Anda di halaman 1dari 80

Dampak Privatisasi di Indonesia 1 1

Dampak Privatisasi di Indonesia:


Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi I ndonesia











Oleh

Oswar Mungkasa
Dampak Privatisasi di Indonesia 2 2
DAFTAR ISI

Hal

Daftar Isi . i
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar .. v
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang . 1
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penulisan .. 3
2. Privatisasi: Definisi, Konsep dan Pengalaman Negara Lain
2.1 Definisi Privatisasi .. 5
2.2 Peran Pemerintah dan Sektor Publik ... 7
2.2.1 Dikotomi Pasar-Pemerintah dan Sektor Publik-Swasta .. 7
2.2.2 Latar Belakang dan Tujuan Keberadaan BUMN . 9
2.2.3 Kendala Sektor Publik . 11
2.2.4 Beberapa Bukti Empiris Kinerja BUMN 12
2.3 Konsep Privatisasi 14
2.3.1 Alasan dan Tujuan Privatisasi .. 14
2.3.2 Metode Privatisasi 15
2.3.3 Proses Privatisasi .. 18
2.3.4 Penilaian Kinerja Sektor Publik 19
.2.3.5 Masalah dan Hambatan Privatisasi .. 21
2.3.6 Kritik terhadap Privatisasi 22
2.4 Dampak Privatisasi ... 22
2.4.1 Manfaat dan Penggunaan Hasil Privatisasi .. 22
2.4.2 Metode Penilaian Dampak Privatisasi . 24
2.4.3 Dampak Fiskal . 24
2.4.4 Dampak Ekonomi Makro . 24
2.4.5 Dampak Pemerataan . 24
2.5 Kunci Kesuksesan Privatisasi .. 25
2.6 Pengalaman dan Perbandingan dengan Negara Lain ... 27
2.6.1 Peran BUMN 27
2.6.2 Perkembangan Privatisasi Dunia . 28
2.6.3 Inggris .. 29
Dampak Privatisasi di Indonesia 3 3

hal

2.6.4 Perancis 32
2.6.5 Italia . 32
2.6.6 Korea Selatan 32
2.6.7 Chili . 33
2.6.8 Negara Transisi 34
2.6.9 Perbandingan Antarnegara 35
2.6.10 Dampak Privatisasi per Sektor . 36
2.6.11 Beberapa Fakta Penting 38
3. Privatisasi di Indonesia
3.1 Latar Belakang dan Sejarah BUMN ..39
3.2 Pengertian BUMN 39
3.3 Tujuan Pendirian BUMN . 40
3.4 Kontribusi BUMN dalam Perekonomian Nasional . 41
3.5 Profil BUMN 42
3.5.1 Jumlah dan Pengelompokan BUMN per Bidang Usaha .. 42
3.5.2 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai
Penjualan .. 42
3.5.3 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdaasar Nilai Aset 42
3.5.4 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba 44
3.6 Kinerja BUMN .. 44
3.7 Perkembangan Privatisasi . 44
3.7.1 Latar Belakang Privatisasi . 44
3.7.2 Tujuan dan Manfaat Privatisasi . 46
3.7.3 Kebijakan dan Strategi Privatisasi . 46
3.7.4 Masalah dan Hambatan Privatisasi 49
4. Metode Penilaian Dampak Privatisasi
4.1 Kriteria Dasar . 51
4.1.1 Nilai Tambah . 51
4.1.2 Efisiensi . 51
4.2 Dampak Ekonomi Makro . 52
4.2.1 Nilai Tambah Agregat .. 52
Dampak Privatisasi di Indonesia 4 4

hal

4.2.2 Efek Tenaga Kerja . 53
4.2.3 Gaji dan Upah . 54
4.2.4 Surplus Sosial .. 55
4.2.5 Dampak pada Anggaran .. 55
4.2.6 Dampak pada Tabungan dan Konsumsi .. 56
5. Dampak Privatisasi: Kasus Studi PT. Telekomunikasi Indonesia
5.1 Profil PT. Telekomunikasi Indonesia 57
5.2 Kinerja PT. Telekomunikasi Indonesia (1995-1997) 57
5.2.1 Kinerja Operasi (jaringan dan Pelayanan) 57
5.2.2 Kinerja Keuangan .. 59
5.3 Dampak Privatisas 63
5.3.1 Nilai Tambah dan Efisiens .. 63
5.3.2 Dampak Ekonomi Makro . 64
5.4 Beberapa fakta penting tentang Kinerja Perusahaan dan Dampak
Privatisasi 69
6. Kesimpulan 70

LAMPIRAN . 72
DAFTAR PUSTAKA . 75

Dampak Privatisasi di Indonesia 5 5

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1 Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris) 16
Tabel 2 Metode Privatisasi 17
Tabel 3 Tahapan Privatisasi 18
Tabel 4 Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja berdasar
Kelompok Negara Tahun 1978-1991 . 28
Tabel 5 Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) . 30
Tabel 6 Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris (Sebelum dan
Setelah Privatisasi) . 30
Tabel 7 Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah
Privatisasi) 31
Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja BUMN di Inggris 32
Tabel 9 Beberapa Hasil Penelitian Perbandingan BUMN Antarnegara .. 35
Tabel 10 Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 43
Tabel 11 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan . 42
Tabel 12 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset . 42
Tabel 13 Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba . 44
Tabel 14 Program Privatisasi BUMN Tahun 2002 49
Tabel 15 Rangkuman Dampak Privatisasi PT. Telkom .. 67
Tabel 16 Rangkuman Profil Kinerja dan Dampak Privatisasi PT. Telkom 70

Dampak Privatisasi di Indonesia 6 6

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Kapsitas dan Tambahan Kapasitas Telepon . 58
Gambar 2 Tingkat Keberhasilan Panggil 59
Gambar 3 Produktifitas Karyawan 59
Gambar 4 Gambaran Kemampulabaan 60
Gambar 5 Gambaran Solavabilitas . 61
Gambar 6 Gambaran Likuiditas . 62
Gambar 7 Gambaran Efisiensi . 62

Dampak Privatisasi di Indonesia 7 7
Dampak Privatisasi di Indonesia 8 8
Dampak Privatisasi di Indonesia:
Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi I ndonesia

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam literatur awal ekonomi pembangunan, ekonom melihat negara sebagai
pelaku yang baik dan pemersatu, dengan tujuan tindakannya selalu bersifat sosial.
Pemerintah dipandang mempunyai kemampuan mendapatkan informasi dan dilengkapi
dengan pengetahuan dan instrumen kebijakan yang memadai, dapat mencampuri pasar
untuk membenahi kegagalan pasar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pandangan tersebut dinodai oleh kenyataan bahwa campur tangan pemerintah
(baik di negara maju maupun negara berkembang) sering malah berakibat buruk. Tentu
saja, kegagalan pemerintah menunjukkan hasil yang lebih buruk dari kegagalan pasar.
Birokrat pemerintah sering dipaksa membuat keputusan bisnis dengan informasi yang
kurang dibanding sektor swasta. Selain kemudian tindakan politisi dan birokrat
menjadi dimotivasi oleh ambisi pribadi yang tidak memperhatikan kepentingan publik.
Kekuasaan pemerintah dimanipulasi oleh sektor swasta untuk kepentingan kelompok
tertentu, bahkan sering dengan menggunakan dana publik (Krause, 1987).
Hal tersebut di atas menjadikan campur tangan pemerintah khususnya dalam
bentuk banyaknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada berbagai bidang usaha
kemudian dianggap berdampak negatip bagi perekonomian nasional. Kondisi ini
kemudian menyuburkan pandangan agar pemerintah mengurangi campur tangannya
dalam perekonomian melalui BUMN. Akhirnya privatisasi BUMN dilihat sebagai
salah satu cara yang efektif mengurangi campur tangan tersebut. Walaupun kemudian
ternyata alasan privatisasi tidak melulu karena adanya campur tangan pemerintah.
Namun pada akhirnya privatisasi telah menjadi suatu gejala yang umum dimanapun di
dunia saat ini.
Program privatisasi dimulai oleh Konrad Adenauer dari negara Federal Jerman
pada tahun 1961 dengan menjual sebagian besar saham pemerintah pada perusahaan
mobil Volkswagen (VW) (Siahaan, 2000). Namun program privatisasi sendiri mulai
menjadi program yang diminati oleh berbagai negara setelah sukses yang dicapai pada
program privatisasi di Inggris pada era Perdana Menteri Thatcher (1970-an). Setelah
masa tersebut, maka program privatisasi tidak hanya terjadi di negara maju seperti
Dampak Privatisasi di Indonesia 9 9
Inggris, Perancis dan Jepang tetapi juga telah menjadi elemen kunci reformasi
struktural pada berbagai negara berkembang selama satu dekade terakhir (Davis,
2000). Hal ini terbukti dari jumlah BUMN
1
yang telah diprivatisasi sampai tahun 1995,
berdasar data International Organization of Supreme Audit Institution (INTOSAI)
2
,
yang telah mencapai lebih dari 196.000 BUMN (Gandhi, 1996).
Gelombang privatisasi yang terjadi di mancanegara ternyata juga mendorong
terjadinya proses privatisasi di Indonesia. Usaha privatisasi dimulai pada tahun 1988
setelah secara formal pemerintah menuangkan program privatisasi tersebut melalui
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989. Program privatisasi ini dilaksanakan
dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas BUMN. Langkah awal
pemerintah ini kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan go public
beberapa BUMN yang besar seperti PT. Semen Gresik (1991), PT. Indosat (1994), PT.
Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), PT. Bank BNI (1996).
Memasuki tahun 1997, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,
maka proses privatisasi menjadi mengemuka kembali dengan dimensi yang lain.
Privatisasi menjadi salah satu program prioritas pemerintah bahkan menjadi salah satu
persyaratan dalam Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Keberhasilan program
privatisasi menjadi salah satu harapan pemerintah dalam menutupi defisit anggaran.
Selama satu tahun setelah berjalannya privatisasi tahap II
3
program privatisasi
belum menunjukkan hasil yang menggembirakan paling tidak dari segi pencapaian
target jumlah BUMN yang diprivatisasi maupun jumlah dana yang disetor pada
APBN. Beberapa faktor ditengarai menjadi kendala program privatisasi antaranya (i)
ideologis, yang menyatakan bahwa privatisasi bertentangan dengan jiwa Undang-
undang Dasar 1945 khususnya Pasal 37 ayat 2; (ii) politis, yang berkaitan dengan
kemungkinan berkurangnya secara signifikan peran pemerintah dalam perekonomian
nasional; (iii) penolakan internal, khususnya dari pihak manajemen dan karyawan
terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan manajemen dan pemutusan
hubungan kerja setelah privatisasi; (iv) finansial, terkait dengan hilangnya sumber
pendapatan pemerintah di masa datang; (v) otonomi daerah, yang berujung pada

1
BUMN selanjutnya merupakan padanan dari istilah State Owned Enterprise (SOE).
2
Organisasi Badan Pemeriksa Keuangan sedunia
3
Privatisasi tahap I sebelum 1997; privatisasi tahap II setelah 1997 (pembagian versi penulis)
Dampak Privatisasi di Indonesia 10 10
penolakan pemerintah daerah terhadap privatisasi BUMN di daerahnya; (vi) persepsi
masyarakat bahwa privatisasi hanya menjual aset untuk menutup defisit anggaran
pemerintah.
Kendala tersebut di atas secara implisit menggambarkan adanya penolakan
terhadap privatisasi karena ketidakjelasan dampak privatisasi itu sendiri. Dari 7 (tujuh)
BUMN yang telah di privatisasi belum pernah dijelaskan secara jelas pada masyarakat
dampak privatisasi selain besarnya hasil penjualan yang masuk ke kantong pemerintah.
Dampak privatisasi jauh lebih luas dari sekedar adanya pemasukan pemerintah dari
penjualan saham BUMN.
Secara umum, menurut Andic (1990), selain perubahan kinerja perusahaan itu
sendiri, maka terdapat beberapa dampak privatisasi yang dikenali sebagai dampak
ekonomi makro antaranya yaitu (a) dampak ekonomi makro yang menjelaskan
pengaruh privatisasi terhadap nilai tambah agregat baik langsung maupun tidak
langsung, (b) dampak pada tenaga kerja yang berupa dampak langsung yaitu
penambahan/pengurangan pegawai perusahaan bersangkutan atau dampak tidak
langsung yaitu penambahan/pengurangan tenaga kerja pada sektor lain, (c) dampak
pada penghasilan pegawai yang berupa dampak langsung terhadap penghasilan
pegawai BUMN dan dampak tidak langsung terhadap penghasilan pegawai pemerintah
lainnya, (d) dampak terhadap surplus sosial yaitu berupa dividen, laba ditahan,
sumbangan sosial; (e) dampak pada anggaran pemerintah berupa
penambahan/pengurangan besar subsidi, pinjaman, dan pajak; serta (f) dampak pada
tabungan dan konsumsi. Belum adanya kajian yang mendalam tentang dampak
privatisasi, yang tidak hanya terfokus pada hasil penjualan, tetapi mencakup segala
aspek yang terkait menjadikan program privatisasi rentan terhadap penolakan baik dari
masyarakat, maupun kalangan internal perusahaan.
Makalah ini berusaha menjawab beberapa isu terkait dengan dampak privatisasi
di Indonesia, khususnya dampak ekonomi makro seperti yang dijelaskan di atas
dengan menggunakan BUMN PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi.
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penulisan
Memperhatikan beberapa hal yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah mengemukakan dampak privatisasi di Indonesia dari
aspek ekonomi makro, berupa dampak terhaap nilai tambah agregat, tenaga kerja, gaji
Dampak Privatisasi di Indonesia 11 11
dan upah, surplus sosial, anggaran pemerintah, serta tabungan dan konsumsi. dengan
menggunakan PT. Telekomunikasi Indonesia (selanjutnya disebut Telkom) sebagai
kasus studi.
Penetapan PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi didasarkan pada
pertimbangan (i) Besarnya nilai saham yang dialihkan ke publik; (ii) Data-data
perusahaan publik (perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Jakarta) relatif
lebih mudah di akses; (iii) Dari 7 (tujuh) BUMN yang tercatat di Bursa Efek Jakarta
(BEJ) sampai tahun 1999, maka tercatat saham Telkom yang memberikan kontribusi
kapitalisasi terbesar (9,55 persen dari total kapitalisasi saham di BEJ) dibanding
BUMN lainnya. Sebagai bandingan PT. Indosat sebesar 4,53 persen, PT. Semen
Gresik 2,13 persen, PT. Tambang Timah 1,08 persen, PT. Bank BNI 0,6 persen, dan
PT. Aneka Tambang 0,52 persen (Artjan, 2000). Total kontribusi BUMN tersebut
mencapai 18,41 persen, dan sekitar 50 persen disumbangkan oleh PT. Telkom.
Dampak privatisasi dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum
privatisasi (tahun 1995) dan setelah privatisasi (tahun 1996). Adapun lingkup
kajian/perbandingan dalam makalah ini mencakup beberapa aspek yaitu:
(i) Kinerja perusahaan yang ditinjau dari nilai tambah perusahaan dan
efisiensi;
(ii) Ekonomi makro, berupa
(a) Nilai tambah agregat, yaitu mengkaji perubahan nilai tambah netto baik
langsung maupun tidak langsung;
(b) Tenaga kerja, yaitu mengkaji perubahan jumlah tenaga kerja baik
langsung (internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar
perusahaan)
(c) Gaji dan upah, yaitu mengkaji perubahan gaji dan upah baik langsung
(internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar perusahaan);
(d) Surplus sosial, yaitu mengkaji perubahan pajak, dividen, laba ditahan,
bantuan/kegiatan sosial;
(e) Anggaran Pemerintah, yaitu mengkaji perubahan penerimaan bersih
pemerintah diluar hasil penjualan saham. Penerimaan pemerintah
difokuskan pada subsidi, pinjaman pemerintah, dan besarnya pajak.
Dampak Privatisasi di Indonesia 12 12
(f) Tabungan dan konsumsi, yaitu mengkaji perubahan tabungan dan
konsumsi.
2. P rivatisasi: Definisi, Konsep dan Pengalaman Negara Lain
2.1 Definisi dan Konsep Privatisasi
Privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari
publik ke sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian
atau seluruhnya (Hemming dan Mansoor, 1988). Privatisasi tidak selalu melibatkan
penjualan. Konsepnya telah diperluas mencakup perubahan struktural yang lebih luas
seperti leasing dan kontrak manajemen, waralaba sektor publik, kontrak umum
sektor publik (IBRD, 1988). Dikatakan juga bahwa privatisasi sebagai proses
memperkenalkan disiplin kekuatan pasar (Ramandham, 1989). Konsep marketisasi
mendorong penghilangan monopoli atau pengurangan langsung dan tidak langsung
hambatan keluar-masuk pasar (PBB, 1989). Sementara Ramamurti (1992),
menambahkan bahwa pengertian luas privatisasi adalah mencakup satu atau lebih
kombinasi dari pengalihan peranan pemerintah pada swasta dalam hal pemilikan,
pembiayaan, pelaksanaan produksi, manajemen dan lingkungan bisinis.
Menurut Savas (1987), sebagai proses, privatisasi berarti mengurangi peran
pemerintah, dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan
aset. Namun konsep sektor publik dan swasta tidak mutually exclusive atau statis.
Pertama, beberapa aspek pemerintahan bertumbuh sementara lainnya tidak berubah,
bahkan berkurang. Misalnya privatisasi penjara mengakibatkan perlunya dibuat
regulasi baru untuk memastikan dihormatinya hak narapidana. Kedua, pertumbuhan
produktifitas sektor swasta bergantung signifikan pada investasi sektor publik seperti
jalan, pelabuhan. Ketiga, sektor swasta terbagi dalam banyak dimensi. Sektor swasta
termasuk sektor informal dan sektor swasta nirlaba, asosiasi profesi, dan sektor
ekonomi rumah tangga (Gayle, 1990).
Sementara Kolderie (1990) mengajukan beberapa isu mengenai konsep
privatisasi. Dimulai dengan pemahaman bahwa pemerintah melakukan dua kegiatan
yang berbeda, yaitu penyediaan (provide) pelayanan dan produksi (produce)
pelayanan.
Menurut Pirie (1988), privatisasi bukan sebuah formula tetapi sebuah
pendekatan. Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan kasus-per-kasus adalah
Dampak Privatisasi di Indonesia 13 13
esensi dari privatisasi. Fleksibilitas dari privatisasi sebagai sebuah pendekatan
memungkinkannya digunakan pada beragam situasi di berbagai sistem ekonomi
4
.
Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan BUMN dan pihak
swasta mempunyai kesempatan dan perilaku yang sama. Lebih jelasnya Marie (1996)
menyatakan bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta.
Pengertian lainnya adalah (i) memberikan kesempatan swasta menjadi pemain utama
dalam bidang bisnis; (ii) menjadikan BUMN bertingkahlaku sebagai suatu
entrepreneur; (iii) BUMN bisa bertingkahlaku sebagai swasta.
Whitshire (1987) mengklasifikasikan privatisasi kedalam 5 (lima) bagian yaitu:
(i) Privatisasi pembiayaan atas suatu jasa yang diproduksi oleh sektor publik.
Contohnya jalan tol, Build Operate Transfer (BOT), Build Operate Lease (BOL); (ii)
Privatisasi produksi atas suatu jasa yang dibiayai oleh sektor publik. Contohnya
contracting out. (iii) Denasionalisasi yaitu menjual sebagian atau seluruh aset
perusahaan. Contohnya go public, direct placement; (iv) Liberalisasi yaitu
menghilangkan monopoli dan berbagai lisensi yang menghambat masuknya swasta; (v)
Korporatisasi yaitu privatisasi manajemen yang berupa pengalihan manajemen pada
pihak swasta berdasar perjanjian kerjasama.
Ramamurti (1992) membuat rangkuman dengan makna yang lebih luas bahwa
privatisasi umumnya mencakup tiga hal yaitu (i) Divestasi pemilikan pemerintah baik
sebagian atau keseluruhan pada swasta. Hal ini mencakup perubahan kontrol dari
negara pada swasta; (ii) Deregulasi ekonomi, yang mencakup pelonggaran ketentuan
BUMN khususnya pada BUMN monopoli; (iii) Liberalisasi, yaitu mencegah kekuatan
tertentu dalam ekonomi yang dapat menghambat kompetisi.
Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum
tetap dapat dirangkum sebagai berikut (i) Perubahan bentuk usaha dari perusahaan
negara menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian
(besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada
swasta, baik melalui private placement maupun public offering; (iii) Pelepasan hak
atau aset milik negara atau perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki negara pada

4
Privatisasi dilaksanakan mulai dari negara maju seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Swedia,
Jepang, Korea Selatan, Singapura sampai negara berkembang seperti Pakistan, Malaysia, Srilanka,
Yamaika, bahkan negara komunis seperti Kuba, CinaHungaria, Rusia, Vietnam (Pirie, 1988).
Pembahsan lebih lanjut tentang privatisasi di negara-negara di dunia pada bagian lain makalah ini.
Dampak Privatisasi di Indonesia 14 14
swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar
guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build
Operate Transfer); (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang
usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah; (v) Membuat usaha
patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah;
(vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha
(Soebagjo, 1996).
2.2 Peran Pemerintah dan Sektor Publik
2.2.1 Dikotomi Pasar-Pemeritah dan Sektor Publik-Swasta
Perdebatan tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian telah
berlangsung sejak kira-kira tiga ratus tahun lalu. Adam Smith dan mazhab Neoklasik
percaya akan invisible hand dari pasar, berbeda dengan mazhab merkantilisme yang
percaya pada visible hand pemerintah.
Perdebatan tentang definisi publik dan swasta dalam konteks perusahaan masih
belum selesai. Salah satu contoh definisi sebagaimana dikemukakan oleh Stern (1999)
yang menekankan kepemilikan (ownership) sebagai karakteristik yang membedakan
publik dan swasta, tetapi kepemilikan sendiri definisinya beragam. Terdapat paling
tidak 4 (empat) aspek kepemilikan yaitu hak mengelola untuk keperluan tertentu, hak
mendapatkan pendapatan dari penggunaan properti, kekuasaan untuk mengalihkan
properti, dan hak untuk membatasi penggunaan oleh orang lain (World Bank, 1990)
5

Sen dalam beberapa pernyataannya menekankan bahwa sektor swasta
menghadapi masalah ketika berhadapan dengan barang publik
6
, situasi dengan tingkat
eksternalitas
7
tinggi, ketidakmerataan yang besar dalam distribusi pendapatan, akses,
dan kebebasan, dan sejenisnya. Kondisi ini kemudian dijadikan sebagai pintu masuk
bagi keterlibatan pemerintah langsung atau melalui BUMN dalam perekonomian.
Pada awalnya Adam Smith mengemukakan hanya tiga fungsi pemerintah yaitu
melaksanakan peradilan, pertahanan/kemanan, dan pekerjaan umum. Kemudian peran

5
Sebagian besar bahan tentang debat sektor publik /pemerintah dan Swasta diambil dari hasil diskusi
dengan judul Development Strategies: The Roles of the State and the Private Sector yang
diselenggarakan World Bank.
6
Barang publik adalah barang dengan karakteristik penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry) dan
tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability)
7
Eksternalitas adalah suatu keadaan yang timbul dari tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak
mempunyai pengaruh pada pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak penyebab
kepada pihak yang terkena dampak (Mangkoesoebroto, 1991)
Dampak Privatisasi di Indonesia 15 15
tersebut dalam perekonomian modern diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu
(i) peranan alokasi, mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan
secara efisien; (ii) peranan distribusi; (iii) peranan stabilisasi. (Mangkoesoebroto,
1991)
Melengkapi peran klasik pemerintah di atas, menurut Stern (1999) keterlibatan
pemerintah didasarkan pada alasan (i) Pertama. Berangkat dari ekonomi kesejahteraan,
yang menunjukkan kegagalan pasar. Diantara alasan tersebut adalah eksternalitas,
barang publik, ketidaksempurnaan informasi, dan hambatan masuk pasar. Alasan ini,
ditetapkan melawan kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah; (ii) Kedua.
Kewajiban menanggulangi kemiskinan; (iii) Ketiga. Hak masyarakat yang perlu
dilindungi dan pemberian kesempatan yang sama. Termasuk dalam hal ini adalah
pendidikan dan kesehatan, bahkan termasuk perumahan; (iv) Keempat. Melindungi
kepentingan umum. Salah satu contoh adalah pelarangan penggunaan senjata,
pembatasan minuman keras; (v) Kelima. Tanggungjawab terhadap masa depan
generasi muda. Contohnya adalah perlindungan lingkungan hidup (hutan, binatang
langka)
Dari sudut pandang distribusi pendapatan dan perlindungan, pemerintah
sebaiknya terlibat dalam jaring pengaman sosial. Dari sudut pandang hak, pemerintah
harus terlibat dalam pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang kegagalan pasar,
pemerintah harus aktif dalam penyediaan infrastruktur. Pada negara berkembang,
kegagalan pasar mungkin lebih besar intensitasnya, sehingga pemerintah sebaiknya
lebih berperan dalam pendidikan, kesehatan, penyediaan infrastruktur.
Pandangan lain yang menyoroti peran negara sebagai deregulator. Negara wajib
menghadirkan mekanisme pasar yang sehat dan tidak terdistorsi dalam berbagai bidang
ekonomi. Negara seharusnya berperan sebagai wasit dan menghindari peran langsung
yang mengganggu pelaku ekonomi swasta. Sehingga ketidakjelasan batasan peran
negara dan swasta menjadikan kekuasaan pengaturan ekonomi yang dimiliki negara
juga dimiliki swasta, merupakan akar terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya
penyakit ekonomi seperti kolusi, korupsi, monopoli, oligopoli, kartel. (Rachbini,
1996).
Dikotomi sektor publik-swasta sebenarnya tidaklah terpisah satu sama lain, dan
statis. Hal ini disebabkan pertumbuhan sektor swasta tergantung signifikan pada
Dampak Privatisasi di Indonesia 16 16
investasi modal sektor publik pada infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan raya,
dan irigasi. Sebagai contoh, total produktifitas faktor di AS berkurang dari 1,8 persen
(1950-1970) menjadi 0,8 persen (1970-1985) dikarenakan pertumbuhan infrastruktur
dasar berkurang dari 4,3 persen menjadi 1,5 persen (Gayle, 1990)
Hal ini juga didukung oleh Berg (1990) yang menyatakan sebenarnya tidak ada
pembedaan yang jelas antara sektor publik dan swasta. Malah, setiap kegiatan ekonomi
bercampur antara elemen publik dan swasta, dengan intensitasnya saja yang berbeda.
Jika dikaitkan dengan privatisasi, maka yang dimaksud adalah pengalihan ke swasta
lebih banyak dimensi dari lebih banyak kegiatan dan peningkatan intensitas
keswastaan dalam setiap dimensi.
Pertanyaan kemudian mungkin beralih menjadi seberapa jauh keterlibatan
negara?. Naya (1990) secara terinci menganjurkan bahwa dalam era globalisasi, fungsi
campur tangan langsung pemerintah hendaknya dibatasi pada berbagai faktor dibawah
ini (i) penyediaan barang publik dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya; (ii)
pembangunan infrastruktur; (iii) penyebaran informasi ekonomi sebagai suatu input
yang kritis dalam mendorong efisiensi alokasi sumber daya; (iv) perangkat hukum dan
regulasi yang jelas, fleksibel dan berwibawa; (v) promosi riset dan pengembangan
yang memadai; (vi) penyediaan barang-barang kebutuhan pokok bagi kelompok
berpendapatan rendah (Goeltom, 1995).
2.2.2 Latar Belakang dan Tujuan Keberadaan BUMN
Para ekonom aliran klasik menyatakan BUMN merupakan salah satu instrumen
campur tangan pemerintah, baik dalam pasar faktor maupun pasar produk, yang
merupakan sumber distorsi sehingga menjauhkan pasar dari pareto efisiensi.
Kegagalan sebagai akibat campur tangan pemerintah (bureaucratic failure) dapat lebih
tinggi dari biaya kegagalan pasar (market failure). Dilain pihak, Pigou, Bergson dan
Lerner berpendapat bahwa jika terdapat kegagalan pasar maka intervensi pemerintah
yang tepat dibanding kinerja pasar bebas, atau dikenal dengan second best solution
(Siahaan, 2000).
Hasil kajian Vunylstake (1998) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dianggap melatar belakangi keberadaan BUMN yaitu (i) mengatasi kegagalan
pasar; (ii) menyalurkan kepentingan politik pemerintah; (iii) menyediakan
fasilitas/prasarana strategis dan penyediaan tenaga kerja; (iv) pelopor karena pihak
Dampak Privatisasi di Indonesia 17 17
swasta tidak tertarik; (v) penyeimbang kekuatan swasta besar; (vi) distribusi
pendapatan dan kewajiban layanan sosial; (vii) sumber pendapatan negara; (viii) hasil
nasionalisasi perusahaan.
Sementara Rees (1984) mengemukakan terdapat empat alasan mendasar
keberadaan BUMN yaitu (i) memperbaiki kegagalan pasar; (ii) mengubah
pendistribusian keuntungan; (iii) menunjang perencanaan ekonomi jangka panjang
yang tersentralisasi; (iv) mengubah dasar perekonomian dari sistem kapitalis menjadi
sosialis.
Todaro (1989) mengemukakan beberapa alasan mendirikan BUMN yaitu (i)
keinginan pemerintah mengendalikan pasar; (ii) pembentukan modal, yaitu ketika
tabungan swasta masih rendah, maka investasi prasarana pada tahap ini sangat penting
untuk meletakkan dasar-dasar bagi investasi selanjutnya; (iii) kurangnya insentif bagi
swasta untuk terlibat dalam aktifitas ekonomi; (iv) memperbaiki distribusi pendapatan;
(v) mengendalikan sektor strategis; (vi) motivasi ideologis.
Menyangkut keberadaan BUMN di negara berkembang, maka beberapa ahli
ekonomi mengemukakan alasannya. Pada dasarnya hanya melengkapi beberapa alasan
sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya, tujuan lain juga mencakup mendorong
pembangunan sektor industri, yang di negara berkembang masih rendah
produktifitasnya, angkatan kerja belum terlatih, dan sarana umum masih belum efisien
(Goeltom, 1995). Jones (1982) menambahkan (i) preferensi ideologis; (ii)
pengambilalihan atau konsolidasi kekuatan politis dan ekonomis; (iii) warisan historis.
R Vernon (1987) menambahkan (i) regulasi monopoli alamiah; (ii) melaksanakan
kuasa monopoli atau monopsoni di pasar tertentu; (iii) mengendaliklan kepemilikan
asing; (iv) restrukturisasi perekonomian; (v) pembentukan anak perusahaan.
Tinbergen mengemukakan karakteristik kegiatan yang sesuai bagi keberadaan
BUMN yaitu biaya marjinal lebih rendah dari biaya rata-rata atau terdapat
eksternalitas.
Tujuan BUMN, menurut Gray (1984), dapat dikelompokkan dalam tujuan
komersil dan non-komersil. Tetapi yang menarik dikemukakan adalah tujuan non-
komersil yaitu (i) stabilisasi ekonomi berupa pengendalian inflasi, pengamanan bahan
pangan, menangani pengangguran; (ii) pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan nilai
absolut investasi, output, ekspor, lapangan kerja, akselerasi industri; (iii) pemerataan
Dampak Privatisasi di Indonesia 18 18
pendapatan berupa promosi industri kecil; (iv) meningkatkan lokalisasi berupa sumber
pengadaan bahan baku, pemerataan kepemilikan.
Keberadaan BUMN tidak hanya berdasar alasan ekonomis tapi juga alasan
lainnya. Namun kemudian, pertimbangan pragmatis ekonomi menjadi dominan,
sehingga privatisasi menjadi marak di seluruh dunia.
2.2.3 Kendala Sektor Publik
Beberapa aspek yang dianggap sering menjadi kendala bagi sektor publik
adalah (i) efisiensi. Kompetisi dan kebutuhan menghasilkan keuntungan mendorong
sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Sektor publik selalu diasumsikan tidak
akan pernah bankrut. Hal ini mengakibatkan kurangnya insentif sektor publik untuk
berperilaku efisien; (ii) input konsumen. Konsumen punya kendali yang relatif lebih
besar terhadap swasta, suatu hal yang ironis karena sebenarnya keberadaan sektor
publik terutama untuk kepentingan masyarakat. Ketidakefektifan kendali publik, maka
sektor publik menjadi kurang berorientasi pada publik tetapi lebih pada keinginan
pengelola; (iii) inovasi. Kurangnya input (kendali) dari konsumen mengakibatkan
sektor publik tidak mengetahui keinginan sebenarnya dari konsumen. Hal ini
mengakibatkan kurangnya insentif untuk melakukan inovasi terhadap pelayanan yang
diberikan; (iv) pengambilan keputusan. Sektor publik mengandalkan tidak hanya
pertimbangan ekonomis tetapi juga pertimbangan politik dalam pengambilan
keputusan. Ini berarti bahwa keputusan sektor publik terpisah dari realitas permintaan-
penawaran. Hal ini berdampak pada tingkat efisiensi; (v) Kondisi peralatan. Hal yang
menyedihkan bahwa masyarakat tidak peduli pada fasilitas publik sebagaimana
terhadap milik pribadi. Hal ini berdampak pada tingginya biaya produksi; (vi) interupsi
pelayanan. Meskipun maksud keberadaan pelayanan publik untuk menjamin
keberlanjutan penyediaan barang publik, tetapi pada kenyataannya sektor publik sangat
rentan terhadap interupsi pelayanan. Sektor publik yang bersifat monopoli
memungkinkan bahwa pemogokan buruh mengakibatkan terjadinya interupsi
pelayanan, karena tidak adanya substitusi produk. Beberapa hal tersebut di atas,
merupakan hal yang kritis dalam sektor publik, yang disebabkan oleh struktur dan
organisasi dari sektor publik. Kesemuanya akan berdampak besar bagi negara yang
mempunyai operasi sektor publik yang dominan (Pirie, 1988).
Dampak Privatisasi di Indonesia 19 19
Berkait dengan efisiensi, maka anggapan bahwa BUMN kurang efisien
dibanding BUMN masih menjadi perdebatan. Adam dkk menyatakan bahwa anggapan
tersebut hanya didasari pada hipotesa hubungan antara kepemilikan, infomasi dan
insentif dan pengaruhnya terhadap kinerja usaha. Sementara Galal (1994) perbedaan
kinerja BUMN dan swasta terletak pada perbedaan dalam tujuan dan kendala yang
dihadapi, sehingga perbandingan kinerja tersebut seharusnya memperhatikan juga
struktur pasar dan ukuran usaha. Dilain pihak, terdapat juga ekonom yang menyatakan
bahwa efisiensi BUMN dan swasta relatif sama (Siahaan, 2000)
Diakui juga bahwa terdapat konsekuensi keterlibatan pemerintah seperti
penetapan kuota, pembatasan dan sejenisnya, adalah rent-seeking
8
dan aktifitas yang
tidak produktif. Biayanya menjadi sangat besar.
2.2.4 Beberapa Bukti Empiris tentang Kinerja BUMN
Riset oleh Savas (1974, 1977) dan Stevens (1978) di Amerika Serikat, Hamer
di Jerman, Hartley dan Huby di Inggris menunjukkan hasil yang sama bahwa biaya
produksi sektor publik lebih besar, berkisar rata-rata 20-40 persen dari sektor swasta.
Di Inggris, biaya sektor publik lebih besar 30 persen, di Amerika Serikat lebih besar 40
persen, di Jerman mendekati angka 50 persen. Ketiga penelitian tersebut bermuara
pada kesimpulan bahwa efsiensi sektor swasta lebih baik dari sektor publik (Pirie,
1988). Penelitian Davis (1977) menyimpulkan bahwa perusahaan penerbangan swasta
di Australia secara mencolok lebih superior dari BUMN penerbangan di negara
tersebut. Ayub dan Hegstad dalam majalah Research Observer Volume 2 No. 1 Januari
1987 melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan besar yang bukan perusahaan AS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun perusahaan pemerintah yang
menunjukkan kinerja lebih baik dari perusahaan swasta (Simarmata, 1991).
Perusahaan Boardman dan Vining yang melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan
terbesar yang berada di luar AS dan bukan monopolis, menunjukkan kesimnpulan
yang sama swasta lebih unggul dari BUMN dilihat dari segi laba dan efisiensi.
Bukti di atas pada kenyataannya tidak dengan otomatis mengarah pada
kesimpulan sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Beberapa hasil penelitian
empiris membuktikan sebaliknya. Misalnya penelitian oleh Caus dan Christensen

8
Rent seeking diterjemahkan sebagai pencarian keuntungan berdasar pada kewenangan tertentu. Misal
keuntungan yang didapatkan dari memperjualbelikan ijin kuota.
Dampak Privatisasi di Indonesia 20 20
(1980) membandingkan perusahaan KA Canadian National (BUMN) dan Canadian
Pacific (swasta). Kinerja Efisiensi Produksi (Productive Efficiency Performance) dari
kedua perusahaan tersebut tidak berbeda secara signifikan.
Hasil studi literatur Siahaan (2000) yang dikemukakan dalam disertasinya
menunjukkan bahwa kesimpulan BUMN mempunyai tingkat biaya yang lebih tinggi
dibanding swasta masih sangat kabur, karena perbandingan dilakukan antara BUMN
monopoli dan swasta yang bersaing mendapatkan proyek (Stevens 1978, Savas 1974,
1977, dan Ahebrand 1973). Karenanya beberapa peneliti (Meyer 1975, Pescutrice dan
Trapani, 1980 dalam bidang listrik; Teeples dan Glyer, 1987 dalam bidang penyediaan
air) membandingkan antara BUMN dan swasta yang sama-sama monopolis, dan
hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan biaya antara keduanya sangat kecil bahkan
kadang terbalik. Namun yang kurang dicermati bahawa BUMN tersebut dibandingkan
dengan swasta monopolis yang mengalami regulasi (misal penentuan harga), sehingga
implikasi property rights (kepemilikan) terhadap swasta tersebut sama kaburnya.
Alkinsen dan Halvosen (1986) menghitung cost efficiency (efisiensi biaya) untuk
sampel 30 monopolis BUMN dan 123 monopolis swasta yang bergerak dalam
pembangkitan listrik, menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan kecuali bahwa
tingkat biaya keduanya lebih tinggi dari seharusnya.
Hal yang menarik lainnya, bahwa perusahaan mixed-enterprise (kerjasama
dengan BUMN) ternyata tidak lebih unggul terhadap BUMN. Namun penelitian Jones
(1992) di Malaysia membantah hal tersebut. BUMN yang diprivatisasi secara parsial
tidak kalah dengan BUMN yang diprivatisasi total. Jika mendasari pada kepemilikan,
maka hasil penelitian Vikers dan yarrow (1988), Boardman dan Vinning (1989)
menyatakan bahwa pengaruh kepemilikan badan usaha bukan merupakan hal yang
dominan dibandingkan dengan pengaruh keadaan kompetisi dan regulasi yang harus
dihadapi perusahaan (Siahaan, 2000).
Sementara hasil studi Disertasi Siahaan (2000) tentang efisiensi teknik
9
BUMN
di Indonesia menunjukkan bahwa (i) BUMN kurang efisien dibanding swasta; (ii)
BUMN skala usaha besar dan bergerak pada pasar domestik relatif kurang efisien

9
Efisiensi teknik merupakan kapasitas suatu satuan ekonomi untuk menghasilkan output sebesar mungkin dengan
menggunakan seperangkat masukan dan teknologi tertentu; efisiensi alokatif merupakan kapasitas suatu satuan
ekonomi untuk menyamakan nilai produk marjinal dengan biaya marjinal dalam menghasilkan output.
Dampak Privatisasi di Indonesia 21 21
dibanding swasta dengan karakteristik yang sama; (iii) perbedaan efisiensi pada
BUMN dan swasta dengan skala usaha kecil tidak signifikan.
Beberapa kesimpulan penelitian di atas mengarahkan kita pada kenyataan
bahwa (i) efisiensi bukan hanya didominasi sektor swasta saja; (ii) sulit untuk
melakukan perbandingan antara BUMN dan swasta karena keduanya tidak berada pada
playing field yang setara; (iii) kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta
sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada,
terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku.
2.3 Konsep Privatisasi
2.3.1 Alasan dan Tujuan Privatisasi
Menurut INTOSAI, berdasarkan hasil survei pada negara-negara anggotanya
menyangkut alasan privatisasi, maka terdapat 5 (lima) alasan terbesar yaitu: (I)
mengembangkan ekonomi pasar atau meningkatkan efisiensi bisnis; (ii) mengurangi
beban aktifitas negara; (iii) mengurangi hutang negara atau menutup defisit anggaran;
(iv) mendapatkan dana untuk tujuan lain; (v) memperluas pasar modal dalam negeri.
Khusus negara berkembang terdapat beberapa alasan khusus seperti (i) mendapatkan
peluang usaha dengan dunia internasional, yang diharapkan mendorong masuknya
modal asing dan sekaligus alih teknologi; (ii) membuka kesempatan kerja sebagai
konsekuensi masuknya modal asing dan berkembangnya dunia usaha; (iii)
mendapatkan pengetahuan majerial dan menggantikan birokrat pengelola BUMN
dengan tenaga profesional (Sumarlin, 1996).
Gouri (1991) (1991) mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam 4 (empat)
kelompok yaitu (i) tekanan finansial, seperti defisit anggaran, neraca pembayaran; (ii)
tekanan ekonomi, berupa ketidakefisienan BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa
pemerataan pendapatan, meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan eksternal
misalnya tekanan dari lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia (Siahaan, 2000)
Menurut Shirley dan Nellis (1972) fenomena privatisasi merupakan akibat dari
(i) kegagalan birokratik yang mengakibatkan lemahnya kinerja BUMN; (ii) sifat
permanen dari kegagalan pasar terlalu dibesar-besarkan (Siahaan, 2000).
Veljanovsky (1990) menekankan bahwa tujuan privatissi tersebut harus
didasari oleh beberapa prinsip yaitu (i) keputusan bisnis harus didepolitisasi; (ii)
Dampak Privatisasi di Indonesia 22 22
efisiensi dan persaingan harus ditingkatkan; (iii) mendorong pembiayaan investasi
didasarkan pada prinsip pasar yang mencerminkan biaya modal yang sebenarnya; (iv)
harga jasa harus mencerminkan biaya yang sebenarnya; (v) Pada situasi persaingan
tidak dapat ditingkatkan, pengaturan bisnis dilakukan sehingga pelanggan mendapat
perlindungan dari penyalahgunaan monopoli.
2.3.2 Metode Privatisasi
Berdasar pengalaman privatisasi di Inggris, maka menurut Pirie (1988) metode
privatisasi dapat dikelompokkan dalam 17 jenis yang secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi penjualan saham, penjualan aset, penyerahan wewenang pada
swasta, penarikan/pengurangan aktifitas, pemberian hak yang lebih besar bagi publik
(lihat Tabel 1).
Selain metode di atas, maka terdapat beberapa metode lain seperti (i) lelang.
Aset BUMN dijual pada penawar tertinggi pada lelang terbuka; (ii) negotiated sale.
Harga dan syarat transaksi disetujui bersama dalam negosiasi langsung; (iii) tender.
Penawaran harga dilakukan melalui amplop tertutup, dan pemenang ditentukan melalui
harga tertinggi; (iv) joint venture. BUMN bersama swasta membentuk perusahaan
baru; (v) Build-Own-Operate-and-Transfer (BOO dan BOT). Biaya pembangunan dari
swasta, kemudian diberi hak pengelolaan untuk jangka waktu panjang, dan setelah
akhir kontrak aset dikembalikan pada negara; (vi) Leasing. Swasta menyewa hak
pengelolaan dari pemerintah; (vii) management contract. Pemerintah menyewa swasta
untuk mengelola BUMN (Sutojo, 1995).
Bank Dunia berdasar pengalaman di beberapa negara mengklasifikasikan
metode privatisasi berdasar kriteria struktur pasar, tingkat efisiensi saat ini, dan tujuan
sosial dan eksternalitas yang perlu diperhitungkan. Selengkapnya pada Tabel 2






Dampak Privatisasi di Indonesia 23 23

Tabel 1. Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris)
No Jenis Penjelasan
1

2

3

4

5

6


7


8

9


10

11

12

13

14

15
16


17
Penjualan keseluruhan saham

Penjualan sebagian saham

Penjualan sebagian pada swasta

Penjualan pada Manajemen atau
Pegawai
Penyerahan pada Pegawai

Dikontrakkan pada swasta


Diluting the public sector


Penetapan tarif Pelayanan

Deregulasi melalui asosiasi


Mendorong institusi sejenis

Making small scale trials

Pencabutan monopoli

Pengendalian kekuasaan negara

Likuidasi

Mengundurkan diri dari aktifitas
The right to private substitution


Penggunaan Voucher
Penjualan 100 persen saham pada publik
melalui pasar modal
Penjualan sebagian saham pada publik
melalui pasar modal
Penjualan dilakukan hanya pada pihak
swasta dan tidak melalui pasar modal.
Penjualan dilakukan pada pegawai
dan/atau manajemen
Penyerahan saham pada pegawai dengan
nilai yang sangat kecil
Pembiayaan tetap oleh sektor publik,
tetapi produksi/pelaksanaan dikontrakkan
pada swasta
Penanganan pelaksanaan pemeliharaan
dan ekspansi pada swasta (pekerjaan
eksisting tetap oleh sektor publik)
Produksi dilakukan oleh sektor publik
sementara pembiayaan oleh sektor swasta
Pemberian wewenang pada asosiasi
untuk melakukan pengaturan (misal
asuransi, penerbangan)
Pengembangan institusi alternatif sejenis
(misal universitas)
Melakukan eksperimen skala kecil
sebagai alternatif
Pelepasan hak monopoli untuk
meningkatkan persaingan usaha
Pembatasan kewenangan negara pada
bidang tertentu
Penjualan aset perusahaan sekaligus
melakukan penutupan usaha

Publik berhak mendapatkan pelayanan
dari pihak swasta dengan tagihan dibayar
oleh pemerintah
Publik diberi voucher yang dapat
ditukarkan dengan saham BUMN
Sumber: Diolah kembali dari Pirie (1988).
Dampak Privatisasi di Indonesia 24 24

Tabel 2 Metode Privatisasi

No

Struktur
Pasar

Efisiensi
Tujuan
Sosial/
Eksternalitas

Metode Privatisasi
1 Kompetitif Tinggi Rendah Menciptakan persaingan lebih ketat
dengan membuka entry barriers atau
dengan penjualan total (divestiture)
2 Kompetitif Tinggi Tinggi Pilihan non-divestiture: pengalihan
manajemen, marketisasi
3 Kompetitif Rendah Rendah Penjualan saham total
4 Kompetitif Rendah Tinggi Pilihan non-divestiture: pencairan
modal, sub contract, joint venture,
marketisasi
5 Monopolistik Tinggi Rendah Menciptakan kompetisi dengan
membuka entry barriers dan
menghadapkan dengan kompetisi
internasional
6 Monopolistik Rendah Rendah Penjualan saham total
7 Monopolistik Rendah Tinggi Menciptakan kompetisi baik
contestable maupun melalui tolok
ukur (yardstick) dengan membagi-
bagi badan usaha ke unit-unit
berbeda.
8 Monopolistik Tinggi Tinggi Regulasi dengan pilihan non-
divestiture atau merangsang
pencairan modal
Sumber: Goeltom (1995)
Dalam formulasi tabel di atas, metode privatisasi dapat dikelompokkan dalam
(i) Transfer kepemilikan berupa (a) penjualan total pada swasta langsung dan
melalui pasar modal; (b) penjualan sebagian pada publik, karyawan, atau joint
venture;
(ii) Transfer kendali manajemen berupa (a) transfer sebagian, terdiri dari
pemisahan manajemen dengan kepemilikan, joint venture, perubahan
manajemen total; (b) sub kontrak manajemen;
(iii) Kebebasan pasar. Manajemen BUMN dibebaskan dari kendali pemerintah
dengan pemberian otonomi lebih besar, kebebasan menentukan harga,
kebijakan investasi, pembiayaan, dan rekrutmen tenaga kerja.

Dampak Privatisasi di Indonesia 25 25
2.3.3 Proses Privatisasi
Privatisasi paling tidak dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu
pengembangan institusi; seleksi target, poses pengalihan, dan pemantauan hasil.
Tahapan ini bukan sesuatu yang mengikat tetapi berdasar hasil pengalaman privatisasi
di Amerika Serikat (Marston, 1987).
Tabel 3 Tahapan Privatisasi
No Tahapan Penjelasan
Tahap I Pengembangan Institusi
1 Penentuan Tujuan Formalisasi sasaran program, penunjukan
personil, penetapan anggaran, pemilihan
konsultan.
2 Penilaian situasi politik Issue terkait hambatan peraturan, kendala
ekonomi, pemutusan hubungan kerja, untung-
rugi politis, dampak terhadap komunitas bisnis,
3 Penciptaan dukungan Issue terkait pembelajaran masyarakat, mem-
perkuat dukungan privatisasi, membangun
strategi menghadapi oposisi
4 Membangun strategi dan
petunjuk
Issue terkait proses privatisasi, penentuan
kriteria seleksi, penetapan insentif, deregulai
Tahap II Seleksi target
5 Tinjauan kebijakan Tinjauan terhadap konsistensi kebijakan dengan
rencana kerja privatisasi
6 Survei organisasi Pengkajian bentuk organisasi, sistem kerja,
kinerja perusahaan, masalah perusahaan, dan
peluang perbaikan.
7 Evaluasi bisnis Pengkajian kapasitas bisnis, beban kapitalisasi,
minat komunitas bisnis, efisiensi, kesempatan
kerja.
8 Analisis strategi Pemilihan metode privatisasi mempertimbang-
kan aspek legal, ekonomi, politik, bisnis.
III Proses Pengalihan
9 Perkiraan nilai
10 Persyaratan pengalihan
11 Evaluasi dan memilih calon
pemenang

12 Negosiasi dan penetapan
pemenang

IV Pemantauan hasil
13 Penetapan peraturan dan
mekanisme pemantauan

14 Kinerja pemantauan
Sumber: Marston (1987)

Dampak Privatisasi di Indonesia 26 26
Tahapan tersebut di atas hasilnya banyak dipengaruhi oleh interaksi 4 (empat)
kelompok yaitu (i) politikus; (ii) publik: konsumen jasa dan produk barang publik; (iii)
pegawai dan manajer pemerintah: kelompok di luar politikus yang sangat terpengaruh
oleh dampak privatisasi; (iv) komunitas bisnis: kalangan bisnis yang berkepentingan
(Berg, 1987).
2.3.4 Penilaian Kinerja Sektor Publik
Masih terjadinya perdebatan tentang perbedaan antara BUMN dan swasta
membawa pada konsekuensi beragamnya cara menilai kinerja BUMN. Sebagian
berpendapat bahwa penilaian kinerja BUMN tidak perlu dibedakan dengan penilaian
terhadap sektor swasta, sehingga penilaian cukup dengan menggunakan metode RLS
(Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas). Sementara bagi mereka yang berpendapat
sebaliknya menggunakan metode yang berbeda.
Metode RLS (Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas) digunakan di beberapa
negara termasuk Indonesia. Perbedaannya hanya pada pembobotan dari masing-masing
rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas. Tingkat rentabilitas menggambarkan tingkat
keuntungan (Return on investment-ROI)
10
perusahaan. Likuiditas menggambarkan
kemampuan membayar kewajiban jangka pendek, dan Solvabilitas menggambarkan
struktur permodalan.
Menurut Pirie, yang penting dilakukan adalah melakukan perbandingan hasil
penilaian efisiensi, yang secara implisit tidak memperdebatkan metode yang
digunakan. Perbandingan efisiensi sektor publik dinilai dengan dua cara. Pertama,
penggunaan contoh negara lain memungkinkan dilakukan penilaian bahkan pada kasus
monopoli. Kedua, melakukan perbandingan dengan sektor swasta di negara yang
bersangkutan untuk kegiatan yang sama (Pirie, 1988).
Penggunaan metode RLS sebagai alat penilaian kinerja BUMN dikritik oleh
Sjahrir (1990) dengan mengatakan bahwa (i) jika hanya menggunakan metode RLS
maka pemahaman terhadap efisiensi dan efektifitas sebuah BUMN menjadi terbatas.
RLS dengan pasar monopoli cenderung mempunyai RLS tinggi; (ii) menjadi penting
memahami pasar tempat BUMN beroperasi. Baik pasar input maupun pasar produksi;
(iii) BUMN yang bergerak dalam bidang layanan utilitas seperti listrik, air minum, gas

10
ROI laba bersih dibagi aset total; Likuiditas aktiva lancar dibagi kewajiban lancar;
Solvabilitas total kewajiban dibagi total kekayaan. Masing-masing untuk periode tertentu.

Dampak Privatisasi di Indonesia 27 27
berbeda dengan BUMN lainnya. Pasar inputnya mungkin sudah ditetapkan tetapi harga
produknya tidak bisa ditetapkan secara otonom; (iv) penilaian BUMN yang telah go
public akan berbeda.
Sementara kritik Siahaan (2000) terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu (i) tidak
terdapat pemisahan penilaian kinerja perusahaan dan manajemen; (ii) penilaian
dilakukan hanya satu periode sehingga pengeluaran yang memberi manfaat pada
periode berikutnya akan selalu dihindari oleh manajer; (iii) tidak mempertimbangkan
pasar output maupun pasar input yang dihadapi masing-masing BUMN.
Pengalaman di Inggris menunjukkan masih digunakannya metode RLS tetapi
menggunakan beragam indikator penilaian dengan beberapa pertimbangan. Misalnya,
fokus pada laba mungkin tidak menggambarkan adanya monopoli, konsentrasi pada
biaya mengabaikan peran teknologi, penekanan pada perubahan tingkat output
mungkin mengindikasikan penetapan harga yang tidak efisien daripada penggunaan
efektif sumber daya. Akhirnya penilaian kinerja dilakukan dengan beragam cara.
Pertama, Laba. Terdapat indikator utama menilai laba yaitu laba sebelum bunga dan
pajak (Profit before interset and tax-PBIT) yaitu laba operasi yang menunjukkan
keefektifan jangka pendek perusahaan, dan laba setelah bunga dan pajak (Profit after
interest and tax-PAIT), yang menunjukkan kefektifan jangka panjang, tidak hanya
dalam produksi dan penawaran, tetapi juga interaksi dengan pasar modal dan rejim
pajak. Kedua, Turnover adalah hasil penjualan selama setahun, dan Output fisik
(physical output), yaitu rata-rata produksi dari setiap jenis produk selama setahun.
Mempunyai turnover dan laba besar tidak langsung berarti kinerja yang bagus.
Perusahaan besar cenderung mempunyai laba lebih besar. Lebih penting seberapa hasil
dari setiap unit yang dijual. Maka laba dibagi turnover untuk menunjukkan marjin
pendapatan untuk setiap poundsterling yang diterima yaitu Return on Sales (RoS).
Laba yang diterima sebaiknya juga dilihat dalam konteks investasi yang dibutuhkan
untuk memproduksi. Kita membagi laba dengan modal (aset tetap tambah stok) untuk
menunjukkan return on capital employed (RoCE).
Namun jika perusahaan menikmati monopoli maka indikator yang digunakan
akan berbeda, yaitu produktifitas tenaga kerja (output dibagi input tenaga kerja).
Namun ini juga dianggap indikator yang kurang tepat, karena tidak menggambarkan
produktifitas sumber daya lain yang digunakan. Bertambahnya produktifitas tenaga
Dampak Privatisasi di Indonesia 28 28
kerja mungkin hanya menunjukkan pergeseran kearah produksi modal intensif,
daripada produksi yang lebih efisien. Indikator lebih efektif adalah total factor
productivity. Ini adalah ukuran perubahan jumlah input fisik yang digunakan untuk
memproduksi satu unit output. Sederhananya, jumlah unit output yang diproduksi
dengan menggunakan sejumlah tertentu input (Bishop, 1993)
Para ahli ekonomi yang berpendapat penilaian BUMN berbeda dengan sektor
swasta mengembangkan beragam metode penilaian. Terdapat 3 (tiga) cara pendekatan
yang mendasari penilaian kinerja BUMN yaitu pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
pendekatan komprehensif. Pendekatan kuantitatif mengandalkan metode kuantitatif
seperti percobaan acak, analisis multivariat. Pendekatan kualitatif hanya menggunakan
metode kualitatif seperti wawancara mendalam, diskusi dengan panel ahli. Pendekatan
komprehensif memadukan kedua pendekatan kuantitatif dan kualitatif (Siahaan, 2000).
2.3.5 Masalah dan Hambatan Privatisasi
Secara garis besar terdapat beberapa hambatan privatisasi yang dikenali oleh
Simandjuntak (1996) yaitu (i) pemikiran bahwa privatisasi akan menjurus pada
timbulnya ketidakadilan; (ii) kurangnya transparansi dan akuntabilitas; (iii) beban
tugas non-ekonomi; (iv) keterbatasan daya serap pasar modal; (v) kekhwatiran
konsentrasi bisnis hanya pada pemodal kuat saja.
Berg (1987) mengemukakan masalah yang dihadapi khususnya di negara
berkembang yaitu (i) Tujuan utama privatisasi di negara berkembang berbeda dengan
negara maju yaitu mengurangi jumlah BUMN yang merugi. Kondisi ini menyulitkan
untuk menjual pada swasta; (ii) Tidak terdapat perusahaan swasta nasional yang
mempunyai modal yang memadai untuk membeli BUMN, sementara perusahaan asing
dengan modal yang cukup masih mendapat hambatan membeli BUMN; (iii) kondisi
peraturan yang kurang mendukung. Misal proteksi industri, akses kredit; (iv) parlemen
kurang memberi dukungan karena dianggap sebagai menjual aset nasional. Termasuk
juga banyaknya penolakan dari militer yang banyak bergantung pada BUMN.
Penilaian harga saham/aset BUMN merupakan salah satu masalah krusial
dalam proses privatisasi. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa masalah ini
muncul terutama karena dua kondisi yaitu (i) ketika nilai yang ditaksir oleh konsultan
lebih rendah dari nilai buku dari aset; dan (ii) ketika penjualan dilakukan pada harga
yang lebih rendah dari nilai taksiran.
Dampak Privatisasi di Indonesia 29 29
2.3.6 Kritik terhadap Privatisasi
Khusus di negara berkembang, Shirley dan Neils (1992) mengemukakan
beberapa kelemahan privatisasi yaitu (i) kurang mampunya pemerintah melakukan
proses privatisasi secara transparan; (ii) terjadinya peralihan monopoli ke tangan
swasta yang tidak mempunyai kepedulian pada kesejahteraan masyarakat (Siahaan,
2000).
Sementara Kagami (1999) mengemukakan kelemahan privatisasi adalah (i)
timbulnya pengangguran dan berkurangnya peran serikat pekerja. Jika tidak tersedia
dana cukup untuk realokasi tenaga kerja yang diberhentikan maka tingkat
pengangguran akan meningkat. Kasus Amerika Latin membuktikan hal ini; (ii)
mengurangi pelayanan daerah terpencil. Pelayanan daerah terpencil dianggap tidak
menguntungkan; (iii) menurunnya stabilitas produksi atau kehandalannya. Kompetisi
harga berpengaruh negatif terhadap kestabilan produksi. Kejadian pemadaman listrik
di Inggris setelah liberalisasi membuktikan hal ini; (iv) dominasi modal asing (disebut
juga efek Wimbledon). Salah satu contoh kasus adalah liberalisasi sektor keuangan di
London. Jika terjadi di negara berkembang dengan kondisi pasar yang belum memadai
maka akan menyebabkan kemungkinan terjadinya friksi; (v) masalah beban utang
macet. Secara umum BUMN terbebani utang yang besar. Setelah privatisasi,
keuntungan meningkat tetapi beban utang tetap tidak mudah diselesaikan. Contohnya,
beban utang Japan National railways belum terselesaikan dan membebani keuangan
negara; (vi) persaingan keras (survival of the fittest) menciptakan kondisi semakin
dominannya perusahaan besar dan tercipta oligopoli. Contohnya, perusahaan
penerbangan Amerika Serikat menjadi oligopolis dengan memberi rabat besar.
Mekanisme pasar tidak menjamin distribusi pendapatan yang adil;.
2.4 Dampak Privatisasi
2.4.1 Manfaat dan Penggunaan Hasil Privatisasi
Beragam manfaat privatisasi antara lain (i) kultur sektor swasta akan mulai
mempengaruhi perusahaan sehingga diharapkan efisiensi dapat ditingkatkan.
Selanjutnya keuntungan meningkat sehingga harga saham akan meningkat (jika
pemerintah masih memegang sebagian saham, maka pemerintah juga akan menikmati
keuntungan dari kenaikan nilai saham). (ii) penjualan saham melalui pasar modal
mengakibatkan berlakunya ketentuan pasar modal terutama menyangkut transparansi
Dampak Privatisasi di Indonesia 30 30
perusahaan
11
; (iii) keterlibatan pegawai yang lebih jauh dalam pengendalian
perusahaan yang dimungkinkan oleh pemilikan saham oleh pegawai (Gayle, 1990)
Shirley dan Neils (1992) menekankan manfaat privatisasi pada membaiknya
transparansi, lebih berperannya mekanisme kontrol pasar, dan berkurangnya tekanan
dan campur tangan yang bersifat politis (Siahaan, 2000).
Todaro (1989) mengemukakan bahwa selain memacu efisiensi, output dan
menurunkan biaya, privatisasi bisa meredam pertumbuhan pembelanjaan pemerintah,
meningkatkan pemasukan tunai untuk melunasi hutang, serta mempromosikan inisiatif
individual untuk melakukan usaha. Yang terakhir, memperluas kepemilikan dan
partisipasi masyarakat dalam perekonomian nasional.
Berdasar hasil studi mengenai perusahaan yang diprivatisasi menunjukkan
bahwa manfaat yang dihasilkan dari program privatisasi disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu (i) keadaan kompetisi yang semakin membaik; (ii) regulasi yang tepat dan
memadai bagi sebagian perusahaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak;
(iii) perubahan kepemilikan badan usaha (Goeltom, 1995).
Dari segi penggunaan hasil privatisasi, Davis (2000) mengklasifikasikan dalam
4 (empat) kondisi yaitu (i) Pengeluaran yang lebih besar. Penerimaan privatisasi
temporer dan tidak pasti, sehingga tidak disarankan untuk dijadikan sumber
pengeluaran rutin. Penggunaan terbatas untuk melindungi dampak jangka pendek
privatisasi lebih tepat. Penggunaannya untuk pengeluaran modal tambahan tidak akan
mengurangi aset pemerintah, meskipun akan menimbulkan pertanyaan mengenai
kualitas proyek tersebut; (ii) Pengurangan hutang netto. Ini dicapai melalui
pembayaran hutang; (iii) Pematokan penerimaan privatisasi untuk pengeluran tertentu.
Kondisi ini dapat mengganggu manajemen fiskal dan menghambat realokasi
pengeluaran untuk mengantisipasi situasi dan prioritas; (iv) mengurangi kendala fiskal.
Hasil privatisasi dapat mempunyai peran terbatas dalam program reformasi dan
penyesuaian yang agresif..




11
Di Inggris, jika pemilikan saham pemerintah dibawah 51 persen, maka ketentuan sektor publik tidak
berlaku lagi bagi perusahan tersebut (Pirie, 1988).
Dampak Privatisasi di Indonesia 31 31
2.4.2 Metode Penghitungan Dampak Privatisasi
Andic (1990) mengembangkan metode evaluasi dampak privatisasi ketika
melakukan penelitian terhadap CONADI Enterprises di Honduras. Menurutnya tidak
terdapat metodologi baku untuk keperluan ini. Sehingga dilakukan sedikit modifikasi
terhadap metodologi tradisional penghitungan tingkat pengembalian (internal rates of
return), nilai sekarang (net present values) dan rasio untung-rugi (cost-benefit ratios),
yang kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi
12
.
2.4.3 Dampak Fiskal
Situasi fiskal cenderung diuntungkan oleh privatisasi. Secara khusus, baik pada
tingkat data perusahaan maupun data agregatmendukung dampak positip terhadap
penerimaan, dan berkurangnya defisit. (Davis, 2000)
2.4.4 Dampak Ekonomi Makro
Beberapa hasil studi menunjukkan dampak positip privatisasi terhadap
pertumbuhan dan tenaga kerja. Pertumbuhan dihasilkan dari meningkatnya efisiensi di
tingkat perusahaan. Berkaitan dengan adanya kekhawatiran tentang bertambahnya
pengngguran, bukti empiris memperlihatkan bahwa secara agregat pengangguran
cenderung berkurang. Namun, sekelompok tertentu pekerja dapat mengalami hal yang
sebaliknya (Davis, 2000)
13

2.4.5 Dampak Pemerataan
Privatisasi menjadikan perusahaan menerapkan kebijakan yang mengurangi
ketidakmerataan akses pada barang dan jasa dengan melakukan pembatasan KKN.
Dalam jangka panjang pemilikan aset yang lebih luas dan kesempatan yang lebih besar
untuk berusaha mendorong kondisi institusi yang memihak pada pengembangan
ekonomi kompetitif dan sistem politik demokratis.
Harus dikenali juga bahwa walaupun privatisasi menghasilkan peningkatan
keadilan dalam bentuk pengurangan kesenjangan pendapatan dan akses, beberapa
privatisasi akan mengorbankan kaum miskin. Misalnya jika perusahaan kereta api di
India mengurangi subsidinya maka kaum miskin yang paling merasakan akibatnya
secara langsung.

12
Metode ini akan dijelaskan secara detail dalam bab 4.
13
Studi dilakukan pada 8 negara berkembang dan 10 negara transisi.
Dampak Privatisasi di Indonesia 32 32
2.5 Kunci Kesuksesan Privatisasi
Kehadiran Undang-Undang Privatisasi penting untuk menjamin privatisasi
berada pada jalur yang benar. Keberadaan UU tersebut paling tidak bisa menghadirkan
tiga prasyarat keberhasilan program privatisasi. Pertama, persyaratan kredibilitas dan
akuntabilitas. Jika ini tidak terjadi, maka privatisasi hanya menghasilkan pengalihan
inefisiensi dari sektor publik ke sektor swasta. Struktur pasar tak berubah sehingga tak
ada perbaikan dalam iklim persaingan. Kedua, persyaratan kecepatan. Proses yang
lama akan mengundang free rider dan pemburu rente. Ketiga, persyaratan organisasi.
Pembentukan komisi privatisasi yang mengawasi jalannya privatisasi, menetapkan
keputusan strategis seperti harga minimum saham jika ditempuh langkah Initial Public
Offering (IPO) (Basri, 2002).
Sementara Pirie (1988) menekankan bahwa kesuksesan privatisasi tidak hanya
terkait dengan aspek ekonomi tetapi yang juga sama pentingnya adalah aspek politik.
Di Inggris, faktor yang menunjang kesuksesan privatisasi tergantung pada
metode yang dipergunakan. Pada metode penjualan seluruh saham publik maka faktor
yang berpengaruh adalah (i) dukungan dari manajemen dan pegawai, (ii) tingkat
penyebaran kepemilikan saham.
Sementara Sumarlin (1996) menekankan prinsip persamaan, transparansi dan
obyektif yang dituangkan dalam 4 (empat) prinsip dasar bagi keberhasilan privatisasi
yaitu (i) Pihak swasta yang membeli saham BUMN tidak diberi hak monopoli maupun
hak privilege lainnya seperti proteksi, kredit bunga rendah. Mereka diperlakukan sama
dengan pihak swasta lainnya; (ii) Privatisasi tidak berarti menomorduakan
kepentingan masyarakat luas; (iii) kesempatan yang sama bagi masyarakat
berpartisipasi; (iv) penetapan harga harus yang paling menguntungkan dengan
memperhatikan harga pasar dan dilakukan dengan transparan.
Veljanovsky (1990) menekankan beragam hal sebagai persyaratan keberhasilan
kebijakan privatisasi, diantaranya adalah (i) pemerintah harus mempunyai komitmen
kuat; (ii) Privatisasi harus dibuat menjadi isu non-politis dengan menekankan efisiensi
dan aspek kebebasan. Berarti juga proses privatisasi harus didepolitisasi; (iii)
Privatisasi dilaksanakan bertahap dimulai dari perusahaan yang beroperasi di pasar
kompetitif; (iv) Diperlukan dukungan dari kelompok berpengaruh/terkait. Hal ini
memerlukan insentif finansial yang diberikan pada pekerja, pelanggan, dan manajer
Dampak Privatisasi di Indonesia 33 33
maupun masyarakat; (v) Perusahaan Industri harus direstrukturisasi sebelum privatisasi
dan kompetisi harus dimaksimalkan khususnya pada industri jasa; (vi) Harus ada
komitmen kuat untuk melaksanakan peraturan untuk memastikan pihak ketiga
mempunyai akses yang sama; (vii) Harga mencerminkan biaya, dan jasa tidak di
subsidi silang; (viii) Perusahaan yang merugi harus diprivatisasi, bahkan jika harus
dijual pada harga nominal; (ix) Peraturan harus efektif dan minimal serta harus ditinjau
setiap periode tertentu; (x) Perhatian khusus diberikan pada regulasi, dan memastikan
bahwa intervensi hanya dilakukan jika menyangkut praktek anti-kompetisi; (xi)
Pembatasan pemilikan saham sebaiknya dihindari.
Andic (1990) menekankan pada aspek pengaturan, dan alasan yang rasional
bagi keberhasilan privatisasi. Menurutnya terdapat 4 (empat) aturan yang harus
dilakukan agar privatisasi mencapai tujuannya yaitu (i) Tunjukkan alasan teoritis dan
bukti empiris yang menggambarkan keunggulan sektor swasta, dilengkapi analisis
untung-rugi; (ii) pertahankan agar debat antara pembiayaan swasta dan publik terpisah
dengan produksi swasta dan publik; (iii) jauhkan semua keputusan tentang produksi
swasta versus publik dari tangan birokrat maupun pihak swasta yang pendapatannya
banyak berasal dari pemerintah; (iv) pastikan bahwa deregulasi mengikuti privatisasi.
Menurut Hanke (1987), kesuksesan program privatisasi banyak tergantung
pada strategi yang mengandung hal-hal berikut (i) lingkungan yang kondusif bagi
pelaksanaan privatisasi. Misal pengaturan perpajakan, aturan kepemilikan, dan
pembenahan paar modal; (ii) program penyebarluasan informasi; (iii) pelatihan tenaga
terampil yang akan mengelola proses privatisasi; (iv) pilih target yang meminimalkan
kesulitan dan menjamin kesuksesan; (v) pilih teknik dan stratgei yang akan
memaksimalkan dukungan politis dari konstituante; (vi) persiapkan BUMN,
pembenahan melalui investasi jika diperlukan.
Dalam salah satu hasil penelitian dalam Disertasi berjudul Restrukturisasi
BUMN: Privatisasi atau Korporatisasi oleh Marwah M. Diah (1999) dikatakan bahwa
privatisasi baru akan bermanfaat secara maksimal jika (i) pemerintah telah mampu
menciptakan lingkungan kompetisi yang sehat; (ii) memiliki pedoman dan prosedur
pengurangan biaya privatisasi; (iii) mendorong dinamisasi usaha kecil dan menengah;
(iv) efektif memberantas korupsi dan ketidakadilan.
Dampak Privatisasi di Indonesia 34 34
Sutojo (1995) menyimpulkan bahwa terdapat 5 (lima) faktor yang menetukan
yaitu (i) perekonomian negara yang kuat dan sehat; (ii) sektor swasta yang dapat
diandalkan; (iii) metode privatisasi yang tepat; (iv) hukum dan perundang-undangan
serta kelembagaan yang menunjang; (v) pasar modal dan pasar uang yang efisien.
Salah satu sumber ketidakefisienan BUMN adalah soft budget constraint
yaitu kemudahan mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebagai pemegang
saham. Berkaitan dengan itu, penelitian Boycko (1993) menunjukkan privatisasi akan
efektif bila hak kendali dan hak alur dana dialihkan ke swasta (Goeltom, 1995).
Kesuksesan privatisasi juga dikaitkan dengan penggunaan hasil privatisasi
tersebut dengan tepat. Davis (2000) menjelaskan bahwa (i) penggunaan hasil
privatisasi secara off budget (non budgeter) dapat mengarah pada penggunaan yang
tidak terpantau. Dana non budgeter seharusnya diatur, dan diumumkan pada publik,
diaudit, dan dibawah pengawasan parlemen; (ii) transaksi privatisasi sebaiknya
transparan dan dilaporkan berdasar penerimaan kotor. Biaya restrukturisasi,
rekapitalisasi atau penghapusan pinjaman BUMN seharusnya dicatat sebagai bagian
pengeluaran dari penerimaan privatisasi.
Berdasar pengalaman Bank Dunia (1992), terdapat beberapa pelajaran penting
bagi kesuksesan privatisasi yaitu (i) privatisasi berhasil jika merupakan bagian dari
program reformasi yang lebih besar; (ii) regulasi bagian penting dari proses privatisasi
BUMN monopoli; (iii) pemerintah dapat menghasilkan keuntungan dari privatisasi
manajemen (korporatisasi) tanpa memprivatisasi kepemilikan aset; (iv) penjualan
perusahaan besar memerlukan persiapan yang matang; (v) keterbukaan adalah penting
bagi kesuksesan ekonomi dan politis; (vi) pengembangan bisnis swasta baru lebih baik
dari perubahan perusahaan campuran swasta-publik di setiap sistem ekonomi.
2.6 Pengalaman dan Perbandingan dengan Negara Lain
2.6.1 Peran BUMN
Peran BUMN terutama dapat dilihat dari sumbangan BUMN terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB). Kontribusi BUMN terhadap PDB beragam mulai dari 2-3
persen di Nepal dan Pilipina sampai 50 persen di Arab Saudi. Berdasar
pengelompokan negara, maka peran BUMN terhadap PDB relatif lebih besar pada
negara berpendapatan rendah dibanding negara maju dan negara berpendapatan
Dampak Privatisasi di Indonesia 35 35
menengah. Negara-negara di Afrika relatif lebih besar peran BUMN terhadap PDB
dibanding negara Asia dan Amerika Latin. Selengkapnya Tabel 4.
Negara berpendapatan rendah relatif lebih besar kontribusinya terhadap jumlah
tenaga kerja nasional dibanding negara berpendapatan menengah. Sementara negara
Afrika terlihat perannya jauh lebih besar dibanding negara Amerika Latin dan Asia.
Selengkapnya Tabel 4.

Tabel 4 Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja
berdasar Kelompok Negara tahun 1978-1991

No

Kelompok Negara
Proporsi rata-rata
Periode 1978-1991
(%)
A. Proporsi terhadap PDB
! Negara Berkembang
Negara Maju
10.7
4.9
2 Negara Berpendapatan rendah
Negara Berpendapatan Menengah
12.9
9.7
3 Negara Amerika Latin
Negara Afrika
Negara Asia
9.1
18.4
10.5
B. Proporsi terhadap Jumlah Tenaga Kerja
1 Negara Berkembang
Negara Maju
4.8
tad
2 Negara Berpendapatan rendah
Negara Berpendapatan Menengah
8.7
2.9
3 Negara Amerika Latin
Negara Afrika
Negara Asia
4.1
16.4
4.8
Sumber: World Bank (1995).

2.6.2 Perkembangan Privatisasi Dunia
Berdasar data Bank Dunia, privatisasi berkembang dramatis. Pada tahun 1988
baru 12 negara melakukan privatisasi, tetapi tahun 1995 berkembang menjadi 45
negara.
Periode 1988-1995, sekitar 46 persen dari nilai keseluruhan privatisasi dunia
terjadi di wilayah Amerika Latin, menyusul Asia Timur (25 persen), kawasan Eropa
dan Asia Tengah (17 persen), serta wilayah lainnya (12 persen).
Dampak Privatisasi di Indonesia 36 36
Privatisasi yang dominan di sektor primer dan infrastruktur. Metode privatisasi
dominan adalah penawaran umum (40 persen). Metode lainnya yang diminati adalah
strategic sale (Pranoto, 2000)
2.6.3 Inggris
Pada akhir tahun 1970 BUMN di Inggris menyumbang sekitar 10 persen dari
PDB dan mempekerjakan sekitar 10 persen dari total pekerja. BUMN mendominasi
trasnportasi (bus, KA, penerbangan), komunikasi (pos dan telekomunikasi), dan sektor
energi. Pada akhir 1980, gambaran di atas telah berubah banyak. Sektor komunikasi,
transportasi, dan energi sebagian besar telah dikelola swasta (Bishop, 1993).
Tujuan privatisasi di Inggris adalah (i) peningkatan efisiensi; (ii) mengurangi
the public sector borrowing requirement (PSBR) yaitu kebutuhan pendanaan yang
tidak dapat ditutup dari tabungan BUMN; (iii) mengurangi keterlibatan pemerintah
dalam pengambilan keputusan BUMN; (iv) memperluas struktur pemilikan saham; (v)
mendorong pemilikan saham oleh karyawan; (vi) meningkatkan kemampuan
pendanaan BUMN; (vii) mendapat keuntungan politis (Vickers, 1997)
Privatisasi berdampak tekanan pada anggaran negara berkurang drastis. Hal
lainnya bahwa populasi pemilikan saham perorangan meningkat tajam. Sebelum
privatisasi, jumlah penduduk yang mempunyai saham hanya 3 juta orang, meningkat
menjadi 9 juta orang dalam waktu 8 tahun setelah privatisasi. Berarti privatisasi
berhasil mempercepat proses pemerataan pendapatan (Swa, Juli 1990).
Dari 13 perusahaan skala besar yang diprivatisasi selama periode 1981-1987,
maka terlihat bahwa 10 perusahaan (75 persen) menunjukkan kinerja yang membaik
secara signifikan. Dari 3 perusahaan lainnya, British Airways dan Rolls-Royce tidak
tersedia data, sementara Britoil cenderung menurun kinerjanya. Selengkapnya Tabel 5
Tingkat penjualan (turnover) dan output BUMN yang diprivatisasi di Inggris,
sebagian besar menunjukkan peningkatan yang signifikan. Walaupun demikian
terdapat 3 (tiga) BUMN yang menunjukkan penurunan tingkat penjualan setelah
privatisasi, dan 3 (tiga) BUMN menunjukkan penurunan pertumbuhan output.
Selengkapnya tabel 6.


Dampak Privatisasi di Indonesia 37 37
Tabel 5
Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi)
Laba Sebelum Pajak Setelah Privatisasi
Perusahaan 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987
British Aerospace (1981) 70.6 84.7 82.3 120 151 182 Tad
Cable and Wireless (1982) 64.1 89.2 157 190 245 287 331
Amersham International (1982) 4.1 8.5 11.2 13.7 17 17.5 22
National Freight Consortium (1982) 4.3 10.1 5.3 14.5 23 35 48
Britoil (1982) 437 259.1 587 686 758 155 Tad
Associated British Port (1983) (10) 5.5 14.5 (6.4) 20.8 17 Tad
Enterprise Oil (1984) - - 83.2 - 1389 111 Tad
Jaguar (1984) (32) 9.6 50 91.5 121 121 Tad
British Telecom (1984) 570 936 1031 990 1480 1810 2067
British Gas (1986) - 430 803 909 712 782 1062
British Airways (1987) (141) (108) 74 185 191 195 Tad
Rolls-Royce (1987) - (93) (115) 26 81 120 Tad
BAA (1987) - 40 29 46 64 76 84
Tad tidak ada data; dalam Juta Poundsterling
Laba Sebelum Pajak Sebelum Privatisasi
Sumber: Veljanovsky, 1990

Tabel 6. Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris
(Sebelum dan Setelah Privatisasi)
Tingkat Penjualan
(harga Berlaku 1987)
Pertumbuhan Output (%)
1979 Privatisasi 1990 1979-priv Priv-1990
BUMN yang diprivatisasi
Amersham 71 79 170 11 115
ABP 243 185 174 -24 -6
BAA 301 439 610 46 39
BA 3046 3278 3948 8 20
B. Gas 5519 7610 6514 38 -14
B. Steel 6106 3993 4172 -35 4
B T 6024 7853 10049 30 28
C and W 499 519 1890 4 264
Ent Oil tad 288 275 tad -5
NFC 774 614 1328 -21 116
R-Royce 1575 1802 2417 14 34
BUMN yang tidak diprivatisasi
B. Coal 5551 3373 -39
B. Rail 4280 2594 -39
P Office 2721 3639 34
Sumber: Bishop (1995)
Catatan: tad tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan
Dampak Privatisasi di Indonesia 38 38
Berdasar tingkat pengembalian, digunakan dua metode yaitu Return on Capital
Employed (RoCE) dan Return on Sales (RoS). Menggunakan metode RoCE, terlihat
bahwa 4 (empat) BUMN menunjukkan penurunan RoCE, walaupun demikian
dibandingkan BUMN yang tidak mengalami privatisasi maka BUMN yang telah
diprivatisasi secara rata-rata menunjukkan proporsi RoCE yang lebih besar.
Menggunakan metode RoS, BUMN yang telah diprivatisasi menunjukkan proporsi
RoS yang jauh lebih besar dibanding BUMN yang tidak diprivatisasi, namun demikian
terdapat 4 (empat) BUMN yang menunjukkan proporsi RoS yang menurun setelah
diprivatisasi. Selengkapnya lihat Tabel 7.
Tabel 7.
Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi)
Return on Capital Employed (%) Return on Sales (%)
1979 Privatisasi 1990 1979 priv 1990
BUMN yang diprivatisasi
Amersham 16.1 22.5 22.3 22.3 13.6 12.6
ABP 2.1 8.9 18.8 18.8 11.0 25.4
BAA 13.7 6.9 9.8 9.8 20.7 34.3
BA 20.3 25.3 16.6 16.6 7.4 8.9
B. Gas Tad 16.9 17.3 17.3 16.4 13.8
B. Steel 10.7 13 20.0 20.0 11.5 15.3
B T 24.1 16.7 21.0 21.0 22.3 26.3
C and W Tad 16.6 17.9 17.9 14.7 22.8
Ent Oil 1.1 80.6 9.1 9.1 48.6 24.3
NFC Tad 15.7 21.2 21.2 4.6 6.7
R-Royce 27 16.8 16.8 7.8 7.5
BUMN yang tidak diprivatisasi
B. Coal Tad 6.6 6.6 3.2
B. Rail 7.6 5.9 5.9 4.4
P Office 7.6 4.0 2.6
Sumber: Bishop (1995)
Catatan: tad tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan
Kajian Bishop (1993) terhadap kinerja 9 (sembilan) BUMN di Inggris berdasar
produktifitas tenaga kerja menunjukkan bahwa 6 (enam) dari 9 (sembilan) BUMN
menunjukkan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sementara selebihnya
menunjukkan penurunan kinerja. Secara keseluruhan kualitas pelayanan tidak
menunjukkan penurunan.

Dampak Privatisasi di Indonesia 39 39
Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja di Inggris

Perusahaan
Pertumbuhan/tahun (%)
1979-1980 1980-1990
British Airways 7.4 6.0
BAA 0.6 2.7
British Coal -2.4 8.1
British Gas 4.9 4.9
British rail -2.0 3.2
British Steel -1.7 13.7
British Telecom 4.3 7.1
Electricity Supply 3.7 2.5
Post Office -0.1 3.4
Sumber: Bishop (1993)
2.6.4 Perancis
Privatisasi perusahaan air minum di Perancis menggunakan metode kontrak
manajemen (swa kelola). Pihak swasta melakukan penawaran dan negosiasi secara
individual dengan 36 ribu walikota. Pemerintah Perancis tidak perlu mengeluarkan
dana untuk membangun jaringan pipa, dan tetap memperoleh pemasukan. Pemerintah
bertindak sebagai badan regulasi. Pemerintah menjadi lebih obyektif. Sementara
pelayanan menjadi lebih baik karena pengelola swasta terikat kontrak (Swa, Juli 1990)
2.6.5 Italia
Salah satu metode privatisasi yang dilakukan di Italia dan sangat berhasil
adalah sistem kontrak manajer. Seorang manajer swasta diangkat menjadi pengelola
konglomerat BUMN. Keberhasilan metode ini karena kewenangan yang diberikan
untuk menjalankan bisnis seperti perusahaan swasta (Swa, Juli 1990)
2.6.6 Korea Selatan
Salah satu metode privatisasi yang cukup berhasil di Korea Selatan adalah
dalam bentuk penjualan saham khusus untuk masyarakat golongan ekonomi lemah.
Melalui National Stock Plan (lembaga yang didirikan untuk pemerataan saham
BUMN) pada tahun 1988, 34,1 persen saham Pohang Iron Steel Co (POSCO) dijual
pada masyarakat miskin. Jumlah pemilikan saham melesat dari 7,5 persen menjadi
20,3 persen dari populasi. Hal ini mengakibatkan tidak timbulnya keresahan atau
penolakan di kalangan bawah.
Kondisi di atas ditunjang oleh adanya sistem pemisahan pasar modal. Pasar I
terbuka untuk asing dan orang kaya sementara Pasar II hanya untuk lokal dan
Dampak Privatisasi di Indonesia 40 40
penduduk miskin. Privatisasi hanya dilakukan pada pasar II. Inipun masih dilakukan
pembatasan, misalnya dalam satu bulan seorang maksimal cuma boleh membeli 10
saham.Selain itu, saham yang boleh dibeli oleh satu perusahaan atau keluarga paling
maksimal 8 persen dari total saham. Saham yang dianggap penting oleh pemerintah
tetap dipertahankan sebesar 8 persen, tetapi saham Korea Airlines, Korea Elecricity
dan POSCO sudah dimiliki masyarakat 100 persen (Swa, Juli 1990)
2.6.7 Chili
Pembahasan privatisasi di Chili menjadi menarik karena penguasa negara
tersebut adalah rezim militer yang identik dengan penolakan terhadap privatisasi.
Ditambah lagi bahwa privatisasi Chili ternyata sukses yang ditandai dengan
penyebaran kepemilikan saham meningkat, perusahaan swasta menjadi lebih efisien,
membuka kesempatan investasi, berkurangnya ketergantungan pada sektor publik.
Privatisasi di Chili dilakukan dalam 2 (dua) gelombang, yaitu gelombang I
(1974-1979) dan gelombang II (1984-1989). Selama periode tersebut telah berhasil
diprivatisasi sebanyak 550 BUMN, dan sumbangan BUMN terhadap PDB turun dari
39 persen menjadi 16 persen. Pada gelombang I, privatisasi dijual terbatas dalam
bentuk paket untuk mendapatkan harga yang tinggi. Kurangnya modal swasta, maka
pemerintah memberi kredit. Ternyata di kemudian hari pemilik yang baru mengalami
kebankrutan sehingga BUMN yang telah diprivatisasi kemudian dibeli kembali oleh
pemerintah. Kemudian pada gelombang II dilakukan penjualan kembali BUMN secara
lelang, dan sebagian besar dibeli secara patungan oleh perusahaan lokal dan asing.
Selebihnya dijual secara popular capitalism, berupa penawaran saham pada
masyarakat dengan memberikan kredit tanpa bunga. Sementara BUMN yang baru
pertama kali diprivatisasi, diitawarkan dengan cara labor capitalism berupa
penawaran pada karyawan, institutional capitalism berupa penawaran pada institusi
seperti yayasan dana pensiun (Siahaan, 2000).
Hachette dan Luders (1993) menganalisis proses privatisasi di Chili dan
menyimpulkan: (i) keberhasilan privatisasi Chili menunjukkan bahwa privatisasi di
negara berkembang dapat berjalan dengan baik. Meskipun pasar tidak sempurna di
negara berkembang tetapi tetap dapat berfungsi baik untuk menghasilkan harga
penjualan saham yang memadai dan mendorong perusahaan privatisasi bekerja efisien.
Sumber daya finansial selalu ada walaupun di negara berkembang. BUMN dapat dijual
Dampak Privatisasi di Indonesia 41 41
pada masyarakat atau pihak asing; (ii) Beragam BUMN dan aktifitasnya dapat
diprivatisasi. Pada kasus utilitas publik (monopoli alamiah) dan pelayanan sosial, maka
regulasi dan pengendalian yang memadai, kebijakan ekonomi yang tepat adalah hal
mendasar untuk mencapai efisiensi; (iii) beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,
melengkapi persyaratan sebelumnya, untuk mensukseskan privatisasi yang terkait
dengan aspek politis dan intitusi adalah (a) kepemimpinan; (b) dukungan politis; (c)
transparan, pelibatan karyawan dan masyarakat akan meningkatkan dukungan; (d)
pengembangan pasar modal; (iv) privatisasi butuh waktu. Dibutuhkan pembenahan
sistem, kebijakan, penyiapan dana dan personil.
Salah satu kritik terhadap proses privatisasi di Chili adalah kurangnya
transparansi dalam prosesnya. Hal ini mungkin dikondisikan oleh bentuk pemerintahan
yang dikendalikan oleh militer, dan bentuk privatisasi yang dilakukan secara massal.
Walaupun demikian tujuan privatisasi tersebut berupa penyebaran pemilikan saham,
dan peningkatan penerimaan pemerintah dapat dicapai.
2.6.8 Negara Transisi
14

Satu dekade lalu, dengan pecahnya Uni Sovyet, dan dimulainya reformasi
orientasi pasar di banyak negara Eropa Timur dan Tengah, maka privatisasi menjadi
suatu jalan keluar dari ketidakefisienan perencanaan terpusat. Ternyata terdapat dua
pelajaran penting yang didapatkan yaitu (i) perusahaan swasta selalu lebih baik
kinerjanya dibanding BUMN. Dengan kata lain, setiap langkah privatisasi lebih baik
dari pada tidak sama sekali, tanpa mempedulikan apakah telah tercipta kestabilan pasar
dan lingkungan yang kompetitif; (ii) perusahaan swasta yang mulai dari bawah
menunjukkan kinerja terbaik, disusul BUMN yang diprivatisasi dan dikendalikan
orang luar (non birokrat), baru kemudian BUMN.
Kendala soft budget, yang ditandai masih diberikannya subsidi, bunga pinjaman
lunak, penghapusan hutang, menghalangi restrukturisasi perusahaan. Pihak manjemen
akan lebih banyak melakukan lobby dibanding melaksanakan strukturisasi. Terdapat
kecenderungan menyimpulkan bahwa pasar bebas dan lingkungan kompetitif lebih
penting dari pada metode privatisasi (Gardner, 1999)


14
Negara transisi adalah negara yang sedang dalam proses perubahan dari ekonomi terpusat menuju
ekonomi pasar.
Dampak Privatisasi di Indonesia 42 42
2.6.9 Perbandingan AntarNegara
Berdasar beberapa hasil survei perbandingan kinerja perusahaan swasta dan
BUMN serta dampak privatisasi BUMN pada berbagai negara, ternyata hasilnya
menunjukkan bahwa (i) kinerja perusahaan swasta bisa lebih efisien dari BUMN dan
sebaliknya; (ii) perubahan pemerintahan tidak berdampak pada kinerja perusahaan
(swasta dan BUMN); (iii) privatisasi dapat meningkatkan pertumbuhan produktifitas
tenaga kerja dan total faktor, dan sebaliknya tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan; (iv) perubahan kepemilikan berdampak kecil; (v) BUMN dengan pasar
kompetitif lebih baik kinerjanya (Pollitt, 1999)
Tabel 9. Beberapa Hasil Penelitian Perbandingan BUMN Antarnegara
Penelitian Sasaran Metode Data Hasil
Hutchinson
(1991)
Membandingkan
efisiensi perusahaan
swasta dan BUMN
dan dampak
perubahan rezim
terhadap kinerja
perusahaan
Statistik deskriptif
dan analisis OLS
dari produktifitas
tenaga kerja,
keuntungan, dan
paduan teknologi.
17 perusahaan
termasuk 6
BUMN yang
diprivatisasi,
periode 1970-
1986
Perusahaan swasta lebih
efisien dari BUMN
Perubahan pemerintahan
tidak mempunyai
dampak terhadap kinerja
perusahaan dan BUMN

Bishop dan
Thompson
(1992)
Meneliti pengaruh
privatisasi terhadap
perubahan tingkat
efisiensi
Tingkat output,
produktifitas tenaga
kerja, dan
produktifitas total
faktor
9 BUMN,
1970-1990
Peningkatan
pertumbuhan rata-rata
produktifitas tenaga kerja
dan total factor
Haskel dan
Szymanski
(1992)
Menguji 4 hipotesis
tentang dampak
kepemilikan dan
kompetisi terhadap
efisiensi
Regresi
Produktifitas total
factor
12 BUMN
yang
diprivatisasi,
1972-1988
Kompetisi meningkatkan
produktifitas
Perubahan kepemilikan
mempunyai dampak
kecil.
Bishop dan
Green (1995)
Meneliti kinerja
BUMN yang
diprivatisasi
Keuntungan,
penjualan, gaji dan
data tenaga kerja
9 BUMN,
1979-1994
BUMN dengan pasar
kompetitif lebih baik
kinerjanya. Perbandingan
produktifitas total factor
menunjukkan kinerja
swasta dan BUMN sama
saja
Koedijk dan
Kremers
Menghitung
dampak regulasi
pasar tenaga kerja
dan produk
terhadap
pertumbuhan output
Regresi
pertumbuhan output
per kapita terhadap
ukuran tingkat
regulasi
11 negara
masyarakat
ekonomi
Eropa, 1981-
1993
Perubahan regulasi
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
Parker dan
Martin (1997)
Meneliti pengaruh
privatisasi terhadap
kinerja perusahaan
Produktifitas tenaga
kerja, produktifitas
factor total,
pertumbuhan nilai
tambah/tenaga kerja
dan keuntungan
11 BUMN
yang
diprivatisasi,
1973-1995
Tidak ada perbaikan
produktifitas. Tingkat
kompetisi berpengaruh
terhadap kinerja
Sumber:Pollitt, 1999

Dampak Privatisasi di Indonesia 43 43
2.6.10 Dampak Privatisasi per Bidang Usaha
Dari beberapa studi terhadap perbandingan kinerja perusahaan negara dan
swasta pada berbagai bidang usaha yang dikumpulkan oleh Hanke (1987) pada
berbagai negara, maka efisiensi perusahaan swasta relatif lebih baik. Adapun hasil
studi tersebut adalah:
A. Administrasi
Di AS, fungsi administrasi lebih murah, lebih cepat dengan kesalahan lebih
sedikit jika dilaksanakan oleh sektor swasta.
B. Penerbangan
Bukti di Australia menunjukkan perusahaan swasta lebih efisien. Mereka
beroperasi dengan peralatan, tarif, rute yang sama. Perusahaan swasta mengangkut dua
kali lebih banyak. Pendapatan per pekerja perusahaan swasta lebih tinggi 12 persen.
C. Perbankan
Studi di Australia menunjukkan bank BUMN mempunyai tingkat keuntungan
terhadap aset, dan keuntungan terhadap modal lebih rendah.
D. Pekerjaan Pemeliharaan dan Pengelolaan Gedung
Pekerjaan pemeliharaan gedung Departemen Pertahanan AS diswastakan dan
menghasilkan penghematan sekitar 5-25 persen. Beberapa sekolah umum di New York
juga melakukan hal yang sama dan menghasilkan penghematan rata-rata 14 persen. Di
Jerman juga menunjukkan hasil yang relatif sama, bahkan dengan penghematan yang
lebih besar.
E. Listrik
Perbandingan 95 perusahaan listrik negara dan 47 perusahaan swasta di AS
menunjukkan biaya per kilowatt-jam lebih tinggi rata-rata 21 persen pada perusahaan
negara.
F. Rumah Sakit
Sistem pelayanan kesehatan terbesar di AS yang dikelola oleh pemerintah
melalui Veterans Administration (V.A.) menunjukkan biayanya lebih mahal dibanding
sistem swasta.
G. Pelayanan Pos
Pelayanan pos di AS ditangani baik oleh perusahaan negara maupun swasta.
Perusahaan swasta menangani dua kali lebih banyak pengiriman, dengan tarif lebih
Dampak Privatisasi di Indonesia 44 44
rendah, pengiriman lebih cepat, dan mempunyai tingkat kerusakan yang lebih rendah.
Lebih jauh, perusahaan menghasilkan untung sementara perusahaan negara merugi.
H. Kereta Api
Produktifitas pegawai Amtrak, perusahaan KA milik pemerintah AS, kurang
dibanding produktifitas empat perusahaan swasta lainnya.
I. Jalan Raya
Pemeliharaan jalan raya merupakan salah satu usaha yang dapat
diperbandingkan di negara berkembang. Evaluasi rinci dari biaya pemeliharaan jalan di
Brasil memperlihatkan penanganan oleh swasta melalui sistem kontrak lebih murah
dibanding yang dilakukan oleh Departemen Jalan Raya Nasional Brasil.
J. Transportasi Kota
Di Australia, biaya sistem transportasi perkotaan per kilometer yang ditangani
swasta hampir 42 persen lebih murah dari pada sistem yang ditangani negara. DI
Jerman Barat, biaya rata-rata nasional per kilometer 160 persen lebih mahal jika
ditangani negara. Di New York, biaya lebih murah 10 persen jika ditangani swasta. Di
Istanbul dan Calcutta juga menunjukkan kondisi yang sama,
K. Telekomunikasi
Perusahaan telekomunikasi dimiliki oleh pemerintah di sebagian besar negara
kecuali Amerika Serikat. Tetapi antara tahun 1981 sampai 1998, sebanyak 31 BUMN
di 25 negara diprivatisasi baik total maupun sebagian melalui penawaran saham
umum. Pada sebagian besar kasus, saham yang ditawarkan merupakan penawaran
terbesar di masing-masing negara, bahkan tercatat ada yang mencapai lebih dari 30%
dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal di negara yang bersangkutan.
Sebuah studi terbaru menemukan bahwa keuntungan, output, efisiensi
operasional dan investasi modal meningkat signifikan setelah privatisasi, semenrtara
jumlah tenaga kerja dan jumlah hutang berkurang tajam. Hampir seluruh BUMN
telekomunikasi menghadapi regulasi baru pada saat diprivatisasi, dan banyak
pemerintahan mempertahankan sahamnya yang signifikan. Kedua faktor ini
mempengaruhi kinerja keuangan. Beberapa kondisi setelah privatisasi adalah:
Kompetisi mengurangi keuntungan, dan jumlah tenaga kerja dan efisiensi
monopoli pemerintah setelah privatisasi. Sementara pembentukan instansi pengatur
(regulator) independen meningkatkan output.
Dampak Privatisasi di Indonesia 45 45
Mempertahankan kepemilikan pemerintah berhubungan dengan peningkatan
hutang dan pengurangan tenaga kerja, sementara pengaturan harga meningkatkan
keuntungan..
Dapat disimpulkan bahwa dampak finansial privatisasi terhadap BUMN
telekomunikasi tergantung sebagian besar pada struktur pasar kompetisi yang baru,
pasar yang setara, pengaturan harga dan instansi pengatur independen. Dampak
tersebut dapat negatip tetapi konsumen dan kondisi ekonomi mendapatkan keuntungan
dari proses ini (Bortolotti, 2001)
Privatisasi di Inggris memperlihatkan bahwa privatisasi British Telecom
menunjukkan kesuksesan dalam banyak hal, harga menjadi murah, sementara
produktifitas dan keuntungan meningkat. British Telecom setelah privatisasi ternyata
mampu meningkatkan jumlah saluran telepon sebesar 30 persen. Pertumbuhan
produktifitasnya naik dari 1,9 persen per tahun (1979-1983) menjadi 3,2 persen per
tahun (1983-1987), yang menunjukkan kenaikan hampir 70 persen. British Gas
berhasil menawarkan harga jual pada pelanggan industri dengan 30 persen lebih murah
dibandingkan tarif sebelumnya (Wibisono, 1996).
Vogelsang dkk, (1994) menyelenggarakan analisis untung-rugi sosial terhadap
privatisasi BT yang menunjukkan dampak positip. Keseluruhan masyarakat
memperoleh keuntungan 10 Miliar Poundsterling, yang sebagian terbesar mengalir ke
konsumen (Pollitt, 1999).
Vogelsang dkk. mencatat bahwa perbaikan produktiftas dihasilkan dari
perbaikan teknik dan bukan hanya privatisasi, meskipun privatisasi mendorong
pembentukan modal. Regulasi mempengaruhi harga. Privatisasi mendorong investasi
dan regulasi menguntungkan konsumen. Privatisasi tidak menunjukkan pengaruh pada
perbaikan efisiensi operasi sampai pada saat dilakukan PHK karena ketatnya
kompetisi. Sebelumnya pertumbuhan produktifitas merupakan fungsi dari
pertumbuhan output, yang merupakan bagian dari pengaruh menurunnya tarif.
Kompetisi merupakan media utama meningkatkan pelayanan dan menurunkan tarif di
sektor telekomunikasi (Pollitt, 1999).
2.6.11 Beberapa Fakta Penting
Dari beberapa pengalaman pelaksanaan privatisasi di manca negara, maka
dapat dikemukakan beberapa fakta yang penting yaitu: (i) Pertama. Privatisasi berjalan
Dampak Privatisasi di Indonesia 46 46
lebih lancar jika pemimpin pemerintahan mempunyai komitmen politis yang kuat
terhadap reformasi ekonomi; (ii) Kedua. Privatisasi tidak mudah. Tantangan dari
berbagai pihak yang mempunyai vested interest, BUMN yang tidak layak jual dan
tidak menarik bagi investor; ketakutan investor asing terhaadap keamanan negara
merupakan beberapa penghambat privatisasi; (iii) Ketiga. Model privatisasi tidak
hanya satu, tetapi beragam dengan kemungkinan sukses/gagal yang sama. Walaupun
tidak ada model yang berlaku untuk semua situasi, tetapi dapat dikatakan bahwa
prospek privatisasi terbaik pada negara yang mempunyai mekanisme finansial yang
mendukung privatisasi; (iv) Keempat. Bahkan negara maju tetap berekprimen dengan
privatisasi. Contohnya Inggris yang telah melakukan privatisasi 40 persen dari BUMN-
nya, namun debat tentang privatisasi tetap hangat.; (v) Kelima. Privatisasi tidak hanya
sekedar menjual aset ke sektor swasta. Tetapi juga berarti meningkatkan kebebasan
pasar, dan mengurangi regulasi pemerintah, dan kebijakan makro lainnya.
3. Privatisasi di Indonesia
3.1 Latar Belakang dan Sejarah BUMN
Cikal bakal BUMN di Indonesia telah dikenal jauh sebelum terbentuknya
negara Republik Indonesia. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, cikal bakal
BUMN tersebut antaranya adalah Pandhuisdinst (pegadaian). Setelah Indonesia
merdeka, usaha negara dimasukkan dalam pasal 33 UUD 1945,. Dalam pasal tersebut
disebutkan 3 pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional yaitu usaha swasta,
usaha negara dan koperasi. Hal ini yang menjadi legitimasi keberadaan BUMN. Selain
itu juga adanya kesadaran keterbatasan kemampuan sektor swasta, dan keinginan
mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Anwari, 1998)
Pada awal kemerdekaan, BUMN di Indonesia sebagian besar berasal dari
proses nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pada kurun waktu 1957-1963 mencapai
630 buah, bahkan meningkat sampai 822 buah pada tahun 1966. Pada masa Orde Baru
dilakukan penciutan BUMN, sehingga jumlahnya berkurang menjadi sekitar 200
perusahaan (Ruru, 1996). Pada masa setelah Orde Baru jumlah BUMN relatif tetap.
3.2 Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 memberikan pengertian BUMN
mencakup (i) Badan Usaha yang dimiliki seluruhnya oleh Negara; (ii) Badan usaha
yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN,
Dampak Privatisasi di Indonesia 47 47
yaitu (a) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dan pemerintah daeah;
(b) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dan BUMN lain; (c) BUMN
yang merupakan badan usaha patungan dengan pihak swasta (nasional/asing) dengan
negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%); (iii) Anak perusahaan BUMN, yaitu
perusahaan yang sahamnya sebagian besar (minimal 51%) atau seluruhnya dimiliki
oleh BUMN.
Pada saat sekarang, BUMN dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) bentuk
15
yaitu
(i) Perum, yaitu BUMN yang berusaha dibidang penyediaan pelayanan bagi
kemanfaatan umum disamping mendapatkan keuntungan, dan modal seluruhnya milik
negara; (ii) Persero, yaitu BUMN yang bertujuan memupuk keuntungan dan bergerak
diluar bidang usaha Perum, modal seluruhnya/sebagian milik negara. Disamping itu,
terdapat bentuk lain BUMN yang diatur khusus yaitu bank pemerintah dan Pertamina.
Secara umum penggolongan BUMN dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam)
kategori yaitu: (i) usahanya bersifat tugas perintisan dan pembangunan prasarana
tertentu; (ii) menghasilkan barang yang dengan pertimbangan keamanan dan
kerahasiaan harus dikuasai oleh negara; (iii) didirikan atas pertimbangan untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah; (iv) didirikan dengan tujuan untuk melindungi
keselamatan dan kesejahteraan masyarakat; (v) didirikan berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku harus dimiliki dan dikelola pemerintah; (vi) usahanya
bersifat komersil dan fungsinya dapat dilakukan oleh swasta.
3.3 Tujuan Pendirian BUMN
Secara umum terdapat 2 (dua) tujuan pendirian BUMN yaitu (i) fungsi
komersil, antaranya memberi sumbangan bagi perekonomian nasional, mengadakan
pemupukan dana; (ii) fungsi non-komersil, antaranya menyelenggarakan kegiatan
usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta, merintis kegiatan usaha yang belum
dapat dilaksanakan oleh swasta, memberikan bimbingan pada swasta, menunjang
program pemerintah.
Siahaan (2000) berdasar sejarah dan latar belakang pendirian BUMN
menyimpulkan alasan mempertahankan BUMN yaitu: (i) argumen warisan historis,
menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam perekonomian nasional melalui

15
Sebelumnya berdasar UU No. 9 Tahun 1969, BUMN dibagi 3 (tiga) kategori yaitu Perusahaan
Jawatan (perjan), Perusahaan umum (perum), dan perusahaan persero
Dampak Privatisasi di Indonesia 48 48
BUMN merupakan warisan sejarah; (ii) preferensi ideologis dan konsolidasi kekuatan
politik dan ekonomis, dimaksudkan bahwa langkah pemerintah mempunyai landasan
ideologis sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UUD 1945; (iii) jawaban pragmatis
terhadap masalah ekonomi; (iv) dorongan institusi internasional dan negara donor.
3.4 Kontribusi BUMN dalam Perekonomian Nasional
BUMN beroperasi di hampir seluruh sektor perekonomian dan beberapa
diantaranya bergerak dalam industri hulu. Hal ini menjadikan BUMN tumpuan
harapan kinerja industri hilir. Artinya kinerja industri hilir banyak bergantung pada
tingkat efisiensi BUMN (Ruru, 1996).
Peranan BUMN di Indonesia dalam perekonomian nasional relatif tinggi
16
.
Sumbangan BUMN, tidak termasuk migas, pada Produk Domestik Bruto (PDB) adalah
sebesar 12% , melampaui negara-negara di Asia seperti Thailand (3,6%), Korea
(6,4%). Peranan BUMN di Indonesia cenderung menurun, jika dibandingkan dengan
kondisi tahun 1984 dengan kontribusi BUMN masih sekitar 15 persen.
Investasi BUMN menunjukkan penurunan. Pada tahun 1990, proporsi investasi
BUMN non-migas terhadap total investasi adalah sebesar 13 persen, turun dari 23
persen pada tahun 1985.
Walaupun menunjukkan kecenderungan penurunan sumbangan terhadap PDB
dan investasi, tetapi beberapa aspek masih menunjukkan peningkatan yaitu (i)
sumbangan finansial masih menunjukkan peningkatan Dividen dari Rp. 0,75 Triliun
(1990) menjadi Rp. 1,25 triliun (1994); PPh Badan dari Rp. 2,6 Triliun (1990) menjadi
Rp. 3,5 Triliun (1994); PPN (dengan asumsi 10 persen) diperkirakan mencapai Rp. 8,4
triliun (1994); (ii) penyediaan Barang dan Jasa. Kontribusi penyediaan barang/jasa dari
Rp. 62,2 Triliun (1990) menjadi Rp. 83,7 triliun (1994); (iii) Kesempatan Kerja.
Kontribusi kesempatan kerja mencapai 1,02 juta orang (1994); (iv) Kontribusi Sosial.
Kontribusi sosial (dana PUKK) sampai tahun 1994 telah digulirkan sebesar Rp. 500,1
miliar; (v) Total Aset. Total aset BUMN mencapai Rp. 291,9 triliun (1990) atau 82,3
persen dari PDB Indonesia. Dibandingkan dengan total aset konglomerat Indonesia
hanya sebesar Rp. 227,3 Triliun.


16
Perbandingan dengan negara lain dibahas lebih rinci pada sub.bab 2.6 terdahulu.
Dampak Privatisasi di Indonesia 49 49
3.5 Profil BUMN
3.5.1 Jumlah dan Pengelompokan BUMN per Bidang Usaha
Jumlah seluruh BUMN pada tahun 1998 adalah 144 perusahaan. Jumlah
BUMN terbesar pada bidang agro industri (22.9%), logistik (22.2%), jasa keuangan
(13.2%), dan konstruksi (12.5%)
Penjualan terbesar diraih BUMN bidang bidang jasa keuangan merupakan
42,4% dari total penjualan BUMN, disusul bidang agroindustri (14,3%), energi (9,9%),
pariwisata (9.7%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya.
Aset terbesar pada kelompok usaha jasa keuangan mencapai 58% dari total aset
BUMN, disusul bidang energi (15%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya.
Selengkapnya pada Tabel 10 (halaman berikut)
3.5.2 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan
Proporsi terbesar dari Nilai penjualan BUMN diraih oleh kelompok penjualan
diatas Rp. 1 Trilun, sementara kelompok penjualan lainnya relatif jauh lebih kecil.
Selengkapnya pada Tabel 11.
Tabel 11 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan
Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%)
> 1000 12 44.536 71.7
500 1000 4 2.433 3.9
250 500 15 4.810 7.7
100 250 46 7.472 12.0
< 100 107 2.860 4.6
Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.
3.5.3 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset
Proporsi terbesar dari Nilai aset BUMN didominasi oleh kelompok aset diatas
Rp. 1 Trilun, sementara kelompok aset lainnya relatif jauh lebih kecil.
Tabel 12 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset
Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%)
> 1000 20 168.073 83.6
500 1000 13 8.363 4.2
250 500 20 6.323 3.1
100 250 45 7.249 3.6
< 100 86 11.057 5.5
Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.
Dampak Privatisasi di Indonesia 50 50
Tabel 10 Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 (Triliun Rupiah)
Bidang Usaha Penjualan Aset Jumlah Nama Perusahaan
1. Jasa Keuangan 61.1
(42,4%)
271.5
(58%)
19
(13.2%)
Bank Mandiri, PT. Bank BTN, PT. Bank BNI,
PT. Bank BRI, PT. Danareksa, PT. Bahana,
PT. PANN MF, PT. Kliring JBK, PT AS.
Jasindo, PT. AS. Jiwasraya, PT. AS Jasa
Raharja, PT. ASEI, PT. RUI, PT. Taspen, PT.
ASABRI, PT. Askes, PT. Jamsostek, PT.
Askrindo, PT. PP Berdikari.
2. Agroindustri
Dan konsumer
20.2
(14,3%)
26.3
(5.6%)
33
(22.9%)
PT PN I-XIV, PT RNI, PT Pusri, PT Pupuk
Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT PIM, PT
Petrogres, PT AAI, PT Sang Hyang Sri, PT
Pertani, PT perikanan S Besar, PT Perikani,
PT Usaha Mina, PT Tirta Raya Mina, PT Indo
Farma, PT Kimia Farma, PT Bio Farma, PT
Garam, PT Industri Soda Ind, PT Iglas.
3. Energi 14.3
(9.9%)
70
(15%)
3
(2.1%)
PT PLN, PT PGN, PT Kanebo
4. Pariwisata 13.9
(9.7%)
13
(0.6%)
10
(6.9%)
PT garuda, PT Merpati, PT AP I, PT AP II,
PT WNI, PT HII, PT Natour, PT IWC
Borobudur-Prambanan, PT Perhotelan dan
Perkantoran Ind, PT BTDC
5. Telekomunikasi
Dan Media
8.8
(6.1%)
28.8
(6.2%)
4
(2.8%)
PT Indosat, PT Telkom, PT Pradnya Paramita,
PT Balai Pustaka
6. Industri
Strategis
8.4
(5.8%)
14.7
(3.1%)
13
(9%)
PT IPTN, PT PAL Ind, PT IKI, PT Pindad, PT
Dahana, PT INKA, PT LEN Industri, PT
Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT
Boma Bisma Indra, PT Batan Teknologi, PT
INTI, PT PPLI.
7. Logistik 8.1
(5.6%)
20.3
(4.3%)
32
(22.2%)
PT Pelindo I-IV, PT VIP, PT bahtera Adhi
Guna, PT Djakarta Lloyd, PT PELNI, PT
Rukinda, PT ASDP, PT Dok Kodja Bahari,
PT Dok Perkapalan Sby, PT Jasa Marga, PT
JIEP, PT SIER, PT Pos Ind, PT Suadinda, PT
Surveyor Ind, PT KBN, PT Kaw Industri
Cilacap, PT Kaw Industri Medan, PT Kaw
Industri Makasar, PT PDIP Batam, PT BKI,
PT Survey Udara Peers, PT Sarinah, PT Cipta
Niaga, PT Kerta Niaga, PT Mega Eltra, PT
Pantja Niaga, PT Dharma Niaga, PT BGR.
8. Pertambangan 3.9
(2.7%)
5.8
(1.2%)
4
(2.8%)
PT Timah, PT Aneka Tambang, PT Toba
Bukit Asam, PT Sarana Karya
9. Konstruksi dan
Bhn bangunan
3.4
(2.4%)
13
(2.8%)
18
(12.5%)
PT Istaka Karya, PT Wijaya Karya, PT
Waskita Karya, PT Nindya Karya, PT Hutama
Karya, PT Adhi Karya, PT Amarta Karya, PT
Indra Karya, PT Indah Karya, PT Virama
Karya, PT Yodya Karya, PT Bina Karya, PT
Pembang Perumahan, PT Brantas Abipraya,
PT Rekayasa Industri, PT Semen Gresik, PT
Semen Baturaja, PT Semen Kupang
10. Kehutanan,
Kertas, Kayu
1.9
(1.1%)
3.2
(0.7%)
8
(5.6%)
PT Inhutani I-V, PT Kertas Leces, PT Kertas
Padalarang, PT Kertas Kraft Aceh.
Total 144
(100%)
466.6
(100%)
144
(100)
Daftar diatas tidak termasuk kepemilikan
minoritas seperti Freeport dan lain-lain.
Sumber: Pranoto (2000)
Dampak Privatisasi di Indonesia 51 51
3.5.4 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba
Berbeda dengan proporsi nilai penjualan dan nilai aset yang terlihat senjang
antar kelompok, maka proporsi jumlah laba antar kelompok laba relatif berimbang.
Selengkapnya pada Tabel 13
Tabel 13 Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba
Kelompok Laba
(Rp. Miliar)
Jumlah
BUMN
Jumlah laba
(Rp. Miliar)
Proporsi
Aset (%)
> 500 2 1.622 33.1
100 500 8 1.253 25.6
50 100 13 885 18.1
25 50 15 532 10.8
< 25 130 597 12.2
Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.
3.6 Kinerja BUMN
Dari sekitar 160 BUMN pada tahun 1997, maka berdasar kriteria RLS terdapat
41 BUMN (25,2 persen) berkategori sangat sehat, 33 BUMN (20,8 persen) sehat, 29
BUMN (18,2 persen) kurang sehat, dan 57 BUMN (35,8 persen) tidak sehat. Dengan
demikian kinerja BUMN di Indonesia masih kurang memadai, terutama jika dikaitkan
dengan return on assets (ROA) rata-rata BUMN periode 1988-1996 tidak pernah
melampaui angka 4 persen, bahkan untuk tahun 1997 hanya 2,7 persen (Suwandi,
2001).
3.7 Perkembangan Privatisasi
3.7.1 Latar Belakang Privatisasi
Privatisasi di Indonesia dimulai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740
dan 741/KMK.00/1989 yang dijadikan landasan pelaksanaan privatisasi. Pelaksanaan
Privatisasi dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu (i) kondisi keuangan negara.
Jatuhnya harga minyak sejak tahun 1983 dan mencapai puncaknya tahun 1986
mengakibatkan terjadinya kesulitan keuangan negara. Pendapatan negara dan devisa
semakin berkurang, sementara kewajiban negara membayar hutang semakin besar.
Kondisi ini mendorong pemerintah mencari sumber lain atau mengurangi pengeluaran.
Salah satu cara adalah mengurangi subsidi dan penyertaan modal pemerintah pada
BUMN; (ii) globalisasi. Salah satu ciri globalisasi adalah ekonomi tanpa batas negara
Dampak Privatisasi di Indonesia 52 52
yang mengakibatkan persaingan ketat antar perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Peningkatan efisiensi BUMN menjadi keniscayaan; (iii) meningkatnya ekspektasi
masyarakat terhadap pelayanan publik (Ruru, 1996).
Perangkat peraturan yang mendukung program privatisasi bertambah dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 1990 tentang perusahaan
persero yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal yang
kemudian sebagian dirubah melalui PP Nomor 59 Tahun 1996. Dengan
dikeluarkannya peraturan ini maka terbuka peluang BUMN go public.
Sampai tahun 1996, tepat sebelum terjadinya krisis ekonomi, jumlah BUMN
yang masuk pasar modal telah mencapai 7 (tujuh) BUMN yaitu PT. Semen Gresik
(1991); PT. Indosat (1994), PT. Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), Bank
BNI (1996), PT. Indofarma; PT. Kimia Farma. Masih terdapat beberapa kegiatan
privatisasi lagi seperti Kerja Sama Operasi (KSO) PT. Telkom.
Memasuki tahun 1997 ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi, maka
langkah privatisasi menjadi salah satu prioritas pemerintah terutama setelah Indonesia
menjadi pasien IMF. Program privatisasi bahkan tercantum dalam Letter of Intention
(LOI).
Sejak awal program tahun 1998 sampai Maret 1999 hanya 2 (dua) transaksi
yang terlaksana. Penjualan saham minoritas di PT. Semen Gresik pada Cemex
(Meksiko), dan PT. Indofood Sukses Makmur. Banyak BUMN lainnya yang terhambat
proses privatisasinya karena adanya penolakan dari publik. Salah satunya Privatisasi
PT. Krakatau Steel terhambat karena adanya penolakan dari kalangan direksi sendiri.
Memasuki tahun anggaran 1999/2000, pemerintah mentargetkan pendapatan
sebesar Rp. 13 Triliun. Seperti periode sebelumnya, hasilnya jauh dari harapan,
meskipun terjadi privatisasi PT. Pelindo II (Rp. 1,89 Triliun), PT. Pelindo III (Rp. 1,52
Triliun), PT. Telkom (Rp. 3,27 Triliun).
Tahun anggaran 2000, bahkan tidak terjadi transaksi sama sekali dari target
sebesar Rp. 6,5 Triliun. Target tersebut kemudian dilanjutkan dalam tahun anggaran
berikutnya. Meskipun demikian pemerintah tetap mentargetkan jumlah BUMN yang
akan diprivatisasi cukup besar untuk tahun anggaran 2002 yang mencapai 25 BUMN.
Sebenarnya masih banyak metode privatisasi yang dilakukan selain go public,
tetapi keterbatasan informasi menyebabkan sulitnya mengetahui kemajuannya.
Dampak Privatisasi di Indonesia 53 53
Diantaranya tercatat penggunaan metode penjualan langsung dalam privatisasi PT.
Intirubdan PT. Kertas Gowa. BUMN yang terpantau melakukan KSO adalah PT.
Telkom.Privatisasi manajemen dilakukan pada PT. Danareksa dan PT. Bahana dengan
menunjuk direksi dari swasta. Selain itu, dilakukan juga tukar guling pada PT.
Sandang (Bachtiar, 1998).
3.7.2 Tujuan dan Manfaat Privatisasi
Tujuan pemerintah melakukan privatisasi adalah (i) menghimpun dana dari
pemilikan saham di BUMN dan menggunakan hasilnya untuk mengurangi hutang
pemerintah; (ii) menghimpun dana bagi keperluan pengembangan usaha BUMN yang
bersangkutan; (iii) meningkatkan produktifitas, efisiensi dan daya saing BUMN
melalui disiplin pasar; (iv) meningkatkan citra negara melalui keberhasilan privatisasi
BUMN terbaik; (v) mengembangkan pasar modal di Indonesia.
Selain manfaat dari segi ekonomi yang diantaranya berupa tersedianya
tambahan dana untuk pembayaran utang pemerintah, dan BUMN memperoleh
alternatif pendanaan dari masyarakat untuk pengembangan usaha, maka beberapa
manfaat lain yang ditengarai diperoleh dari privatisasi adalah (i) meningkatnya profil
perusahaan di mata publik; (ii) meningkatnya citra negara di lingkungan internasional;
(iii) terciptanya akses pada sumber pndanaan publik; (iv) mengetahui nilai pasar
perusahaan; (v) proses pengambilan keputusan manjemen menjadi lebih sederhana;
(vi) berkurangnya campurtangan sekaligus memperoleh dukungan pemerintah (Ruru,
1996).
3.7.3 Kebijakan dan Strategi Privatisasi
A. Penilaian Kinerja BUMN
Evaluasi kinerja BUMN mengacu pada Keputusan Menteri keuangan No.
826/KMK.013/1992 tentang tingkat kesehatan BUMN. Bobot terbesar adalah tingkat
rentabilitas yakni 52,5 persen. Kriteria lainnya adalah likuiditas, dan solvabilitas..
Penekanan utama adalah kemampuan BUMN mencetak laba.
Cara penilaian dengan menggunakan metode RLS (Rentabilitas, Likuiditas,
Solvabilitas) cukup banyak mendapat kritik. Salah satunya dari PT. Jasa Marga.
Penggunaan metode RLS tersebut kurang tepat untuk perusahaan dengan jangka waktu
investasi lama. Mungkin sebaiknya kalaupun dipergunakan maka nilai RLS tersebut
mempunyai batas ambang yang berbeda-beda untuk berbagai jenis BUMN. Sebagai
Dampak Privatisasi di Indonesia 54 54
perbandingan, di Jepang Nihon Doro Kodan merupakan perusahaan tol terbesar di
dunia. Ternyata RLS perusahaan tersebut tidak lebih baik dari PT. Jasa Marga.
B. Metode Privatisasi
Masterplan Reformasi BUMN (1999) memperkenalkan metode privatisasi
antara lain: (i) Penawaran umum. Penjualan saham BUMN melalui pasar modal; (ii)
Penempatan langsung (direct placement, strategic sale, private placement, trade sale).
Penjualan saham BUMN kepada pihak lain dengan cara negosiasi, umumnya melalui
tender; (iii) Management buyout (MBO). Pembelian saham mayoritas BUMN oleh
suatu konsorsium yang diorganisasikan dan dipimpin oleh manajemen yang ada; (iv)
Likuidasi. Menjual perusahaan sebagai usaha yang sedang berjalan atau dengan cara
menjual aset; (v) Penjualan aset. Memisahkan aset BUMN yang bermasalah dan
menjualnya ke swasta; (vi) Voucher schemes. Penduduk diberi voucher atau diberi
kesempatan membeli dengan harga murah, kemudia menukar voucher tersebut dengan
saham BUMN. (vii) Konsesi. Sewa aset untuk jangka waktu panjang, dan pemegang
konsesi berhak menjalankan usaha dan berkewajiban memelihara aset dan juga
menambahkan aset jika diperlukan; (viii) Sewa guna usaha (lease). Pemberian hak
mengelola sekumpulamn aset untuk jangka waktu singkat, namun pemilik tetap
bertanggungjawab memelihara dan menambah aset; (ix) Kontrak manajemen. Metode
ini mirip sewa guna usaha, biaya manajemen berdasar kinerja; (x) contracting out.
Memberikan kesempatan pada pihak swasta melalui kontrak untuk melaksanakan
fungsi tertentu; (xi) Employee Share Ownership Plan (ESOP). Pemberian saham pada
karyawan; (xii) Privatization Trust Fund. Kepemilikan dengan menggunakan Dana
Perwalian Privatisasi. Pengelolaan saham diberikan oleh pemerintah pada dana
perwalian yang akan mengelola portofolio, menerima dividen, dan menjaulnya pada
saat yang tepat (Pranoto, 2000).
C. Rencana Privatisasi tahun 2002
Pada tahun 2002 direncanakan dilakukan privatisasi terhadap 25 BUMN yang
terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok BUMN yang merupakan kelanjutan
rencana privatisasi BUMN tahun 2001 sebanyak 9 BUMN; dan kelompok usulan tahun
2002 sebanyak 16 BUMN. BUMN yang diprivatisasi tersebut beragam baik dalam
jenis usaha, proporsi kepemilikan pemerintah, maupun metode privatisasi.
Dampak Privatisasi di Indonesia 55 55
Berdasar metode privatisasi maka sebanyak 20 BUMN akan menggunakan
metode strategic sale yaitu pelepasan saham pada pihak swasta melalui perundingan
langsung, sementara sisanya bervariasi mencakup penawaran terbuka, penjualan saham
lewat pasar modal, penjualan saham pada karyawan/manajemen, atau gabungan
beberapa metode. Hal yang baru terlihat dari adanya BUMN yang akan
dilikuidasi.(PT. Indah Karya).
Bidang usaha yang dominan adalah konsultan (6 BUMN), kertas (3 BUMN),
semen, hotel, bandara, farmasi, (masing-masing 2 BUMN), dan selebihnya bergerak
dalam usaha telekomunikasi, tambang, perabnkan, jasa keuangan, ban, tekstil, gelas
(masing-masing 1 BUMN).
Proporsi kepemilikan pemerintah pada BUMN yang akan diprivatisasi sebagian
besar dalam bentuk pemilikan mayoritas yaitu sebanyak 10 BUMN (100 persen), 5
BUMN (51-99 persen), selebihnya sebanyak 9 BUMN merupakan BUMN dengan
proporsi pemilikan pemerintah minoritas (< 50 persen). PT. Semen Gresik tidak
tercantum proporsi kepemilikannya.
Rencana penjualan saham pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
kategori yaitu penjualan seluruh saham, penjualan sebagian besar saham (menjadikan
pemerintah menjadi pemegang saham minoritas), penjualan sebagian kecil saham
(pemerintah tetap sebagai pemegang saham mayoritas). Penjualan seluruh saham
direncanakan hampir pada sebagian besar BUMN yang akan diprivatisasi yaitu
sebanyak 15 BUMN, yang mencakup seluruh BUMN dengan pemilikan pemerintah
minoritas, BUMN bidang usaha konsultan. Sementara hanya 2 BUMN dengan
pemilikan pemerintah mayoritas yang termasuk kategori ini. Penjualan sebagian besar
saham direncanakan pada 1 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi. Penjualan
saham sebagian kecil direncanakan pada 6 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi,
tambang, perbankan, bandara, dan jasa keuangan.
Dari proses privatisasi nantinya, maka hanya 6 BUMN yang tetap merupakan
BUMN dengan pemilikan pemerintah mayoritas dari 8 BUMN yang tersisa dalam
program privatisasi tahun 2002. Selengkapnya pada Tabel 14


Dampak Privatisasi di Indonesia 56 56
.
Tabel 14 Program Privatisasi BUMN, Tahun 2002

No

Nama BUMN

Usaha
Pemilikan
Pemerintah
(%)
Rencana
Dijual
(%)

Metode

Target
A Lanjutan Tahun 2001
1 PT Wisma Nusantara Internasional Hotel 42 42 SS Maret
2 PT Angkasa Pura II Bandara 100 49 SS Mei
3 PT Indofarma Tbk Farmasi 80.73 29 SS Juni
4 PT Kimia Farma Tbk Farmasi 90.3 51 SS Juni
5 PT. Indosat Tbk Telkom 65 45 Pl/SS Juni/Okt
6 PT. Batubara Bukit Asam Tambang 100 35 SS Agustus
7 PT. Indocement TP Tbk Semen 16.87 16.87 TO Desember
8 PT. Semen Gresik Tbk *) Semen - - SS -
9 PT. Bank Mandiri **) Perbankan 100 30 IPO Juni
B. Usulan Tahun 2002
1 PT. Intirub Produk ban 9.9 9.9 SS Juli
2 PT. Atmindo Konsultan 36.6 36.6 SS Juli
3 PT. Cambrics Primissima Tekstil 52.79 52.79 SS Juli
4 PT. Iglas Prod Gelas 64 64 SS Agustus
5 PT. Jakarta International Hotel Hotel 3.3 3.3 SS Agustus
6 PT. Kertas Blabak Kertas 1.64 1.64 SS Sept
7 PT. Kertas Padalarang Kertas 48.5 48.5 SS Sept
8 PT. Kertas Basuki Rahmat Kertas 10 10 SS Sept
9 PT. Indah Karya Konsultan 100 - L Oktober
10 PT. Indra Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober
11 PT. Virama Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober
12 PT. Yodya Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober
13 PT. Rukindo Pengerukan 100 100 SS Nop
14 PT. Rekayasa Industri Konsultan 4.97 4.97 SS Nop
15 PT. Angkasa Pura I Bandara 100 49 IPO/SS Des
16 PT. Danareksa ***) Jasa Keu 100 49 IPO/SS
/EMBO
-
Keterangan:
*) masih menunggu keputusan pemerintah SS = strategic sale AS = penjualan aset
**) pelepasan saham portepel dari enlarged capital IPO = penawarn saham lewat pasar modal
***) menunggu restrukturisasi internal EMBO = penjualan saham pada manajemen/karyawan
Pl = placement L = likuidasi
Sumber: Diolah dari Kompas, 24 Maret 2002

3.7.4 Masalah dan Hambatan Privatisasi
Secara garis besar hambatan dan privatisasi di Indonesia adalah (i) belum
adanya bukti bahwa privatisasi dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat; (ii)
kurangnya sosialisasi tentang rencana privatisasi; (iii) belum adanya dasar hukum yang
kuat paling tidak setingkat undang-undang bagi privatisasi BUMN; (iv) faktor internal
termasuk kekhawatiran terjadinya PHK besar-besaran, hilangnya kemudahan yang
dinikmati oleh direksi dan komisaris; (v) ketakutan pemda akan kehilangan sumber
pemasukan (Kompas, 2002).
Dampak Privatisasi di Indonesia 57 57
Prawiro (1989) mengemukakan masalah yang lebih terkait pada kinerja BUMN
dan ideologi yaitu (i) kinerja BUMN yang kurang baik mengakibatkan nilai jual
BUMN yang relatif rendah; (ii) kinerja yang kurang baik juga menjadi hambatan untuk
memenuhi persyaratan masuk pasar modal; (iii) salah satu tugas BUMN adalah
mendidik tenaga Indonesia, dan dengan privatisasi menjadi tidak tertangani; (iv)
BUMN diberi hak monopoli karena beban sosial yang ditanggungnya tetapi dengan
privatisasi maka beban tersebut tidak ada lagi sehingga seharusnya hak monopoli
dihilangkan. Tetapi hak monopoli inilah yang sebenarnya menarik minat swasta
membeli BUMN
Sadli menekankan faktor ideologi yang menjadi hambatan proses privatisasi di
Indonesia. Ada dua hal yang disorot yaitu (i) latar belakang sejarah bahwa BUMN
merupakan hasil nasionalisasi perusahaan Belanda; (ii) terbentuknya BUMN sebagai
amanat pasal 33 UUD 1945
17
.
Hambatan lainnya adalah proses privatisasi yang tidak transparan dan sepihak
serta tidak terpantau oleh lembaga legislatif dan masyarakat yang menyebabkan
terciptanya kuasi BUMN (Wibisono, 1987)
18
.
Aviliani selain menyoroti faktor internal seperti penolakan manajemen dan
pegawai, dan faktor keterbukaan sebagai kendala privatisasi, juga mengaitkan dengan
konteks otonomi daerah yang menjadi alasan pemerintah daerah menolak privatisasi
BUMN yang berlokasi di daerahnya.(Jurnal, 2002).
4. Metode Penilaian Dampak Privatisasi
Metode penilaian dampak privatisasi yang dikemukakan oleh Andic (1990)
akan dipergunakan dalam studi ini dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan
kondisi data yang tersedia. Sebagaimana telah dijelaskan sekilas pada bagian
terdahulu, maka pada dasarnya metode ini merupakan modifikasi terhadap metodologi
tradisional penghitungan tingkat pengembalian (internal rates of return), nilai
sekarang (net present values) dan rasio untung-rugi (cost-benefit ratios), yang
kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi.


17
Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menyatakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara.
18
Kuasi BUMN adalah perusahaan swasta dengan kewenangan menyerupai BUMN karena kedekatan
pemilik perusahaan dengan pengamboil kebijakan di pemerintahan.
Dampak Privatisasi di Indonesia 58 58
Andic membagi metodologinya dalam beberapa bagian yaitu:
4.1 Kriteria Dasar.
Untuk menguji keakuratan dampak langsung dan tidak langsung privatisasi,
maka dua kriteria dasar dipertimbangkan:
4.1.1 Nilai Tambah.
Dalam mengevaluasi privatisasi harus ditentukan apakah nilai sekarang dari
nilai tambah netto setelah privatisasi lebih besar dari nilai sekarang dari nilai tambah
netto sebelum privatisasi. Ini merupakan kriteria dasar menilai dampak keseluruhan
terhadap perekonomian. Nilai tambah netto adalah nilai gaji dan upah serta surplus
sosial (pajak, dividen, laba ditahan, dana cadangan dan bantuan kegiatan sosial).
Formula kriteria adalah:













Jika hasilnya lebih besar atau sama dengan satu, maka kriteria berikut dapat
dipertimbangkan.
4.1.2 Efisiensi.
Pada konsep ini dilakukan perbandingan antara surplus sosial setelah privatisasi
dengan sebelum privatisasi.. Kriteria tersebut diekspresikan sebagai





P(NVA)p / P(NVA)g > 1

P(NVA)p Nilai tambah netto sekarang setelah privatisasi
P(NVA)g Nilai tambah netto sekarang sebelum privatisasi
NVA Nilai Tambah netto

NVA = [gaji + upah] + surplus sosial

Surplus sosial pajak, dividen, bunga pinjaman modal, sewa,
laba ditahan, dana cadangan, dan bantuan/kegiatan sosial

[P(NVA)p P(W)p] / [P(NVA)g P(W)g] > 1

Dampak Privatisasi di Indonesia 59 59




Surplus sosial setelah privatisasi harus lebih besar dari sebelum privatisasi
untuk menunjukkan kesuksesan dari privatisasi tersebut.
4.2 Dampak Ekonomi Makro
Dampak ekonomi makro meliputi dampak terhadap nilai tambah agregat,
tenaga kerja, gaji dan upah, surplus sosial, anggaran, tabungan dan konsumsi.
4.2.1 Nilai Tambah Agregat
Dampak terhadap nilai tambah agregat terjadi dalam dua tahap yaitu dampak
langsung dan dampak tidak langsung. Penjumlahan dari dampak langsung dan tidak
langsung merupakan dampak total terhadap nilai tambah agregat.
Nilai tambah agregat dinyatakan sebagai selisih antara output dengan input.dan
depresiasi. Perubahan langsung nilai tambah netto merupakan selisih antara nilai
tambah netto setelah privatisasi dan sebelum privatisasi.










Dampak tidak langsung dihitung dengan menggunakan income multiplier dari
sektor angkutan dan telekomunikai mengikuti kategori sektor dalam PDB Nasional.




W gaji dan upah
p menunjukkan setelah privatisasi
g menunjukkan sebelum privatisasi

Langsung

NVAp = Op - (MI + D)p
NVAg = Og - (MI + D)g
NVAd = NVAp - NVAg

NVA nilai tambah netto O output
D depresiasi MI input
NVAd perubahan langsung nilai
tambah netto

Tidak Langsung

NVAd x k = NVAi
Dampak Privatisasi di Indonesia 60 60





Dampak total terhadap nilai tambah agregat merupakan penjumlahan dari
dampak langsung dan dampak tidak langsung.





4.2.2 Tenaga Kerja
Dampak privatisasi terhadap tenaga kerja dikelompokkan dalam dampak
langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dihitung berdasarkan
pertambahan tenaga kerja setelah privatisasi yang terjadi pada perusahaan yang
bersangkutan dan pemerintah pusat sebagai akibat penambahan penerimaan dari hasil
privatisasi. Formula dampak langsung privatisasi terhadap tenaga kerja adalah:










Dampak tidak langsung dimaksudkan adalah dampak terhadap tenaga kerja di
sektor telekomunikasi dan sektor publik. Adapun formulasi dampak tidak langsung
tersebut sebagai berikut


NVAi perubahan tidak langsung nilai
tambah netto
k income multiplier sektor manufaktur

Total

NVA = NVAd + NVAi

Langsung

Ep Eg + Ec = E

Ep tenaga kerja setelah privatisasi
Eg tenaga kerja sebelum privatisasi
Ec tenaga kerja pemerintah pusat sebagai
hasil penambahan penerimaan
E dampak langsung tenaga kerja
Dampak Privatisasi di Indonesia 61 61











Sementara dampak terhadap total tenaga kerja merupakan gabungan antara
dampak langung dan dampak tidak langsung dengan formulasi sebagai berikut;





4.2.3 Gaji dan Upah
Dampak privatisasi terhadap gaji dan upah dihitung dengan membandingkan
kondisi penerimaan gaji dan upah setelah dan sebelum privatisasi, baik pada
perusahaan yang bersangkutan maupun pada pemerintah pusat. Adapun formulasi
dampak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah adalah:











Tidak Langsung

(Ep Eg) x m = Ei
Ec x m
c
= Ec

m multiplier tenaga kerja sektor telekomunikasi
mc multiplier tenaga kerja sektor publik
Ei dampak tidak langsung tenaga kerja telekomunikasi
Ec dampak tidak langsung tenaga kerja sektor publik


Total

E + Ei + Ec

Langsung

Wp = WBp - WBg
Ec x Wc = Wcd

Wp perubahan gaji dan upah setelah privatisasi
WBp gaji dan upah setelah privatisasi
WBg gaji dan upah sebelum privatisasi
Wc gaji dan upah rata-rata sektor publik
Wcd gaji dan upah pegawai pemerintah pusat hasil
penambahan penerimaan privatisasi
Dampak Privatisasi di Indonesia 62 62
Dampak tidak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah diperhitungkan dari
penambahan gaji dan upah terhadap perekonomian sebagai akibat privatisasi.
Formulasinya sebagai berikut:








Dampak total privatisasi terhadap gaji dan upah merupakan gabungan dampak
langsung dan tidak langsung, yang berupa tambahan gaji dan upah pada perusahaan
yang bersangkutan, pegawai pemerintah pusat, dan perekonomian.





4.2.4 Surplus Sosial
Dampak privatisasi terhadap surplus sosial dilakukan dengan membandingkan
surplus sosial sebelum dan setelah privatisasi. Formulasinya sebagai berikut:





4.2.5 Dampak pada Anggaran
Dampak privatisasi pada anggaran pemerintah diketahui melalui besarnya
perbedaan subsidi dan hutang yang diberikan pemerintah sebelum dan setelah
privatisasi ditambah dengan tambahan pajak setelah privatisasi. Formulasi
selengkapnya adalah:

Tidak Langsung

(Ei + Ec) We = Wei

We gaji dan upah rata-rata dalam perekonomian
Wei tambahan gaji dan upah dalam perekonomian


Total

Wp + Wcd + Wei

SSp = NVAp WSp
SSg = NVAg WSg
SS = SSp - SSg

Dampak Privatisasi di Indonesia 63 63















4.2.6 Tabungan dan Konsumsi
Dampak privatisasi pada tabungan dan konsumsi dihitung berdasar besarnya
perubahan konsumsi dan tabungan setelah privatisasi yang diperkirakan berasal dari
privatisasi. Dengan kata lain besarnya perubahan nilai tambah netto hasil privatisasi
yang dipergunakan masing-masing untuk konsumsi dan tabungan. Perkiraan perubahan
tabungan menggunakan marjinal propensities to consume sementara perkiraan
perubahan konsumsi menggunakan marjinal propensity to save.












Gp = (Sg + Dg) (Sp + Dp) + Tp

Gp penerimaan bersih pemerintah dari privatisasi
Sg Subsidi yang diberikan sebelum privatisasi
Dg utang sebelum privatisasi
Sp subsidi yang dibayar setelah privatisasi
Dp utang tersisa untuk pemerintah
Tp perubahan pajak setelah privatisasi


Perkiraan Dampak terhadap Pajak
NVA x t

NVA perkiraan peningkatan NVA dari privatisasi
t beban pajak rata-rata, yaitu rasio total pajak/nilai tambah

C = NVA x b
S = NVA x (1 b)


C perubahan konsumsi
S perubahan tabungan
NVA perubahan nilai tambah netto
b marjinal propensity to consume
(1 b) marjinal propensity to save

Dampak Privatisasi di Indonesia 64 64
5. Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom)
5.1 Profil PT. Telkom
Layanan telepon di Indonesia untuk pertamakalinya dikenal sejak 116 tahun
yang lalu, tepatnya tahun 1882. Tahun 1884 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan
badan usaha swasta yang berfungsi untuk melayani jasa pos dan telegram dalam dan
luar negeri untuk kepentingan masyarakat. Sistem ini terus berjalan hingga tahun 1906
ketika Belanda membentuk sebuah departemen untuk mengelola jasa ini.
Tahun 1965 Pemerintah Indonesia mendirikan PN Telekomunikasi yang
bertindak sebagai penyelenggara layanan jasa telekomunikasi. Tahun 1974 PN
Telekomunikasi dipecah menjadi dua yaitu Perusahaan Umum Telekomunikasi
(Perumtel) dan PT. Industri Telekomunikasi (PT. Inti) sebagai produsen perangkat
telekomunikasi. Tahun 1980, usaha layanan telekomunikasi internasional diserahkan
pada PT. Indonesia Satelit (PT. Indosat). Tahun 1991 pemerintah mengubah Perumtel
menjadi Perusahaan Persero PT. Telekomunikasi Indonesia (Yogaswara, 1998).
Sampai tahun 1991, seluruh kebijaksanaan pengembangan usaha telekomnikasi
berpedoman pada kebijaksanaan yang ditentukan seluruhnya oleh pemerintah. Dana
pembangunan disediakan oleh pemerintah dari alokasi APBN. Memasuki tahun 1995,
Telkom melakukan restrukturisasi perusahaan berupa perampingan organisasi.
Pemerintah menetapkan 7 (tujuh) divisi regional dan 1 (satu) divisi jaringan. Tahun
1996, Telkom melakukan Kerjasama Operasi (KSO) berupa pengalihan 5 (lima) dari 7
(tujuh) divisi regional ke pihak swasta untuk jangka waktu 15 tahun. Sebagai
kompensasi maka Telkom menerima dana pendapatan minimum telkom (PMT)
(Suyono, 2000).
Telkom telah go public pada tanggal 14 Nopember 1995 di Bursa Saham Jakarta
dan New York Stock Exchange. Sampai tahun 1998 komposisi kepemilikan saham
pemerintah sebesar 75,81 persen dan publik 24,19 persen (Yogaswara, 1998).
5.2 Kinerja PT. Telkom (1995-1997)
5.2.1 Kinerja Operasi (Jaringan dan Pelayanan)
Kinerja operasi dapat dinilai dari beragam kriteria tetapi pada kesempatan ini
digunakan (i) penambahan kapasitas telepon; (ii) keberhasilan panggil; (iii) jumlah dan
produktivitas pegawai.

Dampak Privatisasi di Indonesia 65 65
A. Kapasitas Telepon
Sebelum privatisasi (1995) penambahan kapasitas telepon per tahun mencapai
937.700 SST. Setelah privatisasi (1996 dan 1997) kapasitas telepon tetap bertambah
tetapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda. Pada tahun 1996, tambahan kapasitas
telepon mencapai 1.341.549 SST lebih besar dibanding tahun 1995. Sementara tahun
1997 menurun menjadi hanya 714.875 SST. Selengkapnya pada Gambar 1
Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom, Beragam Tahun

B. Keberhasilan Panggil
Keberhasilan panggil menunjukkan tingkat keberhasilan tersambung untuk
setiap panggilan. Untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), menunjukkan
peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 47,6% dan setelah privatisasi
mencapai 53,2% (1996) dan 56,7% (1997). Demikian pula halnya untuk sambungan
lokal menunjukkan peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 55,2% dan
setelah privatisasi mencapai 57,9% (1996) dan 59,4% (1997). Selengkapnya pada
Gambar 2.





1995 1996 1997
Kapasitas terpasang 4197300 5538849 6253724
Tambahan SST 1040500 1341549 714875
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
S
S
T

Gambar 1 Kapasitas dan Tambahan Kapasitas Telepon
Dampak Privatisasi di Indonesia 66 66
Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun
C. Produktivitas Pegawai
Produktivitas pegawai diukur dari kemampuan karyawan melayani SST.
Sebelum privatisasi (1995) tingkat produktifitas mencapai 111,2 SST/karyawan.
Setelah privatisasi menunjukkan peningkatan menjadi 131,2 SST/karyawan (1996) dan
146,2 SST/Karyawan (1997). Selengkapnya pada Gambar 3
Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun

5.2.2 Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan dapat diukur dari beragam kriteria dan kriteria yang paling
sering dipergunakan adalah Rentabilitas, Likuiditas dan Solvabilitas (RLS).
1995 1996 1997
Produktifitas 111.2 131.2 146.2
0
20
40
60
80
100
120
140
160
S
S
T
/
k
a
r
y
a
w
a
n

Gambar 3 Produktifitas Karyawan
1995 1996 1997
Lokal 55.2 57.9 59.4
SLJJ 47.6 53.2 57.6
0
10
20
30
40
50
60
70
%

Gambar 2 Tingkat Keberhasilan Panggil
Dampak Privatisasi di Indonesia 67 67
A. Kemampulabaan (Rentabilitas)
Kemampuan PT. Telkom dalam menghasilkan keuntungan dapat diukur dengan
beragam rasio tetapi saat ini hanya dipergunakan 4 (empat) rasio yaitu (i) Return on
Asset ROA (rasio laba bersih/aset); (ii) Return on Equity ROE (rasio laba
bersih/modal); (iii) Profit margin (rasio laba bersih/penjualan); (iv) Cost to sale (rasio
biaya/penjualan).
Berdasar kriteria di atas maka didapatkan beberapa hal (i) ROA, ROE dan profit
margin menunjukkan pola yang sama yaitu segera setelah privatisasi (1996) meningkat
dibanding sebelum privatisasi (1995), walaupun kemudian menurun kembali pada
tahun 1997; (ii) Cost to sale menunjukkan penurunan yang konsisten setelah
privatisasi. Selengkapnya pada Gambar 4.
Berdasar standar yang disepakati yaitu World Class Operator, maka kinerja
Telkom dari aspek kemampulabaan masih belum memadai.
Sumber: Hasil Pengolahan
B. Solvabilitas
Solvabilitas adalah rasio kewajiban perusahaan terhadap jumlah aset atau
modalnya. Berdasar rasio ini dapat diketahui tingkat ketergantungan Telkom pada
sumber pembiayaan dari hutang, baik yang berasal dari luar maupun pemilik saham.
Terdapat 5 (lima) kriteria rasio yang dipergunakan yaitu (I) hutang jangka
panjang terhadap total aset; (ii) total hutang terhadap total aset; (iii) hutang jangka
1995 1996 1997
ROA 5.7 8.45 5.77
ROE 12.27 16.95 11.95
Profit Margin 17.76 29.62 19.5
Proporsi Biaya 72.77 57.66 57.25
0
10
20
30
40
50
60
70
80
P
e
r
s
e
n

Gambar 4 Gambaran Kemampulabaan
Dampak Privatisasi di Indonesia 68 68
panjang terhadap modal; (iv) total hutang terhadap modal; (v) hutang jangka panjang
terhadap total hutang.
Berdasar kriteria di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu (i) Rasio
hutang jangka panjang terhadap aset, rasio total hutang terhadap aset dan rasio hutang
jangka panjang terhadap total hutang relatif sama, baik sebelum dan setelah privatisasi;
(ii) Dilain pihak, rasio hutang jangka panjang terhadap modal dan rasio total hutang
terhadap modal cenderung berfluktuasi. Setelah privatisasi (1996) menurun lalu
meningkat kembali (1997). Selengkapnya pada Gambar 5.
Berdasar World Class Operator (WCO), maka hanya rasio hutang jangka
panjang terhadap aset dan rasio total hutang terhadap aset yang dianggap memadai.
Sumber: Hasil Pengolahan
c. Likuiditas
Likuiditas dimaksudkan sebagai kriteria dalam menentukan kemampuan
membayar kewajiban-kewajibannya tepat pada waktunya, yang diukur dari berbagai
rasio yaitu (i) current ratio (rasio aset/kewajiban lancar); (ii) quick ratio (rasio (aset
persediaan)/kewajiban lancar); (iii) Cash ratio (rasio dana tunai/kewajiban lancar); (iv)
Cash to operating expenses (rasio tunai/total pengeluaran operasional).
Berdasar beberapa rasio di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu
(I) cash ratio dan cash to operating expenses menunjukkan perbaikan setelah
privatisasi (1996) tetapi kemudian kembali pada kondisi sebelum privatisasi (1997);
1995 1996 1997
Hutang Jk. Pjg/Aset 0.26 0.25 0.28
Total Hutang/Aset 0.38 0.37 0.4
Htg Jk. Pjg/modal 0.55 0.5 0.58
Total hutang/modal 0.82 0.74 0.83
Htg Jk. Pjg/Total Htg 0.67 0.68 0.7
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
P
e
r
s
e
n

Gambar 5 Gambaran Solvabilitas
Dampak Privatisasi di Indonesia 69 69
(ii) current ratio dan quick ratio menurun terus setelah privatisasi. Berdasar kriteria
WCO, maka keempat rasio ini dianggap masih belum memadai.
Sumber: Hasil Pengolahan
d. Efisiensi
Efisiensi diukur dengan 3 (tiga) rasio yaitu (i) pendapatan per karyawan; (ii)
pendapatan per sst; (iii) biaya pemeliharaan per sst.
Sumber: Hasil Pengolahan

1995 1996 1997
Current ratio 1.69 1.09 0.95
Quick ratio 1.56 0.99 0.89
Cash ratio 0.38 0.57 0.32
Cash to op. Exp. 0.20 0.42 0.22
0
0.5
1
1.5
2
Gambar 6 Gambaran Likuiditas
1995 1996 1997
Pendap/Kary. (Rp. jt) 135 135 156
Pendap./sst (Rp.
10.000)
150 121 119
Biaya pemelih/sst (Rp.
000)
100 70 50
0
50
100
150
200
Gambar 7 Gambaran Efisiensi
Dampak Privatisasi di Indonesia 70 70
Dari ketiga rasio di atas, (i) pendapatan per sst dan biaya pemeliharaan
menunjukkan penurunan setelah privatisasi (1996 dan 1997). Namun tentunya
penurunan biaya pemeliharaan merupakan hal yang positip sementara penurunan
pendapatan per sst bukan hal yang diharapkan; (ii) pendapatan per karyawan
menunjukkan peningkatan setelah privatisasi (1997). Berdasar kriteria WCO, hanya
satu rasio yaitu biaya pemeliharaan per sst yang dianggap memadai. Selengkapnya
Gambar 7
5.3 Dampak Privatisasi
Pada dasarnya kajian sebelumnya dapat juga menjadi kriteria dalam menilai
dampak privatisasi, tetapi sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa
penilaian kinerja dengan dasar RLS dan aspek lain yang bersifat internal kurang dapat
menggambarkan dampak privatisasi khususnya jika dikaitkan dengan pemikiran bahwa
BUMN merupakan perusahaan milik negara. Konsekuensinya dampak privatisasi
BUMN harus dititikberatkan pada aspek eksternalnya.
Beberapa dampak yang akan ditinjau adalah (i) nilai tambah dan efisiensi; (ii)
tenaga kerja; (iii) gaji dan upah; (iv) surplus sosial; (v) anggaran; (vi) tabungan dan
konsumsi.
5.3.1 Nilai Tambah dan Efisiensi
Pada bagian ini akan dibahas tentang nilai tambah dan efisiensi sebagai kriteria
dasar menilai dampak privatisasi. Jikalau rasio nilai tambah dan efisiensi melebihi 1,
maka barulah dampak makro dapat kita perhitungkan.
A. Nilai Tambah
Nilai tambah adalah gaji dan upah yang diterima karyawan ditambah dengan
surplus sosial yang berupa pajak, dividen, laba diatahan dan bantuan sosial. Konsep
yang dipergunakan adalah melakukan perbandingan antara nilai tambah setelah
privatisasi dan sebelum privatisasi.
Berdasar hasil perhitungan, maka terlihat bahwa rasio nilai tambah melebihi 1,
baik untuk tahun 1996 sebesar 1,05 maupun tahun 1997 sebesar 1,11. Walaupun
nilainya hanya sedikit di atas 1, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa kondisi setelah
privatisasi lebih baik dari sebelum privatisasi. Selengkapnya pada Tabel 15.


Dampak Privatisasi di Indonesia 71 71
B. Efisiensi
Berbeda dengan konsep efisiensi pada pembahasan kinerja sebelumnya, maka
efisiensi disini dimaksudkan sebagai perbandingan antara surplus sosial setelah
privatisasi dan sebelum privatisasi
Pada Tabel 15, terlihat bahwa rasio efisiensi menunjukkan nilai masing-msing
1,68 (1996) dan 1,83 (1997), yang berarti kondisi setelah privatisasi jauh lebih baik.
5.3.2 Dampak Ekonomi Makro
A. Nilai Tambah Agregat
Secara umum nilai tambah agregat dimaksudkan sebagai perbedaan antara
output dan input setelah memperhitungkan depresiasi. Dampak privatisasi terhadap
nilai tambah agregat berupa dampak langsung, dan tidak langsung. Dampak
keseluruhan merupakan penjumlahan dari dampak langsung dan tidak langsung
Total dampak privatisasi terhadap nilai tambah agregat mencapai Rp. 2,15
Triliun (1996) dan Rp 3,05 Triliun (1997). Selengkapnya pada Tabel 15
B. Tenaga Kerja
Dampak privatisasi terhadap tenaga kerja berupa dampak langsung dan tidak
langsung. Dampak langsung adalah dampak terhadap perubahan jumlah karyawan
internal Telkom, sementara dampak tidak langsung berupa penambahan tenaga kerja di
sektor telekomunikasi. Dampak tidak langusng sebenarnya juga mencakup sektor
publik, tetapi dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan
tidak menambah pegawai kecuali mengganti yang pensiun, maka dampak terhadap
sektor publik diabaikan (Ec=0).
Dampak keseluruhan terhadap tenaga kerja setelah privatisasi berupa
penambahan tenaga kerja sebanyak 165 orang (1996) dan meningkat menjadi 1.076
orang pada tahun 1997. Selengkapnya Tabel 15
C. Gaji dan Upah
Dampak privatisasi terhadap gaji dan upah berupa dampak langsung dan tidak
langsung. Dampak langsung berupa dampak terhadap perubahan gaji dan upah internal
Telkom, sementara dampak tidak langsung diperhitungkan terhadap kondisi gaji dan
upah diSebagaimana dampak terhadap tenaga kerja, maka dampak terhadap gaji dan
upah juga mengabaikan dampak terhadap sektor publik.
Dampak Privatisasi di Indonesia 72 72
Dampak keseluruhan terhadap gaji dan upah menunjukkan jumlah yang
negatip. Hal ini disebabkan pada tahun 1996, Telkom melakukan KSO sehingga beban
pembayaran gaji dan upah pada karyawan yang diperbantukan pada mitra kerja
dialihkan pada mitra kerja tersebut. Namun jumlah karyawan yang diperbantukan tetap
diperhitungkan sebagai karyawan Telkom. Akibatnya terjadi selisih yang sangat ebsar
antara pembayaran gaji dan upah tahun 1995 dan setelah tahun 1995. Kondisi ini
mengakibatkan dampak terhadap gaji dan upah dapat kita abaikan. Selengkapnya pada
Tabel 15
D. Surplus Sosial
Surplus sosial menunjukkan perbedaan yang besar antara kondisi setelah dan
sebelum privatisasi. Pada tahun 1996 perbedaan tersebut mencapai Rp. 1,5 Triliun dan
meningkat menjadi Rp. 2,23 Triliun pada tahun 1997. Selengkapnya pada Tabel 15
E. Anggaran
Dampak anggaran dimaksudkan sebagai penerimaan bersih pemerintah setelah
privatisasi dengan mengabaikan jumlah penerimaan hasil penjualan saham.
Penerimaan bersih mempertimbangkan subsidi yang diberikan pemerintah, hutang
Telkom pada pemerintah dan pajak yang diterima.
Dampak privatisasi pada anggaran menunjukkan perbedaan anatara tahun 1996
yang sebesar Rp. 232 Miliar dan tahun 1997 yang mengalami defisit sebesar Rp. 1,08
Triliun. Kondisi ini disebabkan pada tahun 1997 pinjaman Telkom bertambah cukup
besar. Selengkapnya Tabel 15
F. Tabungan dan Konsumsi
Tabungan dan konsumsi diperhitungkan berdasar perubahan nilai tambah.
Sebagian terbesar nilai tambah dipergunakan untuk konsumsi dan sisanya untuk
tabungan. Pembagian dana untuk tabungan dan konsumsi menggunakan angka
marginal propensity to consume(MPC)) dan marginal propensity to save (MPS).. Nilai
MPS dan MPC diasumsikan masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2. Selengkapnya pada
Tabel 15
Dampak Privatisasi di Indonesia 73 73
5.4 Fakta Penting tentang Kinerja dan Dampak Privatisasi
Berdasar pada hasil kajian kinerja dan dampak pada bagian sebelumnya maka
secara keseluruhan dapat dirangkum beberapa hal yaitu (i) Kinerja operasi
menunjukkan peningkatan baik tahun 1996 maupun 1997; (ii) kinerja keuangan hanya
menunjukkan peningkatan pada tahun 1996 sementara tahun 1997 menunjukkan
penurunan kinerja pada sebagian besar kondisi; (iii) Dampak privatisasi menunjukkan
hasil yang baik pada tahun 1996 kecuali pada gaji dan upah. Sementara pada tahun
1997 dampak privatisasi menunjukkan hasil yang kurang baik pada gaji dan upah serta
anggaran. Selengkapnya pada Tabel 16
Tabel 16 Profil Kinerja Perusahaan dan Dampak Privatisasi
No Kinerja dan Dampak 1996 1997
I Kinerja
A Kinerja Operasi
1 Kapasitas Telepon

2 Keberhasilan panggil

3 Produktifitas karyawan

B Kinerja Keuangan

1 ROA


2 ROE


3 Profit margin


4 Proporsi Biaya

5 Hutang Jangka Panjang/Aset


6 Total hutang/aset


7 Hiutang jangka panjang/modal


8 Total hutang/modal


9 Hutang jangka panjang/total
hutang

10 Current ratio

11 Quick ratio

12 Cash ratio


13 Cash to operating expenses


14 Pendapatan/karyawan

Dampak Privatisasi di Indonesia 74 74
No Kinerja dan Dampak 1996 1997
15 Pendapatan/sst

16 Biaya pemeliharaan/sst

II Dampak

A Kriteria Dasar

1 Nilai Tambah

2 Efisiensi

B Dampak Makro

1 Nilai Tambah agregat

2 Tenaga kerja

3 Gaji dan Upah

4 Surplus sosial

5 Anggaran


6 Konsumsi dan tabungan

Keterangan :
peningkatan penurunan

6. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil kajian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
yaitu:
a. Penilaian dampak privatisasi tidak cukup hanya dengan melihat pada kinerja
keuangan perusahaan melalui metode RLS, tetapi perlu dibantu dengan metode
lain yang terkait dengan aspek makro. Aspek makro banyak terkait dengan
kepentingan masyarakat misalnya pemutusan hubungan kerja, surplus sosial,
gaji dan upah, anggaran pemerintah. Aspek makro ini yang pada beberapa
kesempatan menjadi hal-hal yang banyak disoroti oleh publik.
b. Penilaian dampak yang dilakukan dalam studi ini sangat sederhana karena
banyak faktor yang berpengaruh tidak diperhitungkan misalnya kondisi pasar,
jenis privatisasi, proporsi kepemilikan saham pemerintah. Terkait dengan itu,
maka penilaian dampak privatisasi seharusnya lebih kompleks, walaupun
demikian model yang dipergunakan pada studi ini paling tidak bisa
memberikan gambaran awal tentang dampak privatisasi.
Dampak Privatisasi di Indonesia 75 75
c. Kinerja operasi lebih menunjukkan peningkatan dibanding kinerja keuangan.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena peningkatan kinerja keuangan lebih
dipengaruhi oleh kinerja operasi dan bukan sebaliknya. Sehingga dibutuhkan
waktu yang lebih lama untuk memperbaiki kinerja keuangan
d. Dampak terhadap gaji dan upah menunjukkan hasil yang tidak biasa karena
adanya Kerjasama Operasi (KSO) dengan beberapa mitra Telkom, sehingga
beban pengeluaran gaji dan upah ditanggung oleh mitra kerja tersebut.
Walaupun demikian dampak terhadap tenaga kerja tetap menunjukkan
peningkatan karena pengalihan karyawan pada mitra kerja hanya dianggap
sebagai tenaga perbantuan.
e. Dampak terhadap anggaran pemerintah menunjukkan penurunan pada tahun
1997 disebabkan adanya penambahan hutang oleh Telkom dalam jumlah yang
signifikan.
f. Secara keseluruhan privatisasi Telkom mempunyai dampak yang positip baik
terhadap internal perusahaan maupuin terhadap perekonomian keseluruhan.

Dampak Privatisasi di Indonesia 76 76
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
1. Hachette, Dominique and Rolf Luders. Privatization in Chile. An Economic
Appraisal. Executive Summary. An International Center for Economic Growth
Publication, San Fransisco, 1993.
2. Mangkoesoebroto, Guritno. Ekonomi Publik. Edisi Kedua. BPFE,
Yogyakarta, 1991.
3. Pirie, Madsen. Privatization. Theory, Practice, and Choice. Wildwood
House Limited, England, 1988
4. The World Bank. Bureaucrats in Business. The Economics and Politics of
Government Ownership. A World Bank Policy Research Report. Oxford
University Press New York, 1995.
5. Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan.
Edisi Keempat. PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1994.
6. Vickers, John and George Darrow. Privatization: An Economic Analysis.
Cambridge, Massachusets, MIT, 1998.
7. Whitshire, K (1987). Privatization: The British Experience An Australian
Perspective. Longman Cheshire Pty Limited, Melbourne, 1987.
B. TULISAN dalam BUKU
1 Andic, Fuat M. The Case for Pivatization: Some Methodolical Issues dalam
Dennis J. Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation
in Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.
2 Berg, Elliot. Privatization and Equity dalam Berg, Elliot (ed). Policy Reform
and Equity. Extending the Benefits of Development. International Center for
Economic Growth, 1990.
3 Berg, Elliot. The Role of Divestiture in Economic Growth dalam Hanke,
Steve H. Privatization and Development. International Center for Economic
Growth, San Fransisco, 1987.
4 Berg, Sanford dan Luis Gutierrez. Telecommunications Privatization and
Deregulation: Lessons from Latin America dalam Mitsuhiro Kagami dan
Masatsugu Tsuji (ed.) Privatization, Deregulation and Institutional Framework.
Institute of Developing Economies (IDE), Japan External Trade Organization
(JETRO), 1999.
5 Bishop, Matthew dan David Thompson. Privatization in UK. Deregulatory
Reform and Public Enterprise Performance dalam V. V. Ramandham.
Privatization: A Global Perspective. Routledge, London,
6 Gayle, Dennis J. and Jonathan N. Goodrich. Exploring the Implications of
Privatization and Deregulation dalam dalam Dennis J. Gayle and Jonathan N.
Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation in Global Perspective. Quorum
Books. New York, 1990.
Dampak Privatisasi di Indonesia 77 77
7 Hanke, Steve H. Toward Peoples Capitalism dalam Hanke, Steve H.
Privatization and Development. International Center for Economic Growth, San
Fransisco, 1987.
8 Jones, Leroy P. et. al Selling State-Owned Enterprises: A Cost Benefit
Approach dalam Ravi Ranamurti dan Raymond Vernon (ed). Privatization and
Control of Stated-Owned Enterprises. Economic Development Studies
Institute, World Bank, Washington DC, 1991.
9 Kagami, Mitsuhiro. Privatization and Deregulation: The Case of Japan
dalam Mitsuhiro Kagami dan Masatsugu Tsuji (ed.) Privatization, Deregulation
and Institutional Framework. Institute of Developing Economies (IDE), Japan
External Trade Organization (JETRO), 1999.
10 Kolderie, Ted. The Two Different Concepts of Privatization dalam Dennis J.
Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation in
Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.
11 Krause, Lawrence B. The Government as Entrepreneur dalam Lawrence B.
Krause et. al (ed.) The Singapore Economy Reconsidered. Institute of
Southeast Asian Studies, 1987..
12 Marston. Lance. Preparing for Privatization: A Decision-Makers Checklist
dalam Hanke, Steve H. Privatization and Development. International Center for
Economic Growth, San Fransisco, 1987.
13 Pollitt, Michael. A Survey of the Libaralization of Public Enterprises in the
UK since 1979 dalam Mitsuhiro Kagami dan Masatsugu Tsuji (ed.)
Privatization, Deregulation and Institutional Framework. Institute of
Developing Economies (IDE), Japan External Trade Organization (JETRO),
1999.
14 Ranamurti, Ravi. The Search for Remedies dalam Ravi Ranamurti dan
Raymond Vernon (ed). Privatization and Control of Stated-Owned Enterprises.
Economic Development Studies Institute, World Bank, Washington DC, 1991.
15 The World Bank. Development Strategies: The Roles of the State and the
Private Sector. Round Table Discussion. Proceeding of the World Bank
Annual Conference on Development economics 1991.
16 Veljanovsky, Cento. Privatization: Progress, Issues and Problems dalam
Dennis J. Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation
in Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.
17 Vernon, Raymond. A Technical Approach to Privatization Issues: Coupling
Project Analysis with Rules of Thumb dalam Ravi Ranamurti dan Raymond
Vernon (ed). Privatization and Control of Stated-Owned Enterprises. Economic
Development Studies Institute, World Bank, Washington DC, 1991.
MAKALAH/KERTAS KERJA
1. Anwari. Privatisasi dan Populisme BUMN. Usahawan No. 06 Tahun XXVII
Juni 1998.
Dampak Privatisasi di Indonesia 78 78
2. Artjan, M. Faisal. IPO sebagai Alternatif Privatisasi BUMN. Usahawan No.
02 Tahun XXIX Februari 2000.
3. Aviliani. Prospek Privatisasi BUMN. Jurnal No. 03 Tahun XIII Maret 2002
4. Bachtiar, Emil. Reformasi BUMN. Usahawan No. 06 Tahun XXVII Juni 1998
5. Barnet, Steven. Evidence on the Fiscal and Macroeconomic Impact of
Privatization. IMF Working Paper, July 2000.
6. Basri, Faisal. Privatisasi. Tempo Maret 2002
7. Bortolotti, Bernardo et al. Sources of Performance Improvements in
Privatized Firms: A Clinical Study of the Global Telecommunications
Industry. FEEM Working Paper No. 26-2001, Fondazione Eni Enrico Mattei,
April 2001.
8. Davis, Jeffrey et. al. Fiscal and Macroeconomic Impact of Privatization.
IMF Working Paper, June 2000.
9. Gandhi. Audit Privatisasi. Makalah pada Seminar Privatisasi BUMN dan
Kekayaan Negara Lainnya 14-15 Mei 1996 di Jakarta.
10. Gardner, Charles S. Privatization in Transition Countries: Lessons of the
First Decade. IMF Working Paper, 1999.
11. Goeltom, Miranda. Perkembangan dan Peranan BUMN dalam Era
Globalisasi. Usahawan No. 9 Tahun XXIV September 1995.
12. Mackenzie, G. A. The Macroeconomic Impact of Privatization. IMF
Working Paper, November 1997.
13. Pranoto, Toto. Konsep dan Perkembangan Privatisasi BUMN. Usahawan
Nomor 02 Tahun XXIX Februari 2000
14. Ramamurti, R. Why are Developing Countries Privatizing. Journal of
International Business Studies No. 23, 1992.
15. Ruru, Bacelius. Arah Kebijakan BUMN: Menghadapi Era AFTA 2003 dan
APEC 2020. Usahawan No 5 Tahun XXV Mei 1996.
16. Ruru, Barcelius. Privatization in Indonesia. Makalah Seminar Indonesian
Capital Market Forum 25-26 April 1996 di Tokyo.
17. Shaikh, Abdul Hafeez. The Rise, Decline and Future of Public Enterprises:
Review of International Experience and Lessons for Indonesia. Usahawan
No. 7 Tahun XXI Juli 1992.
18. Simanjuntak, Djisman. Implikasi AFTA 2003, WTO 2005 dan APEC 2020
terhadap BUMN. Usahawan No.5 Tahun XXV Mei 1996.
19. Simandjuntak, Djisman. Aspek-aspek Ekonomi Swastanisasi. Makalah pada
Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei
1996 di Jakarta.
20. Simarmata, Dj. A. Bagaimana Peran Ekonomi BUMN. Usahawan No.5
Tahun XX Mei 1991.
21. Sjahrir. BUMN dan Sistem Ekonomi Kita. SWA IV/6 Juli 1990
Dampak Privatisasi di Indonesia 79 79
22. Soebagjo, Felix O. Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya:
Pandangan dari Sudut Hukum. Makalah pada seminar Privatisasi BUMN
dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta.
23. Sutojo, Heru. Studi Perbandingan Privatisasi BUMN di Beberapa Negara
Asia. Usahawan No. 11 Tahun XXIV Nopember 1995.
24. Suwandi, Adig. Arah Privatisasi BUMN. Usahawan No. 05 Tahun XXX Mei
2001.
25. Vunylstake, Charles. Techniques of Privatization of State-Owned
Enterprises Vol. I. World bank Technical paper No. 88, 1998.
26. Wibisono, Christianto. Anatomi Efisiensi BUMN. Usahawan No.5 Tahun
XXV Mei 1996.
D. DISERTASI dan THESIS
1. Diah, Marwah M. Restrukturisasi BUMN: Privatisasi atau Korporatisasi.
Disertasi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1999.
2. Siahaan, Oloan. P. Efisiensi Teknis BUMN: Analisis Panel Data Industri
Manufaktur di Indonesia Tahun 1980-1991. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000.
3. Sujono, D. Penerapan Privatisasi BUMN di Indonesia: dari Tinjauan
Analisis Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Telkom). Thesis Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000
4. Yogaswara, Budhi. Alternatif Strategi Perusahaan dan Pengembangan
Bisnis Jasa Telekomunikasi PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Thesis
Magister Teknik. Program Studi Teknik Elektro, Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, 1998.
LAPORAN
1. The World Bank. Privatization: Eight Lessons of Experience. Policy Views
from the Country Economics Department, July 1992.
2. The World Bank. Indonesia. Development Policy Review. The Imperative
for Reform. 2001.
ARTIKEL dalam MEDIA MASSA
1. Go Public Besar-besaran BUMN. Swa IV/6 Juli 1990.
3. BUMN; Lokomotif Ekonomi di Masa Krisis. Wawancara dengan Sofyan
Djalil. Swa IV/6 Juli 1990.
4. Mengintip Swastanisasi BUMN Mancanegara. Swa IV/6 Juli 1990.
5. Pemerataan Saham Ala Seoul. Swa IV/6 Juli 1990.
5. Privatization and Divestment in Indonesia: Where Does It Stand?. Harvest
Internationals Journal for Decision Makers, 2001.
Dampak Privatisasi di Indonesia 80 80
6. Privatisasi: Asas Manfaat Versus Asas Kepemilikan. Kompas 14 Maret 2002.
INTERNET
1. International Monetary Fund. www.imf.org
2. Kantor Menteri Negara BUMN. www.bumn-ri.com
3. PT. Telekomunikasi Indonesia. www.telkom.co.id
4. Reason Public Policy Institute/RPPI Privatization Center.
www.privatization.org
5. World Bank. www.worldbank.org
DATA
1. --------. Input Output Indonesia. Berbagai Tahun. Makalah Tugas Mata
Kuliah Model Ekonomi Program Pasca Sarjana Ekonomi Universitas
Indonesia, 2001
2. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia. Berbagai Tahun
3. PT. Telekomunikasi Indonesia. 2000 Annual Report on Form 20-F.
Desember 2000.
4. PT. Telekomunikasi Indonesia. Laporan Tahunan. Berbagai Tahun.

Anda mungkin juga menyukai