Anda di halaman 1dari 9

RESEARCH TRACK BEST PAPER (KOREA)

FLUIDA SUPERKRITIS SEBAGAI MEDIA PEMROSESAN POLILAKTIDA




PURBA PURNAMA

1University of Science & Technology, Gwahangno, Yuseong-gu, Daejeon South Korea
2
Korea Institute of Science and Technology, Seongbuk-gu Seoul South Korea
Telp : +82 02 958 5345 E-mail: purbapur@gmail.com


Abstract : Pemanfaatan polimer sebagai bahan plastik memiliki kelemahan terkait dengan
keberlanjutan (ketersediaan bahan) dan kemampuan penguraian oleh mikroorganisme. Baru baru ini,
banyak perhatian tertuju plastik karena memiliki keberlanjutan dan kemampuan penguraian oleh
mikroorganisme. Polilaktida merupakan salah satu biopolimer yg berasal dari bahan bahan
terbaharukan. Berbagai penelitian dikembangkan dalam kaitannya dengan pemrosesan dan modifikasi
untuk meningkatkan sifat-sifat fisiko-kimia polilaktida. Dari berbagai metode yang dikembangkan, kami
mengembangkan fluida superkritis sebagai media pemrosesan dan modifikasi polilaktida. Kami
mengembangkan media fluida superkritis untuk proses polimerisasi polilaktida dari beberapa pelarut.
Kami juga meningkatkan sifat-sifat fisika polilaktida melalui pembentukan stereokompleks menggunakan
superkritis karbon dioksida-dichloromethane. Perkembangan biopolimer polilaktida memiliki prospek yang
sangat bagus di masa mendatang karena Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam.
Kata Kunci : Biopolimer, polilaktida, fluida superkritis, karbon dioksida, stereokompleks

1. PENDAHULUAN

Pada masa kini, polimer merupakan material yang paling umum digunakan dalam berbagai
aplikasi karena karakteristik dari polimer yang ringan dan sangat mudah diproses. Plastik yang kita kenal
pada umumnya merupakan plastik konvensional atau polimer dari bahan petroleum. Pada kondisi
sekarang, lambatnya proses degradasi plastik konvensional merupakan permasalahan utama yang
dihadapi semua orang, sehingga pemanfaatan polimer/plastik ramah lingkungan (biodegradable) tetap
menjadi target utama. Salah satu polimer ramah lingkungan yang sudah dikenal adalah polilaktida/poli
asam laktat (PLA) yang merupakan green polymer yang sangat dikenal, produk alternatif terbaharukan
dibanding polimer produk turunan petroleum karena terbuat dari laktida yg dapat diproduksi dari proses
fermentasi pati (starch), gula, jagung, dan lain lain. Polilaktida memiliki karakteristik dapat dikomposit,
tidak beracun, dan ramah lingkungan. Polilaktida dapat menjadi salah satu solusi permasalahan utama
plastik yaitu masalah degradasi yang mencemari lingkungan. Polilaktida merupakan hasil polimerisasi
laktida atau asam laktat. Secara umum, proses polimerisasi laktida dapat dilakukan dengan cara pelarutan,
media superkritis, dan pelelehan (melting/bulk). Dibandingkan dengan metode pemrosesan polimer yang
lain, pemrosesan polimer dalam media superkritis memiliki beberapa kelebihan. Berikut perbandingan
metode metode polimerisasi polilaktida.

Tabel 1. Perbandingan metode polimerisasi polilaktida
Aspek Polimerisasi Polimerisasi
Bulk ring
opening Ring opening
Kondensasi Larutan polymerization polymerization

(superkritis media)

Karakteristik




Produk



Biaya Proses

Proses kontinyu

32
dapat diterima, menguntungkan, tidak menguntungkan

Struktur kimia laktida dan asam laktat adalah sebagai berikut:






(a) (b)




(c) (d)
Gambar 1. (a) L-laktida; (b) Asam L-laktat; (c) D-laktida; (d) Asam D-laktat

Fluida superkritis merupakan suatu fluida yang berada diatas tekanan kritis dan temperature
kritisnya. Pada kondisi ini, fluida berada pada satu fasa yang memiliki karakteristk seperti gas dan juga
cairan. Fluida superkritis memiliki karakteristik yang unik seperti viskositas seperti gas, berat jenis seperti
cairan dan tidak memiliki tegangan permukaan.

Tabel 2:
Perbandingan media polimerisasi: gas, fluida superkritis, dan cairan
Sifat fisika Gas Fluida superkritis Cairan
Berat jenis (g/cm3) 0.0006 0.002 0.2 0.9 0.6 1.6
Viskositas (mPa s) 0.01 0.03 0.01 -0.03 0.2 3
Koef difusi (10
6
m
2
s
-1
) 10 - 40 0.07 0.0002 0.002
Teg Permukaan (dyne/cm) Tidak ada Tidak ada 20 - 70




















Gambar 2. Diagram fasa fluida superkritis

Kami mengembangkan media fluida superkritis sebagai media pemrosesan dan modifikasi
polilaktida. Pemilihan media fluida superkritis didasarkan pada kemampuan melarutkan monomer dan
polimer polilaktida. Kami mengembangkan fluida superkritis dari beberapa pelarut dalam proses
polimerisasi dan modifikasi polilaktida.




33
A. Polimerisasi Polilaktida dengan Superkritis Chlorodfluoromethane (R-22)





(a)

















(b)


(c)

Gambar 3. Skema polimerisasi. (a). Pembentukan senyawa aktif stannous (II) alkoksida,
(b). Proses pembukaan cincin laktida, (c). Proses pertumbuhan molekul dan terminasi.

Polilaktida merupakan polimer yang relatif polar. Proses polimerisasi polilaktida dapat dilakukan
melalui berbagai proses polimerisasi. Proses polimerisasi polilaktida yang biasa digunakan adalah dengan
polimerisasi pembukaan cincin laktida (ring-opening polymerization) yang dipicu oleh katalis seperti
stannous (II) octoate (Sn(Oct)2)/dodecanol (DoOH). Mekanisme pembukaan cincin laktida terjadi melalui
proses mekanisme koordinasi-insersi.
Polimerisasi dilakukan dalam reactor bertekanan tinggi yang dilengkapi dengan pemanas dan
pengaduk (magnetic stirrer). Laktida (3 gr) 3.3 x 10
-5
mol DoOH dan 5.2 x 10
-5
mol Sn(Oct)2 dimasukan ke
dalam reactor. Kemudian reactor diisi dengan chlorodifluoromethane dan dipanaskan hingga mencapai
tekanan 200 bar dan temperature 130
o
C. Berbagai parameter digunakan untuk mendapatkan kondisi
proses yang optimal. Proses ini menghasilkan konversi yang optimal dan bobot molekul yang tinggi.
Konversi monomer mencapai 70% dan bobot molekul mencapai 160,000 g/mol. Kombinasi
Sn(Oct)2/DoOH dilakukan karena Sn(Oct) 2 tidak dapat bertindak sebagai inisiator dengan yang
independent. Sn(Oct)2 perlu dipacu dengan alcohol untuk membentuk senyawa aktif alkoksida timah (Sn-
alkoxide).















34

















Gambar 4. Hubungan antara konversi monomer dan bobot molekul polilaktida. Kondisi polimerisasi
[LA]o = 0.4 mol/L, [LA]o/[Sn]o = 200 pada 130
o
C dan 300 bar dalam media superkritis chlorodifluoromethane.

Dalam proses polimerisasi dalam superkritis chlorodifluoromethane diperlukan control beberapa
parameter seperti : perbandingan monomer/katalis, waktu, temperature, dan tekanan. Proses ini dapat
menghasilkan polilaktida tanpa menyisakan monomer dan pelarut dalam produk. Kemurnian produk
sangat penting terkait dengan pemanfaatan produk sebagai aplikasi dalam tubuh manusia (biomedical).

B. Polimerisasi Polilaktida dengan Superkritis Dimethylether

Polimerisasi pembukaan cincin juga berhasil dilakukan dalam media superkritis dimetylether.
Proses polimerisasi hanya menggantikan chlorodifluoromethane dengan dimethyl ether. Hal ini dilakukan
karena superkritis chlorodifluoromethane dan dimethyl ether memiliki kesamaan dalam hal pelarutan
monomer dan polimer laktida.




















Gambar 5. Hubungan antara konversi monomer dan bobot molekul polilaktida. Kondisi polimerisasi
[LA]o = 1.54 mol/L, [LA]o/[Sn]o = 1000, pada 130oC dan 380 bar.

Polimerisasi laktida dalam superkritis dimethyl ether mampu menghasilkan polilaktida dengan
bobot molekul tinggi dan konversi diatas 80% dalam waktu yang relatif lebih singkat dan komposisi
monomer/katalis yang lebih kecil dibanding superkritis chlorodifluoromethane. Kenaikan temperature


35
proses meningkatkan konversi monomer dan bobot molekul polimer. Namun, pada temperature 155oC,
mulai terjadi sedikit penuruan pada konversi monomer dan bobot molekul. Hal ini terjadi karena reaksi
depolimerisasi panas dan ketidakstabilan katalis pada kenaikan temperature yang lebih tinggi.

Tabel 3:
Persentase konversi monomer dan bobot molekul polimerisasi laktida dalam superkritis dimethyl
ether pada beberapa temperature.














Reaksi dilakukan pada 380 bar dengan [LA]o/[Sn]o = 2000. CLA/CDME = 26%.
a
diperoleh oligomer.

C. Pemrosesan Polilaktida dengan Superkritis Karbon Dioksida

Karbon dioksida dipilih sebagai media polimerisasi karena senyawa ini ramah lingkungan, tidak
beracun, tidak mudah terbakar, dan murah (DeSimone:2001). Karbon dioksida memiliki kemudahan
mencapai parameter kritis (T c = 31.1
o
C, Pc = 73.8 bar) sehingga menjadi pelarut pilihan untuk
menggantikan pelarut pelarut yang kurang ramah lingkungan. Dalam kondisi superkritis, karbon dioksida
memiliki karakteristik yang unik yaitu kemampuan difusi seperti gas dan berat jenis seperti cairan yang
dapat diatur dengan mengubah suhu dan/atau tekanan sehingga dikenal sebagai pelarut yang dapat
diatur sesuai keinginan (tunable solvent). Jika dilihat dari karakteristik polilaktida dalam superkritis karbon
dioksida, maka proses polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi pengendapan karena terbatasnya
kelarutan polilaktida dalam superkritis karbon dioksida. Perbandingan proses polimerisasi dalam
superkritis karbon dioksida, chlorodifluoromethane, dan dimethyl ether dapat dilihat dalam table berikut:

Tabel 4. Perbandingan polimerisasi polilaktida dalam media superkritis
Media [Lactide]/[Katalis
Konversi
Berat Molekul (Mn)

Superkritis t] 10
3
g/mol By GPC


Chorodifluorom 406 71.2 172.6

ethane

Dimethylether 2000 84.4 161.0

Karbon dioksida 10000 N 3.5

Mn : number average molecular weight
Sumber : Biomaterial Research Center Korea Institute of Science & Technology, 2003

Dari data perbandingan tersebut sangat jelas bahwa superkritis karbon dioksida tidak
dapat berperan sebagai media polimerisasi polilaktida karena memilik daya larut polilaktida yang sangat
kecil. Untuk meningkatkan kemampuan polimerisasi, daya pelarutan karbon dioksida perlu ditingkatkan.
Banyak metode yang digunakan untuk meningkatkan daya larut karbondioksida terhadap polilaktida.
Untuk meningkatkan kelarutan polilaktida dalam superkritis karbon dioksida, diperlukan pelarut lain
(cosolvent) yang memiliki kemampuan tinggi dalam melarutkan polilaktida dan dapat membentuk satu
fasa dengan karbon dioksida pada kondisi yang diinginkan.



36
Untuk mengetahui seberapa besar efektifitas system cosolvent dalam melarutkan
polilaktida, Laboratorium Polimer Pusat Penelitian Biomaterial Korea Institute of Science and Technology
melakukan penelitian terhadap kelarutan polilaktida dalam sistem superkritis cosolvent melalui proses
pembentukan stereokompleks polilaktida. Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan besarnya peluang
pengolahan polilaktida dalam media superkritis karbon dioksida dengan cosolvent. Penelitian ini melalui
proses pembentukan stereokompleks polilaktida (pembentukan kristal poli D-laktida dan poli L-laktida)
karena dalam proses ini memerlukan kelarutan yang sempurna dari polilaktida yg digunakan (D dan L).
Material yang digunakan dalam penelitian ini antara lain poli L- laktida dengan bobot
molekul Mn = 51.235, Mw = 95.791, Mw/Mn=1.87; poli D-laktida Mn = 87.431, Mw = 125.214, Mw/Mn =
1.432. Selain itu, penelitian ini menggunakan beberapa pelarut organik seperti : chloroform,
dichloromethane, 1,4-dioxane, acetone, and diethylether. Proses pembentukan stereokompleks dilakukan
dengan mencampur poli L-laktida dan poli D-laktida 1 : 1 ke dalam reactor stainlessteel. Kemudian
menambahkan cosolvent dan karbon dioksida ke dalam reaktor. Proses pembentukan stereokompleks
dilakukan pada suhu 85
o
C dan tekanan 250 bar selama 5 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa
menggunakan Differential Scanning Calorometer (DSC) untuk mengetahui persentase stereokompleks
yang terbentuk.




















Gambar 6. Persentase pembentukan stereokompleks polilaktida menggunakan beberapa jenis
cosolvent

Gambar diatas menunjukan bahwa adanya sedikit pelarut organik dalam superkritis karbon
dioksida dapat meningkatkan kelarutan dari superkritis karbon dioksida. Pada kondisi suhu kamar, urutan
kemampuan pelarutan dari pelarut organik dari kuat ke lemah adalah chloroform, dichloromethane, 1,4,
dioxane, acetone, dan diethyl ether. Namun pada kondisi superkritis yang digunakan dalam penelitian di
atas, urutan kemampuan cosolvent dari kuat ke lemah adalah dichloromethane, chloroform, 1,4 dioxane,
acetone, dan diethyl ether.
Secara umum, perubahan yang signifikan hanya terjadi antara chloroform dan dichloromethane.
Kedua pelarut ini memiliki perbedaan titik didih, chloroform 61.2
o
C sedangkan dichloromethane 39.8
o
C
yang secara awam dapat disimpulkan pada suhu 85
o
C kedua pelarut tersebut berada dalam fasa gas
yang diharapkan dapat membentuk satu fasa dengan karbondioksida. Fenomena bertolak belakang
antara chloroform dan dichloromethane terjadi karena polaritas chloroform relatif lebih besar daripada
dichloromethane sehingga karbondioksida cenderung lebih mudah bercampur membentuk satu fasa
bersama dichloromethane (karbon dioksida bersifat sedikit polar). Dalam kaitannya dengan komposisi
cosolvent dengan CO2, semakin besar konsentrasi cosolvent akan meningkatkan kelarutan polilaktida
yang berimbas pada kenaikan perentase stereokompleks yang terbentuk.




37
















Gambar 7. Pengaruh konsentrasi cosolvent dichloromethane
pembentukan stereokompleks polilaktida

Dengan menggunakan sc-CO2-dichloromethane, kami berhasil menghasilkan stereokompleks
polilaktida denga persentase 100% dalam bentuk produk kering/bubuk. Bentuk produk seperti ini sangat
bermanfaat untuk proses aplikasi lebih lanjut di dunia industri. Dalam proses pembentukan
stereokompleks, material polimer yang digunakan harus larut sempurna untuk menghasilkan produk yang
bagus. Sedangkan proses polimerisasi, untuk menghasilkan polimer dengan bobot molekul tinggi
diperlukan daya larut yang tinggi pula. Sehingga, media yang mampu menjadi media proses pembentukan
stereokompleks secara langsung memiliki kemampuan sebagai media polimerisasi atau nanokomposit
polilaktida.

KESIMPULAN

Media fluida superkritis merupakan media yang efektid pemrosesan biopolimer polilaktida. Media
superkritis chlorodifluoromethane dan dimethyl ether berhasil digunakan sebagai media polimerisasi
laktida yang menghasilkan polilaktida dengan konversi monomer yang tinggi dan bobot molekul yang
tinggi. Kami juga berhasil membentuk sterokompleks polilaktida dengan media superkritis karbon dioksida-
cosolvent. Dengan keterbatasan daya larutnya, maka superkritis karbon dioksida dapat dipadukan dengan
sistem cosolvent untuk meningkatkan daya larut terhadap polilaktida. Superkritis karbon dioksida
dichloromethane berhasil menjadi media pembentukan sterokomplek polilaktida dengan persentase hasil
yang sempurna. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam terbaharukan yang berlimpah.
Banyak sumber daya alam agraris indonesia yang merupakan sumber untuk pembuatan polilaktida.
Hingga saat ini, banyak peneliti peneliti Indonesia yang sedang mengmbangkan proses untuk membuat
laktida. Kondisi tersebut jika dipadukan dengan pengembangan metode superkritis karbon dioksida
cosolvent dapat mengurangi permasalahan permasalahan lingkungan yang dihadapi sekarang dan
masa mendatang.

REFERENSI

Purnama, P., Proceding Olympiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2009.
Purnama, P., Kim, S. H., Macromolecules 2010, 43, 1137-1142.
Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H., Macromolecules 2003, 36, 8923- 8930.
Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H., Macromolecules 2005, 224, 85 91 Pack,
J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H., Macromolecules 2004, 37, 3564 - 3568.
Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H., Macromolecular Bioscience 2004, 4, 340-
345


38
Gross, R. A. and Kaira, B. Science 2002, 297, 803 807.
Tsuji, H., Macromolecular Bioscience 2005, 5, 569 597.
Stassin, F. and Jerome, R., J. of Polymer Science:Part A: Polymer Chemistry 2005, 43, 2777 2789.
Scientific Committee on Health and Environmental Risks (SCHER): Risk Assessment Report on
chlorodifluoromethane Environmental Part, European Commission, Health & Consumer Protection
Directorate-General 2007.
Wells, S.L. and DeSimone, J.M., Angew. Chem. Int. 2001, 40, 518 527.
Lee, B. C. and Kuk, Y. M., Journal of Chemical and Engineering Data 2002, 47, 367 370.


























































39

Anda mungkin juga menyukai