Anda di halaman 1dari 2

Minyak Goreng (Frying oil) adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal

dari bahan nabati kecuali kelapa sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi
penuh, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi/pemurnian yang digunakan untuk menggoreng
(BPOM, 2016). Karakteristik dasar minyak goreng yang tercantum dalam peraturan BPOM yaitu Kadar
air tidak lebih dari 0,15%, Bilangan asam maksimal 0,6 mg KOH/g, Bilangan peroksida tidak lebih dari
10 mek O2/kg, Kadar asam lemak linolenat tidak lebih dari 2%, Kadar asam lemak trans 0% dari total
asam lemak.

Kualitas minyak goreng ditentukan dari komponen asam lemak penyusunnya, yakni golongan asam
lemak jenuh atau tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh mengandung ikatan rangkap. Sebaliknya, asam
lemak jenuh tidak mempunyai ikatan rangkap. Asam lemak yang memiliki semakin banyak ikatan
rangkap akan semakin reaktif terhadap oksigen. Jumlah peroksida yang terdapat dalam minyak
ditetapkan dengan metode iodometri. Pada metode ini iod mereduksi peroksida-peroksida yang
terbentuk dalam minyak.

Pada saat pertama proses oksidasi, akan terbentuk senyawa peroksida yang merupakan
senyawa labil dan mudah bereaksi lebih lanjut. Selanjutnya terbentuk senyawa keton dan aldehid yang
menyebabkan bau dan cita rasa tengik pada minyak sehingga menjadi pertanda minyak telah rusak.
Selain itu, kerusakan oksidatif dapat menyebabkan perubahan warna pada minyak menjadi lebih gelap
atau hitam. Reaksi oksidasi terjadi antara oksigen dengan ikatan rangkap dari trigliserida/minyak.
Adanya antioksidan (tokoferol) dalam minyak berguna untuk mengalihkan proses oksidasi dari minyak
ke antioksidan sehingga ikatan minyak tetap utuh. Warna coklat minyak jelantah dapat disebabkan
adanya ikatan molekul karbohidrat dan protein, disebut sebagai Reaksi Maillard yaitu reaksi antara
gugus karbonil dengan gugus amin dari protein. Warna gelap pada minyak juga dapat terjadi selama
proses pengolahan, penyimpanan dan penggunaan minyak. Pemanasan yang terlalu tinggi dan
berulang, menyebabkan terjadinya reaksi polimerasi dan reaksi Maillard yang menyebabkan minyak
mengental dan berwarna gelap.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan duplo didapatkan hasil pada minyak baru nilai
bilangan peroksida yang didapat yaitu 12,8 mgr/100 gram dan 15,8 mgr/100 gram; pada minyak
jelantah sebesar ... dan ... . Hasil yang didapatkan pada percobaan jauh lebih tinggi dibandingkan
standar yang ditetapkan pada BPOM, 10 mek O2/kg dan standar menurut SNI 01-3741-2002, 1 mg
O2/100 gram. Hal ini dapat kemungkinan disebabkan penyimpanan minyak kemasan yang dibeli dari
swalayan menggunakan kemasan tembus cahaya matahari. Wadah yang terbaik untuk menyimpan
minyak adalah wadah warna gelap dan rapat. Selain itu minyak juga harus dihindarkan dari logam besi
dan tembaga. Selain itu, dapat dikarenakan kesalahan praktikan dalam melakukan percobaan.

Bilangan peroksida yang tinggi menandakan minyak telah teroksidasi ditandai dengan rasa
dan bau tengik. Trigliserida yang memiliki rantai tidak jenuh (rangkap) mengalami otooksidasi
membentuk radikal-radikal bebas. Proses ini dapat dipercepat dengan adanya cahaya, panas,
peroksida lemak atau hidroperoksida serta logam berat (seperti Cu, Fe, Co dan Mn). Penggunaan suhu
tinggi selama penggorengan memacu terjadinya oksidasi minyak. Menurut deMan (1999) setiap
peningkatan suhu 10oC laju kecepatan oksidasi meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak
akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Kecepatan akumulasi
peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100 – 115oC dua kali lebih besar dibanding pada
suhu 10oC (Ketaren, 1986). Faktor-faktor inilah yang menyebabkan minyak jelantah memiliki nilai
bilangan peroksida yang tinggi. Pada minyak jelantah terdapat material tak berguna yaitu senyawa
peroksida yang menyebabkan meningkatnya risiko terhadap beberapa penyakit, antara lain
karsinoma.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional. Standar Minyak Goreng: SNI 01-3741-2002. Jakarta; 2002

Ketaren S. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI Press; 1986.

Mahatta TL. Technology and refining of oils and fats. New Delhi: Small Business Publications; 1975.

Rifqi T, Nabila YA. Banana peels: An economical refining agent for carcinogenic substance in waste
cooking oil. APEC Youth Scientist Journal 2011; 4(1): 62 -73.

Siti NW, Tri Dewanti W, Kuntanti. Studi tingkat kerusakan dan keamanan pangan minyak goreng bekas
(Kajian dari perbedaan jenis minyak goreng dan bahan pangan yang digoreng). Laporan Penelitian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang; 2001.

Suroso, Asri Sulistijowati. 2013. Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari Bilangan Peroksida,
Bilangan Asam dan Kadar Air. Jurnal. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai