Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat atau seseorang terkait dengan sisi
dinamis dan sisi statis masyarakat. Struktur sosial seperti jenis kelamin, usia, dan atau
warna kulit merupakan aspek statis dari masyarakat. Sedangkan proses sosial atau interaksi
sosial merupakan aspek dinamis masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi telah menjadi
bagian dari hidup seorang individu yang tak terelakkan mengingat proses sosial merupakan
cara hubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan kelompok sosial saling bertemu
serta menentukan sistem dan bentuk-bentuk hubungan atau sesuatu hal yang akan terjadi
apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang
telah ada. Setiap harinya seseorang melakukan komunikasi karena orang tersebut tentu
membutuhkan dan ingin dapat terus berinteraksi dan membentuk suatu hubungan atau
relasi dengan sesamanya. Namun tidak semua komunikasi dapat membangun suatu
hubungan yang baik dengan sesama. Tidak sedikit orang yang gagal dalam membangun
suatu hubungan karena komunikasi yang jelek, tidak baik dan atau tidak efektif. Hal yang
mendasar dalam berkomunikasi sehingga dapat membentuk hubungan yang baik adalah
empati. Dengan adanya empati sebagai unsur terpenting dalam berkomunikasi, maka
individu tersebut dapat berkomunikasi dengan baik dan efektif, sehingga ia kemudian dapat
membangun hubungan yang baik pula dengan sesamanya.
Komunikasi yang baik dan efektif berdasarkan aspek empati ini sangat diutamakan
dalam menjalin kontrak hubungan dengan antar individu dengan individu, antar individu
dengan kelompok, maupun antar kelompok dengan kelompok, tak terkecuali dokter. Sama
halnya dengan masyarakat luas, dokter juga diharapkan dapat berkomukasi dan berempati
dengan baik terhadap teman sejawat, pihak yang sebidang maupun tidak sebidang dan
terutama terhadap pasien. Dengan komunikasi dan empati yang baik, maka dokter dapat
menjalin hubungan yang baik dengan sekitarnya terutama pasien, dimana hal ini dapat
meningkatkan kepuasan dan taraf kesehatan pasien. Oleh karena itulah, penulis membuat
makalah ini guna untuk menjelaskan pentingnya komunikasi dan empati antara dokter-
pasien, sehingga para pembaca khususnya para mahasiswa Fakultas Kedokteran yang
membaca makalah penulis dapat menambah pengetahuan akan pentingnya komunikasi dan
empati dan mengamalkan hal tersebut dengan baik dalam kehidupannya, sehingga mereka
dapat menjadi dokter yang kompeten, baik dan bertanggung jawab dalam melayani
pasiennya.
2


1.2 Rumusan Masalah
Bentuk empati dan cara komunikasi dokter dalam penyampaian informasi dan
rahasia pasien kepada keluarga.

1.3 Tujuan
Pada kasus yang diberikan, kita dapat mengetahui dan mendalami cara
berkomunikasi dan berempati yang tepat seorang dokter terhadap pasien dan keluarganya,
serta dapat mempelajari tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
3

BAB II
ISI

2.1 Landasan Teori
Seseorang yang menamakan dirinya dokter adalah seseorang yang menyandang
predikat diri sebagai seorang profesional. World Federation Medical Education (WFME)
berpendapat bahwa seorang dokter dikatakan profesional apabila memiliki pengetahuan,
keterampilan, sikap, nilai-nilai, dan perilaku yang diharapkan oleh individu yang dilayani oleh
dokter selama dalam praktik, dimana dalam hal ini kita sebut sebagai pasien (meliputi
konsep seperti menjaga kompetensi, informasi ilmiah, etika, integritas, jujur, altruisme,
melayani orang lain, taat terhadap kode etik profesional, adil, dan menghormati orang lain).
Sikap profesional menjadi sangat penting karena seorang pasien yang tidak terlalu
mengenal jati diri dokter menyerahkan diri sepenuhnya kepada dokter yang merawatnya,
dimana kita kemudian mengetahui bahwa yang menjadi dasar atas hubungan dokter dan
pasien adalah kepercayaan. Dengan demikian, dokter harus menjaga dan memelihara
kepercayaan yang diberikan oleh pasien, dilandasi oleh sikap profesionalisme. Hal ini juga
dikarenakan dalam pengasuhan medis yang baik, pasien mengharapkan dilayani oleh
dokter yang berkompeten, respek, jujur dan dapat berkomunkasi dengan baik
1
.
A. Komunikasi
Secara harafiah, komunikasi berasal dari bahasa Inggris communication dan atau
dari bahasa Latin communicare yang berarti membagi, memberikan, tukar-menukar atau
memberitahukan sesuatu kepada seseorang
2
. Dengan kata lain, komunikasi dapat
disebutkan sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan, berita atau informasi antara
dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan dimaksud dapat dipahami.
Komunikasi merupakan penyampaian informasi, gagasan, pengetahuan kepada pihak lain.
Komunikasi menekankan pada hubungan antar pihak tertentu, yaitu hubungan antar satu
orang dengan satu orang, satu orang dengan banyak orang, satu kelompok manusia
dengan kelompok lainnya.
Komunikasi akan berlangsung dengan baik jika terdapat elemen-elemen yang
mendukung proses komunikasi, antara lain meliputi keberadaan:
1. Pengirim (sender/encoder), yaitu pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak
lainnya
4

2. Penulisan dalam bentuk sandi (encoding), yaitu suatu proses penyebaran dalam
bentuk simbol atau kode/sandi
3. Pesan (message), yaitu serangkaian simbol-simbol yang disampaikan oleh
pengirim
4. Media, yaitu suatu alat bantu atau saluran untuk menyampaikan pesan.
5. Penerima (receiver/decoder), yaitu pihak yang menerima pesan dari pengirim
pesan
6. Pembacaan sandi (decoding), yaitu suatu proses pengartian atau
menterjemahkan simbol-simbol oleh pihak penerima pesan
7. Tanggapan (response), yaitu serangkaian reaksi dari pihak penerima atas pesan-
pesan yang disampaikan kepadanya
8. Umpan balik (feedback), yaitu respons penerima yang disampaikan kepada
pengirim pesan
3
.
Samsuridjal Djauzi dan Supartondo mengatakan bahwa komunikasi antara dokter
dengan pasien merupakan landasan yang penting dalam proses diagnosis, terapi, maupun
pencegahan penyakit. Menurut Samsuridjal Djauzi dan Supartondo, pada tahun 1950-an
ada tiga pola komunikasi antara dokter dengan pasien, yaitu pola aktif-pasif, petunjuk kerja
sama, dan kerja sama. Pada pola aktif-pasif, pasien bersifat pasif dan hanya melakukan
sesuatu yang diperintahkan dokter. Pada pola petunjuk kerja sama, peran pasien mulai
muncul. Aspek ketaatan dan motivasi pasien dalam menjalankan perintah dokter, menjadi
kunci penyembuhan. Sedangkan pada pola kerja sama, inisiatif pasien menjadi lebih kuat.
Maka tidak mengherankan, bila pada saat sekarang ini, banyak masyarakat yang meminta
konsultasi kesehatan
4
.
Komunikasi dokter-pasien merupakan momen yang sangat penting dalam rangka
penyembuhan pasien. Dikarenakan keahliannya, dokter mempunyai posisi yang lebih tinggi
daripada pasien. Oleh karena itu, dokter memiliki legitimate power sehingga dapat dengan
mudah memengaruhi pasien. Hal tersebut menjadi modal untuk dapat mengubah sikap dan
perilaku pasien. Seorang dokter mampu berinteraksi secara individual dengan pasiennya,
dengan demikian rekomendasi kesehatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual
dan kerentanan pasien. Akan tetapi, walaupun kedudukan dokter sebagai seorang ahli
lebih tinggi dari pasien, seorang dokter tetap diharuskan untuk menjaga komunikasi dan
menghindari adanya pemberian nasihat kepada pasien. Komunikasi dirasakan akan lebih
efektif dan interaktif bila nasihat tersebut diubah menjadi informasi untuk pasien. Informasi
yang diberikan kepada pasien juga diharapkan diberikan dengan menggunakan cara-cara
yang mudah dipahami dan sebisa mungkin tidak menggunakan istilah medik yang belum
tentu dapat dimengerti oleh pasien.
5

Dalam komunikasi dikenal dua macam komunikasi, antara lain komunikasi verbal
dan nonverbal. Komunikasi verbal merupakan komunikasi melalui kata-kata yang diucapkan
secara lisan maupun yang tertulis seperti simbol atau lambang, sedangkan komunikasi
nonverbal merupakan segala sesuatu yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain
tanpa mengunakan kata-kata. Komunikasi ini ditunjukkan melalu isyrat, ekspresi wajah,
bahasa tubuh, serta nada suara. Cara-cara mengomunikasikan keramahan dan kehangatan
kepada pasien melalui perilaku nonverbal, seperti senyuman, sikap condong ke depan dan
bersalaman dapat meningkatkan proses komunikasi. Begitu juga dengan isyarat-isyarat
nonverbal lainnya, seperti nada suara dan ekspresi wajah dapat mengomunikasikan emosi
yang berbeda-beda. Nada suara yang disertai ekspresi akan memudahkan pemahaman
emosi yang ingin disampaikan oleh seseorang. Dengan demikian, komunikasi tersebut akan
menjadi lebih efektif
5
.

B. Empati
Empati atau ikut merasakan adalah suatu kemampuan untuk mengalami hidup pihak
lain. Secara nyata dapat dikatakan untuk dapat sementara menjadi orang lain dimana kita
melihat masalah-masalah dari sudut pandang orang lain. Empati menutupi setiap
pertimbangan atau penilaian kita terhadap orang lain. Melalui empati kita dapat merasa
dekat dan terlibat dengan orang lain dan akan memberikan respek pada orang lain sebagai
sesama manusia. Empati suatu pengertian untuk ikut merasakan merupakan suatu yang lain
daripada hanya dapat mengandaikan situasi orang lain
6
.
Empati merupakan respons yang menyadari perasaan pasien dan tidak mencelanya.
Empati adalah bentuk dari suatu pengertian, bukan semata keadaan simpati emosional.
Respon empati seolah-olah berkata, Saya bersama-sama dengan Anda. Pemakaian
empati dapat memperkuat hubungan antara dokter-pasien dan membuat wawancara atau
anamnesis dapat berjalan dengan lancar. Respon empati dapat pula bersifat non-verbal.
Anggukan sebagai bentuk pengertian telah menandakan bahwa telah terjadi suatu proses
empati
7
.
Prinsip pertama Code of Medical Ethics of the American Medical Association
memperingatkan bahwa dokter-dokter harus memberikan perawatan medis yang kompeten
dengan berdasarkan belas kasih atau empati. Hal ini dikarenakan memperhatikan perbaikan
kualitas hubungan antara dokter dan pasien agar semakin membaik
8
.
Di era sekarang ini, ketika dokter berdiskusi dengan pasien, tidak banyak lagi dokter
yang bisa membangkitkan rasa empatinya terhadap pasien akibat tidak efektifnya
komunikasi yang mereka bangun. Ada di antara dokter yang melihat pasien bukan lagi
sebagai sosok yang membutuhkan pertolongan tetapi hanya sebagai objek untuk
6

memperoleh keuntungan pribadi dokter tersebut. Sebagian di antara mereka berbangga diri
sebagai dokter dan merasa berada di bidang sains yang mutlak dan pasti, yang di dalamnya
tidak ada kesalahan. Mereka menganggap profesi dokter dan dogma kedokteran sebagai
semesta yang selalu benar dan tak terbantahkan
9
.
Tingkatan pada empati dapat diukur melalui sebuah metode, yaitu Empathy
Communication Coding System (ECCS). Dalam ECCS ini terdapat 6 tingkatan yang
mengukur tingkat empati seorang dokter, yaitu:
1. Level 0 : Dokter menolak pendapat pasien. Pada level ini dosen cenderung
memperlihatkan sikap antipati.
2. Level 1 : Dokter bersikap acuh tak acuh terhadap pendapat pasien dan dokter
hanya menganggap pendapat pasien secara sambil lalu.
3. Level 2 : Dokter pada tahap ini hanya memandang sudut pandang pasien
secara implisit
4. Level 3 : Dokter mengakui dan menghargai pendapat pasien
5. Level 4 : Dokter memberikan konfirmasi kepada pasien atas pendapatnya.
6. Level 5 : Dokter saling berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien.
Dokter yang baik harus dapat menampilkan tingkatan empati dari level 3 sampai
dengan level 5 karena pada level ini dokter mampu memberikan pengenalan kepada pasien
secara eksplisit terhadap penyakitnya
10
.

