Anda di halaman 1dari 47

OPTIMASI PENGGORENGAN DENGAN METODE PENGGORENGAN

Pan Frying DAN Deep Frying MENGGUNAKAN MINYAK GORENG


CURAH PADA PENGGORENGAN KENTANG

Oleh:

Elviana Hanum
4151210004
Program Studi Kimia

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Sains

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENEGTAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2019
Judul Skripsi : OPTIMASI PENGGORENGAN DENGAN METODE
PENGGORENGAN Pan Frying DAN Deep Frying
MENGGUNAKAN MINYAK GORENG CURAH PADA
PENGGORENGAN KENTANG

Nama Mahasiswa : Elviana Hanum

NIM : 4151210004

Program Studi : Kimia

Jurusan : Kimia

Menyetujui :
Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. techn. Marini Damanik, M.Si


NIP. 19771026 200812 2 001

Mengetahui:

Jurusan Kimia Program Studi Kimia


Ketua, Ketua,

Dr. Ayi Darmana, M.Si Dr. DestriaRoza, M.Si


NIP. 19660807 1999010 1 001 NIP. 19711217 199702 2 001

Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 19 Juni 1998. Penulis adalah
anak ketiga dari 3 bersaudara dari Ayah Edi Kuswanto dan Ibu Salmiah. Penulis
mempunyai 2 kakak permpuan. Penulis lulus dari SD Swasta Tri Dharma pada
tahun 2009, SMP Swasta Bayu Pertiwi pada tahun 2012 dan SMA Swasta Bayu
Pertiwi pada tahun 2015, Penulis di terima di Universitas Negeri Medan, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dengan program studi KIMIA.
Selama perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten laboratorium mata
kuliah Praktikum Kimia Analitik III (Instrumen) mengampu kelas Bilingual 2015
dan Asisten laboratorium mata kuliah Biokimia mengampu kelas Pendidikan
Kimia C 2017 dan kelas Bilingual 2017.
OPTIMASI PENGGORENGAN DENGAN METODE PENGGORENGAN
PAN FRYING DAN DEEP FRYING MENGGUNAKAN MINYAK
GORENG CURAH PADA PENGGORENGAN KENTANG

Elviana Hanum (4151210004)

ABSTRAK

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dalam


memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Minyak goreng sering digunakan sebagai
medium untuk pengolahan makanan, dalam penggorengan minyak goreng
berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah
nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Minyak goreng yang dikonsumsi sehari-
hari sangat erat kaitannya dengan kesehatan. Saat ini banyak masyarakat memakai
minyak goreng curah untuk menggoreng berbagai makanan dengan berbagai
kondisi penggorengan. Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan dapat
mengakibatkan kualitas minyak menurun dan kerusakan pada minyak. Oleh
karena itu perlu dilakukan optimasi penggorengan dengan suhu 170°C, 180°C dan
190°C dengan waktu 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit dengan metode
penggorengan pan frying dan deep frying. Kemudian dilakukan uji kualitas
minyak yaitu : asam lemak bebas, bilangan peroksida dan kadar air. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu dalam stabilitas minyak
goreng curah pada hasil penggorengan kentang dan membandingkan metode pan
fryng dan deep frying dalam stabilitas minyak goreng curah pada hasil
penggorengan kentang. Dalam metode pan frying Kadar asam lemak bebas : pada
suhu 170°C, 180°C dan 190°C dengan waktu 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit
berturut-turut adalah 1,6 %, 1,8%, 1,9%, 1,8%, 1,9%, 1,9%, 1,9%, 2% dan 2%.
untuk bilangan peroksida : 6 meq/kg, 6 meg/kg, 8 meg/kg, 8 meg/kg, 10 meg/kg,
10 meg/kg, 10 meg/kg, 12 meg/kg dan 12 meg/kg. Untuk kadar air: 0,10%,
0,11%, 0,13%, 0,12%, 0,13%, 0,14%, 0,13%, 0,15% dan 0,17%. Dalam metode
deep frying Kadar asam lemak bebas : pada suhu 170°C, 180°C dan 190°C
dengan waktu 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit berturut-turut adalah 1,5%,
1,5%, 1,6%, 1,6%, 1,6%, 1,8%, 1,8%, 1,8% dan 1,9%. Untuk bilangan peroksida :
4 meg/kg, 4 meg/kg, 6 meg/kg, 6 meg/kg, 6 meg/kg, 8 meg/kg, 8 meg/kg, 10
meg/kg dan 10 meg/kg. Untuk kadar air : 0,05 %, 0,07%, 0,08%, 0,05%, 0,08%,
0,09%, 0,09%, 0,10% dan 0,12%. Dari hasil yang didapat maka dapat
disimpulkan bahwa metode deep frying lebih stabil dibandingkan dengan metode
pan frying.

Kata Kunci : Minyak goreng curah, deep frying, pan fryng, Kadar asam lemak
bebas, Bilangan peroksida, Kadar air
DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan i
Riwayat Hidup ii
Abstak iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
Daftar Tabel vii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 4
1.3 Rumusan Masalah 4
1.4 Tujuan Penelitian 5
1.5 Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Minyak Goreng 6
2.3 Asam Lemak Bebas 8
2.4 Bilangan Peroksida 11
BAB III METODELOGI PENELITIAN 13
3.1 Jenis penelitian 13
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 13
3.3 Alat dan Bahan 13
3.4 Prosedur Kerja 13
3.4.1 Optimasi Kondisi Penggorengan 14
3.5 Metode Analisis 15

3.5.1 Karakterisasi Minyak 15


1 Kadar asam lemak bebas (PORIM, 1995) 15
3 Penentuan Bilangan Peroksida (BK) (PORIM p.2.3, 1995) 15
4 Pengukuran Kadar Air (AOCS Official Methode Ae 2 - 52, 1997) 16
3.6 Diagram Alir Penelitian 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22
4.1. Optimasi Kondisi Penggorengan 22
4.2. Karakterisasi Minyak 22
4.3. Uji Orgoleptik Pada Kentang Goreng 32
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Minyak Goreng Curah 7

Gambar 2 Reaksi pembentukan asam lemak bebas 9

Gambar 3 Optimasi kondisi penggorengan 17

Gambar 4 Pengujian mutu kentang goreng 19

Gambar 5 Kadar asam lemak bebas 19

Gambar 6 Penentuan Bilangan Peroksida 20

Gambar 7 Pengukuran Kadar Air 21


DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Syarat Mutu Minyak Goreng 8

Tabel 2 Beberapa asam lemak yang biasa ditemukan 10


1

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan kebutuhan masyarakat luas yang saat ini
harganya mahal sehingga masyarakat menggunakan minyak goreng secara
berulang (minyak jelanta) untuk menggoreng terutama oleh pedagang kuliner
gorengan (Kataren, 1986).
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Minyak goreng yang dikonsumsi sehari-
hari sangat erat kaitannya dengan kesehatan. Terdapat dua jenis minyak goreng
yaitu, minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.
Perbedaan minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan terletak pada
penyaringannya yang berpengaruh terhadap kualitas minyak goreng. Minyak
goreng kemasan mengalami dua kali penyaringan sedangkan minyak goreng
curah mengalami satu kali penyaringan (Kukuh, 2010).
Berdasarkan riset, minyak goreng curah mendominasi pasar dengan meraup
mangsa sebesar 30% dari total pangsa pasar minyak goreng, sisanya dikuasai oleh
minyak goreng bermerek (Fadhilla, 2008). Saat ini terdapat setidaknya 24 merek
minyak goreng dan itu belum termasuk merek-merek minyak goreng yang beredar
lokal di daerah tertentu (Eugenia, 2013).
Pemanasan minyak goreng dengan suhu tinggi akan mengakibatkan minyak
mengalami kerusakan karena adanya oksidasi yang mampu menghasilkan
senyawa aldehida, keton, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik.
Selain itu mengakibatkan polimerasi asam lemak tidak jenuh sehingga komposisi
medium minyak berubah (Mariod et al, 2006).
Penggunaan minyak dengan pemanasan tinggi beserta kontak oksigen akan
mengakibatkan minyak mengalami kenaikan asam lemak bebas. Peningkatan
asam lemak bebas dalam tubuh akan mengakibatkan peningkatan inflamation
systemic yang ditandai dengan munculnya interleukin-6 dan protein C-reaktif
yang berdampak pada gagal jantung dan kematian mendadak
2

(Mozzaffarian et al, 2004).


Penanganan minyak goreng curah yang tidak langsung dari produsen ke
konsumen, menyebabkan penurunan kualitas minyak goreng. Selain adanya
pemalsuan, kemasan pembungkus minyak goreng curah yang tidak tepat dan
interaksi langsung dengan matahari dapat mengubah struktur kimiawi minyak
goreng (Eva, 2017).
Berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan dapat dilakukan pada kondisi
tekanan atmosfer, bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi
vakum. Perbedaan metode dan kondisi proses penggorengan akan berpengaruh
terhadap kualitas produk akhir yang dihasilkan (Bengston, 2006). Saguy and
Pinthus (1995) melaporkan bahwa proses penggorengan dapat merubah kualitas
fisik dan kimia produk seperti gelatinisasi, denaturasi protein dan penguapan air.
Penggorengan dapat mentrasfer suatu massa produk yang ditandai dengan adanya
penyerapan minyak dan migrasi air yang menguap melalui miyak goreng.
Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan
karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi
penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat
popular (Boskou, et al., 2006; Warner, 2002). Selama penggorengan terjadi
hidrolisa, oksidasi dan dekomposisi minyak yang dipengaruhi oleh bahan pangan
dan kondisi penggorengan (Chatzilazarou, et al, 2006). Produksi komponen
komponen di dalam minyak selama penggorengan ditransfer dari bahan makanan
yang digoreng, beberapa dari komponen tersebut dapat menurunkan daya terima
konsumen dan memberikan efek yang merugikan kesehatan (Galeone, et al,
2006).
Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah
menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada suhu yang
relatif tinggi (160-180 ºC). Asam lemak bebas dan bilangan peroksida merupakan
bagian dari parameter mutu minyak goreng. Asam lemak bebas terbentuk karena
proses oksidasi dan hidrolisis enzim selama pengolahan dan penyimpanan
(Ketaren, 1986 ; Orthoefer and Cooper, 1996). Kandungan peroksida dapat
3

mempercepat bau tengik dan flavor yang tidak diinginkan, jika jumlah peroksida
lebih besar dari 100 akan bersifat sangat beracun (Ketaren, 1986).
Metode deep frying melibatkan jumlah minyak yang banyak sehingga
semua bagian terendam di dalam minyak panas. Prosesnya cepat, dapat dilakukan
terus menerus dalam jumlah banyak dan masa simpan lebih lama. Minyak akan
menetes ke luar dari permukaan pangan dengan mudah. Apabila makanan
digoreng dalam minyak untuk waktu lama, maka kandungan air dalam makanan
tersebut akan berkurang dan minyak mulai masuk ke dalam makanan. setelah
proses penggorengan disarankan memakai saringan sebagai penirisan supaya
kadar minyak lebih sedikit. Keunggulan metode ini menghasilkan pangan yang
renyah, lebih crispy, bagian dalamnya tetap lunak dan matang merata. Sedangkan
kelemahan setelah melakukan deep frying yaitu pemborosan pada minyak karena
telah digunakan banyak dan menghasilkan makanan yang berlemak.
Metode pan frying menggunakan minyak goreng yang lebih sedikit deep
frying. Istilah pan frying lebih tepat diterapkan pada teknik menggoreng yang
menggunakan pan (penggoreng). Sebagai salah satu teknik penggorengan, pan
frying menggunakan penghantar panas sedang yang bertujuan mempertahankan
kelembaban pangan. Keuntungan menggunakan metode tersebut lebih praktis,
minyak yang diperlukan lebih sedikit sehingga waktu pemanasan minyak lebih
pendek. Sedangkan kelemahannya adalah lebih sulit mengatur suhu minyak.
Secara umum, pan frying lebih tepat digunakan apabila jumlah bahan pangan
yang diolah sedikit dan berukuran kecil (Mulyatiningsih, 2007).
Kerusakan minyak goreng ditandai dengan terjadinya perubahan bau dalam
minyak yaitu berupa bau tengik yang disebabkan oleh karena penggunanan
minyak goreng secara berulang - ulang dan juga karena penyimpanan minyak
goreng yang tidak baik sehingga menyebabkan minyak terhidrolisis dan
teroksidasi. Penggunaan minyak yang dengan pemanasan tinggi beserta kontak
oksigen akan mengakibatkan minyak mengalami kenaikan asam lemak bebas.
Peningkatan asam lemak bebas dalam tubuh akan mengakibatkan peningkatan
sistem imflamasi yang ditandai dengan munculnya interleukin-6 dan protein C-
reaktif yang berdampak pada gagal jantung dan kematian mendadak.
4

Selain meningkatkan asam lemak, pemanasan berulang akan membentuk


asam lemak trans di dalam minyak (Fan et al., 2013). Mutu minyak kelapa sawit
dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar-benar murni dan tidak
bercampur dengan minyak nabati lain. Dalam hal ini syarat mutu diukur
berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB,
komposisi asam lemak dan bilanagn iodine pada suat minyak.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perilaku
minyak goreng curah dalam bentuk murni, selama penggorengan pada berbagai
kondisi pengolahan. Penelitian ini dilakukan 18 perlakuan dengan 2 kali
pengulangan disetiap variasi suhu dan waktu yaitu, pada suhu 170°C, 180°C dan
190°C Dengan waktu 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit dan volune minyak 500
mL pada metode pan frying dan 1 L pada metode deep frying.
Selanjutnya dilakukan pengujian pada minyak, seperti kadar Asam Lemak
Bebas (ALB) , Bilangan peroksida dan Kadar air.

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada penentuan kondisi optimum pada minyak


curah dengan variasi suhu 170°C 180°C dan 190°C dengan variasi waktu 7,5
menit, 10 menit dan 12,5 menit kemudian dianalisis sifat fisikokimia minyak
seperti kadar Asam Lemak Bebas (ALB) , Bilangan peroksida dan Kadar air.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbandingan metode penggorengan pan frying dengan deep


frying terhadap stabilitas minyak hasil penggorengan pada kentang
goreng?

2. Bagaimana pengaruh suhu penggorengan terhadap stabilitas minyak hasil


penggorengan pada kentang goreng?

3. Bagaimana pengaruh waktu penggorengan terhadap stabilitas minyak hasil


penggorengan pada kentang goreng?
5

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan metode penggorengan pan frying dengan deep


frying terhadap stabilitas minyak hasil penggorengan pada kentang
goreng.

2. Mengetahui pengaruh suhu terhadap stabilitas minyak hasil penggorengan


pada kentang goreng.

3. Mengetahui pengaruh waktu terhadap stabilitas minyak hasil


penggorengan pada kentang goreng.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Diperolehnya gambaran yang jelas mengenai pengaruh jenis minyak, suhu
dan waktu terhadap stabilitas oksidatif minyak hasil penggorengan
kentang goreng.

2. Memberikan informasi tambahan bagi penelitian lanjutan untuk


pencampuran minyak sawit curah dan minyak jagung dalam rangka
peningkatan stabilitas oksidatif minyak pada proses penggorengan.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng


Minyak goreng sering digunakan sebagai medium untuk pengolahan
makanan, dalam penggorengan minyak goreng berfungsi sebagai medium
penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam
bahan pangan. Hal ini dapat meningkatkan peminat gorengan (Ketaren, 2008).
Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang
dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat yang biasanya digunakan sebagai
media menggoreng bahan pangan.Minyak atau lemak peranannya bukan hanya
sebagai pengangkut vitamin – vitamin penting yang larut dalam minyak (A, D, E,
dan K ) dalam darah, melainkan juga berperan dalam proses pembentukan otak
dan kecerdasan manusia, serta kesehatan tubuh pada umumnya (Winarno, 1997).
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Minyak goreng yang dikonsumsi sehari-
hari sangat erat kaitannya dengan kesehatan. Terdapat dua jenis minyak goreng
yaitu, minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.
Perbedaan minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan terletak pada
penyaringannya yang berpengaruh terhadap kualitas minyak goreng. Minyak
goreng kemasan mengalami dua kali penyaringan sedangkan minyak goreng
curah mengalami satu kali penyaringan (Kukuh, 2010).
Berdasarkan riset, minyak goreng curah mendominasi pasar dengan
meraup mangsa sebesar 30% dari total pangsa pasar minyak goreng, sisanya
dikuasai oleh minyak goreng bermerek (Fadhilla, 2008). Saat ini terdapat
setidaknya 24 merek minyak goreng dan itu belum termasuk merek-merek minyak
goreng yang beredar lokal di daerah tertentu (Eugenia, 2013).
7

Gambar 1. Minyak Goreng Curah


Mengkonsumsi minyak goreng yang digunakan berulang-ulang (lebih dari
4 kali) yang telah mengalami oksidasi (reaksi dengan udara) dapat menyebabkan
iritasi saluran pencernaan, diare, dan kanker. Selain itu minyak goreng akan
mengalami ketengikan sehingga merusak tekstur dan cita rasa bahan makanan
yang digoreng (Khomsan, 2010).
Minyak goreng yang digunakan berulang tidak hanya merusak mutu
minyak goreng tetapi juga menurunkan mutu bahan pangan yang digoreng dan
membuat minyak teroksidasi membentuk gugus peroksida dan monomer siklik,
minyak yang telah mengalami hal tersebut dikatakan telah rusak dan berbahaya
bagi tubuh.
Umumnya minyak goreng yang digunakan dengan pemanasan tinggi
sangat tidak sehat, karena asam lemaknya lepas dari trigliserida dan jika asam
lemak bebas(free fatty acid, FFA) mengandung ikatan rangkap maka
akanteroksidasi menjadi aldehid maupun keton yang menyebabkan bau tengik
(Ketaren, 1986).
Menurut badan standarisasi SNI 01-3741-2013 standar mutu minyak
goreng di Indonesia maksimal bilangan peroksida 10 mek O2/kg, dan bilangan
asam 0,6 mg KOH/g. Minyak goreng curah banyak mengandung asam lemak,
(asam lemak jenuh: miristat 1-5%, palmitat 5-15%, stearat 5-10%; asam lemak tak
jenuh: oleat 70-80%, linoleat 3-11%, palmitoleat 0,8-1,4%), dan proses
pengolahannya hanya satu kalipenyaringan pada bagian refiner, selanjutnya
dikirim ke penimbunan (bulking) untuk diekspor atau dijual kepasar tradisional
dan banyak dikomsumsi masyarakat karena harganya relatif murah, dan
sebahagian lagi diolah menjadi minyak goreng kemasan.
8

Tabel. 1. Syarat Mutu Minyak Goreng (SNI, 2013).


No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Warna - Normal
2 Kadar Air dan Bahan Menguap %(b/b) Maks. 0,15
3 Bilangan Asam mg KOH/g Maks. 0,6
4 Bilangan Peroksida mek O2/kg Maks. 10
5 Minyak Pelikan - Negatif
6 Asam Linolenat (C 18:3) dalam % Maks. 2
komposisi asam lemak minyak

Minyak goreng selama proses penggorengan apalagi dilakukan berulang


dan suhu tinggi, akan mengakibatkan kerusakan dimana bahan gorengan kurang
menarik, cita rasa tidak enak, terjadi kerusakan vitamin dan asam lemak esensial
pada minyak, ikatan rangkap asam lemak tak jenuh teroksidasi, terbentuk isomer
cis menjadi trans, terbentuk radikal bebas aktif, aldehid, keton, terjadi polimerisasi
struktur karena pengaruh panas dan dipercepat adanya oksigen, logam tembaga
atau besi sebagai wadah saat penggorengan. Oksidasi penyebab utama perubahan
kimiawi dari minyak disamping penyebab degradasi lainnya yang berpotensi
menghasilkan racun (Nainggolan dkk, 2016).
Laju perubahan kimia dan tingkat perubahan tergantung pada jenis
minyak, dan kerusakan akibat pemanasan pada suhu tinggi (200-250°C)
mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit, misalnya
diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan menurunkan nilai
cerna lemak (Ketaren, 2005).
2.3 Asam Lemak Bebas
Penggunaan minyak goreng secara kontinyu dan berulang-ulang pada suhu
tinggi (160-180°C) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses
penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi degradasi yang komplek
dalam minyak dan menghasilkan berbagai senyawa hasil reaksi. Minyak goreng
9

juga mengalami perubahan warna dari kuning menjadi gelap (Yustinah, 2011).
Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi.
Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap
atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada
bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung
selama penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap
mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang
telah rusak akan mempunyai struktur dan penampakan yang kurang menarik serta
citra rasa dan bau yang kurang enak (Tranggono dan Sutardi, 1990).
Pembentukan asam lemak bebas dapat dilihat yaitu dari pembentukan
trigliserida dengan tambahan air menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas.

Gambar 2. Reaksi pembentukan asam lemak bebas


Penelitian Febriansyah (2007) juga menyatakan jumlah minyak dalam
makanan yang digoreng mengalami kenaikan seiring dengan semakin lamanya
proses pengorengan, hal ini dikarenakan selama proses penggorengan minyak
goreng mengalami berbagai reaksi kimia di antaranya reaksi hidrolisis dan
oksidasi yang dapat menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas (Kumala,
2003). Kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak nabati dapat
menjadi salah satu parameter penentu kualitas minyak tersebut. Besarnya asam
lemak bebas dalam minyak ditunjukan dengan nilai angka asam. Angka asam
yang tinggi mengindikasikan bahwa asam lemak bebas yang ada di dalam minyak
nabati juga tinggi sehingga kualitas minyak justru semakin rendah (Winarno,
2004).
10

Pembentukan asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas diakibatkan


oleh proses hidrolisis yang terjadi selama prosess penggorengan, ini biasanya
disebabkan oleh pemanasan yang tinggi yaitu pada suhu 160-200°C (Kalapathy
dan Proctor, 2000). Menurut Kulkarni dan Dalai (2006) uap air yang dihasilkan
pada saat proses penggorengan, menyebabkan terjadinya hidrolisis terhadap
trigliserida, menghasilkan asam lemak bebas, digliserida, monogliserida, dan
gliserol yang diindikasikan dari angka asam.
Tabel 2. Beberapa asam lemak yang biasa ditemukan

Nama Jumlah Formula Titik


karbon leleh

Asam Lemak Jenuh


Laurat 12 CH3(CH2)10CO2H 44
Myristat 14 CH3(CH2)12CO2H 58
Palmitat 16 CH3(CH2)14CO2H 63
Stearat 18 CH3(CH2)16CO2H 70
Arachidonat 20 CH3(CH2)18CO2H 75

Asam lemak tidak


jenuh
Palmitoleat 16 CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7CO2H 32
Oleat 18 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7CO2H 7
Linoleat 18 CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7 -5
Linolenat 18 CO2H -11
CH3(CH2CH=CH)3(CH3)CO2H

Asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil mengakibatkan


rasa tidak lezat. Hal ini berlaku pada lemak yang mengandung asam lemak tidak
dapat menguap, dengan jumlah atom C lebih besar dari 14 (Ketaren, 2005).

Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan kadar ALB yang relatif tinggi


dalam minyak sawit antara lain :
11

1. pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu


2. keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah
3. penumpukan buah yang terlalu lama
4. proses hidrolisa selama pemprosesan di pabrik
Peningkatan kadar ALB juga dapat terjadi pada proses hidrolisa di pabrik.
Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan
berlansung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu
merupakan bahan oembantu dalam proses pengolahan. Akan tetapi, proses
pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak
diinginkan, mutu minyak menurun sebab air pada kondisi suhu tertentu bukan
membantu proses pengolahan tetapi malah menurunkan mutu minyak. Untuk itu,
setelah akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan dengan suhu
90oC. Sebagai ukuran standar mutu dalam perdagangan untuk ALB ditetapkan
sebesar 5% (Darnoko, 2003).
2.4 Bilangan Peroksida
Hasil pengukuran terhadap bilangan peroksida menunjukkan
kecenderungan meningkat dengan semakin banyaknya pengulangan
penggorengan (Aminah, 2010). Pengukuran angka peroksida pada dasarnya
adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap
awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan
lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih
rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini.
Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih
kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat
kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain
(Raharjo, 2006).
Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak
dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya
tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Ketaren, 1986).
Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen
diambil dari senyawa oleofin menghasikan radikal bebas. Keberadaan cahaya dan
12

logam berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut. Radikal bebas yang
terbentuk bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi, selanjutnya dapat
mengambil hidrogen dari molekul tak jenuh lain menghasilkan peroksida dan
radikal bebas yang baru ( DeMan, 1999; Ericson, 2002).
Bilangan peroksida dinyatakan dengan rumus perhitungan sebagai berikut:
(S − B)𝑋𝑁𝑋1000
𝐵𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑃𝑒𝑟𝑜𝑘𝑠𝑖𝑑𝑎 =
BeratSampel(g)
S = titrasi sampel;
B = titrasi blanko,
N = Normalitas Na2S2O3 (Aminah, 2010).
Menurut Balai Penelitian Kimia (Standard Industri Indonesia, SII) oleh
Murdjiati dkk, angka peroksida (mek/kg) maksimum 2. Hasil penelitian Alyas et
al. (2006) menunjukkan peningkatan bilangan peroksida yang signifikan dengan
meningkatnya suhu dan waktu penggorengan Aidos et al. (2001) dan Skara et al.
(2004) juga melaporkan bahwa peningkatan bilangan peroksida signifikan dengan
peningkatan suhu penyimpanan. Hasil tersebut menunjukkan adanya efek sinergis
suhu yang tinggi dengan waktu yang lama terhadap bilangan peroksida.
Pemanasan yang terlalu tinggi menyebabkan sebagian minyak teroksidasi
dan minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan
mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut. Proses oksidasi
dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau
lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada
minyak dan lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida
dan hidroperoksida (Ketaren, 1986).
13

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah eksperimen laboratorium. Faktor yang dicobakan
adalah jenis minyak (1 variasi), metode (2 variasi) suhu (3 variasi) dan waktu (3
variasi) sehingga secara keseluruhan ada 18 perlakuan dengan 2 kali pengulangan.
Perlakuan ini bertujuan untuk melihat tingkat stabilitas oksidatif dari minyak
curah. Penggorengan dilakukan dengan 2 metode penggorengan dengan volume
minyak 500 mL dan 1 L untuk pencarian suhu optimum yaitu antara 170o, 180oC
dan 190oC dan waktu mengoreng 7,5, 10, dan 12,5 menit pada kentang goreng.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan dan tempat penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam dan Laboratorium Gizi Universitas Negeri Medan, Jl. Williem Iskandar
pasar V Medan Estate, Deli Serdang, Sumatera Utara.

3.3. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, adalah beaker glass, erlenmeyer,
gelas ukur, alumunium foil, oven , cawan penguapan, desikator, buret, pan frying,
deep frying, tungku gas, refrigerator,slicer.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah minyak curah, kentang
merah dari pasar tradisional di kota Medan. Bahan kimia proanalisis yaitu
Isopropanol, phenoptalein, KOH 0,1 N, kloroform, asam asetat glasial, KI jenuh,
aquadest, indikator pati 1 %, Na2S2O3 0,1 N.
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Optimasi kondisi penggorengan.
1. Penyiapan kentang mentah yang siap untuk digoreng.
Kentang merah dikupas, dicuci dengan air kemudian diiris dengan slicer
(dalam bentuk kentang goreng) lalu ditaburi dengan garam dapur selama lebih
14

kurang 5 menit. Kemudian, Kentang yang telah digarami ditimbang sebanyak 50


g dan 100 g. Kondisi kentang siap untuk menggoreng. Prosedur di atas diulangi
untuk setiap variasi perlakuan.
2. Penyiapan kondisi penggorengan pan frying pada setiap variasi
perlakuan
Minyak disiapkan sebanyak 500 mL dimasukkan ke dalam kuali
penggorengan. Gas dihidupkan dan diset pada suhu 170oC, 180oC dan 190oC
sesuai dengan variasi suhu perlakuan menggunakan termometer. Setelah
mencapai suhu yang diinginkan kentang merah yang dalam kondisi siap untuk
digoreng, dimasukkan ke dalam kuali. Bersamaan dengan masuknya kentang,
stopwatch dihidupkan sesuai dengan variasi waktu perlakuan. Variasi waktu yang
diberlakukan adalah 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit untuk kentang goreng.
Setelah mencapai waktu penggorengan yang diinginkan, gas dimatikan. Kentang
goreng yang ada dalam wadah penggorengan diangkat. Kentang goreng ditiriskan
selama lebih kurang 5 menit, dilanjutkan untuk penggorengan ke-2. Minyak hasil
penggorengan akan dijadikan sampel untuk pengujian minyak, antara lain : kadar
air, kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida.
3. Penyiapan kondisi penggorengan deep frying pada setiap variasi
perlakuan
Minyak curah disiapkan sebanyak 1 L dimasukkan ke dalam deep frying
diset pada suhu 170oC, 180oC dan 190oC sesuai dengan variasi suhu perlakuan.
Setelah mencapai suhu yang diinginkan kentang merah yang dalam kondisi siap
untuk digoreng, dimasukkan ke dalam deep frying. Bersamaan dengan masuknya
kentang, deep frying di set variasi waktu 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit untuk
kentang goreng. Setelah mencapai waktu penggorengan yang diinginkan, Kentang
goreng yang ada dalam wadah penggorengan diangkat. Kentang goreng ditiriskan
selama lebih kurang 5 menit, dilanjutkan untuk penggorengan ke-2. Minyak hasil
penggorengan akan dijadikan sampel untuk pengujian minyak, antara lain : kadar
air, kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida.
15

3.5 Metode Analisis


3.5.1 Karakterisasi Minyak
1. Kadar asam lemak bebas (PORIM, 1995)
Kadar asam lemak bebas diukur dengan metode titrasi dengan indikator basa.
Sampel sebanyak 2,5 g ditambahkan 50 mL isopropanol netral dan 3 tetes
indikator phenoptalein kemudian dicampur hingga homogen dalam erlenmeyer
250 ml. Larutan dititrasi menggunakan kalium hidroksida standard 0,01 N sambil
diaduk kencang hingga warna merah jambu muncul sebagaimana warna alkohol
netral sebelum penambahan sampel dan dihentikan hingga warna bertahan selama
30 detik.
!"#$%&'&(),(
Kadar asam lemak sebagai oleat (%) = +,-./0.!1,2(4)

Keterangan :
V = Volume KOH, mL
N = Normalitas larutan KOH
W = Berat sampel, gram

2. Penentuan Bilangan Peroksida (BK) (PORIM p.2.3, 1995)


Sampel sebanyak 5 g ditambah dengan 30 ml pelarut (kloroform : asam
asetat = 60 : 40) dalam erlenmeyer 250 mL aduk sampai sampel larut dalam
pelarutnya dan ditambahkan 0,5 mL KI jenuh, didiamkan di ruang gelap selama 2
menit. Selanjutnya ditambahkan 30 ml aquadest dan 1 ml indikator pati 1 %
dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru dari indikator amilum hilang.
Lakukan penentuan blanko sesuai dengan prosedur analisa.
(67869):;:<===
Bilangan peroksida, meq/ kg = >

Dimana :
Vs = mL Na2S2O3 sampel
Vb = mL Na2S2O3 blanko
N = Normalitas Na2S2O3
W = Berat Sampel
16

3. Pengukuran Kadar Air (AOCS Official Methode Ae 2 - 52, 1997)


Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam dan
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 10 gram sampel
dimasukkan dalam cawan, dan cawan beserta isi dikeringkan di dalam oven
selama 3 jam. Setelah 3 jam sampel diangkat dan didinginkan ke desikator.
Setelah dingin bobot cawan ditimbang bersama sampel. Kemudian dikeringkan
kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap. Perhitungan kadar air
(% bobot basah) menggunakan rumus :
!8(!(8!<)&<==
(g air/100 g bahan) = ?

Keterangan :
m = bobot awal sampel sebelum dikeringkan (g)
m1 = bobot cawan kosong (g)
m2 = bobot sampel + cawan sesudah dikeringkan (g)
17

3.6 Diagram Alir Penelitian


3.6.1 Optimasi kondisi penggorengan metode pan frying
500 mL minyak goreng Kentang Merah
curah
Dikupas
Dimasukkan dalam pan frying Dicuci

pan frying dihidupkan Dicetak dengan slicer

Diset suhu 170oC, 180oC dan 190oC Ditaburi garam dapur


dibiarkan ± 5 menit

Ditiriskan dalam wadah yang


telah dialasi dengan serbet

Dikeringkan
dengan tissue

Ditimbang 50 g

Dimasukkan dalam Dimasukkan


dalam wadah
penggorengan

Dihitung waktu dengan stopwatch 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit

pan frying dimatikan

Diangkat wadah penggorengan

Ditiriskan

Sampel
18

3.6.2. Optimasi kondisi penggorengan metode deep frying


1 L minyak goreng Kentang Merah

Dikupas
Dimasukkan dalam deep frying
Dicuci
Deep frying dihidupkan
Dibentuk dengan slicer
Diset suhu 170oC, 180oC dan 190oC
Direndam
dalam garam dapur ±
5 menit

Ditiriskan dalam wadah yang


telah dialasi dengan serbet

Dikeringkan
dengan tissue

Ditimbang 100 g

Dimasukkan
Dimasukkan dalam
dalam wadah
penggorengan
Deep frying ditutup

Dihitung waktu dengan stopwatch 7,5 menit, 10 menit dan 12,5 menit

Deep frying dimatikan

Penutup deep frying dibuka

Diangkat wadah penggorengan

Ditiriskan

Sampel

Gambar. 4. Optimasi kondisi penggorengan


19

3.6.2 Pengujian mutu minyak Curah

Smpl 1 Smpl 2 Smpl 3 Smpl 4 Smpl 5 Smpl 6 Smpl 7 Smpl 8 Smpl 9


170oC 170oC 170oC 180oC 180oC 180oC 190oC 190oC 190oC
7,5 mnt 10 mnt 12,5 7,5 mnt 10 mnt 12,5 7,5 mnt 10 mnt 12,5
mnt mnt mnt

Pengujian m utu Minyak

Asam Bilangan Kadar Air


Lemak Peroksida
Bebas

Gambar. 5. Pengujian mutu Minyak Curah

3.6.3 Karakterisasi Minyak

1. Kadar asam lemak bebas


Sampel minyak hasil penggorengan

2,5 g sampel dalam erlenmeyer 250 mL

Ditambah 50 mL isoprapanol netral

Ditambah 3 tetes indikator phenoptalein

Dititrasi dengan KOH 0,01 N

Kadar asam lemak bebas

Gambar.6 Kadar asam lemak bebas


20

2. . Penentuan Bilangan Peroksida

Sampel minyak hasil penggorengan

5 g sampel dalam erlenmeyer 250 mL

Ditambah 30 mL pelarut (kloroform : asam asetat =


60 : 40)

Ditambahkan 0,5 ml KI jenuh

Didiamkan di ruang gelap selama 2 menit

Ditambahkan 30 mLH2O, 1 mL indikator pati 1%

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,01 N sampai warna biru


dari indikator amilum hilang

Hasil

Gambar. 7 Penentuan bilangan peroksida


21

3. Pengukuran Kadar Air

Sampel minyak hasil penggorengan

Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC


selama 1 jam

Didinginkan dalam desikator, kemudian diimbang

10 gram sampel dimasukkan dalam cawan

Dikeringkan dalam oven 100-105oC selama 5 jam

Setelah 3 jam sampel diangkat dan didinginkan ke desikator

Setelah dingin bobot cawan ditimbang bersama sampel

Hasil

Gambar. 8 Pengukuran Kadar Air


22

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Optimasi Kondisi Penggorengan


1. Penyiapan kondisi penggorengan pan frying pada setiap variasi
perlakuan

Pan frying adalah salah satu metode penggorengan yang menggunakan


wajan dan minyak yang relatif sedikit sesuai dengan ukuran wajan. Minyak hasil
dari penggorengan kentang dengan metode pan frying pada setiap variasi
perlakuan diambil dan disimpan didalam freezer yang selanjutnya akan di jadikan
sampel untuk diuji karakteristiknya.
2. Penyiapan kondisi penggorengan deep frying pada setiap variasi
perlakuan

Deep frying adalah salah satu metode penggorengan dimana volume


minyak dapat menutupi keseluruhan permukaan produk yang digoreng. Minyak
hasil dari penggorengan kentang dengan metode deep frying pada setiap variasi
perlakuan diambil dan disimpan didalam freezer yang selanjutnya akan di jadikan
sampel untuk diuji karakteristiknya.
4.2. Karakterisasi Minyak
Karakterisasi minyak dalam penelitian ini adalah Minyak hasil dari
optimasi kondisi penggorengan pada setiap metode dan pada setiap variasi
perlakuan yang akan diuji dengan parameter meliputi : asam lemak bebas,
bilangan peroksida dan kadar air. Pada penelitian ini juga dilakukan uji
organoleptik pada kentang goreng hasil dari penggorengan dengan metode pan
frying dan deep frying pada setiap variasi perlakuan .
1. Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas
Penentuan Kadar asam lemak bebas dapat menjadi salah satu parameter
untuk kualitas minyak. Pembentukan asam lemak bebas dalam minyak goreng
dapat diakibatkan oleh proses hidrolisis yang terjadi selama prosess
23

penggorengan. Semakin tinggi kandungan asam lemak bebas maka semakin


rendah kualitas minyak tersebut.
Pada penelitian ini dilakukan uji penentuan kadar asam lemak bebas pada
minyak curah dengan metode penggorengan pan frying dan deep frying pada
setiap variasi perlakuan. Dari hasil uji yang didapat, kenaikan asam lemak bebas
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya suhu dan pengujian pada
minyak curah sebelum digoreng sesuai dengan ketentuan dan tidak melebihi SNI
3741-2013 yaitu sebesar 0,6%.

Perubahan kenaikan asam lemak bebas setelah penggorengan


menggunakan kentang pada metode penggorengan pan frying dapat dilihat pada
gambar 4.1. (a) dan pada metode penggorengan deep frying dapat dilihat pada
gambar 4.1. (b).

Pan Frying
2 2
1,8 1,9 1,8 1,9 1,9 1,9
1,6

7,5 menit
0,6 10 menit
12,5 menit

minyak curah 170°C 180°C 190°C


sebelum digoreng

(a)
24

Deep Prying
1,8 1,8 1,8 1,9
1,5 1,5 1,6 1,6 1,6

7,5 menit
0,6 10 menit
12,5 menit

Minyak curah sebelum 170°C 180°C 190°C


digoreng

(b)
Gambar 4.1. Diagram asam lemak bebas pada setiap variasi perlakuan (a)
pan frying (b) deep frying

Berdasarkan diagram pada gambar 4.1. terlihat perbedaan hasil dari setiap
variasi perlakuan dari setiap metode. Peningkatan asam lemak bebas terjadi
seiring dengan bertambahnya suhu dan waktu pada setiap variasi. Hal ini
menujukkan bahwa ada keterkaitan suhu dan waktu dengan peningkatan asam
lemak bebas. Presentase tertinggi asam lemak bebas pada metode penggorengan
pan frying terjadi pada suhu 190°C pada waktu 12,5 menit sebesar 2% dan
presentase terendah terjadi pada suhu 170°C pada waktu 7,5 menit sebesar 1,6 %.
Sedangkan pada metode deep frying presentase tertinggi pada suhu 190°C pada
12,5 menit sebesar 1,9% dan presentase terendah pada suhu 170°C pada waktu 7,5
menit sebesar 1,5%.
Kadar asam lemak bebas dari Penggorengan menggunakan metode pan
frying lebih tinggi dibandingkan dengan metode deep frying, hal ini disebabkan
karena proses penggorengan pada metode pan frying panas yang dihasilkan lebih
rendah yang mengakibatkan proses evaporasi berlangsung lambat (Suprapto,
2018). sehingga kandungan air lebih tinggi yang mengakibatkan asam lemak
bebas semakin meningkat. Menurut Ketaren (2008), adanya kandungan air dan
udara pada bahan pangan semakin meningkatkan kerusakan yang terjadi pada
minyak yang dapat dianalisa dengan menghitung kadar asam lemak bebas dari
25

minyak tersebut. Semakin lama penggunan suhu dan lama penggorengan pada
minyak untuk menggoreng semakin tinggi pula kandungan asam lemak bebas
yang terbentuk.
Semakin meningkatnya kadar asam lemak bebas maka semakin menurun
kualitas minyak. Berdasarkan data yang dihasilkan penggorengan dengan metode
pan frying menujukan kenaikan yang signifikan sehingga kualitas minyak lebih
rendah dibandingkan dengan metode deep frying. Berdasarkan kadar asam lemak
bebasnya Titik optimum pada minyak curah dengan setiap variasi perlakuan pada
metode pan frying adalah pada suhu 170°C dengan waktu 7,5 menit sebesar 1,6%
dan pada metode deep frying adalah pada suhu 170°C dengan waktu 7,5 menit
sebesar 1,6 %.
2. Penentun Bilangan Peroksida
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi
lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan
laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat
mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006).
Pada penelitian ini dilakukan uji penentuan bilangan peroksida pada
minyak curah dengan metode penggorengan pan frying dan deep frying pada
setiap variasi perlakuan. Dari hasil uji yang didapat, kenaikan bilangan peroksida
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya suhu dan pengujian pada
minyak curah sebelum digoreng sesuai dengan ketentuan dan tidak melebihi SNI
3741-2013 yaitu sebesar 10 meg O2/kg. Perubahan kenaikan bilangan peroksida
setelah penggorengan menggunakan kentang pada metode penggorengan pan
frying dapat dilihat pada gambar 4.1. (a) dan pada metode penggorengan deep
frying dapat dilihat pada gambar 4.1. (b).
26

Pan Frying
12 12
10 10 10
8 8
6 6 7,5 menit
10 menit
2 12,5 menit

Minyak curah 170°C 180°C 190°C


sebelum digoreng

(a)

Deep Frying
10 10
8 8
6 6 6 7,5 menit
4 4 10 menit
2 12,5 menit

Minyak curah 170 °C 180°C 190°C


sebelum digoreng

(b)
Gambar 4.2. Diagram bilangan peroksida pada setiap variasi perlakuan (a)
pan frying (b) deep frying
Berdasarkan gambar 4.2. bilangan peroksida pada metode pan frying lebih
tinggi dibandingan dengan deep frying. Penentuan bilangan peroksida tertinggi
pada metode pan frying yaitu pada suhu 190°C dengan waktu 12,5 menit sebesar
12 meg O2/kg dimana nilai tersebut sudah melewati batas ketentuan SNI 3741-
2013. Hal ini disebabkan karena Pemanasan yang terlalu tinggi menyebabkan
sebagian minyak teroksidasi dan minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam
keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen
27

dengan minyak atau lemak (Kataren, 1986). Menurut Aidos et al. (2001) dan
Skara et al. (2004) melaporkan bahwa peningkatan bilangan peroksida signifikan
dengan peningkatan suhu penyimpanan dan peningkatan suhu dan waktu
penggorengan. Semakin meningkatnya bilangan peroksida maka semakin
menurunnya kualitas minyak tersebut. Berdasarkan metodenya, metode pan frying
cendrung lebih mudah terkontak dengan udara langsung saat proses penggorengan
sehingga, terjadi proses oksidasi pada saat penggorengan. Penentuan bilangan
peroksida terendah pada metode pan frying yaitu pada suhu 170°C pada waktu 7,5
menit sebesar 6 meg O2/kg dimana nilai tersebut belum melewati batas ketentuan
SNI 3741-2013.
Sedangkan pada metode deep frying penentuan bilangan peroksida
tertinggi pada suhu 190°C pada waktu12,5 menit yaitu sebesar 10 meg O2/kg
dimana nilai tersebut belum melewati batas ketentuan SNI 3741-2013. Penentuan
bilangan peroksida terendah pada metode deep frying yaitu pada suhu 170°C pada
waktu 7,5 menit yaitu sebesar 4 meg O2/kg dimana nilai tersebut belum melewati
batas ketentuan SNI 3741-2013.
Berdasarkan hasil dari penelitian penentuan bilangan peroksida minyak
curah pada metode pan frying lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan
metode deep frying, sehingga titik optimum pada metode pan frying setiap variasi
perlakuan yaitu pada suhu 170°C pada waktu 7,5 menit sebesar 6 meg O2/kg dan
titik optimum pada metode deep frying setiap variasi perlakuan yaitu pada suhu
170°C pada waktu 7,5 menit sebesar 4 meg O2/kg diamana nilai keduanya belum
melewati ketentuan SNI 3741-2013 dan masih aman digunakan.
3. Penentuan Kadar Air
Pada penelitian ini penentuan kadar air dilakukan secara bertahap dengan
waktu ± 5 jam dengan suhu ± 100°C - 105°C dan dilakukan 3 kali penimbangan
untuk mendapatkan bobot kadar air yang konstan. Berat konstan menunjukkan
bahwa kandungan air pada minyak telah menguap seluruhnya, dan hanya tersisa
berat kering minyak itu sendiri (Lempang et al., 2016). Penimbangan pertama
dilakukan setelah pengeringan selama 3 jam pertama kemudian dilanjutkan
dengan penimbangan kedua pada pengeringan kedua selama 1 jam dan
28

dilanjutkan dengan penimbangan ketiga pada 1 jam terakhir. Hasil dari pengujian
kadar air dari sampel minyak hasil dari optimasi penggorengan pan frying dapat
dilihat pada gambar 4.3. (a) dan hasil dari pengujian sampel minyak hasil dari
optimasi penggorengan deep frying dapat dilihat pada gamabar 4.3. (b).

Pan Frying
0,17
0,15
0,14
0,13 0,13 0,13
0,12
0,11
0,1
7,5 menit
10 menit
0,04
12,5 menit

Minyak curah 170°C 180°C 190°C


sebelum digoreng

(a)

Deep Frying

0,12
0,1
0,09 0,09
0,08 0,08
0,07 7,5 menit
0,05 0,05
10 menit2
0,03
12,5 menit

Minyak curah 170° 180° 190°


sebelum digoreng

(b)
Gambar 4.3. Diagram kadar air pada setiap variasi perlakuan (a) pan frying
(b) deep frying
Berdasarkan gambar 4.3. kadar air dengan metode pan frying lebih tinggi
dibanding dengan metode deep frying pada setiap variasi perlakuannya. Menurut
Suprapto (2018) Metode pan frying memiliki kadar air cukup tinggi, karena panas
29

yang dihasilkan selama proses penggorengan berlangsung lebih rendah sehingga


proses evaporasi berlangsung lambat. Kadar air tertinggi minyak curah setelah
penggorengan pada metode pan frying yaitu pada suhu 190°C pada waktu 12,5
menit yaitu sebesar 0,17% dimana nilai tersebut sudah melewati ambang batas
ketentuan SNI 3741-2013 yaitu maksimal sebesar 0.15%. Sedangkan pada metode
deep frying kadar air tertinggi yaitu pada suhu 190°C pada waktu 12,5 menit yaitu
sebesar 0,12% dengan minyak curah sebelum penggorengan yaitu sebesar 0,03%.
Nilai tersebut sesuai dan tidak melewati batas ketentuan SNI 3741-2013 yaitu
maksimal sebesar 0,15%.
Brdasarkan hasil dari penelitian kadar air mengalami kenaikan seiring
dengan semakin bertambahnya suhu dan waktu. Kenaikan kadar air dapat
menmpengaruhi kualitas minyak dan dapat menambah kadar asam lemak bebas
sehingga kualitas minyak semakin rendah. Air adalah konstituen yang
keberadaannya dalam minyak sangat tidak diinginkan karena akan menghidrolisis
minyak menghasilkan asam - asam lemak bebas yang menyebabkan bau tengik
pada minyak (Poedjiadi, 1999).
Berdasarkan hasil dari penelitian kadar air minyak curah dengan metode
pan frying lebih tinggi dibandingkan dengan metode deep frying sehingga
kuliatas minyak dengan metode pan frying lebih rendah dibanding dengan
metode deep frying maka titik optimum pada metode pan frying yaitu pada suhu
170°C dengan waktu 7,5 menit yaitu sebesar 0,10% dan pada metode deep frying
yaitu pada suhu 170°C dengan waktu 7,5 menit yaitu sebesar 0,05% dimana nilai
dari keduanya belum melewati batas SNI 3741-2013 dan belum menunjukan
dampak yang tinggi.
4.3. Uji Orgoleptik Pada Kentang Goreng
Uji organoleptik merupakan uji sensorik untuk mengetahui kualitas mutu
pada suatu produk. Dalam penelitian ini uji organoleptik dilakukan dengan 3
orang panelis dan dengan penilaian membandingan metode dan variasi setiap
perlakukan dengan parameter : rasa, warna, dan tekstur. Hasil dari uji
organoleptik metode pan frying dapat dilihat pada Tabel 4.1.
30

Parameter Warna Aroma Rasa Tekstur


suhu waktu I II II I II III I II III I II II
7,5 menit
10 menit √ √ √ √ √
170°C
12,5 √ √ √ √ √
menit √ √ √ √ √ √
7,5 menit √
10 menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
180
12,5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7,5 menit
10 menit √ √ √ √ √ √ √ √
190
12,5
menit

Berdasarkan dari data diatas dapat disimpulkan bahwa panelis cendrung


memilih suhu 180°C dengan setiap variasi suhu dan parameter. Pada suhu 170°C
warna kentang sudah menunjukan kematangan dengan indikasi warna kuning
keemasan serta mengeluarkan aroma kentang kentang goreng. Namun pada rasa
dan tekstur kentang goreng belum menunjukan tingkat kematangan dan rasa
gurih. Kemudian Pada suhu 180°C kentang hasil penggorengan menghasilkan
warna kuning keemasan yang menarik , aroma yang lebih kuat, rasa dan tekstur
yang lebih matang. Maka titik optimum pada uji organoleptik kentang goreng
dengan metode pan frying yaitu pada suhu 180°C
Sedangkan pada suhu 190°C kentang hasil penggorengan aroma, rasa dan
tekstur yang kuat pada waktu 7,5 menit tetapi pada waktu 10 menit dan 12,5
menit kentang goreng sudah menunjukan hasil penggorengan yang gosong
sehingga sudah tidak terlihat menarik. Hal ini disebabkan karena suhu yang sudah
terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama sehingga menyebakan kentang sudah
gosong. Adapun faktor lain yang mempengaruhi yaitu karena metode pan frying
tidak dapat di atur suhunya dengan tepat.
31

Hasil dari uji organoleptik dari metode deep frying dapat dilihat pada tabel
4.2.
Parameter Warna Aroma Rasa Tekstur
Suhu waktu I II III I II III I II III I II III
7,5 menit
10 menit √ √ √
170°C
12,5 √ √ √ √ √
menit √ √ √ √ √
7,5 menit
10 menit √ √ √ √ √ √
180
12,5 √ √ √ √ √ √
menit √ √ √ √ √ √
7,5 menit √
10 menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
190
12,5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
menit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Berdasarkan hasil data diatas dapat disimpulkan bahwa penalis cenderung


lebih memilih suhu 190°C dengan setiap variasi perlakuan. Pada suhu 170°C
kentang sudah mengeluarkan aroma yang kuat namun pada warna kentang masih
terlihat sedikit pucat dengan rasa dan tekstur yang belum terlalu matang.
Kemudian pada suhu 180°C warna dan aroma kentang sudah mulai menunjukkan
indikasi tingkat kematang namun pada rasa dan tekstur kentang belum terlalu
matang. Sedangkan pada suhu 190°C kentang sudah matang sempurna dengan
warna kuning keemasan, aroma yang kuat, rasa yang gurih dan tekstur yang
lembut dan renyah yang menandakan tingkat kematangan yang pas. Hal ini
disebabkan karena ketentuan suhu alat deep frying untuk menggoreng kentang
yaitu 190°C sehingga dihasilkan kentang dengan kematangan yang sempurna.
Maka titik optimum minyak curah pada uji organoleptik kentang goreng dengan
metode deep frying yaitu pada suhu 190°C.
32

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan
yaitu :
1. Berdasarkan metode yang dilakukan, Metode deep frying lebih stabil
dibandingkan dengan metode pan frying. Hasil menunjukan metode deep
frying lebih stabil dikarenakan suhu dan waktu dapat diatur dibandingkan
dengan metode pan frying yang suhu dan waktun hanya dapat diatur
secara manual.
2. Berdasarkan hasil yang didapat suhu yang optimal yaitu suhu 170 °C.
Pengaruh suhu terhadap stabilitas minyak yaitu, Semakin tinggi suhu
penggorengan maka semakin tidak stabil minyak dan semakin rendah
kualitas minyak.
3. Berdasarkan hasil yang didapat waktu yang optimal yaitu 7,5 menit.
Pengaruh waktu terhadap stabilitas minyak yaitu, Semakin lama waktu
penggorengan maka semakin tidak stabil minyak dan semakin rendah
kualitas minyak.

5.2. Saran
Adapun saran terkait dari penelitian ini yaitu, diharapkan dilakukannya
penelitian lebih lanjut dan dilakukannya penelitian lanjutan yaitu dengan
penggorengan berulang.
33

Daftar Pustaka

Aidos, I., Padt, A.F.D.,Remko, B.M., and Luten, JB. 2001. Upgrading of Maatjes
herring by-products: production of crude fish oil. Journal Agriculture and
Food Chemistry Vol.49 No. 8:3697-3704.
Aminah, S., (2010). Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah Dan Sifat
Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan Dan
Giji, 1, 1.
Ander, B. P., Dupasquier, C. M., Prociuk, M. A and Pierce, G. N. (2003).
Polyunsaturated fatty acids and their effects on cardiovascular disease. Exp
Clin Cardiol, 8, 4, 164-172.
Badan Standarisasi Nasional. SNI-3741-2013 ( Standart Mutu Minyak Goreng).
Badan Standarisasi Nasional : Jakarta.
Boskou, D., Salta, F,N., Chiou, A., Troullidou, E and Adrikopoulos, N.K. (2006).
Conten of trans, trans-2,4 decadienal in deep-fried and pan-fried. Journal
Lipid Science Technology, 108: 109-15.
Chatzilazarou, A., Gartzi O., Lalas, S., Zoidis, E and Tsaknis, J. (2006).
Physicochemical Changes Of Olive Oil and Selected VegeTabel Oil During
Frying. Journal Food Lipids, 13: 27-35.
Darnoko, D.S. (2003). Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk
Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
DeMan, M. J.(1999). Principles of Food Chemistry Third Edition. Aspen
Publicher, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Dwiputra, D., Ayu, N. J., Fauzia, K. W., Aditya, S. P., Diyah, A. P dan Fathiyatul,
I. (2015). Minyak Jagung Alternatif Pengganti Minyak Yang Sehat. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan, 4, 2.
Eugenia, I., (2012). Top Brand Dalam Pasar Komoditi Bermerek,
www.topbrand-award.com, diambil 15 April 2013 di Yogyakarta.
Ericson, M.C. (2002). Lipid Oxidation of Muscle Foods dalam Akoh, C.C and
Min, B. D. (2002). Food Lipid: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology
2nd Ed. Marcel Dekker Inc. New York-Basel.
34

Fadhilla, AR., (2008). Analisis Kepuasan dan Loyalitas Konsumen Minyak


Goreng Kemasan Merek Bimoli (Kasus: Rumah Tangga Di Kota Bogor).
Skripsi, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Fan, H., Sharifudin, Ms dan Chew, H. (2013). Frying Stability of Rice Bran Oil
and Palm Olein. International Food Research Journal, 20, 1: 403-407.
Febriansyah, R. (2007). Mempelajari Pengaruh Penggunaan Berulang dan
Aplikasi Adsorben Terhadap Kualitas Minyak dan Tingkat Penyerapan
Minyak pada Kacang Sulut. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Fennema, O. R. (1996). Food Chemistry Ed ke-3. New York . Marcel Dekker Inc.
Galeone, C., Talamini, R., Levi, F., Pelucchi, C., Negri, E., Glacosa, A.,
Montnella, M., Franceschi, S and Vecchic. (2006). Fried Foods, olive oil
and colorectal cancer. Eur Soc Med Onc, 13:689-92.
Geby, K. P., Adrian, S dan Teresa, L. W., (2017). Pengaruh Minyak Jagung (Corn
oil) Terhadap Penurunan Kadar Kolestrol LDL Pada Tikus Yang Di Induksi
Pakan Tinggi Lemak. Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana,
Vol. 2, No. 3 : 2460-9684.
Ivan, S., Teguh, W., dan Yusniar, L. (2010). Peranan Komoditas Jagung (Zea
mays L.) Terhadap Peningkatan Pendapatan Wilayah Kabupaten Karo.
Jurnal Agribisnis Sumatera Utara, Vol. 3, No. 2.
Iwasaki, R. dan Murakoshi, M. (1992). Palm Oil Yields Carotene for World
Market. Inform. 3, 2 : 210 – 217.
Kalapathy, U. dan Proctor, A. (2000). A New Method for Free Fatty Acid
Reduction in Frying Oil Using Silicate Films Produced from Rice Hull Ash.
JAOCS.
Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. 29, 72-3, 80-3, 91-2, 113-103.
Ketaren, S. (2005). Pengantar Teknologi: Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press.
Jakarta
Ketaren, S.( 2008). Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Khomsan, A., (2010). Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Rajawali Sport. Jakarta,
35

Kulkarni, M. G. dan Dalai, A. K. (2006). Waste Cooking Oil-An Economical


Source for Biodiesel: A Review, Ind. Eng. Chem. Res.
Kukuh, 2010. Minyak Goreng yang Baik. http://www.kompasiana.com. [Diakses
3/2011].
Kumala, (2003). Peran Asam Lemak Tak Jenuh Jamak Dalam Respon Imun.
Jurnal Indonesia Media Assosiasi.
Lempang, I., Fatimawali dan Pelealu, N. (2016). Uji Kualitas Minyak Goreng
Curah dan Minyak Goreng Kemasan di Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi, 5,
4 : 155-161.
Marie, P. S.O and Alexane, T. (2016). Fatty Acids In Corn Oil : Role In Heart
Disease Prevention Chapter 6 : Handbook Of Lipid In Human Function.
AOCS Press.
Mariod, A., Matthaus, B., Eichner, K., Hussein, IH. (2006). Frying quality and
oxidative stability of two unconventional oils. Journal of the American Oils
Chemists’ Society, 83(6): 529-538.
Mozaffarian, D., Rimm, EB., King, IB., Lawler, RL., McDonald, GB., Levy, WC.
(2004). Trans fatty acids and systemic inf lammation in heart failure. Am J
Clin Nutr, 80:1521-5.
Nainggolan, B., Nora, S., Anna, J. (2016). Uji Kelayakan Minyak Goreng Curah
dan Kemasan Yang Digunakan Menggoreng Secara Berulang. Jurnal
Pendidikan Kimia, 8, 1, ISSN : 2085-3653.
Nnaji, L.C., Okonkwo, I.F., Solomon, B.O and Onyia, O.C. (2013). Comparative
Study of Beta Carotene Content of Egg Yolk of Poultry. Inter J Ari Biosci,
2, 1 :1-3.
Raju M P, Babu D A, Kumar B R, & Rajashekar C. (2013). The Role of
Phytosterols Enriched Foods-A Review. Journal of Environmental
Science, Toxicology and Food Technology, 7, 6 : 40-47.
Si, H., Zhang, L., Siqin, L., LeRoith, T., Virgous, C. (2014). High corn oil dietary
intake improves health and longevity of aging mice. Experimentl
Gerontology, 58 : 244-249.
36

Sinaga, A.G.S., dan Siahaan, D. (2015). Pengaruh Kandungan Komponen Minor


dari Minyak Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Aktivitas
Antioksidan pada Proses Pemurnian Karotenoid. Pharm Sci Res, Vol. 2,
No. 3 : 135-142.
Sundram K. (2007). Palm Oil: Chemistry and Nutrition Update. Malaysia :
MPOB.
Tranggono dan Sutardi. (1990). Biokima dan Teknologi Pasca Panen. PAU
Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.
Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarsi, H. (2007). Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Yustinah. (2011). Adsorbsi Minyak Goreng Bekas Menggunakan Arang Aktif
dari Sabut Kelapa. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia, Yogyakarta.
Zhang, Z.,W, Yong., Ma, X., Wang, E., Liu, M and Yan, R. (2013).
Characterisation and oxidation stability of monoacylglycerols from partially
hydrogenated corn oil. Food Chemistry. 173 : 70-79.
37
38

Anda mungkin juga menyukai