Anda di halaman 1dari 8

Pendekatan klinis nyeri dada

Nyeri dada dapat disebabkan oleh gangguan berbagai macam organ seperti jantung, paru, pembuluh
darah hingga organ pencernaan. Infark miokard menjadi diagnosis utama pasien yang datang ke
rumah sakit karena nyeri dada. Selain infark miokard, kelainan pada saluran cerna seperti refluks
gastroesofagus, kelainan motilitas esofagus, ulkus peptikus dan batu empedu rupanya menjadi
diagnosis utama pasien nyeri dada yang datang ke RS. Selain itu ada penyakit jantung iskemik,
sindrom dinding dada, perikarditis, pleuritis, pneumonia, emboli paru, kanker paru, aneuisma aorta
stenosis aorta dan herpes zooster. Terdapat beberapa karakteristik nyeri dada yang dapat
membantu kita untuk mengarahkan pada penyebab nyeri tersebut, al :
Nyeri kostokondral atau dinding dada : nyeri terlokalisir, terasa ditusuk-tusuk, tajam atau bisa
nyeri tumpul dan persisten. Nyeri muncul apabila dilakukan tekanan pada area nyeri.
Penyakit tulang belakang toraks dan leher dengan kompresi radiks saraf : nyeri tajam, dapat
tersebar sesuai distribusi radikular
1
. Nyeri diperberat dengan pergerakan leher dan punggung.
Nyeri esofagus atau lambung : berkaitan dengan adanya disfagia atau GERD. Nyeri dapat
diperberat dengan alkohol, aspirin, makanan tertentu, posisi supinasi. Nyeri seringkali mereda
dengan pemberian antasida.
Nyeri bilier : berkaita dengan intoleransi makanan berlemak, tenderness pada perut kanan atas
Iskemia miokardium : nyeri diperberat dengan aktivitas atau saat terjadi emosi. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan ada deviasi segmen ST. Nyeri dapat mereda dengan cepat, hanya
sekitar < 5 menit dengan pemberian TNG.
Diseksio aorta : nyeri seperti robek (tearing / ripping) dan menjalar dari dinding anterior dada ke
bagian punggung sisi tengah. Diseksio aorta berkaitan sekali dengan hipertensi dan sindrom
marfan. Pulsasi melemah dan dapat terjadi ketidaksimetrisan pulsasi perifer.
Perikarditis akut : nyeri seperi diremas-remas, tajam, pleuritik, dan dapat disertai dengan batuk
(berdarah/tidak). Seringkali berkaitan dengan imobilisasi/ riwayat operasi.
Ruptur esofagus : nyeri intens pada substernal dan epigastrium; biasanya disertai dengan muntah
ataupun hematemesis. Kondisi ini berkaitan dengan riwayat muntah berulang sebelumnya.
Sindrom Koroner Akut
SKA / ACS merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa. Sindrom ini bervariasi dari pola angina
pektoris tidak stabil hingga terjadinya infark miokard yang luas. Infark miokard merupakan mekrosis
otot jantung terjadi secara irreversible.
Patogenesis koroner akut
Sekitar 90 dari kasus ACS dihasilkan oleh adanya gangguan atau rupturnya plak aterosklerosis dg
diikuti agresi platelet dan pembentukan trombus intrakoroner. Penyebab lainnya adl sindrom
vaskulitis, emboli koroner (o.k endokarditis / katup jantung buatan), anomali a. Koroner kongenital,
aneurisma, trauma, spasme a. Koroner berat, peningkatan viskositas darah (polisitemia vera,
trombositosis), diseksi a. Koroner spontan, dan peningkatan kebutuhan yg besar akan o2 unt
miokard.

1
lampiran
Adanya trombus pada daerah yg mengalami penyempitan krn plak dapat menyebabkan terjadinya
sumbatan berat hingga total pada a. Koroner. Gangguan aliran darah tersebut mengakibatkan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan o2 unt sel otot jantung. Trombus pada ACS
dihasilkan oleh interaksi antara plak aterosklerosis, endotel koroner, platelet yg bersirkulasi dan
tonus vasomotor dinding pembuluh darah.
Sumbatan parsial trombus menyebabkan suatu kondisi yg berkaitan dg sindrom unstabel angina
(UA) dan non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Kedua kondisi ini dibedakan berdasarkan
a tidaknya nekrosis miokard. Pada unstable angina, belum terjadi nekrosis miokardsedangkan pada
NSTEMI sudah ada dalam membedakannya dilakukan pemeriksaan serum biomarker. Adanya
peningkatan serum biomarker seperti troponin T dan CK/CKMB menandakan adanya nekrosis pada
otot jantung. Namun, unstable angina yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi NSTEMI
atau STEMI.
Jika sumbatan terjadi secara total, iskemia iskemia yang terjadi akan semakin berat dan nekrosis
juga semakin luas. Hal ini dapat menjadi manifestasi peningkatan segmen ST pada STEMI.
Patofisiologi
Berdasarkan luasnya, infark yang terjadi dapat berupa infark transmural dan infark
subendokardium. Infark transmural melibatkan kematian sel pada seluruh ketebalan miokardium.
Kondisi ini dihasilkan oleh oklusi yang bersifat total dan berkepanjangn pada a.koroner epikardium.
Sementara itu, infark subendokardium terjadi pada lapisan terdalam dari mikardium atau hanya di
daerah subendokardium. Bagian subendokardium memang lebih rentan terhadap iskemia karena
daerah ini mendapatkan tekanan yang tinggi dari r. Ventrikel, kolateral yang mensuplai darah
sedikit, serta mendapatkan perfusi oleh pembuluh darah yag harus melewati lapisan miokardium
yang berkontraksi.
Infarks diinisiasi oleh adanya iskemia yang berkembang menjadi kematian sel yang berpotensi
reversible hingga yang irreversible. Miokardium yag disuplai langsung oleh pembuluh darah yang
tersumbat akan mati dengan cepat. Sementara itu, jaringan di sekitarnya tidak segera mati karena
dapat perfusi adekuat oleh pembuluh darah kolateral. Namun seiring berjalannya waktu, jaringan
tersebut mengalami iskemia karena kebutuhan o2 tetap ada sementara supali o2 berkurang, oki,
regio infark mengalami ekstensi.
Banyak dan luasnya jaringan yang mengalami infark dipengaruhi oleh masa miokardium yang
diperfusi oleh pembuluh darah yang tersumbat, besar dan durasi aliran pembuluh darah yang
memberikan suplai darah dari a.koroner sekitar yang tidak tersumbat dan derajat respon jaringan
yang memodifikasi proses kimia.
Pada infark miokard terdapat early change dan late change. Pada ealy change dimenit menit awal
terjadi turunnya kadar ATP serta penurunan kontraktilitas. Dlam 10 menit terjadi deplesi ATP
hingga 50%, edema sel, penurunan potensial membran dan terjadi kerentanan mengalami aritmia.
Cedera sel dapat menjadi irreversible dalam 20-40 menit. Dalam 1-3 jam pertama, erdapat
gambaran Iwavy myofibers. Selanjutnya, terjadi perdarahan, edema dan infiltrasi PMN. Pada 18-24
jam, terjadi nekrosis koagulasi dengan disertai edema. Nekrosis koagulasi total terjadi dalam 2-4
hari disertai dengan munculnya monosit dan terjadi puncak dari infiltrasi PMN.
Selain perubahan di masa awal infark, perubahan dapat terjadi jauh setelahnya, yang mana sering
disebut sbg late change. dalam 5-7 hari paska oklusi, terjadi yellow softening dari resopsi jaringan
yang mati oleh makrofag. Remodelling ventrikel terjadi setelah 7 hari. Selanjutnya, fibrosis dan
pembentukan scar selesai pada minggu tujuh.
Gjala klinis
Unstable Angina (UA)
UA merupakan kondisi percepatan terjadinya gejala iskemia. Hal ini dapat berupa adanya pola
cressendo pada pasien yangg memang sudah sering mengalami stable angina secara kronis.
Frekuensi, durasi dan atau intensitas episode iskemiknya meningkat. Kondisi lain yang juga
merupakan tanda unstable angina adalah adanya angina yang terjadi saat istirahat, tanpa provokasi.
Episode angina baru yang dirasakan begitu berat, pada saat yangsebelumnya belum pernah
mengalami gejala penyakit a. Koroner.
Infark Miokard Akut
Tanda atau gejala pada infark miokard akut berkaitan dengan beratnya iskemia yang terjadi, serta
komplikasi dari kematian sel. Nyeri pada infark miokard terjadi lebih berat, lama dan dapat
menyebar luas. Nyeri secraa tipikal terjadi pada substernal yang dapat menjalar ke regio dermatom
C7 hingga T4 seperti leher, pundak, dan lengan. Istirahat belum cukup untuk meredakan nyeri,
begitu juga dengan pemberian nitrogliserin sublingual yang hanya menghasilkan sedikit respon.
Namun tidak semua pasien infark miokard mengalami nyeri di dada. Sekitar 25% pasien ternyata
dapat mengalami kejadian infark miokard akut yang asimptomatis, terutama pada pasien diabetes
yang mengalami gangguan persepsi nyeri karena adanya neuropati perifer.
Selain nyeri, tanda dan gejala seperti berkeringat serta kulit dingin dan lembab dapat muncul
karena adanya aktivitas saraf simpatis. Di sisi lain, efek vagal dapat memicu timbulnya mual,
muntah serta lemas. Pada pemeriksaan jantung bisa didapatkan gallop S3 dan S4, dyskinetic buldge
dan murmur sistolik. Jika ada gagal jantung bisa ditemukan , bisa ditemukan ronki serta distensi
vena jugularis.
Diagnosis
Diagnosis pasien ACS didasarkan pada tiga dasar, yaitu gejala, abnormalitas EKG akut, dan deteksi
penanda serum untuk nekrosis miokardium spesifik. UA didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
abnormalitas ST segmen, sementara pada EKG yang biasanya berupa depresi segmen ST. Dan atau
inversi gelombang T. Pada pemeriksaan biomarker serum tidak didapatkan adanya peningkatan.
Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya serum penanda nekrosis
miokardium. Selain itu pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau gelombang T yang lebih
persisten. Pada STEMI gambaran EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST ditambah dengan
terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis miokardium.









Stratifikasi Risiko dengan TIMI Score
Pada saat melakukan diagnosis kasus sindrom koroner akut, prognosis pasien juga perlu
dipertimbangkan. Saat ini, salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah TIMI
(Thrombolysis in Myocardial Infarction) score. Skor TIMI berbeda antara kasus STEMI dengan kasus
NSTEMI.
Pada kasus NSTEMI sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa : nyeri dada saat
istirahat dalam 24 jam terakhir, dengan disertai bukti penyakit jantung koroner (dapat berupa
deviasi segmen ST atau peningkatan penanda enzim jantung). Dalam menentukan skot TIMI untuk
kasus NSTEMI, informasi yang perlu digali adalah sebagai berikut :
1. Usia lebih dari sama dengan 65 tahun
2. 3 tahun / lebih faktor risiko penyakit jantung koroner
3. Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat stenosis > 50%
4. Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
5. Angina berat dalam 24 jam terakhir
6. Peningkatan penanda enzim jantung
7. Deviasi segmen ST > 0,5 mm
Masing-masing kriteria mendapakan 1 poin. Kaitan skor TIMI tersebut dengan kematian akibat
terjadinya infark miokard adalah
- 0-1 poin : 3-5 %
- 2 poin : 3-8 %
- 3 poin : 5-13 %
- 4 poin :7-20 %
- 5 poin : 12-26 %
- 6-7 poin : 19-41 %
Sementara itu, pada kasus STEMI sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa : nyeri
dada lebih dari 30 menit, ST elevasi, onset kurang dari 6 jam. Untuk skoring TIMI pada kasus STEMI,
kriteria sedikit berbeda, yaitu
1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina : 1 poin
2. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg : 3 poin
3. Denyut nadi > 100 : 2 poin
4. Kelas Kilip
2
II-IV : 2 poin
5. Berat badan < 67 kg : 1 poin
6. ST elevasi pada lead anterior / terdapat LBBB : 1 poin
7. Waktu onset hingga penatalaksanaan > 4 jam : 1 poin
Ditambah dengan kriteria usia :
1. Usia > / = 75 tahun : 3 poin
2. 65 74 : 2 poin
3. < 65 : 0 poin
Skor ini memberi informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark miokard sbb :
- 0 poin : 0,8 %
- 1 poin : 1,6 %
- 2 poin : 2,2 %
- 3 poin : 4,4 %
- 4 poin : 7,3 %
- 5 poin : 12 %
- 6 poin : 16 %
- 7 poin : 23 %
- 8 poin : 27 %
- 9-14 poin : 36 %
Penatalaksanaan
Tatalaksana sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST
Tatalaksana awal untuk asien yang diduga mengalami sindrom koroner akut harus segera dilakukan.
Dalam 10 menit, perlu dilakukan :
- Pemeriksaan tanda vital
- Mendapatkan akses intravena
- Perekaman dan analisis EKG
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Pengambilan sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta pemeriksaan
koagulasi
EKG harus segera dilakukan selanjutnya, EKG direkam berkala untuk mendapatkan ada tidaknya
elevasi segmen ST. Troponin diukur saat awal, bila normal diulang dalam 6-12 jam. Kemudian CK dan
CKMB diperiksa pada pasien dengan onset < 6 jam dan pada pasien pasca infark < 2 minggu dengan
iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau infark periprosedural.
Di unit emergensi. Talak yang diberikan pada pasien SKA adalah pemberian oksigen 4 L (saturasi
oksigen dipertahankan 90%). Kemudian, pasien diberikan aspirin 160 mg (dikunyah), nitrat 5 mg

2

sublingual yang diberikan sebanyak 3x jika masih nyeri. Jika nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat,
dapat diberikan morfin 2,5-5 mg.
Talak lebih lanjut berdasarkan pada skor TIMI. Pada pasien dengan risiko sedang atau tinggi,
diberikan anti iskemia berupa beta bloker, nitrat atau CCB. Beta bloker diberikan pada pasien
dengan hipertensi dan takikardi. Nitrat i.v maupun oral juga dapat digunakan untuk nyeri dada akut.
Sementara itu, CCB dapat mengurangi gejala pada pasien yang telah menerima nitrat dan beta
bloker. CCB juga bermanfaat apabila terdapat KI pemberian beta bloker serta pada angina
vasospastik. KI beta bloker al adalah terdapat tanda-tanda gagal jantung akut, hipotensi, dan
peningkatan risiko syok kardiogenik. KI relatifnya berupa PR interval > 0,24, blok AV derajat 2 atau 3,
asma bronkial aktif atau kelainan sal napas reaktif.
Antiplatelet oral berupa aspirin atau clopidogrel diberikan pada pasien SKA. Dosis awal aspirin untuk
semua pasien SKA adalah sebesar 160-325 mg, selanjutnya diberikan 75-100 mg per hari. Pilihan
lainnya adalah clopidogrel dengan dosis awal 300 mg per oral, dilanjutkan 75 mg per hari.
Clopidogrel boleh dilanjutkan hingga 12 bulan kecuali terdapat komplikasi perdarahan berlebihan.
Apabila pasien direncanakan penjalani PCI
3
, klopidogrel dapat diberikan dengan dosis loading 600
mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yag lebih cepat dan optimal. Sebagai tambahan,
antiplatelet intravena berupa penghambat reseptor Gp IIb/IIIa seperti tirofiban dapat diberikan.
Antikoagulan diberikan pada semua pasien selain antiplatelet berupa heparin (unfractioned heparin
atau low moleculweight heparin). Antikoagulan yang tersedia berupa enoxaparin atau fondaparinux.
Pada pasien risiko sedang dan tinggi, angiografi koroner dini dilakukan < 72 jam diikuti oleh PCI atau
CABG. Jika pasien mengalami angina refrakter atau berulang disertai perubahan segmen ST, gagal
jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik tidak stabil, direkomendasikan
dilakukan angiografi koroner urgensi.
Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah ACEi atau ARB dan statin.
Pada pasien dengan risiko rendah, terapi yang diberikan adalah aspirin dan beta bloker. Selanjutnya
pasien bisa dipulangkan setelah dilakukan observasi di IGD. Selanjutnya, pada rawat jalan, dapat
dipertimbangkan uji latih jantung dan ekokardiografi
4
.

Tatalaksana sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST
Pada pasen SKA dengan elevasi segmen ST, talak awal yang dierikan tidak jauh berbeda dengan SKA
tanpa elevasi ST, termasuk didalamnya adalah pemberian oksigen, aspirin, beta bloker, nitrat hingga
morfin. Namun yang perlu diperhatikan adalah pemilihan revaskularisasi dan reperfusi miokard yang
harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi < 12 jam. Di ruang perawatan intensif,
dalam 24 jam pertama datang dengan monitoring kontinyu. Nitrogliserin oral kerja cepat dapat
diberikan untuk mengatasi nyeri dada. Pemberian i.v kontinyu diberikan pada gagal jantung,
hipertensi atau tanda-tanda iskemia yang menetap.

3

4

Terapi fibrinolitik direkomendasikan pada pasien dengan presentasi </= 3 jam, tau jika tindakan
invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat. Apabila waktu antara pasien tiba sampai
dengan inflasi balon > 90 menit atau jika [(waktu antara pasien tiba sampai inflasi balon) dikurangi
(waktu antara pasien ltiba sampai dengan proses fibrinolitik)] > 1 jam, terapi fibrinolitik tetap
direkomendasikan.
Penggunaan heparin dilakukan dengan pemberian UFH
5
sebagai ko-terapi bolus i.v 60 U/kgBB ax
4000 U. Dosis pemeliharaan per drip 12 U/kgBB selama 24-48 jam dengan max 1000U/jam dengan
target aPTT
6
50-70 detik.
Monitoring aPTT dilakukan pada 3,6,12,24 jam setelah memulai terapi. Selain UFH, dapat digunakan
juga LMWH
7
pada pasien berusia < 75 ahun, dengan fungsi ginjal yang masih baik (Cr < 2,5 mg/dl
pada laki2 atau <2,0 mg/dl pada wanita).
Apabila terdapat fasilitas PCI (Intervensi koroner perkutan primer). PCI direkomendasikan pada
presentasi > 3 jam. Juga, apabila PCI dapat dilakukan dengan cepat, fibrinolitik dikontraindikasikan
serta risiko tinggi dengan gagal jantung kongestif (kilip kelas 3).
KI fibrinolitik absolut al :
1. Riwayat perdarahan intrakranial
2. Lesi struktural serebrovaskular
3. Tumor intrakranial
4. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 bula teraksir
5. Dicurigai diseksi aorta
6. Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
7. Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
KI fibrinolitik relatif al :
1. Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
2. Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik > 180 mmHg atau TD
diastolik > 110 mmHg)
3. Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial selain yang terdapat
pada KI absolut
4. RJP traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3 mgg
5. Perdarahan internal dalam 2-4 mgg terakhir
6. Terapi antikoagulan oral
7. Kehamilan
8. non-compresible puncture
9. ulkus peptium aktif
10. khusus sterptokinase atau anistreplase : riwayat pemaparan sebelumnya (>5 hari) atau
riwayat alergi zat tersebut.

5

6

7

Bedah pintas dilakukan apabila terjadi kegagalan PCI dimana terjadi oklusi mendadak arteri
koroner selama proses kateterisasi. PCI tidak memungkinkan, syok kardiogenik, pasien dengan
iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi medikamentosa dengan
anatomi yang sesuai dengan tindakan bedah.

Daftar pustaka
1. Fauci dkk. Harrisons Mnual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed. Amerika
Serikat: Mc Graw Hill; 2009.P.175-7.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins; 2011.p. 162-75
3. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST
ElevationMI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 200 Aug
16; 284(7): 835-42
4. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial
infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An
intravenous Npa FOR TREATMENT OF INFARCTING MYOCARDIUM EARLY ii TRIAL SUBSTUDY.
Circulation. 2000 Oct 24; 102 (17):2013-7
5. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung Koroner. 2nd
ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2009.P.81-92

Anda mungkin juga menyukai