Anda di halaman 1dari 4

Hari/Tanggal : Rabu, 2 Oktober 2018

Laporan Praktikum
Gol./Kelompok : P1/1
Teknologi Minyak, Emulsi,
Dosen : Dr. Ir. Muslich, MSi.
dan Oleokimia
Asisten :
1. Preza Satria AM (F34140036)
2. Rafiq Izzudin R (F34140098)

STABILITAS MINYAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Uji yang dilakukan untuk menguji stabilitas minyak yaitu menguji bilangan iod,
bilangan peroksida, kejernihan, %FFA, dan bilangan asam. Sampel yang digunakan
yaitu minyak dari hasil penggorengan bahan basah dan minyak dari hasil penggorengan
bahan kering. Minyak dari hasil penggorengan bahan basah yaitu minyak bekas dari
menggoreng ayam, tempe, gorengan. Sedangkan minyak dari hasil penggorengan bahan
kering yaitu minyak bekas dari menggoreng kerupuk ikan, opak, dan kerupuk putih.
Selain itu sampel yang diuji adalah minyak yang masih baru tetapi jenis minyak sama
dengan minyak bekas, hanya bedanya kalau minya yang baru masih belum digunakan.
Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan atau melihat perubahan yang terjadi pada
minyak setelah terjadi proses penggorengan.

Uji yang pertama adalah uji bilangan iod. Bilangan iod menunjukkan adanya
ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh. Semakin tinggi bilangan iod pada minyak
maka minyak tersebut akan semakin cepat mengalami ketengikan (Margaretha 1992).
Berdasarkan data hasil praktikum terjadi penurunan bilangan iod setelah minyak
digunakan atau minyak bekas. Hal ini tidak sesuai literatur karena seharusnya minyak
yang telah digunakan akan mudah mengalami ketengikan. Hal ini dikarenakan dengan
adanya proses pemanasan dengan suhu tinggi. Selain itu ketengikan minyak bisa
disebabkan oleh kondisi penyimpanan, proses hidrolisis, aktifitas enzim, dan
mikroorganisme (Djatmiko & Enie 1985). Ketidaksesuaian hasil ini bisa saja
dikarenakan oleh kondisi penyimpanan minyak yang masih baru sehingga terjadi proses
oksidasi.

Uji yang kedua adalah uji bilangan peroksida. Bilangan peroksida adalah satu
parameter yang menentukan mutu minyak. Standar SNI (2013) memiliki standar nilai
bilangan peroksida yaitu maksimal 10. Nilai bilangan peroksida yang telah melewati
batas standar maka minyak tersebut sudah bisa dikatakan minyak yang sudah tidak
layak pakai. Jika masih dibawah standar, minyak masih bisa digunakan. Berdasarkan
data hasil praktikum terjadi peningkatan bilangan peroksida dari minyak baru ke
minyak bekas. Tetapi hasil ini masih berada di bawah batas standar yang telah
ditentukan oleh SNI (2013). Hal ini menandakan minyak bekas masih bisa digunakan.

Uji yang ketiga adalah uji %FFA dan bilangan asam. Uji ini dilakukan untuk
melihat jumlah asam lemak bebas dan kandungan asam yang ada pada minyak. Uji ini
juga salah satu uji untuk menentukan mutu minyak. Standar bilangan asam lemak bebas
yang diberlakukan industri di Indonesia adalah 5%. Berdasarkan data hasil praktikum
terjadi peningkatan kadar FFA dan bilangan asam dari minyak baru ke minyak bekas.
Hal ini dikarenakan oleh proses pemanasan dengan suhu tinggi, sehingga kadar FFA
minyak bekas lebih tinggi daripada minyak yang masih baru.

Uji selanjutnya adalah uji kejernihan. Berdasarkan data hasil praktikum minyak
baru (minyak dari bahan basah maupun bahan kering) memeliki kejernihan yang tinggi
yaitu di atas 80%. Tetapi terdapat 1 kelompok yang minyak barunya memiliki
kejernihan yang rendah yaitu kelompok 5 dengan kadar kejernihan sebesar 62,7. Terjadi
penurunan secara signifikan kejernihan. Hal ini terjadi karena proses pemanasan dengan
suhu tinggi sehingga warna minyak berubah menjadi kecoklatan.

Minyak dari hasil menggoreng bahan basah memiliki tingkat kerusakan yang
lebih tinggi daripada minyak hasil menggoreng bahan kering. Hal ini dikarenakan bahan
basah memiliki kadar air yang tinggi, sehingga minyak lebih cepat mengalami proses
hidrolisis. Semakin cepat minyak mengalami proses hidrolisis makan minyak tersebut
akan lebih mudah cepat rusak. Apabila bahan yang digoreng memiliki kadar air yang
tinggi, minyak tersebut akan cepat teroksidasi dan mutunya menurun (Ketaren 2005).
Tetapi data hasil praktikum minyak dari bahan kering menunjukkan minyak yang
memiliki mutu yang lebih rendah daripada minyak dari bahan basah. Hal ini tidak
sesuai literatur yang seharusnya minyak hasil menggoreng bahan kering mutunya lebih
tinggi daripada bahan basah karena bahan kering memiliki kadar air yang rendah.

Minyak goreng curah umumnya hanya menggunakan satu kali proses


penyaringan, sehingga masih mengandung fraksi padat stearin yang relatif lebih banyak
dari minyak goreng bermerek yang menggunakan dua kali proses penyaringan. Oleh
karena itu minyak goreng curah tidak sejernih minyak goreng bermerek. Hal ini
berkaitan dengan titik cair (suhu pada saat lemak mulai mencair) dan cloud point (suhu
pada saat mulai terlihat adanya padatan) pada minyak. Dari segi kandungan, kadar
lemak dan asam oleat dari minyak curah lebih tinggi dibanding dengan minyak
kemasan. Namun tidak ada masalah menggunakan minyak curah, asal tidak berlebihan
dan tidak digunakan berulang sampai berwarna kehitam-hitaman. Karena pemakaian
berulang-ulang pada minyak curah sangat tidak baik bagi kesehatan ( Widayat 2006 ).

DAFTAR PUSTAKA

Djatmiko B. dan Enie AB. 1985. Proses Penggorengan dan Pengaruhnya Terhadap Sifat
Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Bogor (ID): Agro Industri press. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian, Fateta. IPB.

Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Margaretha MM. 1992. Usaha Memperoleh Minyak Berkualitas Baik dari Kopra.
Manado (ID): Bulletin Balitka. Deptan. Badan Litbang Pertanian. Balai
Penelitian Kelapa.

Standar Nasional Indonesia. 2013. SNI 3741:2013. Minyak Goreng. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional.
Widayat. 2006. Optimasi Proses Adsorbsi Minyak Goreng Bekas Dengan Adsorbent
Zeolit alam: Studi Pengurangan Bilangan Asam. Jurnal Teknik Gelagar, 17,
77 – 82.

Anda mungkin juga menyukai