Pupuh Maskumambang.
Dari masalah dan tujuan penelitian di atas, dapat dikemukakan
manfaat penelitian ini, yang dibedakan atas manfaat teoretis dan praktis.
Manfaat Praktis penelitian ini adalah (1) Penelitian ini setidaknya dapat
dipakai acuan dan menambah bahan bacaan khusunya dalam
menembangkan pupuh. (2) Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan
bandingan bagi peneliti selanjutnya bagi yang ingin melakukan penelitian
yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis penelitian ini sebagai berikut.

1) Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai umpan balik atas
kemampuan siswa dalam matembang. Disamping itu hasil penelitian ini
juga dapat bermanfaat bagi guru sebagai usaha untuk melakukan perbaikan
dalam strategi belajar mengajar terutama dalam pemilihan metode
mengajarnya.
2) Bagi penyusun buku ajar hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai
masukan dalam rangka penyusunan bukunya terutama berkaitan dengan
materi pembelajaran matembang.
3) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai
masukan dalam rangka pengembangan kurikulum berikutnya, terutama
berkaitan dengan penataan materi matembang sesuai dengan hasil
penelitian ini.
Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian yang bersifat ilmiah, peranan teori sangat penting
dalam upaya pencapaian tujuan penelitian. Pemakaian teori hendaknya
disesuaikan dengan permasalahan yang akan dikaji, oleh karena itu keberadaan
kepustakaan dalam sebuah penelitian haruslah relevan dengan penelitian yang
dilakukan. Adapun teori yang dipakai sebagai penjelasan wawasan dan kerangka
berpikir untuk mengarahkan seluruh penelitian ini adalah, yang berkenaan
dengan: (1) teori apresiasi sastra, (2) pengertian pupuh, (3) Pupuh
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


95

Maskumambang, dan (4) kriteria penilaian matembang pupuh (5) aktivitas belajar
dan hasil belajar (6) kemampuan membaca.

Teori Apresiasi Sastra
Michael Philips (dalam Antara, 1985:9) mengatakan, apresiasi itu adalah
sebagai menimbang suatu nilai dan merasakan bahwa karya itu baik, serta
memahaminya mengapa dikatakan baik (appreciate is to judge the value of ; to
feel that a thing is good and understand in what is good). Supaya penikmat dapat
menangkap makna yang ada dalam karya sastra, penikmat hendaknya betul-betul
memahami cipta sastra itu. Pendapat ini menekankan pada pemahaman karya
sastra melalui pendekatan diri dan pemahaman terhadap karya seni.
Saryono (2009:34) menyatakan bahwa apresiasi sastra ialah proses
(kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra
secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah,
khusuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya
sehigga tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman,
kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Kegiatan apresiasi merupakan
aktivitas pikiran yang kompleks sehingga karya sastra yang dinikmati dapat
memberikan nilai dalam kehidupan. Ungkapan Saryono ini lebih luas dari yang
lain, yaitu lebih menekankan pada aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran ini yang
dapat mendorong minat penikmat untuk bersungguh-sungguh menghargai dan
memahami karya sastra, karena karya sastra dapat memberikan nilai dan tuntunan
dalam hidup dan kehidupan.
S.Effendi (dalam Saryono 2009:33) mengemukakan bahwa apresiasi terhadap
karya sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh
hingga timbul pengertian, pengehargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Effendi lebih menekankan pada sebuah
proses menikmati, memahami dan menghargai karya sastra. Setiap kegiatan tentu
ada proses, demikian halnya dengan mengapresiasi karya sastra. Setiap karya
sastra yang dinikmati tidak serta merta akan dipahami dan dihargai oleh penikmat,
melainkan membutuhkan sebuah proses, yaitu mulai dari menikmati, mencermati,
dan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, hingga menentukan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


96

pokok ide yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerita tersebut. Setelah
melewati proses tersebut barulah seorang penikmat dapat memahami dan
menghargai sebuah karya sastra sebesar apa yang didapat dari karya sastra
tersebut. Natawijaya (dalam Saryono 2009:32), apresiasi adalah penghargaan dan
pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya. Seseorang yang mempunyai sikap
menghargai, menghayati, dan dapat merasakan manfaat karya sastra maka orang
itu sudah dapat dikatagorikan memiliki sikap yang positif. Sebuah karya sastra
akan berarti apabila penikmat mampu menghargai, menghayati, dan merasakan
manfaat dalam hidup dan kehidupannya.
Beranjak dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra
merupakan penikmatan suatu karya sastra secara bersungguh-sungguh dengan
kepekaan dan sikap kritis sampai mengerti dan memahami sehingga mampu
memberikan penghargaan terhadap cipta sastra yang banyak mengandung nilai
seni dan budaya.

Pengertian Metode Demonstrasi
Dalam upaya meningkatkan proses belajar mengajar, maka seorang guru
harus dapat memilih metode yang tepat, karena dalam poses belajar mengajar,
metode sangatlah penting digunakan untuk keberhasilan pembelajaran, seperti
metode demonstrasi dalam menembangkan Pupuh Maskumambang. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa metode berarti (1) cara yang
telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud, (2) cara
menyelidiki.
Jadi yang dimaksud dengan metode demonstrasi adalah cara yang
disajikan dalam pembelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan
kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya
atau hanya sekadar tiruan.

Kelebihan dan Kelemahan Metode Demonstrasi
Setiap metode pembelajaran pasti memiliki kelamahan dan kelebihan
masing-masing. Demikian juga halnya dengan metode demonstrasi yang memiliki
kelebihan dan kelemahan seperti di bawah ini.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


97


Adapun kelebihan Metode Demonstrasi yaitu:
1) Dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan dengan hanya
membaca di dalam buku, karena siswa telah memperoleh gambaran yang
jelas pengamatannya.
2) Metode ini dapat menyebabkan proses pembelajaran menjadi menarik,
sebab siswa tidak hanya mendengar, tetapi melihat peristiwa yang terjadi.
3) Dengan metode demonstrasi terjadinya verbalisme akan dapat dihindari,
karena siswa disuruh langsung memperhatikan pelajaran yang dijelaskan.
4) Dalam metode demonstrasi siswa akan mengamati dan siswa akan memiliki
kesempatan untuk membandingkan antara teori dengan kenyataan.
5) Beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan pada diri siswa dapat
dijawab waktu mengamati proses demonstrasi.

Kelemahan Metode Demonstrasi
1) Metode demonstrasi memerlukan peralatan, bahan-bahan dan tempat yang
memadai, yang berarti metode ini memerlukan pembiayaan yang lebih
mahal.
2) Dalam metode demonstrasi seorang guru harus memiliki ketrampilan yang
matang atau profesional sebab memiliki ketrampilan yang matang, maka
metode ini akan berlangsung aktif.

2.3 Langkah-Langkah Pemberian Tugas
Langkah-langkah metode demonstrasi di dalam pembelajaran yaitu
sebagai berikut.
1) Adanya persiapan.
2) Persiapan, yang diperlukan yaitu sarana dan prasarana, tujuan, uji coba.
3) Pelaksanaan, yang diperlukan adalah mengatur tempat duduk, agar siswa dapat
melihat apa yang didemonstrasikan oleh guru, menciptakan suasana yang
menyenangkan, pastikan siswa mengikuti apa yang didemonstasikan sehingga
hasilnya menjadi baik.
4) Penutupan, yang dilakukan adalah menarik kesimpulan dan mengadakan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


98

evaluasi, artinya apakah siswa sudah mengerti atau kurang mengerti tentang
apa yang sudah didemonstrasikan dengan memberikan tugas-tugas untuk
mengukur materi yang sudah disampaikan.

Pengertian Pupuh
Pupuh sering juga disebut sekar alit atau tembang macepat merupakan
jenis tembang yang diikat oleh beberapa aturan, yaitu (a) titisuara, (b) guru ding-
dung, (c) guru wanda, (d) guru gatra, dan (e) padalingsa (Suarka, 2011:2) . Jadi
pupuh adalah suatu kegiatan membaca syair tembang atas empat-empat suku kata
dengan alunan suara yang merdu yang dapat menggugah hati dan perasaan sang
pendengar.
Titi suara adalah susunan nada dasar pada setiap baris dalam satu bait. Titi suara
menjadi nada patokan bilamana tembang Macapat dilagukan, baik secara paca
pariring maupun cengkok wilet.
Guru ding-dung adalah nada akhir setiap baris yang telah dibakukan atau
bersifat konvensional. Karena itu, guru ding-dung tidak bisa diubah tanpa melalui
kesepakatan bersama. Setiap penembang wajib tunduk atau mengikuti aturan nada
akhir pada setiap baris dalam satu bait tembang pupuh. Pupuh ketika dinyanyikan
dikatakan benar ataupun salah dapat diketahui melalui ketaatan penembang
mengikuti guru ding-dung dalam resitasi.
Guru wanda adalah jumlah suku kata pada setiap baris dalam satu bait.
Guru wanda juga merupakan aturan yang telah dibakukan atau bersifat
konvensional. Namun, penyimpangan terhadap guru wanda kerapkali ditemukan,
terutama dalam tembang Macapat yang digunakan dalam dramatari Arja.
Penyimpangan atau pelanggaran guru wanda tidak dirasakan dampaknya atau
seolah-olah pelanggaran itu tidak menyalahi aturan, apalagi dibawakan secara
pasih oleh penari arja. Berbeda halnya dengan guru ding-dung yang tidak bisa
diubah atau dilanggar begitu saja karena kesalahan guru ding-dung menyebabkan
tembang itu salah.
Guru gatra adalah jumlah baris dalam satu bait. Guru gatra dan guru
wanda secara bersama-sama menentukan komposisi baris dalam satu bait pupuh.
Ada kalanya guru gatra dari sebuah pupuh seolah-olah berubah-ubah. Misalnya,
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


99

guru gatra Pupuh Mas Kumambang kadangkala terdiri atas 4 baris dengan
komposisi guru wanda dan lingsa 12-i, 6-a, 8-i, 8-a atau terdiri atas 5 baris
dengan komposisi guru wanda dan lingsa 4-a, 8-i, 6-a, 8-i, 8-a. Meskipun ada
perbedaan jumlah baris (guru gatra), namun jumlah suku kata (guru wanda)
secara keseluruhan dalam satu bait tetap sama, yakni 34.
Padalingsa adalah sajak akhir setiap baris dalam satu bait. Padalingsa
juga bersifat baku namun sering pula mengalami pelanggaran atau penyimpangan.
Misalnya, vokal i digantikan dengan vokal e; vokal a digantikan dengan vokal o.
Hal itu disebabkan sifat dan kedudukan bunyi vokal saling bisa menggantikan
(variasi bunyi) atau karena adanya versi tembang (seperti versi Bali, Sasak,
Surakarta) maupun varian tembang, seperti Sinom Dasar, Sinom Silir, Sinom
Uwug Payangan, Sinom Tikus Kapanting, Sinom Lawe, dan lain-lain. (Suarka,
2011:3).

Karakteristik Pupuh Maskumambang
Pupuh Maskumambang, terdiri atas 5 baris dengan komposisi sebagai
berikut.
Baris I 4a empat suku kata, berakhir dengan vokal a.
Baris II 8i delapan suku kata, berakhir dengan vokal i.
Baris III 6a enam suku kata, berakhir dengan vokal a.
Baris IV 8i delapan suku kata, berakhir dengan vokal i.
Baris V 8a delapan suku kata, berakhir dengan vokal a.
Watak Pupuh Maskumambang, yaitu berwatak sedih, merana, cocoknya
untuk menyampaikan kesedihan, perasaan hati yang sedang merana atau menangis
serta menarik bagi yang mendengarkannya. Kata maskumambang berarti emas
yang terapung (mas: emas, kumambang: terapung). Keadaan setiap benda yang
terapung pasti terombang ambing oleh arus atau gerak barang cair yang
mengapungkannya, sekalipun benda yang terapung itu adalah emas. Demikianlah
nama maskumambang ini menandai suatu pola persajakan sekar macapat yang
bersifat lara, prihatin dan mengiba. Oleh karena itu pola persajakan ini digunakan
untuk membingkai wacana yang mengandung makna melahirkan perasaan hati
lara nan duka, melahirkan tangisan hati atau kepribadian. Sesuai dengan sifatnya,
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


100

sekar maskumambang hanya dipakai di bagian tengah suatu karangan dan jarang
digunakan pada pupuh pertama akhir karangan. Menurut cerita tutur, pola
persajakan ini diciptakan oleh Kangjeng Sunan Majagung.

Pupuh Mas Kumambang

i o e u
pan ca si la
u i u e o u e o
da sar ja gat lin tang be cik
e u e o i i
ngar di pa ri pur na
o o o e i o e o
ne ga ra re pu blik i ki
i i i i e o i i
sa reng sa mi ngu ta me yang

Aspek Penilaian dalam Pupuh
Sebagai tahap akhir suatu pengajaran adalah evaluasi, yaitu mengukur
tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan. Pada kompetensi
matembang teknik evaluasinya adalah dengan tes kemampuan, dalam hal ini
adalah kemampuan menembangkan Pupuh Maskumambang.
Dalam materi Utsawa Dharma Gita tingkat SD, SMP, SMA atau SMK
kota Denpasar tahun 2006 terdapat lima kreteria penilaian dalam menembangkan
pupuh adalah: (1) tikas, (2) onek-onekan, (3) reng suara, (4) padalingsa, dan (5)
raras. Tetapi kreteria penilaian pupuh dalam penelitian kali ini hanya mengambil
empat kreteria penilaian saja. Karena tikas tidak termasuk dalam kreteria penilaian
menembangkan Pupuh Maskumambang di sekolah. Adapun kreteria penilaian
yang dinilai adalah.
1) Raras
Raras adalah ekspresi atau penjiwaan seorang peserta dalam menyajikan
teks yang dibaca. Dalam menembangkan pupuh, raras sangatlah penting
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


101

sebagai wujud penjiwaan dari isi dan karakter pupuh itu sendiri. Seperti
misalnya Pupuh Maskumambang yang memiliki karakter sedih harus dijiwai
dengan kesedihan bukan sebaliknya dibawakan dengan senyum.
2) Onek-onekan
Onek-onekan adalah ketepatan dan kebenaran dalam membaca,
mengucapkan, serta memenggal kata-kata pada saat pembacaan. Jika salah
membaca atau ngonek akan membawa konsekuensi kesalahan dalam
penerjemahan. Namun demikian kesalahan kerapkali ditemukan, terutama
dalam tembang macapat yang digunakan dalam dramatari Arja. Penyimpangan
atau pelanggaran guru wanda yang dalam hal ini adalah onek-onekannya tidak
dirasakan dampaknya atau seolah-olah pelanggaran itu tidak menyalahi aturan,
apalagi dibawakan secara pasih oleh penari Arja. berbeda halnya dengan guru
dingdung yang tidak bisa diubah atau dilanggar begitu saja karena kesalahan
guru dingdung menyebabkan tembang itu salah.
3) Reng suara
Reng suara adalah tinggi rendahnya suara serta keras lembutnya suara
sesuai dengan laras tembang. Misalnya dalam menembangkan Pupuh
Maskumambang yang memiliki karakter sedih, harus ditembangkan dengan
sendu, perasaan hati yang gundah gulana sehingga akan menjadi menarik bagi
pendengarnya.
4) Guru dingdong
Guru dingdong adalah ketepatan nada akhir pada tiap baris. Guru
dingdong tidak bisa diubah tanpa melalui kesepakatan bersama. Setiap
penembang wajib tunduk atau mengikuti aturan nada akhir pada setiap baris
dalam satu bait tembang macapat. Tembang macapat ketika dinyanyikan
dikatakan benar ataupun salah dapat diketahui melalui ketaatan penembang
mengikuti guru dingdong dalam resitasi.

Simpulan
Penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan kemampuan
menembangkan pupuh maskumambang siswa kelas VII A SMPN 1 Kecamatan
Kuta Utara Badung Tahun Pelajaran 2012/2013, dan Respon siswa kelas VII A
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


102

SMPN 1 Kecamatan Kuta Utara Badung Tahun Pelajaran 2012/2013 dalam
penelitian ini, dimana penerapan metode demonstrasi dalam menembangkan
pupuh maskumambang pada dasarnya meningkat.

Saran-Saran
Pertama pada guru disarankan untuk selalu berusaha menggunakan
metode demonstrasi dalam pembelajaran matembang. Kedua Pada siswa
disarankan untuk lebih banyak berlatih menembangkan pupuh maskumambang
agar dapat meningkatkan kemampuan sampai pada tingkat maksimal. Bagi
peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang sejenis diharapkan agar
mengambil subjek dan objek kajian dalam sekala yang lebih besar dan lebih luas.

Daftar Rujukan
Antara, IGP. 1985. Apresiasi Puisi.Denpasar: Kayu Mas.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing
Suarka, I Nyoman. 2011. Metode Pengajaran Tembang Macepat. Denpasar :
Fakultas Sastra Unud, dibawakan dalam Seminar Metode Pengajaran
Tembang Macepat.



Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


103

PRESTASI MENGGAMBAR ILUSTRASI WAJAH MANUSIA PADA
SISWA KELAS XI IPS SMA TAMAN SATSRA JIMBARAN
TAHUN PELAJARAN
2012/2013

Oleh
I Putu Gede Sumiata, 2009. II. 0013
Program Studi Pendidikan Seni Rupa
Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni IKIP PGRI Bali
Abstrak
Metode pengajaran merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi
tercapai tidaknya suatu tujuan pembelajaran. Penerapaan metode yang kurang tepat
secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat kebehasilan siswa. Rendahnya
kemampuan siswa dan minat siswa menggambar ilustrasi wajah manusia dalam
pembelajaran seni rupa diduga karena kurang tepatnya pemberian metode
pembelajaran. Hal tersebut yang mendasari penulis untuk meneliti Penerapan Teknik
Blok Untuk Meningkatkan Perestasi Menggambar Ilustrasi Wajah Manusia Pada Siswa
Kelas XI IPS SMA Taman Satra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013.
Apakah penerapan teknik blok dapat meningkatkan prestasi menggambar
ilustrasi wajah manusia pada siswa kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun
Pelajaran 2012/2013 dan bagaimanakah respon siswa terhadap penerapan teknik blok
dalam pembelajaran seni rupa untuk meningkatkan prestasi menggambar ilustrasi wajah
manusia siswa kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran tahun pelajaran 2012/2013?
Penelitian ini tebatas pada Bentuk, Proporsi, Garis, Komposis, dan
keseimbangan(balence). Hipotesis tindakan yang diajukan , yaitu dengan diterapan
teknik blok dapat meningkatkan prestasi siswa dalam menggambar ilustrasi wajah
manusia dan dengan penerapan teknik blok dapat mendorong siswa dikelas XI IPS
SMA Taman Sastra Jimbaran tahun pelajaran 2012/2013 untuk belajar lebih semangat.
Penelitian ini menggunakan dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II.Subjek
penelitian adalah siswa kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran
2012/2013 yang berjumlah 25 orang siswa. Prosudur penelitian ini terdiri atas
perencanaan tindakan. Imflementasi tindakan, observasi, dan evaluasi serta refleksi
pada setiap siklusnya dengan metode pengumpulan data metode tes dan metode
observasi. Hasil penelitian dan pembahasan penerapan teknik blok untuk meningkatkan
prestasi menggambar ilustrasi wajah manusia pada siswa kelas XI IPS SMA Taman
Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013 menunjukan adanya peningkatan dari
siklus I perolehan rata-rata 57.64 dengan ketuntasan indivdu 3 orang atau 12%, menjadi
75,12 dengan ketuntasan individu 19 orang atau 76% pada siklus II.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan teknik
blok dapat meningkatkan prestasi menggambar ilustrasi wajah manusia pada siswa
kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013.Oleh sebab itu
penulis sarankan bagi guru seni rupa dalam pelajaran mengagambar ilustrasi untuk
menerapkan metode yang kreatif dan inovatif sehingga siswa dapat dengan mudah
menerapkan tugas menggambar yang diberikan sesuai yang diharapkan.

Kata Kunci : Teknik blok dan prestasi menggambar ilustrasi wajah manusia.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


104

Abstract
Teaching method is one of the components that affect whether or not a goal of
learning is achieved. applica...tion of a less precise method can indirectly affect the
success rate of students. low ability students and draw students' interest in learning
human face illustration art allegedly due to lack of precise delivery of learning
methods. underlying this author to less precise delivery of learning methods. underlying
this author to examine the application of techniques to improve the performance of
block illustrations draw a human face on the high school social studies class XI SMA
Taman Sastra Jimbaran Academic Year 2012/2013.
Whether the application of techniques to improve the performance of block
illustrations draw a human face on the high school social studies class XI SMA Taman
Sastra Jimbaran school year 2012/2013 and how the students' response to the
application of the block in learning techniques to improve the performance art
illustration drawing the human face class XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran literary
school year 2012/2013? This study is limited to the form, proportion, line, komposis,
and balance. hypothesis proposed action is to apply techniques can block
meningkatkkan illustration student achievement in drawing the human face and the
application of the block technique can encourage high school students in class XI IPS
SMA Taman Sastra Jimbaran school year 2012/2013 to learn more spirit.
His study uses two cycles, the first cycle and second cycle. research subjects
were students of class XI IPS SMA Taman Satra Jimbaran Academic Year 2012/2013,
amounting to 25 students. The research procedure consists of planning actions.
inflementasi action, observation, and evaluation and reflection at each cycle with the
test methods of data collection methods and methods of observation. results of research
and discussion of the application of techniques to improve the performance of block
illustrations draw a human face on the high school social studies class XI SMA Taman
Sastra Jimbaran school year 2012/2013 showed an increase of cycle 1 acquisition
average of 57.64 with 3 individual completeness or 12%, to 75, 12 with the
thoroughness of the individual 19 or 76% in the second cycle.
Based on those results it can be concluded that the application of techniques to
improve the performance of block illustrations draw a human face on the high school
social studies class XI SMA Taman Sastra Jimbaran school year 2012/2013. therefore,
the authors suggest to teachers of art in drawing lessons illustration for implementing
creative and innovative methods so that students can easily apply given drawing tasks
as expected.

Keywords: engineering drawing block and achievement illustration human face


PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pendidikan seni budaya merupakan pokok pendidikan yang memberikan
pengalaman estetik, melalui kegiatan berekspresi dalam menuangkan gagasan atau
ide ide di dalam berkesenian yang didukung oleh pengembangan kopetensi ,
kreasi, di dalam memberikan apresiasi karya dan pengonsepan karya secara
harmonis dengan memadukan unsur etika, logika dan estetika. Pendidikan kesenian
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


105

sebagi pelajaran muatan lokal atau pelajaran seni budaya yang berbasis budaya
yang meliputi seni rupa, seni tari, seni musik, seni teater.
Dalam perkembangan mata pelajaran seni budaya, untuk meningkatkan
tujuan umum terhadap kompetensi dasar siswa, kuhsusnya dalam materi mata
pelajaran ilustrasi sesuai dengan KTSP (Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan)
siswa nantinya diharapkn dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat pendidikan seni budaya memiliki ruang lingkup yang begitu luas maka
peneliti hanya akan membahas gambar ilustrasi kususnya prestasi menggambar
ilustrasi wajah manusia. Dalam pembelajaran ilustrasi ini kemahiran dalam
menggambar ilustrasi wajah manusia lebih menekankan pada kemampuan siswa
yang langsung ditugaskan membuat gambar wajah manusia sesuai contoh foto dan
tanpa diberikan pengetahuan dasar bagaimana membuat proporsi wajah
Melihat kurang metode yang diberikan oleh guru mata pelajaran seni
budaya terhadap pembelajaran peserta didik maka sebagai mahasiswa calon guru
seni budhya ingin menawarkan sebuah altrnatif pemecah masalah kepada guru
mata pelajaran seni budaya di kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran tahun
pelajaaran 2012/2013, dalam meningkatkan kualitas pembelajaran seni sekaligus
untuk mengadakan penelitian sebagai tuntutan atau syarat perkuliahan di IKIP
PGRI Bali maka peneliti menawarkan penerapan teknik blok untuk meningkatkan
prestasi menggambar ilustrasi wajah manusia dengan menggunakan metode
pembelajaran demonstarsi sebagai penyepurnaan metode yang diberikan guru mata
pelajaraan seni budaya untuk meningkatkan prestasi siswa dalam menggambar
ilustrasi wajah manusia. Model pembelajaraan ini melatih cara berpikir siswa lebih
kreatif dan mendapatkan pengalaman secara langsung dalam mengggambar
ilustrasi wajah manusia.
Berdasarkan latarbelakang di atas siswa makan peulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Penerapan Teknik Blok Untuk Meningkatkan
Prestasi Menggambar Wajah Manusia Pada Siswa Kelas XI IPS SMA Taman
Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013.
2. METODE
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


106

Pada bab ini akan dipaparkan berurut-urut mengenai 1) Rancangan penelitian, 2)
seting penelitian, 3) subjek penelitian, 4) objek penelitian, 5) prosudur penelitian
metode pengumpulan data, 6) analisa data 7) kerteria keberhasilan.
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPS
SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013. Objek penelitian adalah
gejala atau peristiwa yang akan diselidiki. Objek penelitian ini yaitu Penerapan Teknik
Blok Untuk Meningkatkan Prestasi Menggambar Wajah Manusia Pada Siswa Kelas XI
IPS SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013, Tempat penelitian
dilakukan di SMA Taman Sastra Jimbaran
Sesuai dengan karaktrestik PTK, penelitian ini terdiri atas beberapa siklus
yang dilaksanakan secra berulang-ulang atau terus menerus samapai memperoleh
yang terbaik. Tujuan pelaksankan siklus adalah untuk menentukan suatu tindakan
terbaik sehingga permasalahan yang ada dapat ditemukan dan dapat diatasi.
Prosudur tindakan terdiri atas perncanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,
obserpasi dan monitoring, serta refleksi tindakan.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah metode tes, dan observasi. Tes terdiri dari 1 soal tes penugasan, dan
lembaran observasi.
3. HASIL
Berdasarkan hasil tes pada siklus I penerapan teknik blok untuk
meningktkan perestasi menggambar ilustrasi wajah manusia dengan berpedoman
pada penilaian skor mentah menjadi sekor standar yang diperoleh mulai dari tes
tindakan pada aspek bentuk, proporsi, garis, komposisi, dan
keseimbangan(balence), maka diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.2. Hasil Tes Siklus I Membuat Gambar Ilustrasi Wajah Manusia
Dengan Teknik Blok Oleh Siswa Kelas XI IPS SMA Taman
Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013
No Nama siswa
Aspek Nilai (Skor Maksimum)
Skor
Men
tah
Skor
Stnd
ar
predi
kat
Bent
uk
(25)
Pro
por
si
(20)
Gar
is
(20)
Ko
mpo
sisi
(20)
Bale
nce
(15)
1 I Wayan Arik Yoga Santika 10 9 8 9 11 47 47 K
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


107

2 Ni Wayan Janurianti 15 13 12 10 10 60 60 C
3 Ni Komang Leoani 12 11 13 11 12 63 63 C
4 Kadek Okta Mariani 12 12 11 12 10 57 57 K
5 Ni Kadek Rian Wijayanti 16 14 13 12 15 70 70 C
6 I Wayan Gede Wirantara 18 16 16 18 10 78 78 B
7 I Putu Sunia Merta 8 9 12 12 10 51 51 K
8 I Gede Tapan Nanda 8 8 12 12 10 50 50 K
9 Putu Ira Danuantari 12 11 11 13 14 61 61 C
10 I Made Pasek Juni Ariawan 12 11 13 10 10 56 56 K
11 Wawan Kurniawan 10 11 8 6 11 46 46 K
12 Dian Marina Banjar Nanhor 12 13 12 12 11 60 60 C
13 I Putu Ferriyana Bayu Saputra 10 11 13 12 12 58 58 K
14 Ni Wayan Artini Asih 13 10 8 10 10 51 51 K
15 Ni Luh Nikti Utami 13 11 12 10 13 59 59 K
16 Muhammad Rizal Bagastiar K 11 9 10 8 7 45 45 K
17 Putu Eka Wijaya 11 11 8 10 8 48 48 K
18 I wayan Andika Prayoga 10 10 10 11 11 52 52 K
19 I Gusti NgurahTomi Sanjiwa 11 10 9 9 10 49 49 K
20 I Putu Sukma Ariyadi 13 11 12 10 13 59 59 K
21 Ni Ketut Apriani 10 11 13 12 12 58 58 C
22 Selly Selviani 17 18 14 15 13 77 77 B
23 Eko Askoro 14 13 13 12 12 64 64 C
24 Gede Rendy Boy Alfian 17 15 13 15 15 75 75 B
25 Ari Setiawan 11 10 8 8 10 47 47 K
jumlah

1441

Rata-rata

57.64

Keterangan:
1. Skor maksimum 25 untuk penilaian dari segi bentuk
2. Skor maksimum 20 untuk penilaian dari segi proposi
3. Skor maksimum 20 untuk penilaian dari segi garis
4. Skor maksimum 20 untuk penilaian dari segi komposisi
5. Skor maksimum 15 untuk penilaian dari segi keseimbangan (balance)

Dalam kegiataan ini pedoman observasi yang digunkan untuk
mengamati aktivitas siswa dalam dalam kegiatan pembelajaran menggambaar
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


108

ilustrasi wajah manusia adalah: Disiplin, Perhatian siswa dalam menerima
pelajaran, Ketekunan , kompotetif.
Tabel 4.3. Data Obserpasi Respon Siswa Kelas XI IPS SMA Taman
Sastra Jimbaran Pada Siklus I
No Aspek yang dinilai
SM
Rat
a-
rata
1 Disiplin
Perhatian siswa
dalam
menerima
pelajaran
Ketekunan Kompotetif
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 6 2
2



15 4
3

15 4
4

15 4
5

16 4
6



20 5
7

9 2
8

9 2
9

10 3
10

11 3
11


7 2
12 11 3
13 8 2
14 10 3
15 9 2
16

6 3
17 8 2
18 10 3
19 8 2
20 11 3
21 12 3
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


109

22 20 5
23 12 3
24 12 3
25 7 2

Jumlah 277 74

Rata-rata 11.08 3

3.1. Refleksi siklus I
Refleksi dilakukan untuk mengetahui kelemahan dan kendala-kendala
yang dihadapi untuk dapat melakukan tindak lanjut perbaikan ke siklus
berikutnya. Pada tes siklus I perolehan rata-rata 57.64 dengan ketuntasan indivdu
3 orang atau 12%, sehingga perlu diadakan siklus ke II.
Tabel 4.4. Hasil Tes Siklus II Membuat Gambar Ilustrasi Wajah
Manusia Dengan Teknik Blok Oleh Siswa Kelas XI IPS SMA
Taman Sastra Jimbaran Tahun Pelajaran 2012/2013

No Nama siswa
Aspek Nilai ( skor
Maksimum)
Sko
r
me
nta
h
Skor
stand
ar
pr
edi
ka
t
Bent
uk
(25)
Pro
por
si
(20)
Ga
ris
(20
)
kom
posi
si
(20)
Bal
anc
e
(15)
1 I Wayan Arik Yoga Santika 14 14 13 14 14 70 70 C
2 Ni Wayan Janurianti 17 16 15 15 15 78 78 B
3 Ni Komang Leoani 18 17 16 16 15 82 82 B
4 Kadek Okta Mariani 15 15 15 16 16 77 77 B
5 Ni Kadek Rian Wijayanti 18 18 16 17 16 84 84 B
6 I Wayan Gede Wirantara 19 18 17 17 16 87 87 B
7 I Putu Sunia Merta 16 15 15 16 14 76 76 B
8 I Gede Tapan Nanda 16 15 15 15 15 76 76 B
9 Putu Ira Danuantari 16 15 15 15 14 75 75 B
10 I Made Pasek Juni Ariawan 16 15 15 16 14 76 76 B
11 Wawan Kurniawan 12 12 11 10 12 58 58 K
12 Dian Marina Banjar Nanhor 16 15 15 15 15 76 76 B
13 I Putu Ferriyana Bayu Saputra 16 15 15 15 15 76 76 B
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


110

14 Ni Wayan Artini Asih 15 16 15 16 15 77 77 B
15 Ni Luh Nikti Utami 17 17 14 15 16 79 79 B
16 Muhammad Rizal Bagastiar K 12 11 11 12 12 58 58 K
17 Putu Eka Wijaya 13 12 12 11 12 60 60 C
18 I wayan Andika Prayoga 17 16 16 14 15 78 78 B
19 I Gusti NgurahTomi Sanjiwa 16 14 16 15 14 75 75 B
20 I Putu Sukma Ariyadi 16 16 14 13 15 74 74 C
21 Ni Ketut Apriani 16 16 14 15 15 76 76 B
22 Selly Selviani 18 18 16 15 15 82 82 B
23 Eko Askoro 17 16 16 15 15 79 79 B
24 Gede Rendy Boy Alfian 18 19 15 16 15 82 82 B
25 Ari Setiawan 13 14 13 13 12 65 67 C
Jumlah

1878

Rata-rata

75.12


Tabel 4.5. Data Obserpasi Respon Siswa Kelas XI IPS SMA Taman
Sastra Jimbaran Pada sisklus II.

No Aspek yang dinilai
SM
Rata
-rata
1 Disiplin
Perhatian siswa
dalam
menerima
pelajaran
Ketekunan Kompotetif
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 16 4
2

16 4
3

19 5
4

16 4
5

20 5
6

19 5
7

13 3
8

13 3
9

16 4
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


111

10

16 4
11 12 3
12 16 4
13 16 4
14 16 4
15 13 3
16 12 3
17 12 3
18 19 5
19 16 4
20 14 4
21 16 4
22 20 5
23 16 4
24 20 5
25 12 4

Jumlah 394 75
Rata-rata 15.76 3
3.2. Refleksi siklis II
Pada refleksi tes siklus II perolehan rata-rata 75,12 dengan
ketuntasan individu 19 orang atau 76% sehingga tidak perlu diadakan
refleksi pada siklus berikutnya.
3.3. Analisa Data Hasil Tes
Untuk memperjelas data yang diperoleh maka data tersebut perlu di
analisa. Di dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkonversikan skor mentah
menjadi skor setandar dengan norma absolut sekala seratus (100). Untuk
mendapat gambaran lebih jelas dapat dilihat sebagai berikut.
P= X x 100
SMI
Keterangan:
P = Peresentil
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


112

X = skor yang dicapai
SMI = skor maksimal ideal
Setelah diketahui prolehan skor standar selanjutnya adalah mencari
skor rata-rata. Skor rata-rata dapat dicari dengan cara menghitung skor
mentah selanjutnya dibagi dengan subjek yang diteliti.
M = f x
N
Keterangan
M = Mean (nilai rata-rata)
f x =jumlah skor dikalikan frekuensi
N = jumlah sampel
(Nurkancana dan Sunartana, 1990: 174)
Tabel 4.6. Perbandingan Hasil Tes Siklus I dan Siklus II dalam
Penerapan Teknik blok Untuk Meningkatkan Prestasi Menggambar
Ilustrasi Wajah Manusia Pada Siswa Kelas XI IPS SMA Taman Satra
Jimbaran
No
Perbandingan Hasil Tes
Keterangan Siklus I Siklus II
1 47 70 Meningkat
2 60
78
Meningkat
3 63 82 Meningkat
4 57 77 Meningkat
5 70 84 Meningkat
6 78 87 Meningkat
7 51
76
Meningkat
8 50
76
Meningkat
9 61
75
Meningkat
10 56 76 Meningkat
11 46 58 Meningkat
12 60
76
Meningkat
13 58
76
Meningkat
14 51 77 Meningkat
15 59
79
Meningkat
16 45 58 Meningkat
17 48 60 Meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


113

18 52
78
Meningkat
19 49 75 Meningkat
20 59
74
Meningkat
21 58
76
Meningkat
22 77 82 Meningkat
23 64
79
Meningkat
24 75 82 Meningkat
25 47
67
Meningkat

1441
1878
Meningkat

57.64
75.12
Meningkat

Melalui hasil perbandingan tes pada siklus I dan siklus II menunjukan
adanya peningkatan hasil pembelajaran. Pada tindakan siklus I mencapai
ketuntasann hanya 3 orang dengan rata-rata 57.64 presentase ketuntasan
klasikal hanya mencapai 12% sehingga dikatagorikan belum mencapai
ketuntasan. Pada tindakan siklus II siswa mencapai ketuntasan sebanyak 19
orang dengan rata-rata 75.12 dan dengan ketuntasan klasikal mencapai 76%
sehingga kelas tersebut dikatakan tuntas.
Tabel 4.8. Perbandingan Hasil Observasi Siklus I dan Siklus II Siswa
Kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran Tahun
Pelajaran 2012/2013
No

Perbandingan Hasil Observasi
Keterangan
Sisklus I Siklus II

Nilai
mentah
Nilai
standar
Nilai
mentah
Nilai
standar
1 6 2 16 4 Meningkat
2 15 4 16 4 Meningkat
3 15 4 19 5 Meningkat
4 15 4 16 4 Meningkat
5 16 4 19 5 Meningkat
6 20 5 19 5 Meningkat
7 9 2 13 3 Meningkat
8 9 2 13 3 Meningkat
9 10 3 16 4 Meningkat
10 11 3 16 4 Meningkat
11 7 2 12 3 Meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


114

12 11 3 16 4 Meningkat
13 8 2 16 4 Meningkat
14 10 3 16 4 Meningkat
15 9 2 13 3 Meningkat
16 6 3 12 3 Meningkat
17 8 2 12 3 Meningkat
18 10 3 19 5 Meningkat
19 8 2 16 4 Meningkat
20 11 3 14 4 Meningkat
21 12 3 16 4 Meningkat
22 20 5 20 5 Meningkat
23 12 3 16 4 Meningkat
24 12 3 20 5 Meningkat
25 7 2 12 4 Meningkat
277 74 394 75 Meningkat
11.08 3 15.76 3 Meningkat

Melalui hasil perbandingan obsevasi pada siklus I dan siklus II
menunjukan adanya peningkatan minat siswa pada pelajaran menggambar
ilustrasi wajah manusia pembelajaran rata-rata 11.08 pada siklus I menjasi
15.76 pada siklis II.
Menentukan Kreteria Predikat
Setelah memproleh nilai standar selanjutnya skor tersebut harus
diberikan predikat nialai sesuai dengan kreteria yang telah di tetepkan pada
BAB III.
Tabel 3.3. Kereteria Predikat Keberhasilan Siswa
Skor setandar Predikat
90-100 Baik sekali
75- 89 Baik
60-74 Cukup
0-59 Kurang

(Nurkancana dan Sunartana, 1990: 174)

Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


115




KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penellitian tindakan kelas siswa kelas XI IPS SMA
Taman Sastra Jimbaran tahun pelajaran 2012/2013 tentang penerapan teknik
blok untuk meningkatkan prestasi menggambar ilustrasi wajah manusia
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Pembelajaran ilustrsi dengan teknik blok dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas XI IPS SMA Tamana Sastra Jimbaran tahun pelajaran
2012/2013 dalam meningkatkan kemampuan menggambar ilustrasi wajah
manusia. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata perbandingan siklus I dan
silkus II yang mengalami peningkataan nilai dari nilai rata-rata 57,64
dengan ketuntasan klasikal 12% pada sikluas I, menjadi 75,12 dengan
ketuntasan klasikal 76% pada siklus II.
2. Respon siswa terhadap penerapan pembelajaran teknik blok yang di
berikan oleh guru bidang studi dalam meningkatkan prestasi menggambar
ilustrasi wajah manusia siwa kelas XI IPS SMA Taman Sastra Jimbaran
ditanggapi dengan baik dan cukup mampu menarik minat belajar siswa.
Hal ini terbukti dari hasil penilaian dari observasi siklus I yang awalnya
kuarang mampu menarik minat siswa dengan prolehan nilai 2.56 yang
dikatogorikan kurang Kemudian pada observasi siklus II mulai
mampu menarik minat belajar siswa sampai 4.2 yang dikatagorikan
baik.
4.2. Saran
Dalam usaha meningkatkan mutu pembelajaran seni budaya pada
bidang seni rupa kususnya menggambar ilustrasi wajah manusia untuk
kedepannya sehingga di ajukan beberapa saran sebagai berikut.
1. Siswa yang berhasil memproleh nilai KKM disarankan agar
mempertahankan, bahkan meningkatkan kemampuan menggambar
ilustrasi wajah manusia dengan menerapkan teknik blok.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


116

2. Guru diharapkan selalu bersikap kreatif dan inovatif dalam menciptakan
suasana pembelajran yang mampu memotifasi siswa untuk belajar.
3. Kepada pihak yang berwenang (Dinas Pendidikan Nasional) hendaknya
menyediakan buku penunjang untuk sekolah maupun perpustakan daerah
sehingga dapat membantu tujuan pembinaan dan pengembangan
pengetahuan seni budya di Indonesia dapat terujutkan.
4. Penerapan teknik blok ini tidak hanya untu meningkatkan perstasi
menggambar wajah manusia tetapi juga dalam menggambar bentuk-
bentuk yang lainnya.
5. Bagi peneliti lain diharapkan untuk melanjutkan penelitian sejenis ini
dengan mengambil objek yang lain atau menggunkan metode atau teknik
yang lain sebagai upaya untuk meningkatkan prestasi siswa dalam
pembelajaran seni budaya

DAFTAR RUJUKAN
Abdul Asis, Tri Edy Margono. 2010. Mari Belajar Seni Rupa. Pusat
Perbukuan Kementrian Nasional dan PT. Jepe Press Media
Utama Jawa Pos Group
Arikunto Suharsimi. 2010. Prosudur penelitian. Reneka Cipta.
Arikunto Suharsimi, Suhardjono, Supardi. 2011. Penelitian Tindakan
Kelas. PT Bumi Aksara
Berrill Philip. 2010. Pedoman Bagi Semua Orang- Membuat Sketsa.
Karisma Publishing Grup
Nurkancana, W. dan Sunartana, P.P.N. 1990. Evaluasi Hasil Belajar.
Surabaya. Usaha Nasional, Indonesia.
Pujiyanto. 2008. Teknik Grafis Komunikasi jilid 2 untuk SMK. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Jakarta
Subagyo, P. Joko. 1997. Metode Penelitian. PT Rineka Cipta. Jakarta
Sukandarrumidi. 2006. Metologi Penelitian : Petunjuk Praktis Untuk
Penelitian Pemula. Gajah Mada University Press.

Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


117

PENGGUNAAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENARI TARI LEGONG KUNTUL
SISWA KELAS XI SENI TARI 2 SMK N 5 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

oleh
Ni Wayan Candri Purniarsih, NIM 2009.II.4.0047
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Abstrak
Tari legong merupakan salah satu bentuk tari Bali klasik yang memiliki
keunikan tersendiri dari segi bentuk, kostum, dan perbendaharaan ragam geraknya.
Untuk melakukannya dituntut kelenturan gerak tubuh serta kemampuan teknik yang
cukup tinggi, sehingga tari ini dijadikan sebagai acuan dasar dalam menari. Tari legong
memiliki banyak jenis, salah satunya adalah tari Legong Kuntul. Tari Legong Kuntul
adalah struktur tari Legong Keraton yang memakai lakon Kuntul. Kuntul adalah kisah
kehidupan burung bangau yang sedang menikmati keindahan alam sambil bercanda di
tengah-tengah sawah. Begitu vitalnya peran tarian ini, namun sangat disayangkan
keberadaannya tidak begitu mendapat antusiasme, khususnya di kalangan generasi
muda, karena dianggapnya kuno dan sulit dipelajari.
Beranjak dari hal tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini adalah bagaimana penggunaan strategi pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan
keterampilan menari tari Legong Kuntul Siswa Kelas XI Seni Tari 2 SMK N 5
Denpasar, Tahun Pelajaran 2012/2013.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) pengertian tari,
(2) klasifikasi tari Bali, (3) pengertian dan asal mula tari legong (4) karakteristik tari
legong kuntul, (5) kriteria penilaian dalam menari tari legong kuntul, (6) strategi
pembelajaran kooperatif.
Dalam penelitian ini, metode penentuan subjek yang digunakan adalah populasi
dengan jumlah 32 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah (1) metode
tes tindakan dan (2) metode observasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, penggunaan strategi pembelajaran
kooperatif untuk meningkatkan keterampilan menari tari Legong Kuntul Siswa Kelas XI
Seni Tari 2 SMK N 5 Denpasar, Tahun Pelajaran 2012/2013 dikategorikan baik dengan
nilai rata-rata 77,13. Dengan ditetapkannya nilai 78 sebagai batas nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) dalam mata pelajaran Seni Tari kelas XI di SMK N 5
Denpasar, maka dapat dilihat dari 32 siswa bahwa, 30 siswa dinyatakan sudah mencapai
ketuntasan belajar dalam menari tari Legong Kuntul.
Selanjutnya, dengan saran yang disampaikan kepada siswa dan guru, diharapkan
kemampuan siswa SMK N 5 Denpasar pada umumnya dalam menari tari Legong Kuntul
dapat lebih ditingkatkan ke depannya.

Kata kunci: menari, tari Legong Kuntul.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


118

Abstract
Legong dance is a form of classical dance performance that is unique in terms
of shape, costumes, and a range of movement vocabulary. To do so required flexibility
gestures and technical ability is quite high, so the dance is used as a basic reference in
dancing. Legong dance has many types, one of which is the Legong kuntul dance.
Legong Keraton dance is a structure that uses the play kuntul. Herons are stork story of
life is enjoying the beauty of nature while joking in the middle of rice fields. So its vital
role this dance, but unfortunately they are not too got enthusiasm, especially among the
younger generation, because he considered archaic and difficult to learn.
Moving on from this, the issues raised in this research is how to use cooperative
learning strategies to improve skills dancing Legong Kuntul Dance Students in Class XI
Dance of Arts 2 SMK N 5 Denpasar, Academic Year 2012/2013.
The foundation of the theory used in this study were: (1) understanding of
dance, (2) classification of Balinese dance, (3) understanding the origin and Legong
dance (4) characteristics of Legong kuntul dance, (5) the assessment criteria in the
Legong kuntul dance of dancing , (6) cooperative learning strategies.
In this study, the method used is the determination of the subject population by
the number of 32 students. Data collection methods were used: (1) the test method
measures and (2) the method of observation.
These results indicate that, the use of cooperative learning strategies to improve
the skills dancing Legong kuntul Dance of students in Class XI Dance of Arts 2 SMK N
5 Denpasar, Academic Year 2012/2013 categorized by the average value of 77.13. With
the enactment of the limit value of 78 as the minimum value of mastery criteria (KKM)
in subjects in class XI Dance SMK N 5 Denpasar, it can be seen that of 32 students, 30
students have reached mastery learning is expressed in the Legong kuntul dance.
Furthermore, with the advice presented to students and teachers, students are
expected ability SMK N 5 Denpasar generally in the Legong kuntul dance can be
further improved in the future.

Key words : dance, Legong kuntul.


Pendahuluan
Tari Legong Kuntul merupakan salah satu dari sekian banyak jenis tari Legong
Keraton yang ada di Bali, yang digunakan sebagai salah satu materi ajar dalam mata
pelajaran praktik tari klasik putri di SMK N 5 Denpasar. Tari Legong Kuntul adalah
struktur tari Legong Keraton yang memakai lakon Kuntul. Kuntul adalah kisah
kehidupan burung bangau yang sedang menikmati keindahan alam sambil bercanda di
tengah-tengah sawah. Keindahan dari gerak-gerak burung bangau itulah yang disusun
sebagai tema Legong Keraton (Bandem, 1983: 92). Sedangkan, Strategi Pembelajaran
Kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


119

pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar
belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda/heterogen
(Sanjaya, 2010: 242). Setelah terbentuknya kelompok, siswa akan langsung membuat
komposisi tari Legong Kuntul sesuai kreativitas siswa, maka akan muncul rasa saling
memiliki satu sama lain, keterampilan siswa pun akan terlihat dan rasa tanggung jawab
antar teman dalam satu kelompok akan terwujud, demi mencapai nilai terbaik dalam
praktik tari Legong Kuntul.
Permasalahan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai
berikut.
1. Apakah penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif dapat menunjang
Peningkatan Keterampilan Menari Tari Legong Kuntul Siswa Kelas XI Seni
Tari 2 SMK N 5 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013?
2. Bagaimanakah respon yang terjadi pada siswa kelas XI Seni Tari 2 SMK N 5
Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013 dalam pembelajaran seni tari dengan
menggunakan Strategi Pembelajaran Kooperatif ?

Landasan Teori
Landasan teori adalah pencermatan dan pembacaan berbagai teori yang relevan
dengan tema yang diangkat dalam penelitian. Hasil dalam landasan teori ini digunakan
untuk membedah khasanah teoritis yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam
penelitian (Suyadi, 2012: 37). Dalam pembahasan ini diuraikan beberapa teori guna
menunjang kegiatan penelitian untuk memperkuat ide-ide dalam memecahkan masalah
yang terkait dengan judul penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
(1) pengertian tari, (2) klasifikasi tari Bali, (3) pengertian dan asal mula tari legong, (4)
karakteristik tari legong kuntul, (5) aspek-aspek yang dinilai dalam tari Legong Kuntul,
(6) strategi pembelajaran kooperatif.

Pengertian Tari
Menurut Cerita dan Padmini (2009: 46), Tari adalah sebuah kesenian dalam
bentuk pertunjukan atau performing arts yang disuguhkan terhadap penonton atau
penikmat seni dengan bentuk visualnya lebih menekankan aspek estetis dan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


120

keartisannya. Tari dapat dinikmati melalui bentuk visualnya. Elemen-elemen yang ada
pada tari yang dapat ditangkap secara visual antara lain: gerak, rias, busana, dan
properti.

Klasifikasi Tari Bali
Berdasarkan jenisnya tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: (1) jenis
tari menurut fungsinya, (2) jenis tari menurut koreografinya, (3) jenis tari menurut cara
penyajiannya, dan (4) jenis tari menurut tema atau isinya.
Jenis Tari Menurut Fungsinya dibagi menjadi 3, yaitu: 1) Seni tari Wali/Sakral
(religius dance), 2) Seni tari Bebali/ceremonial dance, dan 3) Seni tari Balih-balihan
(secular dance) (Suharta, 2009: 42).
Jenis Tari Menurut Koreografi (Pencipta/Penggubah) dibagi menjadi 3, yaitu: 1)
Tarian Rakyat, 3) Tari Klasik, dan 3) Tari Kreasi Baru (www.geogle.com).
Jenis Tari menurut Cara Penyajiannya dibagi menjadi 4, yaitu: 1) Tari Tunggal,
2) Tari Berpasangan, 3) Tari Berkelompok, dan 4) Tari Massal (Cermat, -: 26).
Jenis Tari Menurut Isi/Temanya dibagi menjadi 4, yaitu: 1) Tari Panthomin, 2)
Tari Erotik, 3) Tari Eroik/Tari Kepahlawanan, dan 4) Drama Tari (www.geogle.com).

Pengertian dan Asal Mula Tari Legong
Tidak pernah ada yang menjumpai kata legong dalam catatan-catatan kuno.
Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes atau
lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun gong yang berarti instrumen
pengiringnya artinya gamelan. Dengan demikian Legong mengandung arti gerak tari
yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang
dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semara Pagulingan.
Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah tari
Sang Hyang. Tari Sang Hyang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan
dipertunjukkan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-
gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian dipakai
dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan
disempurnakan wujudnya.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


121

Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-elemen
tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa
yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan
tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal
di Bali sejak permulaan abad ke-15.
Untuk Legong, cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah
cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang
paling menarik dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan
abstrak. Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan
dialog dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan.
Menurut Babad Dalem Sukawati, sebuah riwayat tua desa Sukawati, Gianyar,
tari Legong diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, raja Sukawati
yang bertahta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made Karna sedang melakukan tapa
di pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati. Dalam semadinya beliau bermimpi
melihat bidadari sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan
memakai hiasan kepala dari emas.
Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan kepada
Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan suatu
tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil
membuat sembilan buah topeng. Topengnya diperagakan oleh dua orang
penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai koreografi yang pasti diduga telah
diciptakan waktu itu.
Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok
kesenian yang dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukkan tari Nandir
yang gayanya hampir sama dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali penari dua anak
laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis segera memerintahkan
dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nandir agar dapat diperagakan oleh
anak-anak perempuan. Sejak saat itulah tari Legong Klasik diciptakan sampai sekarang.
Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feodal dari kaum triwangsa di
Bali. Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gambuh, yaitu suatu kesenian
dari istana. Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


122

dorongan dari para raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa
untuk mendapatkan anak-anak perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan
penari Legong. Proses terjadinya tari Legong sudah merupakan konsep dalam seni
pertunjukan yang mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil elemen dari
kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi mutunya.
Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari
Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba,
mengatakan bahwa Legong telah dikenal di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai
dengan Babad Dalem Sukawati (Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya
Klasik/Tradisional dan Baru: 3039).

Karakteristik Tari Legong Kuntul
Adapun karakteristik dari tari Legong Kuntul dapat dilihat dari segi: 1) Gerak, 2)
Tata Rias, 3) Tata Busana, dan 4) Iringan Tari Legong Kuntul.

Aspek-aspek yang Dinilai dalam Tari Legong Kuntul
Aspek-aspek yang akan dinilai dalam tari Legong Kuntul mencakup tiga aspek,
yaitu: wiraga, wirama, wirasa, (Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali Tahun
2000) dan komposisi tari (Murgiyanto, 1986: 22).

Strategi Pembelajaran Kooperatif
Kooperatif merupakan kosakata bahasa Inggris yang berarti kerjasama atau
kelompok. Kelompok merupakan konsep yang penting dalam kehidupan manusia,
karena sepanjang hidupnya manusia tidak akan terlepas dari kelompoknya. Kelompok
dalam konteks pembelajaran dapat diartikan sebagai kumpulan dua orang individu atau
lebih yang berinteraksi secara tatap muka dan setiap individu menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari kelompoknya, sehingga mereka merasa memiliki, dan merasa
saling ketergantungan secara positif yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut teori psikodamika, kelompok bukan hanya sekadar kumpulan individu
melainkan merupakan satu kesatuan yang memiliki ciri dinamika dan emosi tersendiri
(Sanjaya, 2006: 240).
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


123

Adapun beberapa hal yang dijelaskan dalam strategi pembelajaran kooperatif
guna menunjang kegiatan penelitian, yaitu: 1) Pengertian Strategi Pembelajaran
Kooperatif, 2) Konsep Strategi Pembelajaran Kooperatif, 3) Karakteristik dan Prinsip-
Prinsip Strategi Pembelajaran Kooperatif, 4) Prosedur Pembelajaran Kooperatif, dan 5)
Keunggulan dan Kelemahan Strategi Pembelajaran Kooperatif.

Metode
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk meneliti suatu hal yang ingin
diketahui dengan menggunakan suatu metode tertentu. Dalam arti luas, metode diartikan
sebagai proses, prinsip, dan prosedur yang digunakan untuk mendekati
problem/masalah dan mencari jawabannya (Mulyana, 2002: 146-148 dalam Ruddyanto
dkk, 2008: 24). Lebih lanjut Suyadi, (2012: 34) menyatakan bahwa metode penelitian
dalam PTK adalah rencana penelitian yang akan dilakukan. Jadi, metode dalam PTK
tidak lagi berupa penjelasan yang teoretis---seperti apa itu wawancara, angket, diskusi,
dll---melainkan telah berupa rancangan secara praktis, operasional, dan konkret.
Dalam metode penelitian tindakan kelas ini berisi hal-hal sebagai berikut. (1)
Setting Penelitian, (2) Subjek Penelitian, (3) Prosedur Penelitian, (4) Teknik
Pengumpulan Data, dan (5) Indikator Keberhasilan.

Hasil
Penelitian mengenai penggunaan strategi pembelajaran kooperatif untuk
meningkatkan keterampilan menari tari Legong Kuntul Siswa Kelas XI Seni Tari 2
SMK N 5 Denpasar, Tahun Pelajaran 2012/2013 dilaksanakan pada awal tahun ajaran
baru yaitu tahun pelajaran 2012/2013, dimulai dari bulan Februari sampai bulan Mei,
dilaksanakan melalui dua siklus.
Dari analisis hasil tes tindakan siklus I dapat dipaparkan bahwa, nilai rata-rata
yang dicapai oleh siswa kelas XI Seni Tari 2 SMKN 5 Denpasar adalah 67,4. Dari hasil
tersebut, siswa yang tuntas sebanyak 40,6% dan siswa yang tidak tuntas sebanyak
59,3%. Setelah dilaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif pada siklus II, nilai rata-rata yang dicapai oleh siswa kelas XI
Seni Tari 2 SMKN 5 Denpasar adalah 83,43. Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


124

telah terjadi peningkatan keterampilan siswa dalam menari tari Legong Kuntul. Dalam
siklus II ini, persentase ketuntasan mencapai 94% dan siswa yang tidak tuntas mencapai
6%. Ini sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di SMKN 5 Denpasar, yaitu
78.
Berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di SMKN 5 Denpasar dan
penerapan dua siklus penelitian maka, dapat diperoleh data bahwa dari 32 siswa yang
diteliti, sebanyak 4 siswa mendapat predikat amat baik, 26 siswa mendapat predikat
baik, dan 2 siswa mendapat predikat kurang. Skor rata-rata akhir yang diperoleh siswa
adalah 83,43. Jadi skor rata-rata yang diperoleh siswa dalam penggunaan strategi
pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keterampilan menari tari Legong Kuntul
Siswa Kelas XI Seni Tari 2 SMK N 5 Denpasar, Tahun Pelajaran 2012/2013 tergolong
baik.

Bahasan
Berdasarkan uraian di atas, dapat didefinisikan empat temuan, yaitu: (1)
penggunaan strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan siswa
kelas XI Seni Tari 2 SMKN 5 Denpasar, (2) memperkaya wawasan siswa terhadap
penguasaan teknik gerak tari Legong Kuntul, (3) siswa dapat mengetahui pengetahuan
dasar tentang wiraga, wirama, wirasa dan komposisi tari, (4) siswa dapat memadukan
antara gerak, iringan gamelan dan pola lantai dalam menarikan tari Legong Kuntul.
Strategi pembelajaran kooperatif dapat memudahkan peserta didik dalam praktik
menari tari Legong Kuntul karena peserta didik dapat saling bertukar pikiran dengan
teman dalam satu kelompok sehingga memunculkan kreativitas siswa dalam membuat
sebuah komposisi tari Legong Kuntul.
Pada awal sebelum diterapkannya strategi pembelajaran kooperatif,
keterampilan siswa mencapai nilai rata-rata 59,5. Setelah dilakukan penelitian pada
siklus I, nilai rata-rata siswa mencapai 67,4 dengan persentase ketuntasan 40,6%.
Melihat persentase ketuntasan yang belum maksimal, maka peneliti melakukan siklus
lanjutan yaitu siklus II. Pada siklus II nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan
menjadi 83,43 dengan persentase ketuntasan mencapai 94%. Hal ini juga diperkuat oleh
respon baik dari siswa yang diteliti terhadap strategi pembelajaran kooperatif yang
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


125

diterapkan. Hal ini terlihat pada hasil observasi respon siswa pada siklus I yaitu dengan
nilai rata-rata 54,13, di siklus II meningkat menjadi 77,13.
Kendala yang sering dihadapi siswa, yaitu: memadukan antara gerak, tempo
gamelan dan ekspresi saat menari. Dengan mengetahui kendala yang dialami oleh
siswa, maka guru dapat memberikan frekuensi latihan yang lebih optimal.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas kepada siswa kelas XI Seni Tari 2
SMKN 5 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013, tentang Peningkatan Keterampilan
Menari Tari Legong Kuntul dengan Menggunakan Strategi Pembelajaran Kooperatif,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1) Berdasarkan analisis tes tindakan keterampilan menari tari Legong Kuntul siswa
kelas XI Seni Tari 2 SMKN 5 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan
menggunakan strategi pembelajaran kooperatif, mampu meningkatkan
keterampilan menari siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh siswa
pada pratindakan, yaitu dengan nilai rata-rata 59,5. Setelah digunakan strategi
pembelajaran kooperatif, pada siklus I terjadi peningkatan keterampilan siswa,
dengan nilai rata-rata 67,4. Dan pada siklus II lebih meningkat, dengan nilai
rata-rata siswa sebesar 83,43. Selain itu, dilihat dari keberhasilan siswa dengan
jumlah populasi 32 orang yang menjadi subjek penelitian, tiga puluh (30) orang
siswa (94%) dinyatakan tuntas, sedangkan dua (2) orang (6%) dinyatakan belum
tuntas.
2) Tingkat respon siswa kelas XI Seni Tari 2 SMKN 5 Denpasar Tahun Pelajaran
2012/2013 pada praktik menari tari Legong Kuntul dengan menggunakan
strategi pembelajaran kooperatif mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat
dari hasil tingkat respon siswa pada siklus I dengan nilai rata-rata 54,13 yang
tergolong masih rendah, sedangkan hasil respon siswa pada siklus II meningkat
dengan nilai rata-rata 77,13 dengan kategori baik. Berdasarkan hasil observasi
dari 32 siswa ini diperoleh data, yaitu 30 siswa dinyatakan memiliki respon baik
dalam praktik menari tari Legong Kuntul dengan menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


126


Saran-saran
Dalam usaha meningkatkan mutu pembelajaran seni tari, khususnya
pembelajaran tari Legong Kuntul di tingkat SMA/SMK, melalui tulisan ini perlu
disampaikan beberapa saran sebagai tindak lanjut dari penelitian yang telah
dilaksanakan. Beberapa saran yang perlu disampaikan adalah:
1. Siswa yang telah dinyatakan tuntas disarankan agar berusaha belajar lebih giat
lagi mempertahankan nilainya bahkan lebih mengasah diri agar prestasi yang
sudah dicapai lebih meningkat, sedangkan yang belum tuntas tetap diberikan
remidi.
2. Kepada instansi terkait atau pihak berwenang hendaknya menyediakan buku-
buku penunjang dan sarana belajar yang memadai untuk sekolah sehingga tujuan
pembinaan, pelestarian, dan pengembangan seni budaya dapat diwujudnyatakan.
3. Setelah diperoleh hasil penelitian bahwa penggunaan strategi pembelajaran
kooperatif memberikan hasil yang baik untuk meningkatkan keterampilan
menari tari Legong Kuntul, apabila suatu saat strategi pembelajaran kooperatif
ini mengalami kemunduran, maka guru dapat menggantinya dengan metode
pembelajaran yang lebih efektif.
Demikianlah seluruh proses penelitian ini penulis akhiri dengan hasil yang sudah
tentu belum mencapai kesempurnaan walaupun harapan yang terkandung di dalamnya
sungguh tiada batas. Akhirnya tulisan ini dipersembahkan bagi keperluan
perkembangan pembinaan, pelestarian seni budaya Bali, khususnya seni tari Bali.

DAFTAR RUJUKAN

Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia
(ASTI).

Cerita, Padmini. 2009. Buku Bahan Ajar Analisis Tari dan Gerak. Denpasar: Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Denpasar.

Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali. 2000. Gerak-Gerak Tari Bali.
Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460


127


Ruddyanto, C, dkk. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Denpasar: Balai Bahasa
Denpasar.

Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Prenada Media Group.

Suharta, I Wayan. 2009. Buku Ajar Seni Pertunjukan Indonesia. Denpasar: Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Denpasar.

------------------. 1980/1981. Evolusi Tari Bali. Proyek Penggalian/Pembinaan Seni
Budaya Klasik (Tradisional) dan Baru.

Sukardi. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Suyadi. 2012. Buku Panduan Guru Profesional PTK dan PTS. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.

Contoh Karya Tulis Ilmiah. 2011. Contoh PTK Seni Budaya dan Keterampilan SD. -:
www.google.com.


Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




128

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI KOSAKATA BAHASA BALI
RANAH PERTANIAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR PADA
SISWA KELAS IIIB SD NEGERI 10 SUMERTA DENPASAR TIMUR
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

oleh

Ni Wayan Oktavitin Ruslita Dewi, NIM 2009.II.2.0209
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Bali

Abstrak
Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui pengaruh penggunaan media
gambar dalam meningkatkan kemampuan memahami kosakata bahasa Bali ranah
pertanian siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta dan (2) mengetahui respon
yang ditunjukkan oleh siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta setelah
penggunaan media gambar sebagai penunjang pembelajaran. Penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui dua siklus. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur
Tahun Pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 28 orang. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode tes, observasi, dan kuesioner. Berdasarkan
hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa penggunaan media gambar
terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan memahami kosakata bahasa Bali
ranah pertanian pada siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta. Hal ini terbukti
dengan peningkatan nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa, yaitu pada siklus I
nilai rata-rata siswa 63,71 meningkat pada siklus II menjadi 77,78. Selain itu,
respon siswa pada siklus I yang tergolong cukup positif meningkat menjadi positif
karena berhasilnya penerapan media gambar dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut, disarankan kepada guru agar menggunakan media
gambar sebagai salah satu pilihan untuk mempermudah proses pengajaran bahasa
Bali yang penggunaannya disesuaikan dengan materi pelajaran.

Kata kunci: kosakata bahasa Bali ranah pertanian, media gambar.

Abstract
This research is aimed to (1) examine the effect of the implementation of
picture in increasing the students ability in comprehending the vocabulary of
Balinese in the field of farming of IIIB SD Negeri 10 Sumerta and (2) describe the
result after the implementation of picture as the additional media of learning. This
research is based on class action done trhough two stages. The subject of this
research is the IIIB students of SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur in the
academic year 2012/2013 consisting of 28 students. The data collection is done
through the method of test, observation, and questionnaire. The data analysis
shows that the implementation of picture gives on effective effect in increasing the
ability of students in comprehending the Balinese vocabulary in the field of
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




129

farming. This is shown by the increasing average grade of students in the first
stage 63,71 become 77,78 in the second stage. In addition, the response of
students in the first stage which is categorised as medium positive has increased
into positive because of the effectiveness of the treatment. Based on those result, it
is suggested that the teacher implement the use of picture as one of the
alternatives to assist a better process of learning the Balinese associated with the
learning materials.
Keywords: Balinese vocabulary in the field of farming, pictures

PENDAHULUAN
Keragaman bahasa merupakan salah satu hal yang harus dilestarikan
karena bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia khususnya
dalam komunikasi. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari komponen yang
pembentuknya yaitu kosakata. Kosakata merupakan pembendaharaan kata yang
dimiliki oleh suatu bahasa.
Perkembangan yang ada dalam kehidupan manusia saat ini tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan manusia yang ada sebelumnya. Tidak akan ada zaman
sekarang tanpa melalui zaman dahulu. Hal inilah yang menjadi penyebab begitu
pentingnya anak-anak mempelajari kosakata bahasa Bali ranah pertanian. Jangan
sampai anak-anak kehilangan jejak sejarah karena kemajuan zaman. Berdasarkan
hal tersebut, penulis melakukan observasi awal pada siswa Kelas IIIB SD Negeri
10 Sumerta Denpasar Timur. Dari hasil observasi, sebagian besar siswa tidak
dapat menyebutkan kosakata bahasa Bali ranah pertanian. Selain itu, respon siswa
terhadap pembelajaran kosakata bahasa Bali masuk dalam kategori kurang. Hal
ini yang menjadi penyebab penulis menawarkan media gambar sebagai alternatif
pemecahan masalah yang terjadi.
Hal ini dimungkinkan karena penggunaan media gambar bersifat
sederhana sehingga memudahkan guru dalam penerapannya. Selain itu, media
gambar dengan variasi warna serta visualisasinya yang jelas memberi daya tarik
kepada siswa untuk belajar.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut: (1) apakah penggunaan media gambar dapat meningkatkan
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




130

kemampuan memahami kosakata bahasa Bali ranah pertanian siswa Kelas IIIB
SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013? dan (2)
bagaimana respon yang ditunjukkan oleh siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013 setelah penggunaan media gambar
sebagai penunjang pembelajaran?
Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui pengaruh penggunaan
media gambar dalam meningkatkan kemampuan memahami kosakata bahasa Bali
ranah pertanian siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun
Pelajaran 2012/2013 dan (2) untuk mengetahui respon yang ditunjukkan oleh
siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran
2012/2013 setelah penggunaan media gambar sebagai penunjang pembelajaran.
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: (1) bagi siswa,
hasil penelitian ini dapat memotivasi siswa untuk belajar, karena dengan
menggunakan media suasana belajar akan lebih menarik sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar dalam pembelajaran bahasa Bali, (2) bagi guru,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pemilihan media
pengajaran, (3) bagi penyusun buku pelajaran, hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan sumbangan yang positif dalam penyusunan buku pelajaran
bahasa Bali yang sesuai dengan jenjang pendidikan, dan (4) bagi pengembangan
kurikulum, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam
pengembangan kurikulum serta dalam mengambil kebijakan baru mengenai
pengembangan materi pendidikan.
Setiap komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa,
menggunakan berbagai bentuk kosakata. Kosakata tersebut dapat dikatakan
sebagai kekayaan yang dimiliki oleh suatu bahasa. Hal ini dipertegas oleh Chaer
(1990: 8) yang menyatakan bahwa kosakata merupakan kumpulan dari kata-kata
suatu bahasa yang biasa disebut dengan pembendaharaan kata atau vocabulary.
Semakin banyak kosakata yang dimiliki oleh suatu bahasa, maka semakin kaya
pula bahasa tersebut akan kosakata yang dapat digunakan atau dipilih penuturnya
dalam melakukan komunikasi.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




131

Kosakata dapat juga dikatakan sebagai leksikon atau leksikal (Arnawa,
2008: 97). Hal tersebut diperlengkap oleh pernyataan Chaer (1990: 62) yang
mempertegas bahwa leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh
nyata dalam kehidupan kita. Dapat disimpulkan bahwa leksikon merupakan benda
yang nyata dan memiliki hubungan sejalan antara benda dengan makna dari benda
tersebut, sehingga mampu menyampaikan makna yang sama kepada semua orang.
Ranah pertanian jika dilihat dari kamus bahasa Indonesia mempunyai
pengertian masing-masing, yaitu kata ranah berarti unsur yang dibatasi sedangkan
kata pertanian yang berasal dari kata tani berarti mata pencaharian dalam bentuk
berladang atau bercocok tanam. Jadi dapat disimpulkan bahwa kosakata ranah
pertanian merupakan kosakata yang unsurnya dibatasi pada mata pencaharian
dalam bentuk berladang atau bercocok tanam.
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti
tengah, perantara atau pengantar (Arsyad, 2011: 3). Pendapat lain
dikemukakan oleh Rossi dan Breidle (dalam Sanjaya, 2009: 163) yang
menyatakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat
dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran,
majalah dan sebagainya. Media pembelajaran akan mengalami perubahan seiring
dengan perubahan jaman. Pada dasarnya dalam proses pembelajaran, media
digunakan untuk membantu agar proses pembelajaran berjalan dengan baik. Dari
penggunaan media, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas yang
dihasilkan dalam sistem pendidikan. Hamidjojo (dalam Arsyad, 2011: 4) memberi
batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia
untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan atau pendapat sehingga ide,
gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang
dituju. Dengan kata lain media bukan semata-mata alat, namun media merupakan
faktor eksternal dari siswa yang membantu dalam proses pemahaman terhadap
suatu materi sehingga siswa mampu dengan jelas memahami hal-hal yang
disampaikan.
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




132

Media gambar atau media berbasis visual banyak dipilih oleh guru untuk
membantu dalam penyampaian materi pelajaran. Media gambar dipilih karena
penerapannya yang sederhana namun mampu memberikan pemahaman kepada
siswa. Menurut (Sadiman, dkk, 2011: 29--31) media gambar memiliki beberapa
keunggulan diantaranya: (1) sifatnya konkret; gambar lebih realistis menunjukkan
pokok masalah dibandingkan dengan verbal semata, (2) gambar dapat mengatasi
batasan ruang dan waktu, (3) media gambar dapat mengatasi keterbatasan
pengamatan, (4) gambar dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja
dan untuk tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah dan mengurangi
kesalahpahaman, dan (5) gambar mudah didapat serta digunakan tanpa
memerlukan peralatan khusus. Arsyad (2011: 91) menyatakan bahwa media visual
dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Dari pendapat
tersebut, dapat dilihat bahwa penggunaan media gambar cukup efektif jika
diterapkan pada siswa sekolah dasar.

METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK)
yang merupakan bagian dari penelitian tindakan (action research). Penelitian ini
dilakukan dalam dua siklus dan mempunyai beberapa tahapan pada masing-
masing siklusnya. Tahapan tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 10 Sumerta
Denpasar Timur dengan subjek penelitian kelas IIIB yang berjumlah 28 siswa
terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan. Penelitian dilaksanakan
selama 4 dari bulan Februari hingga Mei 2013. Objek penelitian ini adalah
peningkatan kemampuan memahami kosakata bahasa Bali ranah pertanian.
Pemahaman kosakata bahasa Bali ranah pertanian yang dimaksud hanya sebatas
kognitif siswa meliputi hasil belajar dan respon siswa terhadap penggunaan media
gambar dalam proses pembelajaran kosakata bahasa Bali ranah pertanian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan tiga metode yaitu metode tes, metode observasi, dan metode
angket/kuesioner. Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian, berbentuk
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




133

suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau
sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau
prestasi anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh
anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan (Nurkancana dan
Sunartana, 1992: 34). Metode tes digunakan untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa mengenai kosakata bahasa Bali ranah pertanian. Observasi
adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian dengan jalan mengadakan
pengamatan secara langsung dan sistematis (Nurkancana dan Sunartana, 1992:
51). Angket/kuesioner dapat mengungkapkan pendapat atau tanggapan seseorang
baik secara individual maupun kelompok terhadap permasalahan (Darmadi, 2011:
261). Metode observasi dan kuesioner digunakan untuk mengetahui respon siswa
terhadap penggunaan media gambar dalam pembelajaran kosakata bahasa Bali
ranah pertanian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media gambar dapat
meningkatkan kemampuan memahami kosakata bahasa Bali ranah pertanian siswa
Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.
Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Nilai Kemampuan Memahami Kosakata Bahasa Bali Ranah Pertanian
dengan Menggunakan Media Gambar pada Siswa Kelas IIIB SD Negeri
10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013

No. Nama Siswa
Siklus I Siklus II
KET.
SM SS SM SS
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Maulana Ibrahim 30 60 35 70 meningkat
2. Ahmad Ibnu Sabil 30 60 33 66
meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




134

3. Arik Febrianto 32 64 40 80
meningkat
4. Kadek Ayu Oktaviani 34 68 36 72
meningkat
5.
I Gede Adrian Restu
Wisana
27 54 35 70
meningkat
6.
I Dw. Gd A. Krisna
Prabaswara
31 62 39 78
meningkat
7. Aisyah Widyanti 29 58 34 68
meningkat
8. I Gede Adi Wiguna 26 52 37 74
meningkat
9.
Km. Ayu Mirah Kumala
Dewi
34 68 39 78
meningkat
10.
Dewa Kadek Vendy
Anandika
35 70 45 90
meningkat
11. Ni Putu Dian Lestari 32 64 38 76
meningkat
12.
I Made Dwi Kusuma
Wardana
33 66 38 76
meningkat
13. Elisa Wahyu Widiana 30 60 34 68
meningkat
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
14. Gede Eka Wiguna 30 60 36 72
meningkat
15.
Ngurah Gede Indra
Kusuma
28 56 38 76
meningkat
16.
Kadek Indah Shanti
Amelia
29 58 38 76
meningkat
17. Ni Putu Januartini 30 60 38 76
meningkat
18. I Gusti Made Laksmana 33 66 36 72
meningkat
19. Ni Pt Leni Aristia Dewi 32 64 36 72
meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




135

20.
I Wayan Gd Rama Eka
Saputra
32 64 38 76
meningkat
21. I Komang Rio Saputra 34 68 38 76
meningkat
22. Ni Kadek Seli Noviani 38 76 44 88
meningkat
23.
I Gede Shivanda Vidyana
Puja
29 58 36 72
meningkat
24.
Ni Made Trisna Dewi
Rama Suari
30 60 47 94
meningkat
25.
I.B Wibisana Semaya
Manuaba
40 80 47 94
meningkat
26. Ni Putu Yuliani Dewi 35 70 44 88
meningkat
27. Ni Putu Yuni Arianti 36 72 49 98
meningkat
28. Kadek Anggita Dewi 33 66 41 82
meningkat
Jumlah 892 1784 1089 2178
Rata-rata 31,86 63,71 38,89 77,78

Keterangan:
1. SM : Skor mentah
2. SS : Skor standar

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat nilai rata-rata yang diperoleh siswa
pada siklus I sebesar 63,71 mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 77,78.
Hasil respon siswa terhadap penggunaan media gambar dalam pembelajaran
kosakata bahasa Bali ranah pertanian dapat dilihat pada tabel berikut.



Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




136

Tabel 2 Data Respon Siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur
Tahun Pelajaran 2012/2013 Terhadap Penggunaan Media Gambar.
No. Nama Siswa
Siklus I Siklus II
KET.
A B JML A B JML
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. Maulana Ibrahim 4 19 23 12 20 32 meningkat
2. Ahmad Ibnu Sabil 4 19 23 12 20 32 meningkat
3. Arik Febrianto 5 22 27 12 23 35 meningkat
4.
Kadek Ayu
Oktaviani
9 23 32 13 25 38 meningkat
5.
I Gede Adrian
Restu Wisana
9 24 33 13 24 37 meningkat
6.
I Dw. Gd A. Krisna
Prabaswara
8 23 31 12 24 36 meningkat
7. Aisyah Widyanti 6 19 25 12 20 32 meningkat
8. I Gede Adi Wiguna 6 19 25 12 20 32 meningkat
9.
Km. Ayu Mirah
Kumala Dewi
9 19 28 13 20 33 meningkat
10.
Dewa Kadek
Vendy Anandika
8 18 26 12 21 33 meningkat
11.
Ni Putu Dian
Lestari
11 24 35 15 25 40 meningkat
12.
I Made Dwi
Kusuma Wardana
10 23 33 13 24 37 meningkat
13.
Elisa Wahyu
Widiana
5 20 25 12 22 34 meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




137

14. Gede Eka Wiguna 5 20 25 12 21 33 meningkat
15.
Ngurah Gede Indra
Kusuma
6 22 28 12 22 34 meningkat
16.
Kadek Indah Shanti
Amelia
10 21 31 14 22 36 meningkat
17. Ni Putu Januartini 11 22 33 15 24 39 meningkat
18.
I Gusti Made
Laksmana
7 20 27 12 23 35 meningkat
19.
Ni Pt Leni Aristia
Dewi
9 19 28 13 23 36 meningkat
20.
I Wayan Gd Rama
Eka Saputra
6 20 26 12 23 35 meningkat
21.
I Komang Rio
Saputra
6 22 28 12 22 34 meningkat
22.
Ni Kadek Seli
Noviani
12 24 36 15 25 40 meningkat
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
23.
I Gede Shivanda
Vidyana Puja
10 25 35 13 25 38 meningkat
24.
Ni Made Trisna
Dewi Rama Suari
10 24 34 13 25 38 meningkat
25.
I.B Wibisana
Semaya Manuaba
11 24 35 14 25 39 meningkat
26.
Ni Putu Yuliani
Dewi
12 24 36 16 24 40 meningkat
27.
Ni Putu Yuni
Arianti
12 22 34 15 25 40 meningkat
28. Kadek Anggita 12 25 37 14 25 39 meningkat
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




138

Dewi
Jumlah 839 839
Rata-rata 29,96 29,96

Keterangan:
1. A : Observasi
2. B : Kuesioner
3. JML : Jumlah dari observasi dan kuesioner

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut.
1. Penggunaan media gambar dapat meningkatkan kemampuan
memahami kosakata bahasa Bali ranah pertanian siswa Kelas IIIB SD
Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013. Hal ini
dibuktikan dengan adanya peningkatan nilai rata-rata yang diperoleh
siswa dari hasil pelaksanaan tes siklus I yaitu sebesar 63,71 yang
dikategorikan cukup dan pelaksanaan tes siklus II yang menunjukkan
peningkatan dengan nilai sebesar 77,78 yang dikategorikan baik. Nilai
rata-rata pada kedua siklus tersebut mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa pada tahap refleksi awal,
yaitu sebesar 32,72. Nilai tersebut membuktikan bahwa kemampuan
siswa memahami kosakata bahasa Bali mengalami peningkatan pada
setiap siklusnya.
2. Berdasarkan hasil kuesioner dan observasi yang dilakukan, respon
siswa Kelas IIIB SD Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun
Pelajaran 2012/2013 mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai 29,96 dari skor maksimal 45 yang dikategorikan cukup
positif diperoleh pada siklus I dan mengalami peningkatan pada siklus
II menjadi 35,96 dari skor maksimal 45 yang dikategorikan positif. Jika
dibandingkan dengan respon siswa pada tahap refleksi awal yang
Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




139

masuk dalam kategori kurang positif, tentu ini merupakan suatu
peningkatan.
Dengan adanya peningkatan nilai rata-rata siswa mulai dari tahap refleksi
awal, siklus I sampai dengan siklus II serta peningkatan respon siswa dalam
pembelajaran kosakata bahasa Bali ranah pertanian pada siswa Kelas IIIB SD
Negeri 10 Sumerta Denpasar Timur Tahun Pelajaran 2012/2013 melalui
penggunaan media gambar, penelitian ini dapat dikategorikan berhasil.
Sebagai tindak lanjut atas hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka
melalui kesempatan ini dikemukakan beberapa saran. Saran ini disampaikan
dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pengajaran bahasa Bali khususnya
mengenai kosakata bahasa Bali ranah Pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut
dapat diungkapkan beberapa saran yaitu sebagai berikut.
1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil disarankan agar mempertahankan
dan meningkatkan lagi kemampuannya dalam pemahaman kosakata
bahasa Bali ranah pertanian.
2. Guru hendaknya selalu bersikap kreatif dan inovatif dalam menciptakan
suasana pembelajaran baik dengan penggunaan media yang bervariasi
sehingga siswa tertarik mengikuti proses pembelajaran. Pemilihan
media yang digunakan juga harus disesuaikan dengan materi yang
diajarkan.
3. Guru hendaknya mampu memberikan motivasi kepada siswa agar siswa
selalu terpacu untuk belajar dan mengikuti proses pembelajaran dengan
baik.
4. Pemerintah Daerah terutama Dinas Pendidikan hendaknya bersikap
proaktif dalam upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Bali
khususnya kosakata bahasa Bali ranah pertanian dengan menyediakan
buku penunjang dan sarana yang memadai.




Stilistetika Tahun II Volume III, November 2013
ISSN 2089-8460




140

DAFTAR RUJUKAN
Arnawa, Nengah. 2008. Wawasan Linguistik dan Pengajaran Bahasa. Denpasar:
Putri Praptama.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Usaha Nasional.
Sadiman, Raharjo et.al. 2011. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai