Anda di halaman 1dari 59

Manfaat Daun, Akar dan Jus Tebu Bagi

Kesehatan
Kama costik
6:16 AM
buah anti kanker buah anti prostat buah diabetes buah diet buah ibu hamil buah kekebalan tubuh
buah penyakit jantung buah stroke
Khasiat Tebu Untuk Kesehatan. Buah yang yang jadi bahan baku gula dan vetsin, ternyata
mempunyai beberapa manfaat bagi kesehatan. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah
beriklim tropis, termasuk jenis rumput-rumputan dan umur tanaman sejak ditanam sampai bisa
dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.

Dalam pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras
(mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak,
dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut
akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Air
perasan tebu sering dijadikan minuman segar pelepas lelah, air perasan tebu cukup baik bagi
kesehatan tubuh karena dapat menambah glukosa.

Baca Juga : Manfaat Sari ( Air ) Tebu Bagi Ibu Hamil

Kandungan Gizi Tebu:

Tebu kaya akan fosfor, zat besi, kalsium, kalium, dan magnesium. Kaya dengan kandungan gizi
yang bermanfaat, tebu memiliki beberapa manfaat yang luar biasa bagi kesehatan.
Berikut beberpa manfaat tebu bagi kesehatan


photo : duniafitnes.com
1. Tebu dapat Mencegah Stroke
Mengonsumsi air tebu secara teratur dapat membantu menjaga metabolisme tubuh akibat
kekurangan cairan karena kegiatan yang kita lakukan, sehingga dapat mencegah stroke.

2. Menguatkan Gusi dan Gigi
Air tebu dapat menjaga kesehatan gusi dan juga gigi dan dapat membuatnya menjadi kuat,
caranya dengan meminum air tebu murni yang sudah dicampur air jeruk nipis dan juga garam.

3. Mengobati Mimisan
Ambil bagian tebu yang paling ujung kemudian rebus dengan air secukupnya, campurkan garam
dan juga gula jawa. Jika sudah mendingin saring airnya dan minumlah.

4. Manfaat Daun Tebu Mengobati Masuk Angin
Rebuslah tiga helai daun tebu hingga mendidih dan minumlah air rebusan tersebut apabila
rebusan tersebut sudah mendingin, lakukan secara rutin yaitu tiga kali sehari.

5. Melawan Kanker Payudara
Kandungan yang berada pada buah tebu merupakan sifat alkali yang dapat membantu untuk
mengatasi kanker payudara dan juga prostat dengan cara mengonsumsi secara periodik air tebu
murni.

6. Baik Untuk Penderita Diabetes
Meski rasanya manis tebu aman dikonsumsi bagi penderita diabetes karena mengandung gula
alami dan dapat menjaga kadar glukosa dara seimbang. Jadi, jika Anda dalam program diet
penurunan berat badan atau diabetes, minumlah jus tebu.

Baca Juga : Manfaat Buah Apel Bagi Kesehatan

7. Menyembuhkan Pilek dan Sakit Tenggorokan
Konsumsi air tebu secara teratur dapat mencegah sakit tenggorokan, pilek, atau flu. Jika Anda
sedang mengalami masalah tersebut, air tebu adalah obat terbaik untuk mengatasinya.

8. Manfaat Akar Tebu Meredakan jantung Berdebar
Untuk meredakan jantung berdebar, rebus 3 genggam akar tebu hitam dengan 2 gelas air sampai
tersisa setengahnya. Setelah dingin saring dan minum 2 kali sehari.

9. Meredakan Panas Tubuh
Minum air perasan tebu hitam secukupnya, air tebu hitam dapat membantu menurunkan suhu
badan.

10. Mengobati Batuk
Peras 5 ruas tebu hitam dan minum airnya.

11. Mengobati penyakit kuning
Jus tebu adalah obat alami untuk menyembuhkan penyakit kuning. Jaundice adalah pigmentasi
kuning pada kulit dan membran yang disebabkan oleh adanya billirubin dalam darah.
Bilirubin yang berlebihan dalam darah merubah kulit menjadi kuning . Hati yang kurang
berfungsi dan saluran empedu yang terblokir adalah penyebab penyakit kuning. Untuk
mempercepat pemulihan, minumlah dua gelas jus tebu segar dengan campuran jeruk nipis dan
garam.

12. Obat Infeksi Beberapa infeksi
Mengkonsumsi jus tebu secara teratur dapat mengobati penyakit seperti dysuira, infeksi saluran
kemih, penyakit menular seksual dan peradangan pada perut (saluran pencernaan).

13. Obat Batu ginjal
Mengobati penyakit batu ginjal adalah salah satu khasiat yang paling efektif dari jus tebu. Jus
tebu dapat memecah batu ginjal dan melarutkannya. Batu ginjal biasanya terbentuk karena
dehidrasi.

14. Rehidrasi Banyak orang tidak cukup minum air dan menderita dehidrasi.
Air tebu sangat baik dalam menghidrasi tubuh. Jadi, minumlah segelas air tebu setiap hari selama
cuaca panas agar tubuh tetap terhidrasi.

15. Memperkuat tubuh dan sistem kekebalan tubuh
Hal ini merupakan manfaat kesehatan terbaik yang diberikan oleh air tebu, yaitu menjaga sistem
kekebalan tubuh anak Anda. Tebu mengandung sukrosa yang membantu meningkatkan sistem
kekebalan tubuh kita. Oleh sebab itu, jus tebu juga baik untuk menjaga kesehatan lambung,
ginjal, jantung, dan mata.

16. Sumber antioksidan
Air tebu merupakan sumber kaya akan flavonoid dan fenolik. Seperti kita ketahui, flavonoid
merupakan senyawa yang memberikan manfaat sebagai anti-inflamasi, antitumor, antioksidan,
antivirus, dan anti-alergi pada tubuh. Jadi, cobalah minum air tebu untuk menjaga kesehatan
Anda.
http://buahan-sehat.blogspot.com/2014/01/manfaat-daun-akar-dan-air-tebu-bagi.html

ara pembuata briket daun tebu

Bahan bakar merupakan kebutuhan primer setiap warga ,namun seiring dengan globalisasi bahan bakar
harganya semakin tak terjangkau oleh masyarakat, sementara disekitar habitat banyak limbah yang
potensial untuk ditingkatkan nilainya menjadi bahan bakar yang nilai kalornya tidak jauh berbeda dari
bahan bakar fosil.
Limbah yang seolah-olah tak mempunyai nilai ekonomi tersebut apabila diberi sentuhan teknologi
sederhana akan diperoleh bahan bakar alternatip dengan harga murah dan terbarukan.

Sampah daun-daunan , potongan kayu , dan sampah rumah tangga lain dapat ditingkatkan nilainya,
dengan cara memberi sentuhan teknologi sederhana akan diperoleh bahan bakar alternatip.
Bagi interpreneur keadaan ini merupakan suatu peluang untuk menciptakan teknologi tepat guna yang
bermanfaat bagi masyarakat dan juga suatu penghematan devisa negara dalam penyediaan bahan bakar
dan merupakan energi alternatif (energi terbarukan).
Salah satu cara pemanfaatan limbah daun tebu adalah dengan mengolah limbah tersebut menjadi arang
briket dengan proses pirolisis seperti yang dilakukan di negara India.

B. Pembuatan Arang Daun Tebu Kering

1. Bahan : Limbah daun tebu yang telah kering
2. Alat : a. Drum tempat pembakaran
b. Drum penyanggah
c. Kontainer daun kering (proses pirolisis) dengan tutup yang berlubang dan di bawahnya terdapat 2
buah handel pengangkat.
d. Tutup drum pembakaran yang mempunyai cerobong asap
3. Prosedur:

1. Atur drum pembakaran ditempat yang rata tidak jauh dari bahan dan tempatkan drum penyanggah
ditengah-tengah drum pembakaran.
2. Letakkan drum penyanggah pada bagian dalam drum burner case tempatkan drum penyanggah
ditengah-tengah drum pembakaran.
3. Masukkkan daun tebu kering kedalam drum burner case sampai menutupi drum penyanggah.
4. Isi kontainer sampai penuh kalau perlu padatkan, pasang tutup kemudian kunci kontainer agar isinya
tidak berantakan.
5. Atur kontainer di dalam drum pembakaran .
Pasang tutup dan kunci dengan pengikat kawat.
6. Lakukan penyalaan awal pada burner case
7. Amati proses pembakaran untuk meyakinkan proses pembakaran berjalan baik
8. Usahakan proses pembakaran berjalan lancar
9. Setelah daun tebu diluar kontainer habis terbakar, buka tutup dan siram dengan air kontainer, untuk
memperoleh proses pendinginan yang lebih cepat dan menjaga agar daun tebu dalam kontainer tidak
terbakar lebih lanjut.
10. Keluarkan kontainer dari burner case untuk mengambil hasil arang tebu.
11. Hasil pyrolisis daun tebu
12. Kumpulkan arang hasil pyrolisis kedalam tampungan.
13. Kumpulkan hasil arang tebu pada tempat yang disediakan
14. Buat adonan lem dari pati untuk proses pembuatan briket
15. Buat adonan arang daun tebu dengan mencapurkan lem pati dan arang daun tebu.
16. Masukkan adonan kedalam pencetak

a. Pencetak mekanik pembuat briket dengan tenaga mesin.
b. Pembuatan briket secara manual
17. Keringkan briket basah dengan sinar matahari.

4. Penggunaan briket daun tebu:

1. Briket bentuk lain diletakkan pada tungku.
2. Penyalaan awal
3. Kompor mulai membara siap dipakai
4. Pemasangan casing kompor untuk memperkecil heat loses
5. Heat loses terpasang
6. Pemasangan head cover case, proses pemasakan dengan briket daun tebu dimulai
7. Kesimpulan

Dengan sedikit penanganan semua limbah organik dapat digunakan sebagai energi alternatif yang
terbarukan
Sosialisasi peningkatan nilai tambah kepada khalayak sangat diperlukan, untuk mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar fosil.
http://gogreen-anaksmk.blogspot.com/2012/05/cara-pembuata-briket-daun-tebu.html

PEMANFAATAN PUCUK TEBU SEBAGAI
BAHAN PAKAN SUPLEMENTASI PADA
TERNAK RUMINANSIA
PENDAHULUAN
Masalah yang dihadapi khususnya dalam pengembangan ternak ruminansia, terutama di daerah-
daerah padat penduduk clan ternak adalah semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan
untuk tanaman rumput. Salah satu limbah pertanian
yang umum digunakan sebagai pakan ternak ruminansia masyarakat adalah pucuk tebu. Luas
tanaman tebu tahun 2004 pada perkebunan besar 0.80% dari tahun sebelumnya , adalah 364,44
hektar menjadi 367,3 ribu hektar .begitu pula produksinya mengalami peningkatan sebesar
11,85% .Begitu pula areal penanaman dan produksi gula tebu secara keseluruhan sejak tahun
2000-2009 ( sumber : direktorat jendral perkebunan , departemen pertanian 2009 ).

Produk utama dan turunan yang dihasilkan dari tanaman tebu ada dua kelompok yaitu limbah
perkebunan dan limbah industry gula . limbah perkebunan berupa pucuk tebu ( cane tops)
sedangkan limbah industry gula berupa baggase, tetes dan blonthong.pucuk tebu adalah
komponen limbah yang proposinya mencapai 14% dari bobot total tebu yang tersisa setelah
panen . Limbah dari industry gula dapat dimanfaatkan dalam banyak hal dan sebagian besar
dapat di manfaatkan sebagai pakan ternak ( heri ahmad sukri, 2009).
Pucuk tebu digunakan sebagai hijauan makanan ternak pengganti rumput gajah tanpa ada
pengaruh negative pada ternak ruminansia.Pucuk tebu meskipun pontensinya cukup besar,
namun angka pemanfaatnya relative sangat rendah (3,4%) Hal ini disebabkan antara lain
turunnya palatabilitasnya yang besar apabila dikeringkan dengan matahari, sedangkan yang
diekspor umumnya dikeringkan dengan matahari ,sedangkan yang di ekspor umumnya
dikeringkan dengan mesin pengering, sehingga tetap hijau dan bebau manis. Dilihat dari potensi
bahan kering ,maka pucuk tebu masih mampu menghidupi sebanyak 377.860UT/tahun,
sedangkan dengan kandungan PK 5,6 % mampu mensuplai sebanyak 262.662 UT/tahun , dari
kandungan TDN 54,1% mampu menghidupi 448.361 UT/tahun (Rantan krisna 2009).
Pucuk tebu mengandung protein yang rendah ,hal ini dapat dilihat pada hasil analisa yang telah
dilakukan oleh Wardhani dkk. bahwa, pucuk tebu mengandung 22,34% bahan kering, protein
kasar 4,94%, serat kasar 33,54%, lemak 1,34%, beta-N 44,08% dan abu 8,21 %. Menurut
Pigden , pucuk tebu bukan saja mengandung protein yang rendah, tetapi juga mineral dan
vitamin rendah. Oleh karena itu, pemberian pucuk tebu pada ternak ruminansia memerlukan
bahan suplementasi sebagai sumber protein, mineral dan vitamin. Suplementasi yang disarankan
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Preston clan Leng adalah urea,
proteinbypass, pati-bypass, mineral clan vitamin.
Pucuk tebu yang merupakan limbah panenan tebu, potensinya sangat tergantung pada luas areal
panen, varietas clan produksi per satuan luas tanaman tebu. Menurut data yang diperoleh dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pigden (6) dinyatakan bahwa, 23% dari bagian ujung
sebatang tebu adalah merupakan pucuk tebu.

KOMPOSISI
Hasil ikutan tanaman tebu merupakan pakan sumber serat atau energi yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia adalah pucuk tebu, daun tebu, ampas tebu
(bagase), blotong dan tetes (molases). Pucuk tebu memiliki daya cerna dan nilai gizi yang relatif
rendah, hal tersebut dapat dilihat dari kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi (42,30%).
Akan tetapi dengan tindakan pengolahan kimiawi, hayati dan fisik, secara signifikan mampu
meningkatkan daya cerna, kandungan gizi dan konsumsi pakan (Dwiyanto, et al, 2001).
Pucuk tebu digunakan sebagai hijauan makanan ternak pengganti rumput gajah tanpa
ada pengaruh negative pada ternak ruminansia. Ampas tebu (bagasse) merupakan hasil limbah
kasar setelah tebu digiling yang mengandung serat kasar yang tinggi yang terdiri dari selulosa,
pentosan dan lignin. Mengingat tingginya serat kasar, ampas tebu hanya bisa digunakan untuk
ternak ruminansia sebanyak 25%. Tetes bisa diberikan pada ternak secara langsung setelah
melalui proses pengolahan menjadi protein sel tunggal dan asam amino. Keuntungan tetes untuk
pakan ternak adalah kadar karbohidratnya tinggi (48-60% sebagai gula), kadar mineral dan
rasanya disukai ternak. Tetes juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur mikro yang
dibutuhkan ternak seperti cobalt, boron, iodium, tembaga, mangan dan seng. Kelemahannya
kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak. Tetes
dapat digunakan dalam ransum unggas sebesar 5-6% serta babi dan ruminansia sebesar 15%.
Berikut ini adalah hasil analisis proksimat bahan pakan yang berasal dari limbah industry.
Tabel 5. Kandungan nilai gizi pucuk tebu

Kandungan zat Kadar zat
Bahan kering 16.67
Protein kasar 5.47
TDN 53
Serat kasar 17.71
Lemak kasar 2.49
Energy metabolic (Mcal) 3.94
Sumber : laboratorium ilmu nutrisi dan pakan ternak departemen peternakan FP USU (2008)

Seperti halnya limbah yang mengandung serat pada umumnya, pucuk tebu sebagai pakan
mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah,
pucuk tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing
sebesar 46,5% dan 14% (Ensminger, et al., 1990.
Tuazon (1974) menyebukan bahwa suplementasi silase pucuk tebu ( 60 % dari jumlah
total ransum kering udara ) dengan 20 % molasses dan bungkil kopra memberikkan pertambahan
berat bdan sebesar 0,41 kg/ hari dengan efisiensi pakan 12,6 kg . pucuk tebu juga dapat jga dip
roses dalam bentuk hay dengan nilai nutrisi yang rendah yaitu BK 85% ,PK 5,5% . ME 7 MJ/kg
serta nilai kecernaan bahan kering 27,5% .
Pakan ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari rumput, hijauan dan konsentrat.
Pemberian pakan berupa kombinasi ketiga bahan tersebut akan memberi peluang terpenuhinya
zat-zat gizi yang dibutuhkan domba dan biaya relatif rendah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Kecernaan pakan dapat didefinisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang
tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak.
Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan bahan kering, dan sebagai suatu koefisien
atau persentase. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan, yaitu komposisi bahan pakan,
perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan pakan lainnya, perlakuan pakan,
suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002).
Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan indikator derajat kecernaan pakan
pada ternak dan manfaat pakan yang diberikan pada ternak. Preston dan Leng (1978)
menyatakan bahwa kecernaan bahan kering yang berkisar antara 55-65% merupakan kecernaan
bahan kering yang tinggi dan diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak.

ANALISIS PERFORMANCE
Langsung ke dalam ransum
Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kerbau. FERREIRO dan PRESTON
et al. (1976) dalam menggemukkan sapi dengan batang tebu cacahan tanpa batas, menghasilkan
pertambahan bobot hidup 0,7 kg/hari. Mungkin karena batang tebu mengandung banyak energi
dari gula yang dikandungnya. Angka yang sama dicapai pada pemberian pucuk tebu yang
ditambah urea dan 1 kg katul/hari, tetapi konsumsi pakan meningkat, sehingga efisiensinya
sedikit berkurang. Dalam hal ini banyaknya urea yang ditambahkan tidak disebutkan. Adanya
pucuk tebu yang berlimpah di musim kemarau diharapkan dapat mengurangi ketergantungan
ternak akan rumput yang sangat tidak mencukupi.
Hal ini memungkinkan karena mutu pucuk tebu tidak kalah dengan rumput Gajah.
MUSOFIE dan WARDHANI (1985) membandingkan pakan basal rumput Gajah dan pucuk tebu
yang diberikan secara ad libitum. Penambahan 1 kg konsentrat/ekor/hari meningkatkan bobot
hidup serupa (0,3 vs 0,2 kg/hari) pada pedet lepas sapih, demikian juga dengan konsentrat
sebanyak 1,5% dari bobot hidup pada sapi muda (0,41 vs 0,48 kg/hari), sedangkan pada sapi
laktasi produksi susu serupa pula (5,76 vs 5,73 l/hari) bila konsentrat dikonsumsi sebanyak 5
kg bahan kering. Dengan penambahan 1 kg katul dan urea (3% dari bahan kering pakan), sapi
Zebu yang diberi cacahan pucuk tebu dapat mencapai pertambahan bobot hidup sebanyak 0,7
kg/hari (PRESTON dan LENG, 1987),
sebagaimana yang dicapai dengan penambahan konsentrat (14% protein) sebanyak 1,5% dari
bobot hidup (MUSOFIE et al., 1987a). Keistimewaan katul ini adalah kandungan lemak dan
bypass protein yang cukup tinggi, dan hampir semua pati yang terkandung di dalam katul tidak
dicerna dalam rumen, sebaliknya pati yang dikandung oleh ubi kayu cepat difermentasi
(PRESTON dan LENG, 1987). Efisiensi akibat pemberian katul dan
urea ini menunjukkan perlunya mencukupi kekurangan nitrogen (di rumen dan di usus) dan
lemak (di usus) bila pucuk tebu dijadikan pakan basal.
Perlakuan fisik dapat berupa pencacahan, pembentukan pelet (setelah digiling) atau
pembuatan hay (SINGH dan PRASAD, 2002). Rendahnya kecernaan pucuk tebu di Indonesia
dapat diatasi dengan amoniasi. Dengan N-amonia 6% dari berat bahan kering pucuk tebu, hanya
diperlukan waktu 2 minggu untuk menaikkan kandungan asam lemak hasil fermentasi
(PANGESTU et al., 1992). Selain itu, alkali seperti NaOH, Ca (OH)2 dan KOH perlu
dipertimbangkan sebagai bahan aktif yang memisahkan ikatan selulosa dan hemiselulosa dari
ikatan lignin.
ELLIOTT (2000) melaporkan bahwa pucuk tebu yang direaksikan dengan NaOH (4%)
menaikkan konsumsi dan kecernaan bahan kering, tapi untuk penggunaannya masih harus
ditambah bahan pakan sumber protein dan pati yang lolos dari pencernaan di rumen, seperti
katul. Praperlakuan maupun penambahan konsentrat atau hijauan bergizi tinggi dapat menaikkan
kecernaan dan konsumsi pakan, pertambahan bobot hidup, produksi dan kualitas susu
(WANAPAT, 2002).
Beberapa kendala bila pucuk tebu dijadikan pakan ternak ruminansia dan solusinya dapat
diringkaskan sebagai berikut :

KENDALA KEMUNGKINAN SOLUSI
Kecernaan rendah Praperlakuan dengan alkali
Nitrogen terfermentasi
rendah
Tambahkan urea sebanyak
2% dari bahan kering bahan
Bypass protein dan lemak
rendah
Tambahkan bungkil-bungkil,
dedak, katul
Fermentasi menghasilkan
sumber glukosa rendah
Tambahkan rumen
modifiers, pakan kaya pati
(menir, jagung
Fraksi serat tercerna
rendah
Tambahkan legum hijau atau
rumput muda
Kandungan mineral
rendah
Tambahkan semua unsur,
terutama belerang
Upaya praperlakuan dan/atau suplementasi pada penggunaan serat limbah yang lain dapat
menggunakan prinsip-prinsip tersebut. Sapi muda seberat 200 kg yang perlu bertumbuh 0,5 kg
per hari diperkirakan membutuhkan protein 570 g dan energi 51 MJ (NRC, 1984), maka bila
pakan basalnya pucuk tebu (5,5% protein dari bahan kering,
energi termetabolis (ME) 8,326 MJ/kg bahan kering), konsumsinya diperkirakan 3,5 kg bahan
kering yang hanya memasok protein kasar sebanyak 192,5 g dan
energi 29,141 MJ ME, sehingga akan memerlukan tambahan protein kasar sebanyak 377,5 g dan
energy 21,859 MJ. Secara teoritis, kekurangan dapat dipenuhi dengan menambahkan 1,5 kg
katul dan 58 g urea. Dengan perkiraan meningkatnya konsumsi pucuk tebu bila diberi perlakuan
atau ditambah legum dan mineral maka diharapkan pertambahan bobot hidupnya meningkat.

KESIMPULAN
Hasil hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pucuk tebu akan meningkatkan PBB
ternak apabila diberikkan bersama konsentrat ( sumber protein ) , naming apabila pemberian
pucuk tebu tambah penambahan konsentrat maka tidak akn mencukupi kebutuhan dari ternak
tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
KUSWANDI.2007. Balai Penelitian Ternak .Teknologi Pakan untuk Limbah Tebu (Fraksi Serat)
sebagai Pakan Ternak Ruminansia.bogor .
Musofie, A., N,K . Wardhani, S. Tedjowahjono dan K. Maksum . 1981 . Pemberian Pucuk Tebu
dengan Penambahan Pelbagai Level Konsentrat pada Sapi Bali Dara . Laporan Khusus Penelitian
Sub Balai Penelitian Ternak, Grati
S. BASYA : Pucuk tebu, potensi dan peranannya
Y. Retnani W. Widiarti, I. Amiroh, L. Herawati & K.B. Satoto Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 2009
Tidi Dhalika, Atun Budiman dan Budi Ayuningsi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.
Pengaruh tingkat protein ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu (Saccharum
officinarum) terhadap jumlah zat makanan dapat dicerna pada domba persilangan priangan vs
Barbados . Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung

www.disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/readteknologi/813/pemanfaatan-pucuk-tebu-sebagai-
bahan-pakan-suplementasi-pada-ternak-ruminansia#.U8dVJ0DlZWw

Terbit pada Selasa, 22 April 2014
Salah satu usaha tani yang bisa mengubah pola petani dari peasant ke farmer adalah usaha
budidaya tebu. Tebu merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya
selama setahun (satu tahun sengaja dipanen), sehingga untuk pemeliharaan tidak seintensif
tanaman semusim lainnya seperti padi, jagung, dan kedelai, yang lebih intensif pemeliharaannya
karena hanya berumur tiga bulan. Sehingga hal ini memungkinkan satu petani memiliki lahan
tebu berpuluh-puluh hektar karena pemeliharaannya relatif lebih mudah dibandingkan tanaman
semusim lainnya. Di Indonesia, tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan bahan utama
untuk membuat gula kristal putih yang dibutuhkan sebagian besar masyarakat. Pada umumnya
tanaman tebu ditanam pada lahan sawah dengan pengairan yang baik. Dalam dua puluh tahun
terakhir, penanaman tebu bergeser dari lahan sawah ke lahan kering (tegalan).Hal itu disebabkan
antara lain lahan berpengairan diutamakan untuk produksi pangan, lahan sawah berubah
peruntukan menjadi bangunan, dan lahan sawah berpengairan lebih menguntungkan ditanami
tanaman lain dari pada tanaman tebu.

Menurunnya produktivitas tebu sejak diberlakukannya Inpres Nomor 9/1975 tentang Program
Tebu Rakyat Intensifikasi masih terasa dampaknya sampai saat ini. Banyak Pabrik Gula di Jawa
yang kekurangan bahan baku untuk proses giling bahkan ada beberapa yang sampai ditutup
membuktikan bahwa terjadi kemerosotan produktivitas tanaman tebu, baik karena berkurangnya
lahan penanaman tebu maupun berkurangnya produksi tebu per hektar lahan. Maka dari itu
pengembangan lahan tebu ke lahan-lahan marginal seperti lahan kering perlu ditingkatkan ekstra
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi gula di Indonesia. Meskipun areal tebu lahan
kering mengalami peningkatan, ternyata produktivitas tebu lahan kering lebih rendah daripada
produktivitas tebu lahan sawah.Hal ini mengakibatkan pendapatan petani menjadi lebih rendah
karena kendala tingginya biaya produksi yang berimbas pada meningkatnya harga pokok
produksi. Untuk itu perlu dilakukan akselerasi program untuk menekan biaya produksi di lahan
kering, dan satu-satunya program yang bisa diimplementasikan adalah program mekanisasi tebu.

Sudah jelas bahwa sistem mekanisasi mutlak dibutuhkan untuk membudidayakan tebu di masa
depan. Sistem konvensional berangsur-angsur sudah mulai ditinggalkan. Di tengah kelangkaan
tenaga kerja dan persaingan komoditas lahan sawah, sistem mekanisasi merupakan jawaban satu-
satunya atas kendala tersebut. Selain hal tersebut tujuan mekanisasi antara lain: (1) mempercepat
waktu pengerjaan yang terbatas, (2) meningkatkan kualitasdan kuantitas garapan, (3)
homogenitas kualitas hasil kerja, (4) mengurangi dan mengeliminasi kehilangan serta (5)
meningkatkan spend of control.

Namun yang perlu diperhatikan adalah prinsip dasar dalam melaksanakan pekerjaan mekanisasi.
Setiaptindakan operasionalharus selalu mempertimbangkan dan dievaluasi tentang spesifikasi
alat dan jenis tanah yang akan diolah. Spesifikasi alat akan menyesuaikan kondisi lahan yang
akan diolah. Suatu misal untuk tanah-tanah keras seperti daerah Lamongan dan Madura tentunya
alat yang digunakan berbeda dengan lahan-lahan sawah seperti daerah Jombang, Mojokerto dan
Kediri. (Fauzi Al Rosyid_PG Djombang Baru, OPI_Sekper)
http://ptpn10.co.id/blog/strategi-pemanfaatan-mekanisasi-tanaman-tebu-di-lahan-kering-
pengembangan-bagian-ii

PTPN X Jajaki Pemanfaatan Ampas Tebu
untuk Bioetanol
Nikky Sirait

Ampas tebu di salah satu pabrik gula milik PTPN X.
I ndonesia mempunyai potensi besar dalam hal produksi energi alternatif yang ramah
lingkungan.
JAKARTA, Jaringnews.com - PT Perkebunan Nusantara X (Persero) atau PTPN X
mengoptimalkan limbah padat tebu berupa ampas (bagasse) sebagai sumber energi. Perusahaan
perkebunan pelat merah tersebut memaksimalkan potensi ampas tebu untuk sumber bahan bakar
sekaligus pengembangan energi terbarukan.

Dirut PTPN X Subiyono menjelaskan, proses pengolahan tebu menjadi gula menghasilkan
sejumlah produk samping, seperti ampas dan tetes. Sekitar 30 persen bagian tebu dalam proses
produksi gula akan menjadi ampas. Apabila per tahun ada sekitar 6 juta ton tebu yang digiling di
sebelas pabrik gula (PG) milik PTPN X, maka setidaknya tersedia 1,8 juta ton ampas tebu.
Dengan asumsi digunakan sendiri untuk operasional PG sekitar 1,3-1,5 juta ton, maka ada
300.000-500.000 ton ampas yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Untuk diketahui, satu unit
pabrik bioetanol generasi ketiga ini membutuhkan ampas minimal 500 ton per hari.

Potensi ampas tebu yang besar itu bisa digunakan untuk subsitusi bahan bakar minyak (BBM)
di pabrik gula sekaligus untuk mengembangkan energi terbarukan berupa bioetanol, kata
Subiyono yang juga Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi), dalam rilis yang diterima
Jaringnews.com di Jakarta, Kamis (10/10).

Subiyono mengatakan, pabrik gula di lingkungan PTPN X telah mengoptimalkan ampas sebagai
pengganti BBM untuk proses produksi gula. Hal tersebut berpengaruh positif terhadap
peningkatan efisiensi, sehingga meningkatkan profitabilitas perusahaan. Biaya BBM di PG milik
PTPN X tercatat menurun dari sekitar Rp 130 miliar pada 2007 menjadi Rp 4 miliar pada 2012.

Adapun untuk pengembangan energi terbarukan berupa bioetanol berbasis ampas tebu, Subiyono
mengatakan, potensinya sangat tinggi. Pengembangan bioetanol dengan ampas tebu juga lebih
murah dibanding menggunakan tetes tebu (molasses).

Untuk satu liter bioetanol, butuh lima kilogram ampas. Lima kilogram ampas itu kira-kira
harganya Rp 1.000, bebernya.

Adapun jika menggunakan tetes tebu, butuh empat kilogram tetes untuk menghasilkan satu liter
bioetanol. Empat kilogram tetes tebu itu jika dirupiahkan harganya sekitar Rp 4.000. Jadi
pengembangan bioetanol menggunakan ampas menjanjikan profit margin yang lebih tebal
ketimbang menggunakan tetes tebu, tambahnya lagi.

PTPN X sendiri kini sudah memiliki pabrik bioetanol berbasis tetes tebu yang terletak dalam
kompleks Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto, Jawa Timur. Saat ini, pengembangan bioetanol
dari ampas tebu tengah dikaji oleh tim khusus, termasuk mengkaji pendirian pabriknya. Ini
bagian dari diversifikasi usaha untuk mengoptimalkan kinerja, ujar Subiyono.

Subiyono menuturkan, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal produksi energi alternatif
yang ramah lingkungan berupa bioetanol dari limbah pertanian atau biomass, termasuk limbah
padat industri gula, yaitu ampas tebu. Ini harus kita optimalkan, ujarnya.

Subiyono menambahkan, optimalisasi penggunaan ampas tebu akan dijadikan salah satu
indikator kinerja (key performance indicator/KPI) pabrik gula di lingkungan PTPN X. Jika PG
tidak bisa menghasilkan ampas tebu, patut dipertanyakan kinerjanya. Itu akan jadi bahan
evaluasi, kata dia.

Jika PG sudah bisa menghasilkan ampas dalam proses produksi gula, maka tidak terlalu perlu
banyak BBM. Kontinuitas dalam menghasilkan ampas juga menunjukkan operasi PG berjalan
lancar dengan jam berhenti giling yang minim.

Dari sisi budidaya (on-farm), optimalisasi penggunaan ampas tebu menunjukkan tebu dipanen
saat benar-benar matang, sehingga kadar sabutnya tinggi. Jadi memaksimalkan potensi ampas
tebu ini memberi banyak manfaat dan menunjukkan indikator kinerja budidaya dan pengolahan
PG, pungkasnya.
http://jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/49939/ptpn-x-jajaki-pemanfaatan-ampas-tebu-untuk-
bioetanol

Seriusi Produk Tebu Non-Gula

Seriusi Produk Tebu Non-Gula
Subiyono ; Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero),
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia atau Ikagi

JAWA POS, 19 Februari 2013


INDUSTRI berbasis tebu di Indonesia, yang hadir sejak ratusan tahun silam, kini menghadapi
banyak tantangan perubahan. Tak bisa lagi industri ini hanya menjalankan bisnis secara
biasa. Harus ada imajinasi baru untuk mengembalikan kejayaannya.

Industri ini pada 2012 memproduksi gula sebagai produk utama sekitar 2,5 juta ton. Meski di
bawah target pemerintah, angka itu patut disyukuri karena produksi gula dalam beberapa
tahun terakhir ini jarang menembus angka 2,5 juta ton.

Lantas, bagaimana prospek pencapaian swasembada gula nasional pada 2014? Kini, tak bisa
lagi kita bicara peningkatan produktivitas semata, karena bisa jalan di tempat. Swasembada
gula jangan hanya dikerangkai dalam konteks pemenuhan produksi gula, tapi bagaimana
ikhtiar kita membangun industri berbasis tebu (sugarcane based industry) terintegrasi.

Kita tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang besar jika tak mempunyai pikiran besar.
Diperlukan strategi terpadu berupa efisiensi, optimalisasi, dan diversifikasi.

Mengejar Rp 1,7 Triliun

Diversifikasi, yang menjadi kata kunci, hanya bisa dilakukan jika efisiensi dan optimalisasi budi
daya (on-farm) dan pengolahan pabrik (off-farm) sudah berjalan baik untuk meningkatkan
produksi gula menuju swasembada. Artinya, diversifikasi sama sekali tidak mengganggu tugas
utama pencapaian swasembada. Tanpa efisiensi dan optimalisasi, diversifikasi tak bisa
dilakukan karena hilirisasi membutuhkan ketersediaan pasokan tebu dan kinerja mesin yang
prima.

Mengapa diversifikasi harus dilakukan? Sebagai komoditas highly-regulated,
industri tebu mengandung kompleksitas. Di satu sisi, biaya produksi gula terus menanjak
seiring kenaikan harga tebu petani dan upah. Di sisi lain, harga gula tak bisa dibentuk pada
level yang menjanjikan margin memadai karena faktor daya beli konsumen dan intervensi
pemerintah. Dengan demikian, margin pengusahaan gula tak cukup mampu untuk dibuat
ekspansi memperluas lahan maupun membangun pabrik.

Kondisi serupa dialami negara-negara produsen gula dunia. Karena itu, di banyak negara,
diversifikasi menjadi hal yang diseriusi. Dari sisi manajemen risiko, diversifikasi juga
bermanfaat mengurangi risiko produksi.

Selain menghasilkan gula dalam jumlah optimal, di industri berbasis tebu modern, setiap 1 ton
tebu bisa memproduksi listrik 100 KWH bersumber dari ampas tebu (program cogeneration);
12 liter bioetanol dari tetes tebu, dan 40 kilogram biokompos dari limbah padat. Limbah
bioetanol juga bisa diolah menjadi listrik. Itu belum termasuk produk hilir lain yang potensial
dikembangkan.

Di Indonesia, diversifikasi belum diseriusi. Banyak industri koproduk tebu, tapi mayoritas
dimiliki perusahaan yang tak bergerak di bisnis tebu. Industri tebu hanya menjual bahan
olahannya tanpa bisa mendapat nilai tambah secara optimal.

Secara nasional, berdasar kajian tim independen, dengan lahan sekitar 473.000 hektare dan
potensi 38 juta ton tebu, potensi diversifikasi adalah surplus power 3.800
GWH, bioetanol 460.000 kiloliter, dan biokompos 1,5 juta ton.

Dengan mengambil contoh pada 33 pabrik gula di Indonesia yang berteknologi "usang",
investasi yang dikeluarkan untuk mengoptimalkan potensi diversifikasi adalah USD 1,585
miliar dengan potensi penerimaan USD 260,5 juta per tahun, punya waktu enam tahun
untuk payback period (masa impas, Red).

Berdasar kajian di lingkungan PTPN X yang saya pimpin, potensi pendapatan diversifikasi
bisnis (bioetanol, listrik, biokompos) Rp 1,7 triliun. Payback period-nya 3-5 tahun. Potensi
pendapatan ini bisa dikelola untuk ekspansi sektor on-farm dan off-farm, sehingga dengan
sendirinya bisa menopang peningkatan produksi gula sebagai komoditas pangan.

Sudah Melangkah

PTPN X sudah memulai langkah diversifikasi dengan proyek bioetanol di PG Gempolkrep,
Mojokerto, bekerja sama dengan New Energy and Industrial Technology Development
Organization (NEDO) Jepang. Investasinya Rp 467,79 miliar (hibah Jepang Rp 154 miliar dan
dana PTPN X Rp 313,79 miliar). Pabrik yang berkapasitas sekitar 30 juta liter etanol per tahun
dengan bahan baku tetes tebu dari PG-PG milik PTPN X itu resmi beroperasi pertengahan
tahun ini. Limbah bioetanol juga masih diolah lagi menjadi listrik.

PTPN X juga memulai program cogeneration (mengolah ampas tebu menjadi listrik) dalam
skala terbatas di PG Ngadiredjo, Kediri, sejak tahun lalu. Program cogeneration ini akan
dilanjutkan ke PG Kremboong, Sidoarjo. Secara keseluruhan, potensi
pendapatan cogeneration di lingkungan PTPN X mencapai Rp 633,89 miliar-Rp 684,51 miliar
per tahun dengan potensi listrik 225 MW. Tapi, tentu saja hal ini akan dilakukan secara
bertahap. Adapun biokompos sudah dikembangkan di setiap PG.

Brazil adalah negara yang sukses mengoptimalkan produk turunan tebu dengan
bertransformasi dari negara pengimpor sekitar 80 persen kebutuhan minyaknya menjadi
pelopor energi terbarukan. Industri berbasis tebu menyumbang 18 persen dari kebutuhan
energi negeri jawara bola itu.

Untuk memperkuat diversifikasi, syarat utama adalah membangun agribisnis tebu yang
memadukan teknologi dengan kekayaan sektor pertanian. Spirit diversifikasi dan energi
terbarukan harus menjadi semangat nasional, agar potensi ekonomi tebu bisa dimaksimalkan
untuk menopang kebutuhan energi nasional dan menyejahterakan masyarakat.



Diversifikasi Bisnis Industri Tebu Berprospek Cerah
Okta_Primasari 4 December 2013

JEMBER 6 Februari 2013- Industri berbasis tebu nasional belum mampu melakukan
diversifikasi produk secara optimal. Stakeholders di industri tebu selama ini hanya fokus ke
peningkatan produksi gula tanpa melirik potensi diversifikasi bisnis lainnya.

Saya ingin menyatakan bahwa swasembada gula jangan hanya dikerangkai dalam satu konteks
pemenuhan produksi gula saja. Ini bukan hanya soal angka-angka produksi gula, peningkatan
rendemen, atau maksimalisasi kinerja mesin, tapi yang lebih penting dari itu semua adalah
bagaimana kita membangun sebuah industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang
kompleks dan terintegrasi," ujar Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero),
Subiyono, dalam kuliah umum di Universitas Jember, Rabu (6/2/2013).

Menurut Subiyono, sebagai komoditas yang highly-regulated, industri tebu mengandung sekian
kompleksitas. Di satu sisi, biaya produksi gula terus menanjak naik seiring kenaikan harga tebu
yang harus dibeli dari petani dan peningkatan upah pekerja. Di sisi lain, harga gula tak bisa
dibentuk pada level yang menjanjikan marjin memadai karena perhitungan daya beli konsumen
dan intervensi pemerintah. Setiap harga gula menanjak, pemerintah melakukan intervensi.

Kondisi ini membuat marjin pengusahaan gula tak akan cukup mampu untuk dibuat ekspansi
memperluas lahan maupun meningkatkan kualitas permesinan. Sehingga, pendapatan yang
dihasilkan dari produksi gula dalam satu musim giling hanya untuk gaji karyawan, operasional
perusahaan, dan dividen kepada pemegang saham. Padahal, industri ini butuh banyak investasi,
mulai dari pabrik hingga budidaya. Jika hanya mengandalkan dari bisnis gula, optimalisasi laba
akan sulit dilakukan, sehingga investasi baru tak bisa optimal, jelasnya.

Karena itu, diperlukan diversifikasi bisnis agar kinerja perusahaan pergulaan terus meningkat.
Keuntungan dari diversifikasi bisa digunakan antara lain untuk ekspansi lahan dan investasi
permesinan yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan produksi gula sebagai komoditas
penting nasional.

Dia mencontohkan, di PTPN X, potensi penerimaan dari bisnis produk turunan tebu nongula
mencapai Rp 1,7 triliun per tahun. Pay back period-nya berkisar 3-5 tahun.


Subiyono mengatakan, penerimaan Rp 1,7 triliun itu datang dari empat sektor bisnis. Pertama,
cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik. Potensi pendapatan dari bisnis ini di
sepuluh PG di lingkungan PTPN X mencapai kisaran Rp 633,89 miliar sampai Rp 684,51 miliar.
Asumsi yang kita pakai adalah setiap 1 ton tebu akan menghasilkan sekitar 300 kilogram ampas
tebu yang dengan proses sedemikian rupa bisa menghasilkan listrik rata-rata 100 KW. Total
potensi listrik yang bisa dihasilkan dari PG di PTPN X mencapai 225 megawatt (MW).

Contohnya, di PG Ngadiredjo Kediri, potensi listriknya 37,81 MW, dipakai sendiri 7,67 MW,
bisa dijual sekitar 30,14 MW. Potensi pendapatannya Rp 107,42 miliar. Itu semua butuh
investasi Rp 310,4 miliar, sehingga pay back period-nya atau tingkat pengembalian investasinya
sekitar 3 tahun, jelasnya.

Potensi bisnis kedua adalah etanol dengan bahan baku tetes tebu. Formulasi sederhananya adalah
setiap 1 ton tebu akan bisa bisa menghasilkan 12 liter etanol. PTPN X setiap tahun menggiling
sekitar 6,5 juta ton tebu, sehingga bisa menghasilkan 78 juta liter etanol atau ekuivalen dengan
78.000 kiloliter (KL). Dengan asumsi harga Rp 8.000 per liter, maka potensi pendapatan yang
bisa diraup mencapai Rp 624 miliar.

Potensi bisnis ketiga, lanjut Subiyono, adalah biokompos yang terbuat dari pengolahan limbah
padat berupa abu atau blothong. Dengan asumsi setiap satu ton tebu bisa menghasilkan 40
kilogram biokompos, maka dari 6,5 juta ton tebu yang digiling akan diproduksi 260 juta
kilogram biokompos. Dengan harga Rp 200 per kilogram, potensi pendapatan mencapai Rp 52
miliar.

Adapun potensi keempat adalah listrik tenaga biofuel hasil pengolahan dari limbah bioetanol.
Dari penghitungan sederhana bisnis ini, potensi pendapatan yang bisa diraup adalah Rp 374
miliar.

Maka, dari empat bisnis tersebut (cogeneration, etanol, biokompos, dan listrik dari ethanol),
potensi pendapatan yang bisa diraup mencapai sekitar Rp 1,7 triliun. Sebuah angka yang sangat
signifikan untuk membantu perusahaan mengembangkan ekspansi bisnis. PTPN X sudah
memulai bisnis cogeneration secara terbatas di PG Ngadirejdo Kediri dan membangun pabrik
bioetanol di Mojokerto. Ke depan diversifikasi ini akan terus kami dorong, tuturnya.

Namun, tegas Subiyono, untuk bisa melakukan diversifikasi, pabrik harus efisien dan optimal
terlebih dahulu. "Jika tak efisien dan kapasitas giling tak optimal, diversifikasi sulit dilakukan
karena bahan olahan yang dihasilkan tak maksimal. Karena itulah, strategi besar kami adalah tiga
hal yang saling berkaitan, yaitu efisiensi, diversifikasi, dan optimalisasi (EDO), ujarnya.


PTPN X kini memiliki 11 pabrik gula yang tersebar di sejumlah kota di Jawa Timur, 3 kebun
tembakau, dan 3 rumah sakit. Pada 2012, laba sebelum pajak perseroan mencapai Rp 517 miliar,
meningkat pesat dibanding 2011 sebesar Rp 210 miliar.
http://www.bumn.go.id/ptpn10/berita/673/Diversifikasi.Bisnis.Industri.Tebu.Berprospek.Cerah