2.2 Pembahasan
A. Kodeki
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia Pasal 12,
KODEKI, PB IDI
11
Sesuai dengan pasal kedokteran nomor 12 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang berdasarkan atas keputusan perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia,
maka dapat kita ketahui bahwa dokter tidak diijinkan dan tidak dilayakkan untuk
memberitahukan rahasia pasien kepada publik, baik keluarga pasien sendiri, teman
maupun orang lain tanpa atas seijin atau persetujuan dari pasien itu sendiri. Oleh
karena itu, pada kasus skenario C dimana seorang pasien perempuan meminta sang
7

dokter untuk tidak memberitahukan atau membocorkan rahasia berupa informasi
tentang kehamilannya kepada sang ibu pasien, maka dokter tersebut harus
mengabulkan dan menepati permintaan pasien itu. Sang dokter dilarang keras untuk
memberitahukan informasi dari hasil pemeriksaan pasien tersebut kepada sang ibu
pasien, walaupun sang ibu meminta atau memohon kepada dokter untuk
memberitahukan hasil tersebut tanpa persetujuan dari pasien. Apabila dokter
diketahui atau dikedapati melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan pasien
perempuan tersebut, dalam hal ini berupa pelanggaran terhadap pasal 12, maka
sang dokter dapat dituntut oleh pasien perempuan tersebut. Sang dokter kemudian
akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI
untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya dimana
persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme
dan keluhuran profesi. Sang dokter akan dikenai sanksi yang dapat berupa
peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan
atau pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya
berpraktik profesi.

B. Komunikasi Efektif
Pada skenario C, dikarenakan atas permintaan sang pasien yang ingin
merahasiakan hasil pemeriksaannya kepada sang ibu karena takut diusir dari
rumahnya, maka sang dokter harus menjaga rahasia tersebut tanpa pengecualian
apapun selama pihak dari pasien tidak mengijinkannya karena berdasarkan
pematuhan, pengamalan, dan menjunjung tinggi KODEKI khususnya pasal 12 yang
telah dibahas pada bagian sebelumnya. Sang dokter yang juga dituntut untuk
menjadi seorang profesionalis, maka dalam hal ini, dokter harus mengomunikasikan
informasi secara efektif sehingga tidak timbul pertentangan, kesalahpahaman dan
ketidakpuasan dari kedua belah pihak, yaitu pihak pasien dan pihak sang keluarga
atau ibu pasien tersebut. Sang dokter seharusnya dapat memberikan penjelasan
kepada kedua belah pihak dengan baik, dimana penjelasan dapat berupa terhadap:
1. Pasien
Memberi pandangan kepada pasien atau anak akan pentingnya peran
orang tua terhadap kondisinya tersebut
Dokter perlu memberikan pandangan kepada pasien bahwa orang
tuanya, dimana dalam kasus skenario C adalah sang ibu sangat
penting dalam proses kehamilannya. Sang ibu yang lebih
berpengalaman dapat mengajarkan, membimbing dan membantu
8

pasien apabila pasien membutuhkan pertolongan. Hal ini dikarenakan
pasien masih remaja yang berusia 18 tahun dan belum memiliki
pengalaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan persalinan,
bahkan tentang merawat bayi. Oleh karena itu, dokter harus
menyarankan bertapa pentingnya sang pasien untuk memberitahukan
kondisinya tersebut kepada sang ibu. Mengingat pula kehamilan
bukan hal yang mudah karena menyangkut keadaan, situasi dan
kondisi janin yang sedang dikandungnya dimana kondisi janin sangat
bergantung pada kondisi fisik dan emosional dari sang ibu atau pasien.
Memberi penjelasan bahwa pasien yang masih remaja tersebut secara
hukum masih dalam pengawasan orang tua
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, diketahui bahwa
seseorang dinyatakan telah dewasa adalah ketika seseorang tersebut
telah berusia 21 tahun.
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah kawin. - KUHPerdata
pasal 330
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada di dalam kekuasaan orang tua - pasal 47 ayat 1
12
Pada kasus skenario C, pasien perempuan tersebut masih dikatakan
remaja karena pasien masih berusia 18 tahun, yang memiliki arti
bahwa secara atau menurut hukum di Indonesia, perempuan tersebut
masih berada di dalam pengawasan orang tua. Semua masalah yang
dihadapi oleh remaja perempuan atau pasien tersebut masih menjadi
tanggung jawab orang tuanya. Apabila dikedapati terjadi suatu hal
yang tidak diinginkan dari pasien, maka pihak yang dianggap
berwenang untuk bertanggung jawab dan diberikan sanksi atau
hukuman adalah orang tua dari pasien tersebut. Orang tua akan
dianggap telah melanggar peraturan perundang-undangan yaitu
berupa pasal yang telah disebutkan sebelumnya karena orang tua
dianggap telah lalai dalam menjalankan perannya sebagai orang tua
yang baik dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua pasien,
dalam hal ini adalah sang ibu berhak untuk mengetahui kondisi
kehamilan pasien agar sang ibu dapat mengawasi dan membantu
selama proses kehamilan sang anak atau pasien.
2. Keluarga Pasien
9

Menyarankan kepada keluarga atau ibu pasien untuk menanyakan hasil
pemeriksaan yang dirahasiakan tersebut kepada anaknya atau pasien
sendiri
Dikarenakan oleh permintaan pasien untuk menjaga rahasia dari hasil
pemeriksaan kepada keluarganya, dalam kasus ini adalah sang ibu,
maka dokter hendaknya tetap menjaga rahasia informasi atau berita
tersebut. Sang dokter hendaknya memberikan penjelasan atau
menyarankan kepada ibu pasien untuk menanyakan informasi
tersebut kepada sang anak atau pasien sendiri karena alangkah lebih
baik apabila sang ibu mendapatkan penjelasan atau informasi dari
hasil pemeriksaan tersebut dari pasien.
Menanyakan reaksi dari keluarga atau ibu pasien apabila mengetahui
kenyataan bahwa hasil pemeriksaan atas anaknya atau pasien tersebut
benar positif sedang hamil
Pada skenario C, dikarenakan pasien remaja perempuan tidak ingin
memberitahukan hasil dari pemeriksaan urinenya yang menunjukkan
bahwa pasien positif hamil karena takut diusir dari rumah oleh sang
ibu, maka peran dokter dalam kasus ini apabila sang ibu bertanya
hasil pemeriksaan anak perempuannya adalah sang dokter
menanyakan kemungkinan atau tindakan yang akan dilakukan oleh
sang ibu terhadap anaknya atau pasien apabila dikedapati kenyataan
bahwa anaknya benar sedang hamil. Apabila ibu tidak
mempermasalahkan kehamilan anak perempuannya dan akan
meminta pertanggungjawaban dari pihak yang menghamili, serta
bersedia membantu dan membimbing anaknya, maka dokter tetap
tidak diijinkan atau tidak diperbolehkan untuk memberitahukan hasil
pemeriksaan tersebut. Sang dokter tetap harus meminta ibu pasien
untuk menanyakan hal tersebut kepada pasien sendiri. Akan tetapi,
apabila ternyata sang ibu akan menghukum sang pasien dengan cara
mengusirnya dari rumah, maka dokter harus memberikan penjelasan
dan membuka cara pandang dari ibu pasien tersebut sehingga ibu
pasien siap menerima kehamilan anaknya dengan lapang dada.
Memberikan pengarahan akan pentingnya peran orangtua dalam proses
kehamilan anak perempuannya atau pasien
Dalam kasus ini, sang dokter berperan untuk menjelaskan,
memberikan pengarahan, dan membuka pandangan dari orang tua
pasien tersebut bahwa peran orang tua sangatlah penting dalam
10

kehidupan anaknya atau pasien, terutama apabila dikedapati
kenyataan bahwa hasil dari pemeriksaan tersebut adalah pasien
positif hamil. Mengingat pula, kehamilan ini merupakan kehamilan
pertama kalinya bagi sang anak atau pasien yang menandakan bahwa
pasien tersebut belum memiliki pengalaman seminim apapun dan
masih membutuhkan banyak bimbingan dari kedua orang tuanya
terutama sang ibu, baik berupa bantuan uluran tangan maupun
nasehat atau saran kepada pasien. Sang ibu seharusnya menjaga,
mengawasi dan membantu pasien tersebut apabila pasien benar
positif sedang hamil. Mengingat pula pasien yang masih berusia 18
tahun dimana telah dikatakan atau dibahas sebelumnya bahwa anak
tersebut secara hukum, masih belum dapat dikatakan dewasa dan
masih berada dalam pengawasan orang tua dalam kondisi apapun,
baik sedang hamil maupun tidak hamil. Selain itu, apabila sang ibu
benar mengusir anak perempuannya, maka sang dokter harus
mengingatkan dan menjelaskan kepada sang ibu bahwa anak
perempuannya masih remaja yang belum tentu telah memiliki
pekerjaan atau belum tentu dapat hidup dengan mandiri. Pasien bisa
saja masih melanjutkan studinya dan juga pasien sedang hamil muda.
Oleh karena itu, akan sangat berbahaya dan beresiko apabila sang ibu
mengusir pasien dari rumahnya.

C. Empati
Sebagai seorang dokter yang diminta untuk menjadi seorang yang profesional dalam
menjalankan tugas kewajiban profesinya, maka dokter diminta untuk dapat
berkomunikasi dengan efektif, dimana dalam berkomunikasi yang efektif harus
berpedoman atau berdasarkan empati. Empati merupakan kunci dari komunikasi
yang baik. Oleh karena itu, dalam kasus skenario C, dokter harus berempati pada
pasien dan keluarga pasien dimana dokter mengerti dan paham benar bahwa sang
ibu pasien resah akan hasil pemeriksaan anaknya dan akan sangat kecewa terhadap
hasil pemeriksaan urine sang anak perempuannya atau pasien apabila dikedapati
hasilnya adalah positif hamil. Selain itu, dokter juga mengerti dan paham benar
keresahan, ketakutan dan kekhawatiran sang pasien yang menduga atau berpikir
bahwa ia akan diusir oleh ibunya apabila sang ibu mengetahui hasil pemeriksaannya
tersebut. Oleh karena itu, fungsi dokter pada skenario ini tidak hanya tertuju pada
pemeriksaan urine pasien. Akan tetapi, dokter juga berperan untuk membangun dan
11

menolong kedua belah pihak sehingga kedua belah pihak mendapatkan yang terbaik
dan mendapatkan kepuasan yang maksimal dimana hal ini dapat dilakukan dengan
berupa:
Menolong pasien dan keluarga pasien untuk melihat realitas
Peran dokter pada kasus ini dalam menunjukkan empatinya adalah
membantu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa dokter
mengerti akan pikiran dan perasaan yang dihadapi oleh kedua belah pihak.
Dokter mengerti dan memahami benar bahwa memang mungkin berat dan
sangat mengecewakan untuk menerima kenyataan atau realitas bahwa
pasien tersebut positif hamil. Akan tetapi, sesuai dengan peribahasa nasi
telah menjadi bubur, kedua belah pihak, khususnya sang ibu yang terlihat
sangat khawatir akan hasil pemeriksaan urine anaknya harus menerima
realitas tersebut. Tidaklah mungkin sang pasien yang sedang hamil
disuruh atau dipaksa untuk melakukan tindakan aborsi. Hal ini dikarenakan
aborsi sangat bertentangan dengan nilai etika moral dan perundang-
undangan serta hukum agama. Mereka harus menghargai setiap insani
yang ada yang sedang tumbuh dan berkembang tersebut. Oleh karena itu,
satu-satunya solusi adalah menerima realitas tersebut dan bersedia
bertanggung jawab.
Responsif terhadap kebutuhan pasien
Dokter menyadari benar bahwa pasien takut. Oleh karena itu, dokter
memberikan repson yaitu berupa pertolongan atau bantuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien dengan cara memberikan penjelasan dan
membuka cara pandang ibu pasien sehingga ibu pasien dapat menerima
hasil pemeriksaan dan kehamilan anaknya, serta dapat membantu dan
membimbing anaknya selama atau pada proses kehamilan tersebut. Hal
ini dikarenakan, seperti yang kita ketahui, akan berdampak tidak baik
kepada janin yang dikandung oleh pasien dan terhadap pasien sendiri
apabila selama proses kehamilannya tersebut pasien merasa tertekan
atau stress. Pasien dapat mengalami gangguan-gangguan kehamilan dan
yang paling mengerikan atau dihindari adalah pasien dapat mengalami
keguguran.

12

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa dokter
harus berkomunikasi secara efektif dan berempati -- empati merupakan dasar dari
komunikasi yang baik -- kepada dua belah pihak dimana pada kasus, kedua belah pihak
tersebut adalah antara ibu dan anak perempuannya yang positif hamil. Hal ini harus
dilakukan oleh sang dokter agar kedua belah pihak dapat memperoleh pelayanan yang
berkualitas. Sang dokter dan pasien harus membangun komunikasi profesional yang baik
dan harus bekerja sama agar dapat saling memahami dalam upaya pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai