PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu bahan pangan yang selalu dibutuhkan dalam kehidupan sehari-
hari, baik itu di industri maupun rumah tangga adalah minyak goreng. Bahan
pokok ini bisa dikatakan menjadi prioritas utama yang harus ada ketika
menggoreng makanan, karena dapat memberikan cita rasa yang lebih lezat dan
gurih. Sehingga, aktivitas menggoreng adalah cara yang paling praktis dalam
memasak.
sawit dalam skala besar dan menduduki peringkat pertama sebagai negara
35,78 juta ton pertahun atau 31, 29 % pada periode 2013-2017.1 Begitu juga
di provinsi NTB adalah sebesar 29,39 % dan pasokan minyak goreng yang
sampai ke rumah tangga adalah 97,40 % dari pembelian 100 % di luar provinsi,
bahwa konsumsi minyak goreng dalam rumah tangga lebih banyak daripada
industri pengolahan, artinya minyak goreng bekas dalam rumah tangga lebih
banyak dihasilkan dan potensi minyak goreng bekas dibuang atau digunakan
1
“Statistik Ketahan Pangan”,dalam Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian
2017, hlm. 65
2
“Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia Tahun 2018”, dalam
Badan Pusat Statistik RI, hlm. 55
1
Minyak goreng bekas atau yang biasa disebut minyak jelantah adalah
minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau tiga kali penggorengan, dan
dari tingginya kadar asam lemak bebas pada minyak jelantah.3 Akan tetapi,
penggunaan minyak goreng bekas atau jelantah berulang kali sudah dianggap
hal yang biasa dikalangan masyarakat, bahkan dampak buruknya pun tidak lagi
suhu tinggi (160-1800C) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada
kental, timbul busa dan berbau, meningkatnya kadar air, bilangan peroksida
atau Peroxide Value (PV) dan asam lemak bebas atau Free Fatty Acids (FFA).4
3
Andarwulan, Cara-cara Daur Ulang Minyak Goreng bekas Pakai (Jelantah), (Bandung :
ITB, 2006), hlm. 5
4
Maskan & Bagci, “The Recovery of Used Sunflower Seed Oil Utilized in Repeated Deep
Fat Frying Process”, Journal of European Food Research and Technology, Vol. 218, No. 1, April
2003, hlm. 26
2
Hal ini tidak sesuai dengan keadaan fisik ataupun kimia pada minyak
goreng yang telah di syaratkan oleh Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI)
pemurnian minyak goreng bekas agar minyak dapat dipakai kembali tanpa
adsorbsi adalah peristiwa atau proses penyerapan yang terjadi pada permukaan.
bentonit dan Zeolit.6 Akan tetapi karena harga adsorben karbon aktif, bentotit
dan Zelolit cukup tinggi, maka peneliti mencari alternatif lain sebagai
5
“Minyak Goreng”,dalam Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI) SNI 3741:2013,
hlm. 2
6
Bq. Asna dkk,. “Pengaruh Ukuran Serbuk pada Aktivasi Tanah Liat dari Tanak Awu
terhadap Daya Adsorpsinya pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas”, Jurnal Ilmiah Pendidikan
Kimia “Hydrogen”, Vol. 2 No. 2, Februari 2015.
3
adsorben adalah limbah ampas tebu dari pengusaha es sari tebu yang ada di
Desa Pagutan dan limbah kulit bawang merah dari pengusaha bawang goreng
yang ada di Desa Gegelang Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, NTB.
Kemampuan ampas tebu sebagai pengadsorbsi ini telah diuji oleh Lisa
Febrina dkk, dan didapatkan bahwa ampas tebu memiliki daya adsorpsi yang
kuat terhadap kadar air dan kandungan asam lemak bebas. Kondisi optimum
penurunan kadar air mencapai 0,0050%; perendaman ampas tebu selama 2x24
jam dengan adsorpsi kadar asam lemak bebas hingga mencapai 0,0999%.7
Selain alasan tersebut, salah satu pengusaha es sari tebu yang ada di Desa
Pagutan juga menyatakan bahwa “Ampas tebukan tidak bisa dipakai lagi,
biasanya saya langsung buang,” ujar Ibu Fatimah.8 Padahal, ampas tebu sangat
berguna sebagai adsorben dan bisa langsung digunakan dengan mudah oleh
ibu-ibu rumah tangga atau pengusaha es sari tebu untuk memurnikan minyak
jelantah menjadi minyak layak pakai. Penggunaan ampas tebu juga merupakan
Sama halnya dengan limbah kulit bawang merah yang berasal dari
goreng yang ada di desa ini dan berdasarkan tinjauan peneliti dari ke-4
pengusaha tersebut, rata-rata bawang merah yang dikupas setiap harinya untuk
7
Lisa Febrina, dkk, ”Pemurnian Minyak Jelantah Menggunakan Ampas Tebu Sebagai
Adsorben”, Jurnal Teknik Kimia, Vol. 17, No. 1, Januari 2010.
8
Fatimah, Wawancara, Pagutan, 15 April 2019.
4
pembuatan bawang goreng adalah sebanyak 50 kg/hari dan limbah kulit
Adapun perlakuan yang dilakukan oleh para pengusaha ini terhadap kulit
dampak buruk dan tidak nyaman terhadap masyarakat yang ada di sana, akibat
dari bau busuk yang ditimbulkan oleh kulit bawang merah. Sehingga peneliti
keadaan minyak jelantah yang awalnya berwarna gelap dan kental berubah
campuran minyak dan halusan kulit bawang merah didiamkan selama 2 hari.
Hal ini menandakan bahwa kulit bawang merah berpotensi dijadikan sebagai
adsorben.
menggunakan limbah ampas tebu dan kulit bawang merah, sebagai adsorben
untuk menurunkan kadar asam lemak bebas atau FFA, bilangan peroksida,
warna dan bau tengik sebagai parameter tingkat kerusakan pada minyak
goreng.
5
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah limbah kulit bawang dapat menurunkan kadar asam lemak atau
FFA, bilangan peroksida, warna dan bau tengik pada minyak jelantah ?
2. Pada rasio berapa adsorben Ampas tebu : Kulit bawang merah (At : Kbm)
dan massa total adsorben yang tepat dalam pengolahan minyak jelantah
dengan parameter bilangan asam, bilangan peroksida, bau tengik dan warna
C. TUJUAN PENELITIAN
asam lemak atau FFA, bilangan peroksida, warna dan bau tengik pada
minyak jelantah.
2. Untuk menemukan rasio adsorben Ampas tebu : Kulit bawang merah (At :
Kbm) dan massa total adsorben yang tepat dalam pengolahan minyak
6
D. MANFAAT PENELITIAN
lingkungan dari limbah ampas tebu di Desa Pagutan dan kulit bawang merah
dari pengusaha bawang goreng yang ada di Desa Gegelang, Kec. Lingsar,
7
BAB II
A. KAJIAN PUSTAKA
dengan baik dan hanya dibuang sebagai limbah rumah tangga ataupun
9
Hambali, E. Teknologi Bioenergi, (Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka, 2007), hlm. 25
8
akan berkorelasi dengan ketersediaan minyak goreng bekas yang
10
Prihandana, dkk, Menghasilkan Biodiesel Murah. (Jakarta: Penerbit PT AgroMedia
Pustaka : 2006), hlm. 8
11
Karmana, O. Cerdas Belajar biologi, dalam https://books.google.co.id/books , diakses
tanggal 21 April 2019, pukul 11.30 AM.
12
Ariep Surya, “Pengolahan Minyak Goreng Bekas Menggunakan Proses Adsorpsi dengan
Adsorben Bentonit dan Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia L.)”, (Skripsi, Politeknik Negeri
Samarinda, Samarinda, 2018), hlm. 5.
9
Tak jenuh
6 Palmitoleic 0.22
7 Oleic 30.71
8 Linoleic 54.35
9 Linonelic 0.27
10 Gidoleic 0.18
11 Bahenic 0.61
Sumber :Ariep Surya, 2018
13
Rahayu, L.H., & Purnavita, S, “Pengaruh Suhu dan Waktu Adsorpsi Terhadap Sifat Kimia-
Fisika Minyak Gorang Bekas Hasil Pemurnian Menggunakan Adsorben Ampas Pati Aren dan
Bentonit”, Momentum, Vol. 10, No. 2, Oktober 2014, Hal 35-41.
10
kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang
terdapat dalam minyak.14
Perilaku penggunaan minyak goreng di masyarakat yang
memiliki kecenderungan untuk dihabiskan dengan cara
memakainya berulang kali atau menyisakan minyak yang sudah
tidak layak pakai untuk dibuang ke saluran air atau pekarangan,
dapat menimbulkan dampak negatif untuk kesehatan dan
lingkungan, karena minyak yang dipakai berulang kali dapat
berpotensi untuk menimbulkan penyakit kanker dan penyempitan
pembuluh darah yang dapat memicu penyakit jantung koroner,
diare, kanker, rasa gatal pada tenggorokan, dislipidemia, obesitas,
atheroskerosis, stroke, serta hipertensi dan menurunkan nilai
cerna lemak. Sedangkan menyisakan minyak jelantah untuk
dibuang ke saluran air atau pun ke pekarangan dapat
menimbulkan pencemaran air dan rusaknya kesuburan tanah.15
Kerusakan minyak atau lemak akibat penggunaan secara terus
menerus akan mengakibatkan berbagai macam penyakit, misalnya
diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan
menurunkan nilai cerna lemak. Beberapa penyakit seperti PJK
(penyakit jantung koroner), rasa gatal pada tenggorokan,
dislipidemia, obesitas, atheroskerosis, juga disebabkan oleh
penggunaan minyak goreng bekas.16 Ironisnya, masyarakat
Indonesia saat ini cenderung menitikberatkan nilai ekonomis
daripada nilai kesehatan yang saat ini lebih cenderung diabaikan.
2. Adsorpsi
Adsorpsi didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi
komponen tertentu dipermukaan atau antara dua fase. Dalam cairan
14
Ketaren, Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan, (Jakarta: UIPress, 1986), hlm.
132
15
Amalia dkk, “Perilaku Penggunaan Minyak Goreng serta Pengaruhnya Terhadap
Keikutsertaan Program Pengumpulan MinyakJelantah Di Kota Bogor”, Jurnal Ilmu keluarga dan
konsumsi, Volume 3, No. 2, Desember 2010.
16
Ibid., hlm. 5
11
atau padatan pada permukaan tunduk pada kekuatan tidak seimbang
yang harus dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat
oleh gaya–gaya yang bekerja pada permukaan tersebut. Bahan yang
akan diserap disebut adsorbate atau solute sedangkan bahan penyerapa
nnya dikenal sebagai adsorbent. Proses adsorpsi digunakan secara mel
uas dalam membuang warna dan bau yang tak disukai dalam bahan-
bahan tertentu, dan dalam berbagai proses pemurnian lain.17
2.1. Mekanisme Adsorpsi
Do (1998) menyebutkan pada proses pemisahan adsorpsi
terdapat 3 mekanisme yang berbeda, yaitu :18
17
Wood dkk, “Ilmu kimia untuk universitas”, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm, 79
18
Do, D.D, “Adsorption analysis : equilibria and kinetics”, (Australia: Imperial College
Press, 1998), hlm. 34
12
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adsorpsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara
lain (Chiou et al., 2003):19
a. Suhu
Adsorben pada umumnya bekerja secara adiabatis, sedangkan
adsorpsi bersifat eksotermis, sehingga kenaikan suhu akibat
panas, menyebabkan adsorpsi yang dihasilkan akan menurun
kan unjuk kerja adsorpsi.
b. Kecepatan fluida
Kecepatan aliran fluida yang lebih besar memerlukan zona
kontak yang lebih panjang supaya menghasilkan waktu kontak
yang sama.
Kecepatan aliran fluida yang lebih besar memerlukan zona
kontak yang lebih panjang supaya menghasilkan waktu kontak
yang sama.
c. Konsentrasi zat yang dijerap
Driving force yang menyebabkan zat terjerap berpindah ke
permukaan padatan adalah gradien konsentrasi pada fase
fluida dengan yang di permukaan padatan. Adsorpsi dari
sistem yang mengandung zat yang akan dijerap berkonsentrasi
tinggi akan lebih cepat dibanding sistem yang sangat encer.
d. Fase
19
Chiou, dkk, ”Removal of reactive dye from wastewater by adsorption using ECH cross-
linked chitosan beads as medium”, Journal of environmental science and health, Part
AToxic/Hazardous Substances & Environmental Engineering, Vol A38, No.
11, July 2018.
13
Kecepatan adsorpsi pada fase cair lebih lambat 10 kali atau
lebih daripada fase gas. Ini berarti bahwa panjang zona
perpindahan massa sangat dipengaruhi oleh fase operasinya.
e. Ukuran adsorben
Ukuran adsorben yang lebih kecil akan memperbesar luas
permukaan per satuan volum, akibatnya zat yang terjerap akan
semakin banyak.
f. Waktu kontak
Waktu kontak merupakan suatu hal yang sangat menentukan
dalam proses adsorpsi. Waktu kontak yang lebih lama
memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul
adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik
akan turun apabila waktu kontaknya cukup dan waktu kontak
berkisar 10-15 menit.
3. Pengujian Minyak Goreng
Pengujian minyak goreng dilakukan berdasarkan dengan prosedur
standar yang telah ditetapkan. Pengujian meliputi bilangan asam dan
bilangan peroksida. Perhitungan untuk setiap pengujian pun dilakukan
dari beberapa parameter. Pengujian ini dilakukan untuk melihat minyak
goreng telah memenuhi standar mutu SNI 3741:2013.
3.1. Standar Mutu Minyak Goreng
Syarat mutu untuk Kadar Minyak Goreng menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) 3741-2013 adalah sebagai berikut :20
20
“Minyak Goreng”,dalam Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI) SNI 3741:2013,
hlm. 2-6
14
2 Warna - Normal
Kandungan
3 Bilangan asam Mg KOH/g Maks. 0.6
4 Bilangan Peroksida Mek O2/Kg Maks. 10
Sumber : BSN, SNI 3741:2013
3.1.1. Bau
Pengamatan contoh uji dengan indera penciuman
yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten
untuk pengujian organoleptik. Jika tercium bau khas
minyak goreng, maka hasil dinyatakan “normal”; dan Jika
tercium selain bau khas minyak goreng, maka hasil
dinyatakan “tidak normal”.
3.1.2. Warna
Secara alamiah minyak goreng berwarna orange atau
kekuningan tergantung pada jenis minyak itu sendiri. Zat
warna yang terkandung dalam minyak goreng antara lain
terdiri dari α-karoten, β-karoten, xanthopil, kloropil dan
antosianin. Zat-zat warna tersebut menyebabkan minyak
berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan
kemerah-merahan.
Pigmen berwarna kuning disebabkan oleh karoten
yang larut didalam minyak. Kerusakan warna pada minyak
goreng disebabkan karena proses oksidasi dan degradasi
komponen kimia yang terdapat didalam minyak goreng.
Warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (Vitamin E). penyebab hal tersebut salah satunya
disebabkan karena suhu pemanasan yang tinggi pada waktu
penggorengan.
3.1.3. Bilangan Asam
Bilangan asam adalah jumlah milligram NaOH/KOH
yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak
15
bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam
dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas
yang terdapat dalam minyak atau lemak. Bilangan asam
yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar.
Asam lemak ini berasal dari hidrolisa minyak ataupun
karena proses pengolahan yang kurang baik. 21
21
Ketaren, Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan, (Jakarta: UIPress, 1986), hlm. 141
22
Ibid, hlm. 142
16
dihasilkan oleh reaksi oksidasi lemak, yaitu reaksi antara
oksigen dengan ikatan rangkap di dalam lemak.
Sumber : Ketaren,1986
23
Ibid, hlm. 142
17
peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton. Bau tengik
terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk
mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan
sebagai angka peroksida. 24
4. Ampas Tebu (Bagasse)
Bagas adalah limbah padat yang berasal dari industri pengolahan
tebu menjadi gula (ampas tebu). Ampas ini sebagian besar mengandung
bahan-bahan lignoselulosa. Bagas mengandung air 48-52%, gula rata-
rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat bagas tidak dapat larut dalam
air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.25
Komposisi bagas dapat dilihat pada tabel 5. Diperkirakan
kandungan monosakarida terbesar pada bagas adalah glukosa dan
xylosa.26
Tabel 5. Komposisi Penyusun Bagas
24
Ibid, hlm. 143
25
Lisa Febrina, dkk, ”Pemurnian Minyak Jelantah Menggunakan Ampas Tebu Sebagai
Adsorben”, Jurnal Teknik Kimia, Vol. 17, No. 1, Januari 2010.
26
Ria Wijayanti, “Arang Aktif dari Ampas Tebu sebagai Adsorben pada Pemurnian
Minyak Goreng Bekas”, Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Vol. 15, No. 1, Juni 2009,
hlm. 3
18
tertentu dan membentuk senyawa dengan ikatan kovalen atau ikatan
hidrogen dengan selulosa.27
27
Ibid, hlm. 5
28
L. Ibrohim M. Thayyib, Shadaqallahu Warasuuluhu, (Jakarta : CV. Tunas Ilmu, 2013),
hlm. 156-157
19
Adapun kandungan fitokimianya berupa flavonoid, fructans,
organosulfur dan saponin pada bawang memiliki peran penting sebagai
anti-oksidan dan antibakteri yang berman-faat bagi kesehatan.
Kandungan lainnya adalah serat, selulosa yang kaya dengan minyak
sulfat yang mudah menguap. Disisi lain, kulit bawang merupakan
limbah yang belum banyak dimanfaatkan. Angelina menyebutkan
bahwa kandungan fitokimia pada kulit bawang lebih tinggi daripada
bagian umbinya.29
29
Angelina, “Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Lapis Bawang Merah (Allium Cepa L.)
Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus Aureus Dan Escherichia Coli”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, Vol.2 No.1, juli 2013, hlm. 3
30
Fitria Dewi dkk., “Uji Aktivitas Antibakteri Dan Fitokimia Kulit Bawang Merah (Allium
Cepa L.) Hasil Ekstraksi Metode Microwave Assisted Extraction (Mae)”, Mandala of Health a
Scientific Journal, Vol.11, No.2, September 2018, Hal. 1
20
Tabel 6. Uji Fitokimia Ekstrak Kulit Bawang Merah Metode secara
Kualitatif
6. Penelitian Terdahulu
No Penulis/Tahun Judul Hasil
1 Gervacia Jenny Perbedaan Kadar Asam Kadar rata-rata kadar asam
Ratnawaty dan Lemak Bebas pada Min lemak bebas pada minyak
Hendra Budi yak Goreng yang Menga goreng bekas yang ditambah
Sungkawa, 2018. lami Pemanasan Ulang kan bawang putih sebesar
dengan Penambahan 5,29% dan bawang merah
Bawang merah (Allium sebesar 5,22%. Hasil uji
Cepa) dan Bawang Putih statistic diperoleh pengolahan
(Allium Sativum) data secara komputerisasi me
lalui uji-t diperoleh nilai p >
0,05, sehingga dapat disimpu
lkan bahwa Ha ditolak yang
artinya tidak terdapat perbed
aan kadar bilangan asam lem
31
Siti Mardiyah, “Efek Anti Oksidan Bawang Putih Terhadap Penurunan Bilangan
Peroksida Minyak Jelantah”, The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist,
Vol. 1 No. 2, Mei 2018, hlm 108-109
21
ak bebas pada minyak goreng
bekas yang ditambahkan
bawang putih dan bawang
merah.
2 Purwati dan Tri Arang Ampas Tebu Asam lemak bebas minyak
Harningsih, 2018 untuk Menurunkan bekas sebelum ditambah
Kadar Asam Lemak dengan arang ampas tebu
Bebas Minyak Goreng. adalah 0,62 %. Angka
tersebut mengalami penuruna
n setelah penambahan variasi
massa ampas tebu dimulai
dengan 2,5 gram; 5,0 gram;
7,5 gram; 10,0 gram dan 12,5
gram. Hasil asam lemak
bebas berturut-turut 0,61%;
0,55%; 0,48%; 0,45%;
0,43%. Kondisi optimum dari
massa arang ampas tebu
sebesar 12,5 gram. Presentase
penurunan asam lemak bebas
sebesar 30,41 % dengan kadar
asam lemak bebas dari
sebelum dilakukan adsorbsi
sebanyak 0,61%
menjadi 0,43%.
3. A. Fuadi Ramdja, Pemurnian Minyak Variabel penelitian berupa
Lisa Febrina dan Jelantah Menggunakan intensitas pemakaian minyak,
Daniel Ampas Tebu sebagai lama perendaman serta ukura
Krisdianto, 2010.
Adsorben n partikel ampas tebu yang
digunakan. Kondisi optimum
yang diperoleh berada pada
intensitas penggorengan sela
ma 4 jam dengan penurunan
kadar air mencapai 0,0050%;
perendaman ampas tebu sela
ma 2x24 jam dengan adsorpsi
kadar asam lemak bebas
hingga mencapai 0,0999%; s
erta ukuran partikel ampas te
bu sebesar 150 µm yang men
urunkan angka penyabunan
dengan titik terendah mencap
ai 161,5042.
22
4. Siti Mardiyah, Efek Antioksidan Bawa Ada pengaruh signifikan pen
ng Putih terhadap Penur ambahan bawang putih terha
2018.
unan Bilangan Peroksida dap kadar bilangan peroksida
Minyak Jelantah. pada minyak jelantah dengan
nilai p=(p< 0,05),dikarenakan
bawang putih mengandung
allisin atau antioksidan.
5. Rosyid Ash Shidi Pengaruh Ekstrak Bilangan peroksida pada
q, Nur Hidayati Bawang Merah (Allium minyak goreng kelapa sawit
axcalonicum L) terhadap sebagai kontrol tanpa
dan Mardiyono.
Bilangan Peroksida pada penyimpanan 24 jam (P0) dan
Penggunaan Berulang Kontrol dengan penyimpanan
Minyak Goreng Kelapa 24 jam (P024) adalah 1,79
Sawit. mek O /kg dan 2,92 mek O
/kg,Selanjutnya pada perlaku
an minyak goreng kelapa
sawit tanpa ekstrak bawang
merah pada P1, P2, P3 adalah
9,72 mek O /kg, 11,11 mek O
/kg, 12,35 mek O /kg,
sedangkan pada perlakuan
minyak goreng kelapa sawit
dengan penambahan ekstrak
bawang merah pada P1, P2,
P3 adalah 5,29 mek O /kg,
6,63 mek O /kg, 9,19 mek O
/kg. Berdasarkan hasil penelit
ian membuktikan bahwa
terdapat pengaruh yang nyata
antara minyak goreng kelapa
sawit tanpa penambahan ekst
rak bawang merah dandengan
penambahan ekstrak bawang
merah.
B. KERANGKA BERFIKIR
23
kesehatan dan lingkungan, karena minyak yang dikonsumsi berulang kali
akan semakin meningkatkan pembentukan radikal bebas yang dapat
merusak organ tubuh kita, terutama yang berkaitan dengan metabolisme
lemak yaitu hipertensi. Potensi lainnya adalah dapat menimbulkan
penyakit kanker dan penyempitan pembuluh darah yang dapat memicu
penyakit jantung koroner, stroke, serta hipertensi.
Pemurnian minyak jelantah sudah pernah dilakukan dengan
berbagai adsorben, seperti bentotit, zeolit, buah mengkudu, biji alpukat dan
lain sebagainya. Akan tetapi, penggunaan bahan-bahan tersebut masih
terbilang mahal ataupun langka, mengingat bentotit dan zeolit sangat jarang
ditemukan, buah mengkudu juga sulit didapatkan. Sehingga tujuannya
untuk meringankan pengeluaran masyarakat malah menjadi sebaliknya,
sehingga peneliti menganalisa, perlu adanya alternatif lain untuk
memurnikan minyak jelantah dengan bahan-bahan yang murah dan mudah
ditemukan. Seperti limbah-limbah pertanian berupa kulit bawang merah
dan ampas tebu.
Ampas tebu (Sugarce bagasse) merupakan salah satu limbah
perkotaan yang dihasilkan dari para pengusaha es sari tebu. Usaha es sari
tebu adalah salah satu usaha yang sedang trending working di Lombok dan
memiliki banyak peminat. Akan tetapi, ampas tebu yang dihasilkan dapat
menambah limbah perkotaan. Mengingat komposisi ampas tebu atau
bagasse kaya akan selulosa, dimana selulosa mampu menjadi penjerap bagi
adsorbate yang akan di adsorpsi dan mampu untuk menyerap pengotor
yang ada pada minyak jelantah, karena zat warna pada minyak jelantah
mengandung gugus-gugus yang dapat bereaksi dengan gugus OH dari
selulosa sehingga zat warna tersebut dapat terikat pada serbuk ampas tebu.
Maka peneliti menggunakan bagas ini sebagai adsorben guna memurnikan
minyak jelantah.
Selain itu, Limbah kulit bawang merah juga sangat menarik untuk
diteliti apakah berpotensi sebagai salah satu adsorben atau tidak, pemikiran
ini muncul bukan tanpa alasan. Alasan utama yaitu karena kandungan
24
fitokimia seperti flavonoid, tanin dan saponin yang berfungsi sebagai
antioksidan pada kulit bawang lebih tinggi daripada bagian umbinya. Dan
kandungan antioksidan yang ada pada kulit bawang merah dapat
menghambat pembentukan senyawa peroksida. Dan manfaat lainnya
adalah guna menjaga lingkungan sekitar dan kenyamanan masyarakat, serta
membantu dalam mengurangi dampak dari minyak jelantah.
C. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kulit bawang merah dapat menurunkan kadar asam lemak atau FFA,
bilangan peroksida, warna dan bau tengik pada minyak jelantah.
2. Rasio adsorben Ampas tebu : Kulit bawang merah (At : Kbm) adalah
100:0, 75:25, 50:50, 25:75 dan 0:100, dan hasil terbaik diperoleh pada
rasio At:Kbm = 50:50 dengan massa total 50 gram untuk penurunan
bilangan asam, massa total 40 gram untuk bilangan peroksid. Dan rasio
At:Kbm = 0:100 untuk warna.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
26
Sedangkan sampel merupakan contoh atau himpunan bagian
(subset) dari suatu populasi yang dianggap mewakili populasi tersebut,
sehingga informasi apapun yang dihasilkan oleh sampel ini bisa dianggap
mewakili keseluruhan populasi. Adapun jumlah yang dgunakan
menggunakan beberapa variasi, yaitu rasio Ampas Tebu : Kulit Bawang
Merah (At:Kbm) adalah 100:0, 75:25, 50:50, 25:75, 0:100 dengan massa
adsorben (gram) adalah 10, 20, 30, 40, dan 50. Dan metode sampel yang
digunakan adalah Probability Sampling, yaitu setiap anggota populasi
memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel dan setiap
sampel bisa diambil secara acak.
1. Variabel Berubah
a. Rasio Ampas tebu : Kulit bawang merah (At : Kbm) : 100:0, 75:25,
2. Variabel Tetap
27
a. Ukuran partikel adsorben : 100 mesh
b. Suhu operasi : 70˚C
c. Waktu kontak : 30 menit
d. Massa Sample : 100 gram
3. Variabel Respon
E. Desain Penelitian
Pemurnian Minyak
Jelantah
Adsorpsi
32
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta : PT. Ri eka Cipta, 2004), hlm.100
Bau Tengik Warna Browning Bilangan Asam Bilangan
Peroksida
28
Keterangan :
= diatasi/menggunakan
= Mencegah/menghambat
1. Alat-alat
29
G. Prosedur Penelitian
a. Preparasi Bahan
Preparasi
Pengendapan selama
1 hari Diblender
Pengeringan dengan
penjemuran
Pemisahan minyak
dari endapan Diayak (100 mesh)
Diblender
Analisa
1. Bilangan asam
2. Bilangan peroksida
Diayak (100 mesh)
3. Penampakan Warna
4. Aroma
30
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian
b. Proses Adsorpsi
Filtrasi
Analisa
1. Bilangan Asam
2. Bilangan Peroksida
3. Penampakan Warna
31
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
2. Prosedur Penelitian
32
variasi massa 10, 20, 30,40 dan 50 gram, kemudian diaduk
selama 30 menit.
3) Selanjutnya minyak disaring dan diambil sampel untuk
dianalisa.
e. Penentuan Bilangan Asam (SNI 3741:2013)
1) Ditimbang 10 gram sampel (W) ke dalam Erlenmeyer 250 ml.
2) Dilarutkan dengan 50 mL etanol hangat dan ditambahkan 5
tetes larutan fenolftalein sebagai indikator;
3) Dititrasi larutan tersebut dengan Sodium Hidroksida 0,1 N (N)
sampai terbentuk warna merah muda. (warna merah muda
bertahan selama 30 detik).
4) Dilakukan pengadukan dengan cara menggoyangkan
Erlenmeyer selama titrasi.
5) Dicatat volume larutan NaOH yang diperlukan (V)
NaOH 40 × V × 𝑁
Bilangan Asam (mg )=
gr W
Keterangan:
V = volume larutan NaOH yang diperlukan, dinyatakan dalam
mililiter (Ml).
N = normalitas larutan NaOH, dinyatakan dalam normalitas (N)
W = bobot contoh yang diuji, dinyatakan dalam gram (gr)
f. Penentuan Bilangan Peroksida (SNI 3741:2013)
1) Ditimbang dengan teliti (5 ± 0,05) g sampel (W) kedalam
Erlenmeyer 250 mL yang kering .
2) Ditambahkan 50 mL larutan asam asetat glasial-isooktan 3:2
(v/v), ditutup erlenmeyer dan dikocok hingga larutan homogen.
3) Ditambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh dengan menggunakan
pipet ukur, ditutup & dikocok sebentar, kemudian didiamkan
selama 1 menit.
33
4) Ditambahkan 30 mL air suling kemudian Erlenmeyer ditutup
dengan segera. Dikocok dan dititarasi dengan larutan natrium
tiosulfat 0,1 N hingga warna kuning hampir hilang, kemudian
ditambahkan indikator kanji 0,5 mL dan dilanjutkan
penitranan, digoyangkan kuat untuk melepaskan semua iod dari
lapisan pelarut hingga warna biru hilang .
5) Dilakukan penetapan duplo.
6) Dilakukan penetapan blanko.
7) Dihitung bilangan peroksida dalam contoh.
O2 1000 × 𝑁 × (𝑉𝑜 − 𝑉1)
Bilangan Peroksida (mek )=
kg W
Keterangan:
N = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat 0,1 N (N)
Vo = Volume larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang diperlukan
(mL)
V1 = Volume larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang diperlukan
pada penitaran blanko (mL).
W = bobot sampel, dinyatakan dalam gram (g).
g. Penampakan Warna
1) Diambil contoh uji secukupnya dan letakkan di dalam wadah
bersih dan kering.
2) Diamati contoh uji untuk mengetahui warnanya.
3) Jika terlihat warna kuning hingga kuning pucat atau warna lain
sesuai dengan jenis minyaknya maka hasil dinyatakan
”Normal”;
4) Jika terlihat warna lain selain warna pada huruf a) di atas, maka
hasil dinyatakan ”Tidak Normal”.
h. Keadaan Bau
1) Diambil contoh uji secukupnya dan letakkan di atas gelas arloji
yang bersih dan kering.
34
2) Dicium contoh uji untuk mengetahui baunya.
3) Jika tercium bau khas minyak goreng, maka hasil dinyatakan
“normal”.
4) Jika tercium selain bau khas minyak goreng, maka hasil
dinyatakan “tidak normal”.
33
Sugiono, Metode Penelitia n Pendidikan, (Bandung :Alfabeta, 2010), hlm. 207
34
Ibid, 209
35