Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Untuk Negeriku

ENTAH telah berapa puluh peluru sudah dimuntahkan senapan Arisaka milik Jarot. Dari balik
semak-semak, pria di usia pertengahan 20-an itu terus membabi buta menembakkan senjatanya
ke arah mobil jip dengan bendera matahari, yang telah terbakar.
Tak terdengar lagi perintah Kapten Joko yang meminta pasukannya menghentikan tembakan.
Sudah Jarot! Sudah! Simpan pelurumu untuk perang berikutnya, tiba-tiba saja suara Kapten
Joko terdengar begitu nyaring di telinga Jarot. Jarot pun terkesiap.Siap kapten! ujarnya, sigap.
Sudah, pergi ke truk, kita kembali ke markas, ujar Kapten Joko, lagi. Siap Kapten!
******
Malam begitu gelap. Di dalam tenda, Jarot terpekur. Tak bisa dia memejamkan matanya.
Padahal, besok pagi, dia butuh tenaga ekstra untuk kembali membombardir tentara-tentara
Nipon, sang penjajah. Pasukan Kelelawar, yang dipimpin Kapten Joko, memang berencana
melakukan serangan terhadap rombongan tentara Jepang, yang kabarnya akan melintasi batas
kota.
Mereka akan mulai mengepung tempat-tempat yang akan dilewati tentara-tentara Jepang itu,
sebelum fajar menyingsing. Menyerang mereka, merampas senjata dan bawaan mereka seperti
biasa. Maka itu, Jarot butuh istirahat.
Tapi Jarot tak juga mampu memejamkan matanya. Peristiwa itu, belakangan memang kembali
terus menghantuinya. Bayangan wajah Sumi, yang terkapar bersimbah darah, kembali melintas
dalam benaknya.
Jarot meraba kantong celananya, menggenggam bandul kalung berbentuk hati, satu-satunya
barang Sumi yang masih dia simpan. Ya, hanya bandul kalung itu yang bisa dia bawa, setelah
memakamkan sang istri, yang tewas saat pasukan Jepang, menyerbu desa mereka, setahun yang
lalu.
Hei, kamu belum tidur Rot? suara Amin tiba-tiba mengagetkannya. Amin, sahabat Jarot dari
desa yang sama, malam itu memang bertugas jaga. Aku tak bisa tidur Min, ujar Jarot.
Kenapa? ujar Amin, sambil menyodorkan rokok kretek, lalu duduk di sebelah Jarot.
Isaplah barang satu batang, setelah itu cobalah kembali tidur, ujar Amin, lagi.
Shshssshhhhs Jarot mengepulkan asap dari mulutnya. Pikirannya masih menerawang.
Aku tahu Rot, kata Amin. Tak mudah bagimu melupakan kejadian itu. Tapi, kamu harus
tegar. Mungkin memang sudah kehendak Yang Kuasa semua itu terjadi
Tapi, aku masih belum bisa menerima Minn! suara Jarot memotong kalimat-kalimat Amin.
Jepang-Jepang sialan itu membakar desa kita, membunuh istriku, ayah, ibuku dengan keji. Apa
salah mereka?!!
Amin pun diam. Dia sangat tahu, betapa berat musibah yang dialami sahabatnya itu. Setahun
yang lalu, desa mereka, yang terletak di kaki bukit, memang dibumihanguskan pasukan Jepang,
yang mencari pemuda-pemuda pejuang seperti Jarot dan Amin.
Amin beruntung, karena keluarganya telah terlebih dahulu mengungsi. Sementara Jarot, harus
kehilangan keluarganya, termasuk istri yang baru dinikahinya kurang dari dari sebulan karena
kekejaman Jepang.
Aku bersumpah, aku bersumpah Min.. Aku akan membalasnya! Itu janjiku di pusara Sumi,
Jarot berteriak. Amin pun tak bisa lagi berkata-kata.
Sudahlah Rot, sekarang kau tidur. Nanti setelah Subuh kita berangkat. Kamu harus siapkan
tenaga, ujar Amin sambil menepuk pundak sang sahabat.
*******
Kejadian setahun lalu itu memang telah semakin membulatkan tekad Jarot untuk menumpas
Jepang. Dendam, ya Jarot memang membawa dendam, yang kadang melebihi akal sehatnya.
Tak heran, Jarot dikenal sebagai serdadu yang tak kenal rasa takut.
Jarot beruntung memiliki komandan pasukan seperti Kapten Joko yang begitu bijak. Bukan
sekali dua, dalam pertempuran, Kapten Joko mengingatkan Jarot agar tak membabi buta. Sikap
seperti itu, menurut Kapten Joko, tak hanya membuang-buang amunisi mereka, melainkan juga
bisa membahayakan nyawa Jarot sendiri.
Tak jarang, Kapten Joko meminta Jarot tak jauh-jauh darinya, saat pertempuran. Tujuannya, ya
itu tadi. Agar sang kapten bisa mengontrol keberanian Jarot yang kadang kelewat batas.
Ini bukan perang kamu sendiri Jarot. Kamu bisa mati konyol! ujar Kapten Joko, suatu ketika.
Kita berperang untuk MERDEKA. Untuk kebanggaan MERAH PUTIH!
Kapten Joko terus menyerocos. Kita berperang untuk membebaskan negeri kita dari
penjajahan. MERDEKA, ya MERDEKA, itu cita-cita kita semua Jarot. Kita harus mengusir
siapa pun penjajah dari Bumi Pertiwi!
Kapten Joko terus menasihati Jarot. Berperang, tak hanya menggunakan senjata dan
keberanian, tapi juga harus menggunakan otak. Negeri ini masih butuh orang-orang seperti
kamu. Kamu jangan egois!
******
Egois? Benarkah aku egois? Jarot pun berpikir keras. Selama ini, Jarot memang hanya
berperang untuk dirinya sendiri, untuk membalaskan dendamnya. Misinya hanya satu,
membunuh tentara Jepang sebanyak-banyaknya demi menuntaskan janjinya kepada Sumi. Jarot
tak pernah berpikir, bahwa perang yang dia jalani sekarang, semata-mata untuk mengusir
penjajah dari negeri tercinta.
Mungkinkah aku telah keliru memaknai perang ini? Jarot pun berpikir dalam hati.
***
Hari telah mencapai tiga perempat malam. Jarot bersama Amin, dan semua anggota Pasukan
Kelelawar telah berada di dalam truk yang akan membawa mereka ke lokasi penyerangan. Jarot
kembali teringat Sumi. Namun, dia juga terganggu oleh kata-kata Kapten Joko, yang
menyebutnya egois. Jarot tak tenang. Dia merasa bersalah.
Begitu sampai di lokasi, Kapten Joko pun menggelar strategi. Pasukan Kelelawar, yang hanya
terdiri dari 55 orang, dibaginya menjadi tiga kelompok, berpencar di sekitar lokasi penyerangan.
Termasuk Jarot, yang berada satu kelompok dengan Amin. Selain senapan Arisaka favoritnya,
Jarot juga dibekali dua buah granat jagung di sakunya. Semua telah sepakat, baru akan
menyerang, jika mendengar perintah Kapten Joko.
Fajar pun menyingsing, hari menjadi terang. Namun, kelompok-kelompok Pasukan Kelelawar
yang bersembunyi di balik semak-semak, sama sekali tak terlihat. Mereka seolah tak ada.
Tak lama, terdengar deru mobil-mobil jip yang ditunggangi tentara Jepang. Roda-roda gagah itu
menggilas tanah-tanah kering berdebu yang biasanya hanya dilewati para pejalan kaki, warga
desa.
Jarot tak bisa berpikir lagi. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya di tempat
persembunyian. Tangannya erat menggengam senapan yang siap memuntahkan peluru-peluru
dendam.
Detik-detik terus berpacu. Roda-roda itu pun terasa semakin dekat. Jarot tak kuasa lagi menahan
perasaannya. Dan, tiba-tiba saja, dia melompat dari persembunyian, mengadang jip-jip pasukan
Jepang, sambil berteriak, Untukmu negerikuuuuuu.
Tak pelak, tubuh kurus Jarot pun menjadi santapan empuk berondongan senjata tentara-tentara
Jepang. Tubuh Jarot pun roboh seketika, bersimbah darah. Persis tubuh Sumi, saat terakhir kali
dilihat Jarot. Namun, Jarot belum mati. Dengan tenaga tersisa, dia melempar dua granat dari
tangannya yang sukses meledakkan empat Jip Jepang, plus amunisi dan mesiu yang mereka
bawa.
Asap kuning hitam menyala-nyala di udara. Empat Jip Jepang itu pun hangus terbakar, bersama
dengan tubuh Jarot, yang kali ini, sudah tak lagi bernyawa. Bandul kalung berbentuk hati itu pun
ikut hangus, tergeletak di tanah.

Anda mungkin juga menyukai