CHR
O OH RO
.
R
R
CH
+ ROH
O
RCHO + R
.
R
CHR
+ R
OH
R
CH
+ RH
O
R
CHR
+ OH
.
O
.
RH
.
Alkohol primer
Hidrokarbon
Ketone Alkohol sekunder Aldehid
alkohol 95% netral sebagai pelarut asam lemak bebas dan NaOH
sebagai titran (Pike, 1998). Perubahan bilangan asam lemak bebas
selama proses penggorengan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik perubahan kadar asam lemak bebas selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa kadar asam lemak bebas
mengalami kenaikan dan penurunan selama proses penggorengan
walaupun tetap membentuk garis lurus dengan koefisien regresi sebesar
0.9046. Pada awal penggorengan kenaikan kadar asam lemak bebas
yang tidak terlalu tinggi, tetapi dari mulai penggorengan ke- 5 sampai
20 kenaikan kadar asam lemak bebas tinggi. Hal ini karena pada saat
awal penggorengan, kadar air dalam minyak belum terlalu banyak,
tetapi pada proses penggorengan selanjutnya kadar air pada minyak
semakin bertambah. Keberadaan air pada minyak akan mempercepat
proses hidrolisis dari minyak goreng (Mohamed Sulieman et al., 2001).
Blumethal (1996) menyatakan bahwa asam lemak bebas bukan
merupakan indikator kualitas minyak yang digunakan dalam
penggorengan yang tepat karena bersifat transien. Asam lemak bebas
akan menguap melalui proses destilasi dan akan berubah menjadi asam
lemak bebas teroksidasi. Lebih lanjut lagi Stier (2001) menambahkan
bahwa tidak ada hubungan langsung antara persen asam lemak bebas
dengan kualitas minyak goreng yang telah digunakan. Selain itu, produk
yang bagus dapat dihasilkan dari proses penggorengan yang
menggunakan asam lemak bebas murni di dalam kondisi laboratorium.
y = 0.045x + 0.175
R = 0.904
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0 1 2 3 4 5 6
K
a
d
a
r
A
L
B
(
%
)
Penggorengan ke-
awal 5 10 15 20
Ketengikan pada minyak disebabkan oleh asam lemak berantai
pendek. Asam lemak lemak bebas berantai pendek ini merupakan
produk oksidasi lebih lanjut dari asam lemak bebas berantai panjang.
Namun, pada saat penentuan kadar asam lemak bebas, tidak ada
perbedaan antara asam yang terbentuk karena oksidasi dan hidrolisis
(Mohamed Sulieman et al., 2001).
c. Total Polar Materials (TPM)
Secara alami minyak tersusun dari senyawa yang bersifat non-
polar. Namun, pada kenyataannya pada minyak terdapat pula molekul-
molekul polar. Hal ini karena adanya impurities dan senyawa-senyawa
hasil degradsi dari minyak. Pada minyak goreng, komponen polar
didefinisikan sebagai molekul-molekul yang hilang dalam kolom
setelah elusi pertama pada saat minyak yang telah dipanaskan diuji
dengan menggunakan kromatografi kolom silika gel (Pike, 1998).
Komponen polar terdiri dari semua trigliserida yang teroksidasi secara
parsial, senyawa non-trigliserida, lemak, dan bahan-bahan lain yang
terlarut, teremulsifikasi, atau tersuspensi di dalam minyak. Impurities
yang ada terdiri dari trigleserida teroksidasi, air, asam lemak bebas,
mono dan digliserida, sterol, karotenoid, antioksidan, antifoamers,
pencegah pembentukan kristal, dan bleaching earth (Blumethal, 1996).
Perubahan nilai TPM selama proses penggorengan dapat dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11. Grafik perubahan nilai TPM selama proses penggorengan.
y = 3.05x + 2.15
R
2
= 0.9321
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
T
P
M
(
%
)
awal 5 10 15 20
Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa nilai TPM akan
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan nilai
TPM selama proses penggorengan mengikuti persamaan garis linier
dengan koefisien regresi sebesar 0.9321. Menurut Stier (2001), pada
saat minyak mencapai suhu penggorengan dan produk dimasukkan
maka proses konversi dari trigliseida akan mulai terjadi. Semakin lama
proses penggorengan berlanjut minyak akan semakin rusak dan
komponen polar pada minyak akan semakin bertambah. Oleh karena itu,
komponen polar dapat dijadikan untuk menghitung degradasi total dari
minyak goreng. Pokorny seperti yang dikutip oleh Blumethal (1996)
telah mendemontrasikan bahwa peningkatan fraksi polar menghasilkan
penurunan pada kualitas produk goreng.
Mohamed Sulieman et al., (2001) menyatakan bahwa komponen
polar merupakan kriteria yang paling objektif dan paling dapat
dipercaya di antara parameter fisik dan kimia untuk mengevaluasi
kerusakan pada minyak pada saat sedang digunakan pada proses deep
frying. Selain itu, penentuan komponen polar pada minyak bukan hanya
berhubungan dengan kualitas produk goreng yang dihasilkan, tetapi
berhubungan dengan kemanan produk yang dihasilkan. Berdasarkan
percobaan yang dilakukan Billek et al. seperti dikutip oleh Fox (2001),
hewan percobaan yang diberi makanan yang mengandung 20%
komponen polar minyak selama 18 bulan mengalami penurunan dalam
pertumbuhan dan peningkatan berat hati dan ginjal.
Oleh karena itu, simposium internasional ke-3 deep frying yang
diselenggarakan pada tahun 2000 di Hagen, Westphalia, Jerman,
merekomendasikan TPM (Total Polar Materials) sebagai uji yang harus
dilakukan untuk menentukan kualitas minyak goreng. Pada simposium
ini ditentukan nilai TPM maksimal sebesar 24%. Selain TPM,
komponen polimer juga direkomendasikan sebagai parameter kualitas
minyak dengan batas maksimal 12% (DGF, 2001).
Metode penentuan TPM secara konvensional membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu, pada
saat sekarang banyak quick test komersial (Hawson, 1995). Pada
penelitian ini digunakan alat TPM meter TESTO 265. Alat ini bekerja
berdasarkan prinsip perubahan konstanta dielektrik yang dihubungkan
dengan persen TPM. Namun, akan terdapat perbedaan nilai TPM antara
pengukuran secara konvensional dan pengukuran dengan menggunakan
alat TPM meter. Hal ini karena prinsip pengukuran dengan
menggunakan TPM meter adalah mengukur konstanta dielektrik baik
dari komponen polar maupun komponen non-polar, sedangkan
pengukuran dengan metode kromatrografi memiliki prinsip kerja
pemisahan komponen berdasarkan polaritasnya dengan menggunakan
silika gel. Selain itu Keijbebets et al. (2001) menambahkan bahwa alat
yang mengukur TPM berdasarkan konstanta dielektrik akan ada
kesalahan. Hal ini karena alat tersebut terlalu sensitif terhadap
kandungan air di dalam minyak. Lebih lanjut lagi Blumethal (1996)
mengatakan bahwa teknik pengujian yang memanfaatkan sifat elektrikal
dari minyak sangat dipengaruhi oleh suhu. Oleh karena itu, untuk
memperkecil kesalahan tersebut, pada saat pengukuran minyak yang
akan diukur nilai TPM-nya dipanaskan pada suhu penggorengan tanpa
bahan yang digoreng selama 5-15 menit. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air pada minyak. Pembacaan pun selalu dilakukan
pada suhu penggorengan agar pengaruh suhu dapat diperkecil.
d. Bilangan Anisidin
Prinsip penentuan bilangan anisidin merupakan reaksi antara
anisidin dengan - dan -aldehid tidak jenuh yang tidak volatil. Aldehid
merupakan produk dekomposisi dari ALB teroksidasi. Aldehid-aldehid
tersebut dapat digunakan sebagai sebuah tanda untuk menentukan
berapa banyak komponen-komponen peroksida telah mulai terpecah
(Stier, 2001). Sebenarnya bilangan anisidin pada awalnya dikenal
dengan bilangan benzidin dengan menggunakan benzidin sebagai
reagen. Namun karena benzidin bersifat karsinogenik, maka diganti
dengan anisidin. bilangan anisidin ditentukan secara spektrofotometri
pada panjang gelombang 350 nm di dalam kuvet 1-cm. Perubahan
bilangan anisidin selama penggorengan dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik perubahan bilangan anisidin selama penggorengan.
Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa bilangan anisidin
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan nilai
bilangan anisidin mengikuti persamaan linier dengan koefisien regresi
sebesar 0.9654.
2. Karakteristik Fisik Minyak
a. Viskositas
Beberapa instrumen pengujian kualitas minyak goreng
menggunakan prinsip perubahan viskositas selama proses
penggorengan. Hal ini karena viskositas akan meningkat pada saat
proses penggorengan akibat adanya kenaikan komponen polimer.
Oleh karena itu, viskositas dapat dijadikan sebagai salah satu
parameter kritis untuk pengecekan degradasi minyak (Keijbebets et
al., 2001). Salah satu alat yang bekerja berdasarkan perubahan
viskositas adalah Fri-Check. Alat ini digunakan untuk mengukur
viskositas minyak yang dihubungkan dengan nilai TPM (Stier,
2001). Grafik perubahan viskositas selama proses penggorengan
dapat dilihat pada Gambar 13.
y = 4.2597x - 2.3945
R
2
= 0.9654
0
5
10
15
20
25
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan ke-
B
i
l
a
n
g
a
n
A
n
i
s
i
d
i
n
(
m
m
o
l
/
k
g
)
awal 5 10 15 20
Gambar 13. Perubahan viskositas minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa viskositas
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan
viskositas selama penggorengan mengikuti persamaan garis linier
dengan koefisien regresi 0.9559. Menurut Keijbebets et al., (2001)
kenaikan viskositas selama penggorengan disebabkan oleh adanya
pembentukan senyawa polimer dalam minyak. Polimer merupakan
senyawa yang terbentuk di dalam minyak goreng akibat pemanasan
yang terus menerus pada suhu tinggi dengan atau tanpa adanya
oksigen. Polimer terbentuk akibat adanya ikatan antara atom
karbon dan oksigen (Johnson dan Kumerrow, 1957). Menurut
Perkins dan Kummerow yang dikutip Firestone (1961), minyak
yang mengalami oksidasi dan pemanasan akan membentuk
senyawa polimer yang mengandung gugus hidroksil dan karbonil
dalam jumlah besar.
Berdasarkan uji korelasi, viskositas memiliki hubungan
yang sangat nyata dengan kadar ALB, TPM, dan bilangan anisidin
dengan koefisien korelasi masing-masing 0.888, 0.946, dan 0.825.
Hal ini berarti viskositas akan meningkat dengan kenaikan kadar
ALB, TPM, dan bilangan anisidin. Oleh karena itu, beberapa
instrumen menggunakan prinsip pengujian kualitas minyak
y = 2.8113x + 46.146
R
2
= 0.9559
45
50
55
60
65
0 1 2 3 4 5 6
penggorengan ke-
V
i
s
k
o
s
i
t
a
s
(
c
p
)
awal 5 10 15 20
Penggorengan Ke-
berdasarkan perubahan viskositas yang dihubungkan dengan
parameter kimia.
Kecepatan kenaikan viskositas dari penggorengan awal ke
pengggorengan ke-5 tidak sebesar kecepatan kenaikan viskositas
dari penggorengan ke-5 selanjutnya. Hal ini dikarenakan pada awal
penggorengan keberadaan air dan senyawa-senyawa hasil
degradasi minyak belum banyak. Namun seiring dengan proses
penggorengan yang semakin lama, maka akumulasi air dan
senyawa-senyawa hasil degradai minyak semakin banyak sehingga
laju kenaikan viskositas semakin tinggi juga. Proses pembentukan
polimer dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Reaksi polimerisasi oleh ikatan karbon-karbon
b. Bobot jenis
Proses polimerisasi pada minyak akan menyebabkan berat
molekul minyak bertambah. Hal ini diperlihatkan dengan naiknya
bobot jenis minyak selama proses penggorengan (Andarwulan et
al., 1997). Perubahan bobot jenis selama proses penggorengan
dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Grafik perubahan bobot jenis minyak selama proses
penggorengan.
C = CH + HOO R CH CH
+
O CR CH CHOH
H
y = 0.000x + 0.901
R = 0.897
0.9010
0.9020
0.9030
0.9040
0.9050
0 1 2 3 4 5 6
B
o
b
o
t
J
e
n
i
s
(
g
/
m
l
)
Penggorengan Ke-
awal 5 10 15 20
(Winarno, 2002)
y = -0.0001x + 1.4678
R
2
= 0.8176
1.4671
1.4672
1.4673
1.4674
1.4675
1.4676
1.4677
1.4678
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
I
n
d
e
k
B
i
a
s
awal 5 10 15 20
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa selama
penggorengan bobot jenis akan mengalami kenaikan . Berdasarkan
uji korelasi, bobot memiliki hubungan yang sangat nyata dengan
ALB, TPM, dan bilangan anisidin dengan koefisien masing-masing
0.829, 0.921, dan 0.857. Hal ini berarti bobot jenis minyak akan
meningkat dengan naiknya kadar ALB, TPM, dan bilangan
anisidin.
c. Indeks bias
Indeks bias didefinisikan sebagai rasio antara kecepatan
cahaya di udara dengan kecepatan cahaya pada medium pada suhu
dan panjang gelombang tertentu. Penentuan indeks bias ini
dilakukan dengan menggunakan alat refraktrometer abbe yang
dilengkapi dengan water bath sirculator. Pengukuran indeks bias
minyak sawit fraksi olein dilakukan pada suhu 40
o
C karena pada
suhu ini semua fraksi olein minyak sawit akan mencair. Perubahan
indeks bias minyak selama proses penggorengan dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16. Grafik perubahan indeks bias minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa indeks bias minyak
mengalami penurunan selama proses penggorengan. Penurunan
nilai indeks bias minyak mengikuti persamaan garis lurus dengan
koefisien regresi sebesar 0.8176. Menurut Winarno (2002), indeks
bias akan meningkat dengan makin panjangnya rantai C, derajat
ketidakjenuhan, dan suhu yang semakin tinggi. Pada saat minyak
digunakan pada proses penggorengan, minyak akan mengalami
reaksi hidrolisis yang disebabkan keberadaan air dan suhu tinggi.
Reaksi hidrolisis menyebabkan trigliserida pada minyak berubah
menjadi gliserol dan asam lemak.
Berdasarkan uji korelasi, indeks bias berkorelasi sangat
nyata dengan bilangan ALB dengan koefisien korelasi 0.789. Hal
ini berarti nilai indeks bias minyak akan semakin kecil dengan
semakin besarnya kadar ALB di dalam minyak.
d. Warna
Warna telah dijadikan sebagai indek kualitas minyak
selama bertahun-tahun. Metode pengujian warna dapat dilakukan
dengan menggunakan Lovibond dan spektrofotometer. Terdapat
perbedaan antara kedua metode penentuan warna minyak ini,
metode Lovibond bersifat subjektif sedangkan penentuan secara
spektrofotometer bersifat objektif. Pengujian warna dengan
menggunakan Lovibond terdiri dari tiga warna, yaitu merah, biru,
dan kuning. Perubahan warna merah minyak yang telah digunakan
berkorelasi dengan kombinasi antara asam lemak bebas teroksidasi
dan produk kondensasi pirolitik. Warna biru berkorelasi dengan
kekaburan yang disebabkan oleh air dan pertikel-partikel yang
tersuspensi atau teremulasi dengan baik di dalam minyak. Warna
kuning mungkin berkorelasi dengan kombinasi antara peroksida
dan aldehid-aldehid di dalam minyak (Stier, 2001). Pengukuran
dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan pada panjang
gelombang 490 nm dengan minyak awal sebagai blanko.
Absorbansi yang semakin besar pada panjang gelombang ini
mengindikasikan warna minyak semakin gelap. Hal ini berarti
semakin banyak poduk-produk hasil degradasi minyak
(Przybylski, 2000). Perubahan warna minyak selama proses
penggorengan dapat dilihat pada Gambar 17.
y = 0.0262x - 0.0074
R
2
= 0.9832
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0 1 2 3 4 5
Penggorengan Ke-
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
5 10 15 20
Gambar 17. Grafik perubahan absorbansi minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 17, absorbansi minyak akan
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Hal ini berarti
warna minyak semakin gelap yang disebabkan oleh terbentuknya
bahan-bahan oksidatif, termasuk polimer dan keberadaan dari
produk yang larut minyak dari bahan yang digoreng
(Krishnamurthy dan Vernon, 1996). kenaikan absorbansi minyak
mengikuti persamaan garis linier dengan koefisien regresi sebesar
0.923. Berdasarkan uji korelasi, warna minyak yang diukur pada
panjang gelombang 490 nm berkorelasi sangat nyata dengan kadar
ALB dan bilangan anisidin.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Blumethal
(1996), pengujian warna untuk menentukan kualitas minyak
goreng dipengaruhi oleh batch dari minyak, jumlah dan tipe dari
makanan yang digoreng, suhu dan tipe penggorengan, serta jarak
estimasi visual dari warna yang tidak terlihat dan tipe lampu yang
digunakan.
Warna minyak yang mengalami kegelapan tanpa diikuti
oleh kenaikan produk-produk degradasi dari minyak hanya akan
mempengaruhi warna dari produk goreng tanpa mempengaruhi
rasa secara signifikan. Pengujian warna sebagai satu-satu indikator
kualitas minyak goreng sangat tidak tepat (Krishnamurthy dan
Vernon, 1996).
y = 3.704x + 8.84
R
2
= 0.977
0
5
10
15
20
25
30
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
K
a
d
a
r
L
e
m
a
k
(
%
)
awal 5 10 15 20
3. Penyerapan Minyak oleh Produk
Penyerapan minyak oleh minyak dipengaruhi oleh tingkat
kerusakan dari minyak goreng yang digunakan. Perubahan sifat kimia
dari minyak yang digunakan pada proses penggorengan akan
mempengaruhi sifat fisiknya. Perubahan sifat fisik minyak, seperti
kenaikan viskositas yang disebabkan oleh terbentuknya senyawa-
senyawa polimer pada minyak, akan menurunkan performa minyak.
Perubahan sifat fisik minyak akan menyebabkan peningkatan kontak
antara minyak dan produk yang digoreng, dan peningkatan waktu
recovery panas minyak. Hal ini akan menyebabkan penyerapan minyak
oleh produk meningkat.
Gambar 18. Perubahan kadar minyak coating kacang salut goreng
selama penggorengan.
Berdasarkan Gambar 18, terlihat bahwa kadar minyak dalam
produk goreng mengalami kenaikan seiring dengan semakin lamanya
proses pengorengan. Kadar minyak pada produk hasil goreng ini
diasumsikan dengan penyerapan minyak oleh produk, semakin besar
kadar minyak pada produk maka semakin banyak jumlah minyak yang
diserap.
Berdasarkan uji korelasi, penyerapan minyak mempunyai
hubungan yang sangat nyata dengan nilai viskositas dan bobot jenis
dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0.825 dan 0.857. Hal
ini berarti jumlah minyak yang diserap oleh produk akan meningkat
dengan naiknya viskositas dan bobot jenis minyak. Menurut Gebhardt
(1996), minyak yang rusak akan mengalami peningkatan waktu
recovery panas pada saat penggorengan sehingga produk yang digoreng
akan kontak dengan minyak yang bersuhu rendah. Peningkatan waktu
recovery panas ini disebabkan oleh kenaikan viskositas minyak yang
disebabkan oleh kenaikan senyawa polimer pada minyak. Adanya
kenaikan viskositas ini menyebabkan efisiensi perpindahan panas
menurun. Hal ini menyebabkan penyerapan minyak oleh produk akan
banyak. Selain itu, penyerapan minyak berkorelasi nyata dengan kadar
ALB, bilangan anisidin, dan nilai TPM. Blumethal (1996) mengatakan
bahwa asam lemak bebas teroksidasi yang terbentuk dapat berperan
sebagai surfaktan. Hal ini menyebabkan kontak antara minyak dan
produk yang digoreng meningkat. Peningkatan kontak ini menyebabkan
peningkatan penyerapan minyak oleh produk dan peningkatan rata-rata
transfer panas pada permukaan produk yang digoreng.
Pokorny (1999) mengatakan penyerapan minyak oleh produk
sangat dipengaruhi oleh kualitas minyak yang digunakan. Tegangan
permukaan antara minyak dan permukaan produk yang digoreng tinggi
pada minyak baru (fresh oil). Pada saat minyak digunakan untuk
menggoreng kembali, tegangan tersebut berkurang yang disebabkan
oleh kenaikan polaritas dari minyak.
B. APLIKASI ADSORBEN DALAM PEMURNIAN MINYAK BEKAS
PAKAI.
Aplikasi absorben pada proses recovery minyak bekas pakai termasuk
ke dalam sistem filter aktif. Pada sistem ini, sebuah interaksi akan terjadi
antara adsorben atau komponen dari adsorben dan sebuah partikel atau
komponen yang ada di dalam minyak goreng. Senyawa-senyawa yang terserap
akan terikat ke adsorben. Adsorben bekerja secara selektif. Mekanisme yang
terjadi antara adsorben dengan minyak termasuk mekanisme cair-padat.
Ketaren (1986) menambahkan bahwa daya adsorsi disebabkan karena
adsorben memiliki pori dalam jumlah besar dan adsorpsi akan terjadi karena
adanya perbedaan energi potensial antara adsorben dengan zat yang akan
diserap. Kualitas minyak bekas pakai sebelum (minyak jelantah) dan sesudah
(minyak recovery) diaplikasikan adsoben dapat dilihat pada Tabel 3.
y = -2.6716x
2
+ 26.842x - 10.34
R
2
= 0.9394
y = -2.0755x
2
+ 16.356x - 8.9965
R
2
= 0.9555
0
10
20
30
40
50
60
70
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
K
a
d
a
r
P
e
r
o
k
s
i
d
a
(
m
e
q
O
2
/
1
0
0
g
)
minyak non recovery
minyak recovery
awal 5 10 15 20
Tabel 3. Perbandingan kualitas minyak bekas pakai sebelum dan sesudah
diaplikasikan adsoben.
Parameter mutu Minyak jelantah Minyak recovery
Peroksida 31.78 meq O
2
/100g 10.18 meq O
2
/100g
ALB 0.71 % 0.48 %
Bobot jenis 0.9079 g/ml 0.9078 g/ml
Viskositas 65.871 65.872
Indeks bias 1.4674 1.4674
TPM 19.0 % 10.5 %
Berdasarkan uji t, aplikasi adsorben berpengaruh tehadap pengurangan
bilangan peroksida, kadar ALB, dan TPM. Namun, untuk bobot jenis dan
indeks bias aplikasi adsorben tidak berpengaruh nyata. Hal ini memperlihatkan
bahwa aplikasi adsorben dapat memperbaiki sifat kimia dari minyak bekas
pakai tetapi tidak dapat memperbaiki sifat fisiknya. Nilai peroksida berkurang
sebanyak 68.0 %, ALB sebanyak 32.4 %, dan TPM sebanyak 44.7%.
Gambar 19. Grafik perubahan kadar peroksida minyak non-recovery dan
recovery pada penggorengan.
y = 3.05x + 2.15
R
2
= 0.9321
y = 1.45x + 9.15
R
2
= 0.9344
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
T
P
M
(
%
)
minyak non-recovery
minyak recovery
awal 5 10 15 20
Gambar 20. Grafik perubahan kadar ALB minyak non-recovery dan recovery
pada penggorengan.
Gambar 21. Grafik perubahan kadar TPM minyak non-recovery dan recovery
pada penggorengan.
y = 0.0454x + 0.1755
R
2
= 0.9046
y = 0.0889x + 0.1414
R
2
= 0.8946
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0.55
0.60
0.65
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
K
a
d
a
r
A
L
B
(
%
)
minyak non-recovery
minyak recovery
awal 5 10 15 20
Gambar 22. Grafik perubahan kadar bobot jenis minyak non-recovery dan
recovery pada penggorengan.
Laju kerusakan minyak hasil recovery lebih cepat dibandingkan
dengan laju kerusakan minyak non-recovery pada saat digunakan dalam
proses penggorengan. Hal ini terlihat dari nilai kemiringan grafik kerusakan
minyak recovery yang lebih besar dibandingkan kemiringan grafik kerusakan
minyak non-recovery, yakni 0.0889 untuk laju kenaikan kadar ALB minyak
recovery dan 0.0454 untuk laju kenaikan kadar ALB minyak non recovery
(Gambar 20). Hal ini terlihat pula kenaikan bilangan peroksida, sebelum
mengalami penurunan di penggorengan ke 20 kemiringan grafik kenaikan
bilangan peroksida minyak non-recovery lebih landai dibandingkan
keminringan grafik kenaikan bilangan peroksida minyak recovery (Gambar
19).
Untuk laju perubahan bobot jenis, baik minyak recovery dan minyak
non-recovery memiliki laju perubahan bobot jenis yang sama, yaitu sebesar
0.0003, tetapi nilai bobot jenis minyak recovery lebih tinggi daripada minyak
non-recovery (Gambar 22). Hal ini karena aplikasi adsorben tidak
berpengaruh terhadap perubahan bobot jenis minyak. Namun untuk laju
perubahan TPM, laju perubahan nilai TPM minyak recovery lebih kecil
daripada laju perubahan minyak non-recovery, yakni sebesar 1.45 untuk
kemiringan grafik perubahan nilai TPM minyak recovery dan 3.05 untuk
y = 0.0007x + 0.9043
R
2
= 0.9882
y = 0.0006x + 0.9013
R
2
= 0.8973
0.901
0.902
0.903
0.904
0.905
0.906
0.907
0.908
0.909
0 1 2 3 4 5 6
Penggorengan Ke-
B
o
b
o
t
J
e
n
i
s
(
g
/
m
l
)
minyak non-recovery
minyak recovery
awal 5 10 15 20
kemiringan grafik perubahan nilai TPM minyak non-recovery (Gambar 21).
Akan tetapi nilai TPM minyak recovery lebih tinggi daripada minyak non-
recovery. Berdasarkan hasil di atas, secara umum terlihat bahwa laju
kerusakan minyak recovery pada saat digunakan dalam menggoreng lebih
cepat dibandingkan laju kerusakan minyak non-recovery.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis regresi, hubungan kuadratik terlihat pada
perubahan bilangan peroksida. Bilangan peroksida akan meningkat dengan
semakin banyaknya jumlah penggorengan dan setelah mencapai nilai
maksimum akan turun kembali sebagai akibat dari dekomposisi peroksida.
Hubungan linier dengan kecenderungan naik terlihat pada hasil
analisis terhadap parameter-perameter kadar ALB, nilai TPM, bilangan
anisidin, viskositas, bobot jenis, dan nilai absorbansi minyak pada panjang
gelombang 490 nm. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa dengan semakin
banyaknya jumlah penggorengan, nilai kadar ALB, nilai TPM, bilangan
anisidin, viskositas, dan bobot jenis akan semakin besar. Kenaikan nilai
absorbansi minyak pada panjang gelobang 490 nm memperlihatkan bahwa
warna minyak akan semakin gelap dengan semakin banyaknya jumlah
penggorengan.
Hubungan linier dengan kecenderungan turun terlihat pada parameter
indeks bias. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa indeks bias akan semakin
kecil dengan semakin banyaknya jumlah penggorengan.
Berdasarkan analisis korelasi, perubahan viskositas dan bobot jenis
berkorelasi sangat nyata dengan kadar ALB, nilai TPM, dan bilangan
anisidin. Hasil ini memperlihatkan perubahan viskositas dapat dijadikan
sebagai acuan dalam menentukan kualitas minyak dalam proses
penggorengan.
Berdasarkan analisis korelasi, penyerapan minyak oleh produk sangat
berkorelasi sangat nyata dengan kenaikan viskositas dan bobot jenis. Selain
itu, kenaikan kadar ALB, nilai TPM, dan bilangan anisidin mempengaruhi
penyerapan minyak oleh produk. Penyerapan minyak oleh produk akan
semakin meningkat dengan semakin banyaknya jumlah penggorengan. Hal
ini diperlihatkan dengan kadar minyak coatting kacang salut yang semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah penggorengan.
Berdasarkan hasil penelitian, indikator kimia yang dapat digunakan
dalam penentuan kualitas minyak adalah kadar TPM dan bilangan anisidin.
Kadar ALB metode titrasi kurang tepat untuk dijadikan sebagai indikator
kualitas minyak walaupun memiliki koefisien regresi dan korelasi yang
sangat nyata dengan kualitas minyak. Hal ini karena kadar ALB mengalami
fluktuasi selama proses penggorengan. Untuk parameter fisik, indikator yang
paling mungkin adalah viskositas. Hal ini karena viskositas memiliki korelasi
yang sangat kuat dengan perubahan kimia minyak. Selain itu, viskositas
sering dijadikan sebagai prinsip dasar kerja instrumen komersial untuk
menentukan kualitas minyak.
Berdasarkan uji t, aplikasi adsorben berpengaruh nyata tehadap
pengurangan bilangan peroksida, kadar ALB, dan TPM. Nilai peroksida
berkurang sebanyak 68.0 %, ALB sebanyak 32.4 %, dan TPM sebanyak
44.7%. Laju kerusakan minyak hasil recovery lebih cepat dibandingkan laju
kerusakan minyak non-recovery. Oleh karena itu, Penggunaan adsorben tidak
dapat memperbaiki beberapa parameter mutu minyak goreng, seperti indeks
bias, bobot jenis, dan viskositas.
B. SARAN
Untuk mempelajari kinetika degradasi minyak dan penentuan
indikator kualitas minyak yang tepat, perlu digunakan minyak goreng baru
(fresh oil). Selain itu, perlu juga dilakukan di pabrik sehingga kondisi
penggorengan yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya,
seperti lama waktu penggorengan, rasio antara minyak dan produk yang
digoreng, serta sistem penggorengan. Sampel yang diambil dari pabrik pun
dapat dalam jumlah besar sehingga dapat digunakan dalam melihat
perubahan umur simpan produk dengan semakin rusaknya minyak. Pada
skala laboratorium, penentuan umur simpan dengan metode akselerasi sulit
untuk dilakukan karena jumlah sampel yang dihasilkan dari satu kali
penggorengan tidak mencukupi.
Perlu dilakukan uji umur simpan dengan menggunakan metode ASLT
guna melihat pengaruh perubahan fisikokimia minyak terhadap perubahan
umur simpan produk. Pada uji ASLT, perlu dilakukan penelitian pendahuluan
untuk menentukan titik pengambilan sampel yang akan ditentukan umur
simpannya. Hal ini perlu dilakukan agar percobaan efisien dan efektif.
Guna mendapatkan hasil yang lebih baik, perlu dilakukan percobaan
dengan rancangan percobaan yang tepat, seperti ulangan percobaan dan
jumlah pengambilan sampel dilakukan lebih banyak, dan standardisasi
formulasi dan parameter proses.
Untuk melihat hubungan antara perubahan kualitas minyak dan
kualitas produk yang dihasilkan, harus ada uji sensori pada produk. Pada uji
sensori, panelis yang digunakan harus merupakan panelis terlatih yang telah
mengetahui kualitas produk secara organoleptik.
Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan kualitas minyak yang
sudah harus diaplikasikan adsorben. Hal ini bertujuan agar penggunaan
adsorben dapat bekerja secara efektif dalam memperbaiki kualitas minyak.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kadar ALB untuk
mengetahui hubungan antara asam lemak dengan kualitas produk hasil
goreng. Penelitian yang dapat dilakukan, seperti menentukan kandungan
asam lemak yang diserap oleh produk.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, A. Sadikin, Y.T., dan Winarno, F.G. 1997. Pengaruh lama
penggorengan dan penggunaan adsorben terhadap mutu minyak goring
bekas penggorengan tahu-tempe. Buletin Teknol. dan Industri Pangan. 8
(1) : 40-45.
Anonim 2002. FAQ. www.soonsoonoil.com.my. [22 Februari 2007]
Anonim 2006. Falling Ball Viscometer.http:// wise.fau.edu.[8 September 2007]
Anonim 2007. Radikal Bebas. www.dgf.com [8 September 2007]
Billek, G., Guhr, Waibel 1978. Quality assesment of used frying oils: a
comparison of four method. J. Amer. Oil Chem. Soc. 55:728-733.
Blumethal, M.M. 1996. Frying technology. Di dalam: Baileys Industrial Oil and
Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application
Technology (4
th
ed., Vol 3). Wiley-Interscience Publication. New York.
pp. 429-482
BSN 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standardisasi Nasional.
Chang, Peterson, dan HO 1978. Measurements of frying fat deterioration: a bride
review. J. Amer. Oil Chem. Soc. 58: 272-274.
DGF 2001. Recommendation of symposium. The 4th International Symposium on
Deep-Fat Frying: 11-13 January 2004, Hagen/Westphalia, Germany.
www. dgfett.de [8 Agustus 2007]
Djatmiko, B. dan A.B. Enie 1985. Proses Penggorengan dan Pengaruhnya
terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak. Agro Industri Press. Jurusan TIN.
Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Firestone, D., H. Wlliam, F., Leo., dan M., Glen 1960. The examination of fats
and fatty acids for toxic substances. J. Amer. Chem. Soc. 38 :418-422.
Fox, R. 2001. Regulations in the european union. Di dalam: Rossell, J.B. (ed.).
Frying : Improving quality. CRC Press. New York. pp. 19-36.
Gebhardt, B. 1996. Oils and fat in snack food. Di dalam : Baileys Industrial Oil
and Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application
Technology (4
th
ed., Vol 3). Wiley-Interscience Publication. New York.
pp. 409-428
Gillatt, P. 2001. Flavor and aroma development in frying and fried food. Di
dalam: Rossell, J.B. (ed.). Frying : Improving quality. CRC Press. New
York. pp.236-259.
Hawson, H 1995. Foods and Oils Fat : Technology, Utilization, and Nutrition.
Chapman and Hall. New York.
Johnson, O.C., dan Kumerrow, F.A.1957. Chemical change which take lace in an
edible oil during thermal oxidation. J. Amer. Oil Chem. Soc. 34 :407-409.
Keijbebets, B.V. H., Aviko, dan steenderen 2001. The manucfature of pre-fried
potato product. Di dalam : Rossell, J.B. (ed.). Frying : Improving quality.
CRC Press. New York. pp. 197-213.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Krishnamurthy, R.G. dan Vernon C. W. 1996. Salad oil and oil-based dressings.
Di dalam: Baileys Industrial Oil and Fat Technology; Edible Oil and Fat
Product: Product and Application Technology (4
th
ed., Vol 3). Wiley-
Interscience Publication. New York. pp. 193-224
Mohamed Sulieman, Abd El-Rahman, Attya El-Makhzangy, dan Mohamed
Fawzy Ramadan 2001. Antiradikal Performance and Physicochemical
Characteristics of Vegetable Oils upon Frying of French Fries: A
Preliminary Comparative. Electronic Journal of Environmental,
Agricultural and Food Chemistry. www.ejeafche.uvigo.es. [22 Februari
2007]
Nugraha, W.S. 2004. Kendali Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat
dalam Efisiensi Pemakaian Minyak Goreng di Further Processing PT.
Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. Skripsi. Sarjana Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Fakultas Tenologi Pertanian. IPB. Bogor.
Pike, O. A. 1998. Fat characterization. Di dalam S. Suzanne Nielsen (ed.). Food
Analysis 2
nd
ed. Plenum Publisher. New York.
Pokorny, J. 1999. Changes of nutrient at frying suhues. Di dalam: Bouskou,
Dimitros, dan Elmadfa, Ibrahim (eds.). Frying of Food : Oxidation,
Nutrient Antioxidants, Biologically Active Compounds, and High Suhues.
Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. pp. 60-84.
Przybylski, R. 2000. Effect of Oils and Fats Composition on Their Frying
Performance. www.gov.mb.ca.[3 Agustus 2007]
Quaglia, G.B., dan Bucarelli, F.M. 2001. Efective process control in frying. Di
dalam : Rossell, J.B. (ed.). Frying : Improving quality. CRC Press. New
York. pp.236-259.
Robertson, C.J.1967. The Practice of Deep frying. Food Tech. 21 (1): pp. 34
Stier, R. F. 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. www.preparedFood.com.
[22 Februari 2007]
Stier, R.F. 2001. The measurement of frying oil quality and authenticity. Di
dalam: Rossell, J.B. (ed.). Frying : Improving quality. CRC Press. New
York. pp.165-190
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.
Lampiran 1a. Data kadar peroksida minyak non-recovery
Penggorengan
ke-
Kadar peroksida (meq O
2
/100 g)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 6.48 6.16 6.32
5 * 13.25 13.22 13.23
5 ** 9.08 10.76 9.92
10 * 21.02 22.39 21.71
10 ** 16.81 17.78 17.29
15 * 26.11 23.85 24.98
15 ** 14.22 22.38 18.30
20 21.60 18.33 19.97
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 1b. Data kadar peroksida minyak recovery
Sampel
Kadar peroksida (meq O
2
/100 g)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 23.20 28.18 25.69
V * 4.42 4.42 4.42
V ** 49.53 47.92 48.72
X * 8.11 8.10 8.11
X ** 56.94 58.67 57.81
XV * 9.21 9.22 9.22
XV ** 54.39 55.39 54.89
XX 16.88 16.89 16.88
Jelantah 31.21 32.35 31.78
Recovery 9.60 10.75 10.18
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 2a. Data kadar ALB minyak non-recovery
Penggorengan
ke-
Kadar ALB (%)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 0.19 0.25 0.22
5 * 0.25 0.25 0.25
5 ** 0.25 0.25 0.25
10 * 0.31 0.32 0.32
10 ** 0.25 0.32 0.29
15 * 0.38 0.40 0.39
15 ** 0.19 0.25 0.22
20 0.38 0.37 0.38
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 2b. Data kadar ALB minyak non-recovery
Sampel
Kadar ALB (%)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
Awal 0.30 0.40 0.35
V * 0.36 0.30 0.33
V ** 0.47 0.48 0.48
X * 0.42 0.47 0.45
X ** 0.48 0.48 0.48
XV * 0.47 0.47 0.47
XV ** 0.56 0.56 0.56
XX 0.18 0.18 0.18
Jelantah 0.71 0.72 0.71
recovery 0.47 0.48 0.48
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 3a. Data kadar TPM minyak non-recovery
Penggorengan
ke-
Bilangan TPM (%)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 6.0 6.0 6.00
5 * 8.5 8.5 8.50
5 ** 6.5 6.5 6.50
10 * 10.0 20.0 10.00
10 ** 9.5 9.5 9.50
15 * 13.0 13.0 13.00
15 ** 10.5 10.5 10.50
20 19.0 19.0 19.00
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 3b. Data kadar TPM minyak recovery
sampel
Bilangan TPM (%)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
Awal 11.5 11.5 11.50
V * 11.0 11.0 11.00
V ** 14.5 14.5 14.50
X * 12.5 12.5 12.50
X ** 15.0 15.0 15.00
XV * 13.0 13.0 13.00
XV ** 16.0 16.0 16.00
XX 10.5 10.5 10.50
Jelantah 19.0 19.0 19.00
Recovery 10.5 10.5 10.50
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 4. Data kadar anisidin minyak non-recovery
Penggorengan
ke-
Bilangan anisidin (mmol/kg)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 1.4084 1.4060 1.41
5 * 7.9208 7.9207 7.92
5 ** 6.4800 6.4821 6.48
10 * 19.9193 19.8267 19.87
10 ** 11.7453 11.7435 11.74
15 * 19.5238 19.4389 19.48
15 ** 12.6896 12.6871 12.69
20 19.6012 19.6028 19.60
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 5. Data bobot jenis
Penggorengan
ke-
Bobot jenis (g/ml)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
awal 0.9023 0.9023 0.9052
5 * 0.9025 0.9025 0.9023
5 ** 0.9061 0.9056 0.9073
10 * 0.9028 0.9028 0.9037
10 ** 0.9053 0.9050 0.9048
15 * 0.9037 0.9037 0.9059
15 ** 0.9076 0.9069 0.9028
20 0.9047 0.9050 0.9025
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 6. Data viskositas minyak.
Penggorengan ke- ulangan waktu
Bobot jenis
(g/ml)
Viskositas
(cp)
rata-rata
Awal
1 2.1617 0.9023 50.77
50.148
2 2.1083 0.9023 49.52
5 *
1 2.1583 0.9025 50.69
50.753
2 2.1633 0.9025 50.81
5 **
1 2.1483 0.9061 50.43
50.377
2 2.1433 0.9056 50.32
10 *
1 2.2933 0.9028 53.86
53.765
2 2.2850 0.9028 53.67
10 **
1 2.2667 0.9053 53.22
53.356
2 2.2783 0.9050 53.49
15 *
1 2.4200 0.9037 56.83
57.301
2 2.4600 0.9037 57.77
15 **
1 2.3517 0.9076 55.20
54.846
2 2.3217 0.9069 54.50
20
1 2.5883 0.9047 60.78
60.931
2 2.6017 0.9050 61.09
Jelantah
1 2.8079 0.9080 65.90
65.871
2 2.7916 0.9078 65.52
Recovery
1 2.8065 0.9078 65.87
65.872
2 2.7686 0.9078 64.98
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
Lampiran 7. Data indeks bias minyak.
Penggorengan
ke-
ulangan
suhu
(
o
C)
indeks bias terbaca indeks bias terkoreksi rata-rata
Awal
1 29.0 1.4638 1.4678
1.4678
2 29.0 1.4638 1.4678
5 *
1 29.0 1.4635 1.4675
1.4675
2 29.0 1.4635 1.4675
5 **
1 29.0 1.4636 1.4676
1.4676
2 29.0 1.4636 1.4676
10 *
1 29.0 1.4634 1.4674
1.4674
2 29.0 1.4634 1.4674
10 **
1 29.0 1.4635 1.4675
1.4675
2 29.0 1.4635 1.4675
15 *
1 29.0 1.4634 1.4674
1.4674
2 29.0 1.4634 1.4674
15 **
1 29.0 1.4635 1.4675
1.4675
2 29.0 1.4635 1.4675
20
1 29.0 1.4633 1.4673
1.4673
2 29.0 1.4633 1.4673
Keterangan : * = sampel minyak sebelum topping
** = sampel minyak setelah topping
lampiran 8. Data warna minyak
sampel ulangan absorbansi rata-rata
5
1 0.0135
0.0146 2 0.0153
3 0.0150
10
1 0.0450
0.0502 2 0.0448
3 0.0607
15
1 0.0732
0.0731 2 0.0730
3 0.0730
20
1 0.0941
0.0941 2 0.0941
3 0.0942
Lampiran 9. Data kadar minyak coatting kacang salut.
Penggorengan
ke-
Kadar minyak (%)
Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
1 13.32 13.51 13.42
5 16.00 16.20 16.10
10 18.71 18.65 18.68
15 23.44 23.45 23.44
20 28.22 28.22 28.22
Lampiran 10a. Hasil uji t bilangan peroksida
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SEBELUM -
SESUDAH
21.6050 .00707 .00500 21.5415 21.6685
4321.00
0
1 .000
Lampiran 10b. Hasil uji t kadar asam lemak bebas
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SEBELUM -
SESUDAH
.2450 .00707 .00500 .1815 .3085 49.000 1 .003
Lampiran 10c. Hasil uji t bobot jenis
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SEBELUM -
SESUDAH
.0025 .00061 .00015 .0006 .0045 17.000 1 .077
Lampiran 10d. Hasil uji t TPM
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SEBELUM -
SESUDAH
8.5500 .07071 .05000 7.9147 9.1853 171.000 1 .004
Lampiran 10e. Hasil uji t indeks bias
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1
SEBELUM -
SESUDAH
.0001 .00014 .00010 -.0012 .0014 1.000 1 .500
Lampiran 11. Hasil analisis korelasi
peroksida ALB Viskositas
bobot
jenis
indeks bias TPM anisidin
kadar
minyak
kacang
salut
warna
minyak
peroksida
Pearson
Correlation
Sig0. (2-tailed)
N
ALB
Pearson
Correlation
0.884(**)
Sig0. (2-tailed) 0.001
N 10
viskositas
Pearson
Correlation
0.710(*) 0.888(**)
Sig0. (2-tailed) 0.021 0.001
N 10 10
bobot jenis
Pearson
Correlation
0.597 0.829(**) 0.979(**)
Sig0. (2-tailed) 0.069 0.003 0.000
N 10 10 10
indeks bias
Pearson
Correlation
-.789(*) -.744(**) -.608 -.577
Sig0. (2-tailed) .017 .004 .062 .081
N 10 10 10 10
TPM
Pearson
Correlation
0.712(*) 0.754(*) 0.804(**) 0.770(**) 0.707(*)
Sig0. (2-tailed) 0.021 0.012 0.005 0.009 0.022
N 10 10 10 10 10
Lampiran 11. Hasil analisis korelasi (lanjutan)
anisidin
Pearson
Correlation
0.788(**) 0.874(**) 0.946(**) 0.921(**) 0.774(**) 0.880(**)
Sig0. (2-tailed) 0.007 0.001 0.000 0.000 0.009 0.001
N 10 10 10 10 10 10
kadar minyak
kacang salut
Pearson
Correlation
0.637(*) 0.748(*) 0.825(**) 0.857(**) 0.540 0.684(*) 0.873(**)
Sig0. (2-tailed) 0.048 0.013 0.003 0.002 0.107 0.029 0.001
N 10 10 10 10 10 10 10
warna minyak
Pearson
Correlation
0.752(*) 0.974(**) 0.961(**) 0.894(**) 0.751(*) 0.680 0.898(**) 0.610
Sig0. (2-tailed) 0.031 0.000 0.000 0.003 0.032 0.064 0.002 0.108
N 10 10 10 10 10 10 10 10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
MEMPELAJARI PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG DAN
APLIKASI ADSORBEN TERHADAP KUALITAS MINYAK DAN
TINGKAT PENYERAPAN MINYAK PADA KACANG SALUT
Reza Febriansyah
1)
dan Yadi Haryadi
2)
ABSTRAK
Proses penggorengan yang menggunakan energi panas menimbulkan
berbagai perubahan yang terjadi pada minyak dan menghasilkan komponen
flavor. Perubahan sifat fisiko kimia akibat pemanasan ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya.
Selain itu, kualitas minyak goreng yang digunakan berhubungan pula dengan
keamanan produk yang dihasilkan. Untuk itu, perlu dicari uji kualitas minyak
yang dapat menggambarkan kualitas minyak secara tepat. Namun disisi lain,
penggunaan minyak goreng pada industri membutuhkan biaya yang cukup besar.
Oleh karena itu, dibutuhkan usaha untuk memperpanjang masa pakai minyak.
Salah satu upaya yang telah lama dilakukan adalah penggunaan adsorben.
Berdasarkan analisis regresi, hubungan kuadratik terlihat pada perubahan
bilangan peroksida. Hubungan linier dengan kecenderungan naik terlihat pada
hasil analisis terhadap parameter-perameter kadar ALB, nilai TPM, bilangan
anisidin, viskositas, bobot jenis, dan nilai absorbansi minyak pada panjang
gelombang 490 nm. Hubungan linier dengan kecenderungan turun terlihat pada
parameter indeks bias.
Berdasarkan analisis korelasi, perubahan viskositas dan bobot jenis
berkorelasi sangat nyata dengan kadar ALB, nilai TPM, dan bilangan anisidin.
Berdasarkan analisis korelasi, penyerapan minyak oleh produk berkorelasi sangat
nyata dengan kenaikan viskositas dan bobot jenis. Selain itu, kenaikan kadar
ALB, nilai TPM, dan bilangan anisidin mempengaruhi penyerapan minyak oleh
produk.
Berdasarkan uji t, aplikasi adsorben berpengaruh nyata tehadap
pengurangan bilangan peroksida, kadar ALB, dan TPM. Nilai peroksida
berkurang sebanyak 68.0 %, ALB sebanyak 32.4 %, dan TPM sebanyak 44.7%.
Kata kunci : penggorengan, minyak goreng, oil uptake, degradasi minyak, dan
adsorben.
PENDAHULUAN
Menurut Blumethal (1996),
proses penggorengan yang
menggunakan energi panas
menimbulkan berbagai perubahan
yang terjadi pada minyak dan
menghasilkan komponen flavor.
Perubahan sifat fisiko kimia akibat
pemanasan ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada minyak
dan menurunkan mutu produk
gorengnya.
Jurnal skripsi 2007
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
1)
Sarjana Departemen Ilmu dan TEknoogi Pangan, IPB
2)
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.
Berbagai macam reaksi yang
terjadi selama proses penggorengan
seperti reaksi oksidasi, hidrolisis,
polimerisasi, dan reaksi dengan
logam dapat mengakibatkan minyak
menjadi rusak. Kerusakan tersebut
menyebabkan minyak menjadi
berwarna kecoklatan, lebih kental,
berbusa, berasap, serta meninggalkan
odor yang tidak disukai pada
makanan hasil gorengan. Perubahan
akibat pemanasan tersebut antara lain
disebabkan oleh terbentuknya
senyawa yang bersifat tosik dalam
bentuk hidrokarbon, asam-asam
lemak hidroksi, epoksida, senyawa-
senyawa siklik, dan senyawa-
senyawa polimer (Ketaren, 1986).
Adanya penurunan kualitas
pada minyak goreng ini
menyebabkan umur simpan produk
berbeda antara satu proses
penggorengan dengan proses
penggorengan sebelumnya. Oleh
karena itu, kualitas minyak goreng
perlu dianalisis sebelum digunakan
kembali untuk menghasilkan produk
dengan shelf life yang sudah
ditetapkan. Selain itu, kualitas
minyak goreng yang digunakan
berhubungan pula dengan keamanan
produk yang dihasilkan. Untuk itu,
perlu dicari uji kualitas minyak yang
dapat mengGambarkan kualitas
minyak secara tepat.
Penelitian ini bertujuan
menyelidiki korelasi antara
penurunan kualitas minyak secara
fisika dan kimiawi terhadap
peningkatan penyerapan minyak
pada produk hasil goreng dan
kinetika ketengikan produk. Selain
itu, untuk menentukan indikator
kualitas minyak yang dapat
digunakan sebagai acuan penerimaan
atau penolakan minyak goreng untuk
penggunaan kembali (reusing). Di
samping itu, untuk mempelajari
efektivitas pengunaan adsorben
terhadap perbaikan kualitas minyak
goreng bekas pakai.
METODOLOGI
Bahan
Bahan utama yang digunakan
adalah minyak goreng kelapa sawit
bekas pakai dan adonan kacang salut.
Minyak digunakan untuk
menggoreng kacang salut sebanyak
20 kali. Setiap 5 kali penggorengan
dilakukan topping dengan minyak
awal. Jumlah minyak dipertahankan
sebanyak 5,5 liter.
Adsorben yang digunakan
adalah magnesium silikat sintetik.
Bahan-bahan kimia yang digunakan
adalah atas etanol 95%, indikator PP,
NaOH, heksan, HCl 0,5 N,
kloroform, KI 15%, natrium tiosulfat
0,1 N, larutan pati 1%, isooktan,
petroleum eter, anisidin, dan kertas
saring.
Metode
Penelitian ini dilaksanakan
dalam dua tahap, yaitu Kajian
pengaruh penurunan kualitas minyak
dan Aplikasi Adsorben dalam
Pemurnian Minyak Goreng Bekas
Pakai. Tahap Kajian Pengaruh
Penurunan Kualitas Minyak terdiri
dari pembuatan kacang salut dan
proses penggorengan kacang salut.
Tahap Aplikasi Adsorben dalam
Pemurnian Minyak Goreng Bekas
Pakai terdiri dari proses filtrasi
minyak goreng bekas pakai yang
digunakan pada tahap kajian
pengaruh penurunan kualitas minyak
dengan adsorben, pembuatan kacang
salut, dan proses penggorengan
dengan menggunakan minyak bekas
pakai yang lebih dimurnikan kembali
dengan penggunaan adsorben.
Kajian Pengaruh Penurunan
Kualitas Minyak
Tahap ini diawali dengan
pembuatan kacang salut. Proses
penggorengan kacang salut langsung
dilakukan pada saat selesai proses
pembuatan (maksimum waktu
tunggu 30 menit). Hal ini bertujuan
agar kacang salut tidak kering.
Parameter proses penggorengan
dilakukan sesuai dengan proses yang
dilakukan pada industri
penggorengan.
Setiap selesai tahap
penggorengan sampel minyak bekas
penggorengan ( 200ml) dan produk
hasil goreng diambil setelah
penggorengan ke- 5, 10, 15, dan 20.
Sampel minyak termasuk minyak
awal yang belum digunakan dalam
proses penggorengan. Sampel
minyak disimpan dalam botol
berwarna untuk dianalisis
kualitasnya berdasarkan parameter
bilangan peroksida, ALB, warna,
bilangan anisidin, viskositas, dan
total polar material. Produk hasil
goreng dikemas dalam kemasan
plastik PP. Selanjutnya produk hasil
goreng ini dianalisis kualitasnya
berdasarkan parameter penyerapan
minyak.
Tahapan ini bertujuan
mempelajari korelasi antara kualitas
minyak goreng secara fisiko kimia
dengan peningkatan penyerapan
minyak oleh produk hasil goreng.
Selain itu, diharapkan informasi yang
didapatkan dapat dijadikan sebagai
acuan dalam memilih standar
indikator kualitas minyak untuk
penerimaan/penolakan minyak
goreng untuk penggunaan ulang
minyak goreng (reusing).
Aplikasi Adsorben dalam
Pemurnian Minyak Bekas Pakai.
Adsorben yang digunakan
adalah magnesium silikat dan
sampel minyak dalam tahap ini
adalah minyak goreng bekas pakai
pada tahap penelitian Kajian
Pengaruh Penurunan Kualitas
Minyak. Jumlah adsorben yang
ditambahkan adalah 1.5% dari bobot
minyak. Proses adsorbsi dengan
menggunakan adsorben dilakukan
pada suhu 90-120
o
C selama 15
menit. Setelah proses penyaringan
selesai dilakukan pemisahan bahan
adsorben dari minyak dengan
menggunakan kertas Whatman 42
yang dibantu dengan pompa vakum.
Minyak ini selanjutnya disebut
minyak recovery, sementara yang
digunakan pada tahap Kajian
Pengaruh Penurunan Kualitas
Minyak disebut minyak non-
recovery. Minyak hasil penyaringan
diambil untuk dianalisis kualitasnya
yang meliputi kadar peroksida, kadar
ALB, viskositas, dan bobot jenis.
Selain itu, minyak hasil penyaringan
(minyak recovery) ini digunakan
dalam proses penggorengan kacang
salut. Proses penggorengan dan
pengambilan sampel sama dengan
yang dilakukan pada tahap Kajian
Pengaruh penurunan Kualitas
Minyak. Tahap ini bertujuan
mempelajari efektivitas penggunaan
adsorben magnesium silikat dalam
memperbaiki kualitas minyak. Selain
itu, penggunaan minyak hasil
penyaringan (recovery oil) bertujuan
membandingkan laju kerusakan
antara minyak bukan hasil recovery
dan minyak recovery pada saat
digunakan dalam proses
penggorengan kacang salut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KAJIAN PENGARUH
PENURUNAN KUALITAS
MINYAK.
Pemahaman mengenai
bagaimana minyak terdegradasi
selama proses penggorengan sangat
penting diketahui untuk
menghasilkan produk goreng dengan
kualitas tinggi. Adanya pemahaman
ini akan membantu operator
penggorengan dalam mengontrol laju
degradasi minyak, memproduksi
makanan goreng berkualitas tinggi,
dan mengoperasikan proses
penggorengan secara efektif dan
efisien secara ekonomi. Pada saat
proses penggorengan, operator harus
memahami bahwa sekali proses
penggorengan dimulai minyak yang
digunakan akan mulai terdegradasi
dan proses ini bersifat irreversibel
(Stier, 2001).
Analisis kualitas minyak meliputi
analisis kimia dan fisik. Analisis
kualitas minyak secara kimia
didasarkan pada senyawa-senyawa
hasil dekomposisi minyak yang
bersifat non-volatil karena senyawa-
senyawa yang bersifat volatil akan
menguap selama proses
penggorengan berlangsung. Analisis
fisik yang dilakukan dilakukan
terhadap parameter-parameter fisik
Karakteristik Kimia Minyak
Peroksida
bilangan peroksida mengalami
kenaikan kemudian mengalami
penurunan kembali. Menurut
Blumethal (1996), pada proses
penggorengan kadar peroksida akan
mengalami kenaikan pada awal
proses sampai titik tertentu kemudian
akan mengalami penurunan.
Penurunan ini disebabkan oleh
proses degradasi lebih lanjut
peroksida menjadi komponen lain
karena peroksida merupakan
komponen organik yang sangat tidak
stabil.
Asam Lemak Bebas (Free Fatty
Acids)
kadar asam lemak bebas mengalami
kenaikan dan penurunan selama
proses penggorengan walaupun tetap
membentuk garis lurus dengan
koefisien regresi sebesar 0.9046.
Blumethal (1996) menyatakan bahwa
asam lemak bebas bukan merupakan
indikator kualitas minyak yang
digunakan dalam penggorengan yang
tepat karena bersifat transien. Asam
lemak bebas akan menguap melalui
proses destilasi dan akan berubah
menjadi asam lemak bebas
teroksidasi.
Total Polar Materials (TPM)
nilai TPM akan mengalami kenaikan
selama proses penggorengan.
Perubahan nilai TPM selama proses
penggorengan mengikuti persamaan
garis linier dengan koefisien regresi
sebesar 0.9321. Menurut Stier
(2001), pada saat minyak mencapai
suhu penggorengan dan produk
dimasukkan maka proses konversi
dari trigliseida akan mulai terjadi.
Semakin lama proses penggorengan
berlanjut minyak akan semakin rusak
dan komponen polar pada minyak
akan semakin bertambah. Oleh
karena itu, komponen polar dapat
dijadikan untuk menghitung
degradasi total dari minyak goreng.
Bilangan Anisidin
bahwa bilangan anisidin mengalami
kenaikan selama proses
penggorengan. Perubahan nilai
bilangan anisidin mengikuti
persamaan linier dengan koefisien
regresi sebesar 0.9654. Prinsip
penentuan bilangan anisidin
merupakan reaksi antara anisidin
dengan - dan -aldehid tidak jenuh
yang tidak volatil. Aldehid
merupakan produk dekomposisi dari
ALB teroksidasi. Aldehid-aldehid
tersebut dapat digunakan sebagai
sebuah tanda untuk menentukan
berapa banyak komponen-komponen
peroksida telah mulai terpecah (Stier,
2001).
Karakteristik Fisik Minyak
Viskositas
viskositas mengalami kenaikan
selama proses penggorengan.
Perubahan viskositas selama
penggorengan mengikuti persamaan
garis linier dengan koefisien regresi
0.9559. Menurut Keijbebets et al.,
(2001) kenaikan viskositas selama
penggorengan disebabkan oleh
adanya pembentukan senyawa
polimer dalam minyak. Polimer
merupakan senyawa yang terbentuk
di dalam minyak goreng akibat
pemanasan yang terus menerus pada
suhu tinggi dengan atau tanpa adanya
oksigen. Polimer terbentuk akibat
adanya ikatan antara atom karbon
dan oksigen.
Bobot jenis
selama penggorengan bobot jenis
akan mengalami kenaikan. Proses
polimerisasi pada minyak akan
menyebabkan berat molekul minyak
bertambah. Hal ini diperlihatkan
dengan naiknya bobot jenis minyak
selama proses penggorengan
(Andarwulan et al., 1997).
Berdasarkan uji korelasi, bobot
memiliki hubungan yang sangat
nyata dengan ALB, TPM, dan
bilangan anisidin dengan koefisien
masing-masing 0.829, 0.921, dan
0.857.
Indeks bias
indeks bias minyak
mengalami penurunan selama proses
penggorengan. Penurunan nilai
indeks bias minyak mengikuti
persamaan garis lurus dengan
koefisien regresi sebesar 0.8176.
Menurut Winarno (2002), indeks
bias akan meningkat dengan makin
panjangnya rantai C, derajat
ketidakjenuhan, dan suhu yang
semakin tinggi. Pada saat minyak
digunakan pada proses
penggorengan, minyak akan
mengalami reaksi hidrolisis yang
disebabkan keberadaan air dan suhu
tinggi. Reaksi hidrolisis
menyebabkan trigliserida pada
minyak berubah menjadi gliserol dan
asam lemak. Berdasarkan uji
korelasi, indeks bias berkorelasi
sangat nyata dengan bilangan ALB
dengan koefisien korelasi 0.789.
Hal ini berarti nilai indeks bias
minyak akan semakin kecil dengan
semakin besarnya kadar ALB di
dalam minyak.
Warna
Absorbansi minyak akan mengalami
kenaikan selama proses
penggorengan. Hal ini berarti warna
minyak semakin gelap yang
disebabkan oleh terbentuknya bahan-
bahan oksidatif, termasuk polimer
dan keberadaan dari produk yang
larut minyak dari bahan yang
digoreng (Krishnamurthy dan
Vernon, 1996). Kenaikan absorbansi
minyak mengikuti persamaan garis
linier dengan koefisien regresi
sebesar 0.923. Berdasarkan uji
korelasi, warna minyak yang diukur
pada panjang gelombang 490 nm
berkorelasi sangat nyata dengan
kadar ALB dan bilangan anisidin.
Penyerapan Minyak oleh Produk
kadar minyak dalam produk
goreng mengalami kenaikan seiring
dengan semakin lamanya proses
pengorengan. Kadar minyak pada
produk hasil goreng ini diasumsikan
dengan penyerapan minyak oleh
produk, semakin besar kadar minyak
pada produk maka semakin banyak
jumlah minyak yang diserap.
Berdasarkan uji korelasi, penyerapan
minyak mempunyai hubungan yang
sangat nyata dengan nilai viskositas
dan bobot jenis dengan koefisien
korelasi masing-masing sebesar
0.825 dan 0.857.
APLIKASI ADSORBEN DALAM
PEMURNIAN MINYAK BEKAS
PAKAI.
Berdasarkan uji t, aplikasi
adsorben berpengaruh tehadap
pengurangan bilangan peroksida,
kadar ALB, dan TPM. Namun, untuk
bobot jenis dan indeks bias aplikasi
adsorben tidak berpengaruh nyata.
Hal ini memperlihatkan bahwa
aplikasi adsorben dapat memperbaiki
sifat kimia dari minyak bekas pakai
tetapi tidak dapat memperbaiki sifat
fisiknya. Nilai peroksida berkurang
sebanyak 68.0 %, ALB sebanyak
32.4 %, dan TPM sebanyak 44.7%.
Secara umum laju kerusakan minyak
recovery pada saat digunakan dalam
menggoreng lebih cepat
dibandingkan laju kerusakan minyak
non-recovery.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis regresi,
hubungan kuadratik terlihat pada
perubahan bilangan peroksida.
Hubungan linier dengan
kecenderungan naik terlihat pada
hasil analisis terhadap parameter-
perameter kadar ALB, nilai TPM,
bilangan anisidin, viskositas, bobot
jenis, dan nilai absorbansi minyak
pada panjang gelombang 490 nm.
Hubungan linier dengan
kecenderungan turun terlihat pada
parameter indeks bias.
Berdasarkan analisis korelasi,
perubahan viskositas dan bobot jenis
berkorelasi sangat nyata dengan
kadar ALB, nilai TPM, dan bilangan
anisidin. Berdasarkan analisis
korelasi, penyerapan minyak oleh
produk berkorelasi sangat nyata
dengan kenaikan viskositas dan
bobot jenis. Selain itu, kenaikan
kadar ALB, nilai TPM, dan bilangan
anisidin mempengaruhi penyerapan
minyak oleh produk.
Berdasarkan hasil penelitian,
indikator kimia yang dapat
digunakan dalam penentuan kualitas
minyak adalah kadar TPM dan
bilangan anisidin. Kadar ALB tidak
cocok dijadikan sebagai indikator
kualitas minyak walaupun memiliki
koefisien regresi dan korelasi yang
sangat nyata dengan kualitas minyak.
Hal ini karena kadar ALB
mengalami fluktuasi selama proses
penggorengan. Untuk parameter
fisik, indikator yang paling mungkin
adalah viskositas. Hal ini karena
viskositas memiliki korelasi yang
sangat kuat dengan perubahan kimia
minyak. Selain itu, viskositas sering
dijadikan sebagai prinsip dasar kerja
instrumen komersial untuk
menentukan kualitas minyak
Berdasarkan uji t, aplikasi
adsorben berpengaruh nyata tehadap
pengurangan bilangan peroksida,
kadar ALB, dan TPM. Nilai
peroksida berkurang sebanyak 68.0
%, ALB sebanyak 32.4 %, dan TPM
sebanyak 44.7%. Laju kerusakan
minyak hasil recovery lebih cepat
dibandingakn laju kerusakan minyak
non-recovery. Oleh karena itu,
penggunaan adsorben tidak dapat
memperbaiki beberapa parameter
mutu minyak goreng, seperti indeks
bias, bobot jenis, dan viskositas.
SARAN
Untuk mempelajari kinetika
degradasi minyak dan penentuan
indikator kualitas minyak yang tepat,
perlu digunakan minyak goreng baru
(fresh oil). Selain itu, perlu juga
dilakukan di pabrik sehingga kondisi
penggorengan yang dilakukan sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya,
seperti lama waktu penggorengan,
rasio antara minyak dan produk yang
digoreng, serta sistem penggorengan.
Guna mendapatkan hasil yang lebih
baik, perlu dilakukan percobaan
dengan rancangan percobaan yang
tepat, seperti ulangan percobaan dan
jumlah pengambilan sampel
dilakukan lebih banyak, dan
standardisasi formulasi dan
parameter proses.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, A. Sadikin, Y.T., dan
Winarno, F.G. 1997.
pengaruh lama penggorengan
dan penggunaan adsorben
terhadap mutu minyak goring
bekas penggorengan tahu-
tempe. Buletin Teknol. dan
Industri Pangan. 8 (1) : 40-
45.
Blumethal, M.M. 1996. frying
technology. Di dalam:
Baileys Industrial Oil and
Fat Technology; Edible Oil
and Fat Product: Product and
Application Technology (4
th
ed., Vol 3). Wiley-
Interscience Publication. New
York. pp. 429-482
Keijbebets, B.V. H., Aviko, dan
steenderen 2001. the
manucfature of pre-fried
potato product. Di dalam :
Rossell, J.B. (ed.). Frying :
Improving quality. CRC
Press. New York. pp. 197-
213.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan
Lemak Pangan. UI Press.
Jakarta.
Krishnamurthy, R.G. dan Vernon C.
W. 1996. salad oil and oil-
based dressings. Di dalam:
Baileys Industrial Oil and
Fat Technology; Edible Oil
and Fat Product: Product and
Application Technology (4
th
ed., Vol 3). Wiley-
Interscience Publication. New
York. pp. 193-224
Stier, R. F. 2003. Finding
Functionality in Fat and Oil.
www.preparedFood.com. [22
Februari 2007]
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan.
PT. Gramedia. Jakarta.