PRODUK SAMPINGAN TEBU HASIL DARI USAHA BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN
TEBU
Bisnis yang terkait industri tebu. Produk samping dari tebu selain menghasilkan gula pasir, juga
memberikan hasil samping berupa:
1. Pucuk Daun Tebu. Hasil samping ini diperoleh pada saat penebangan tebu, jumlahnya dapat
mencapai 14% dari bobot tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1991 dalam Hendrawati, 1997). Pucuk
tebu dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi atau kerbau oleh petani pemilik ternak di
sekitar pabrik gula. Namun akhir-akhir ini, pucuk tebu mulai diolah menjadi pakan untuk di
ekspor.
2. Ampas Tebu (Bagase). Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses penggilingan
(ekstraksi). Ampas tebu yang dihasilkan dari pabrik gula cukup besar, bisa mencapai 35 40%
dari bobot tebu yang digiling. Jumlah yang begitu banyak, selama dimanfaatkan dan
memberikan nilai tambah bagi pabrik, tentunya dengan perlakuan lebih lanjut. Umumnya,
ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar setelah melalui proses pengeringan. Selain itu, juga
dimanfaatkan untuk bahan baku industri kertas yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi.
3. Blotong (Filter cake). Blotong merupakan hasil samping dari proses pemurnian gula yang
berbentuk endapan kotoran nira. Blotong adalah bahan yang banyak mengandung unsur hara
yang dibutuhkan tanaman tebu antara lain Ca, P, dan K. Secara luas blotong telah dimanfaatkan
untuk pupuk tanaman tebu, terutama tanaman baru (replantry cane).
4. Tetes Tebu (Molases). Hasil samping yang lain berupa tetes tebu (molasse) cukup potensial dan
mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi karena masih mengandung gula sampai 50 60%,
sejumlah asam amino dan mineral. Berdasarkan hal tersebut, tetes tebu mempunyai potensi
besar untuk diversifikasi produk. Tetes tebu terutama digunakan sebagai bahan baku industri
monosodium glutamat (MSG). Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri
alkohol, ragi, makanan ternak, dan potensial dikembangkan dalam pengolahan gula cair, ragi
roti, asam sitrat, dan asam asetat. Hasil samping dari pengolahan alkohol berupa cairan yang
disebut stillage merupakan bahan yang mengandung unsur Kalium dalam bentuk K2O sebesar
2% bahan segar. Dengan kandungan K ini maka stillage merupakan bahan pupuk organik yang
potensial bagi tanaman tebu.
http://www.pustakadunia.com/artikel-pustaka-umum/produk-sampingan-tebu-hasil-dari-usaha-
budidaya-dan-pengolahan-tebu/

Minggu, 06 Juli 2014, 22:00 WIB
TRANSFORMASI PTPN X: Siasat Ketika Tebu Tak Lagi Manis
Miftahul Ulum
Share:

Bisnis.com, JAKARTA - Nada suara Subiyono, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X,
bergetar saat bercerita tantangan industri gula. Sebab sektor ini sedang dirundung sejumlah
persoalan, baik dari kualitas pasokan, inefisiensi produksi hingga penyerapan pasar.
Di sisi produksi, kata dia, industri gula sangat bergantung pada kualitas tebu yang masuk ke pabrik. Bila
rendemen tebu tinggi maka perseroan bisa merasakan manisnya industri ini.
Akan tetapi bila kondisi sebaliknya terjadi, maka rugi tak jarang harus ditanggung pabrik gula. Jadi
tuntutannya memang efisiensi, jelasnya soal tantangan industri gula, pekan lalu.
Efisiensi juga mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Setidaknya itu terjadi ketika PTPN X ingin
meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan tetes tebu alias molasses.
Pada 2013 lalu perseroan mendirikan pabrik pengolahan tetes tebu menjadi bioetanol di Mojokerto.
Pertimbangannya kebutuhan akan bahan bakar terbarukan tinggi.
Namun itungan tersebut tak seluruhnya benar. Pasalnya, saat pabrik beroperasi akhir 2013, sejumlah
kendala mengadang. Salah satu utamanya pasar tak segera merespons produk tersebut.
Alhasil hingga Juni tangki penyimpanan di pabrik senilai Rp461 miliar penuh. Ada sekitar 1.600 kiloliter
bioetanol berstandar bahan bakar tak terjual, terkendala sejumlah persoalan, di antaranya komitmen
penyerapan di jajaran pemerintahan.
Soal inilah yang menjadikan Subiyono sedikit emosional, tercermin dari nada suaranya yang bergetar.
Kami bangun pabrik ini karena idealisme, menjawab kebutuhan energi terbarukan. Tapi tekanan dari
kiri-kanan berat, tegasnya.
Menurutnya, bila hanya berfikiran untung bisa saja PTPN X melepas pabrik bioetanol bernama PT Energi
Agro Nusantara itu. Sejumlah investor asing sudah bersedia mengambil alih. Tapi kami malah siap
mendirikan pabrik-pabrik biotenol standar bahan bakar lain, tenaga kami pengalaman, tegasnya seolah
menjawab keraguannya sendiri.
Hitungan di atas kertas, potensi pengembangan pabrik bioetanol di PTPN X cukup besar. Sekretaris
Perusahaan PTPN X M. Cholidi menguraikan berkaca pada industri gula di Brasil, produksi bioetanol bisa
menyumbang 45%-55% pendapatan perseroan.
Kalau rendemen rendah maka kami bisa saja tebu tidak dijadikan gula, tapi diolah menjadi bioetanol,
urainya soal potensi pengembangan bisnis perseroan.
Dari 11 pabrik gula milik PTPN X dihasilkan 335.000 ton tetes tebu setiap tahun. Dari jumlah tersebut
125.000 ton merupakan milik perseroan sehingga siap diolah menjadi bioetanol.
Kalau bangun 2 atau 3 pabrik bioetanol lagi maka bisa saja tetes tebu milik petani dibeli sebagai bahan
baku, jelasnya menggambarkan potensi pemanfaatan produk sampingan pengolahan tebu tersebut.
Tak hanya mengolah tetes tebu, Cholidi menuturkan perseroan juga akan memproduksi listrik. Terlebih
setiap tahun ada 120.000 ton ampas tebu dihasilkan perseroan. Ampas itulah yang akan dibakar guna
menggerakkan turbin tenaga panas yang bisa menghasilkan listrik.
Pembangkit listrik tenaga panas yang berasal dari ampas tebu sebenarnya sudah dibangun di Pabrik
Gula Ngadirejo, Kediri. Hanya saja pembangkit berkapasitas 1 MW itu belum bisa beroperasi sepanjang
tahun.
Listrik dari instalasi yang dipasang tahun lalu itu hanya dihasilkan ketika musim giling. Di luar musim
giling pembangkit tidak berproduksi. Sementara agar bisa dijual, Perusahaan Listrik Negara (PLN)
meminta listrik berproduksi setahun penuh.
Kami sedang kaji bisa menghasilkan listrik sepanjang tahun sekaligus menjawab tantangan PLN yang
bersedia membeli sisa dayanya, paparnya.
Menurutnya, bila pengembangan bisnis bioetanol dan pembangkit listrik berjalan lancar maka masa
depan industri gula tak seseram dibayangkan. Sebab kalau tidak merasakan manisnya gula, bisnis
perseroan tetap membara terbakar bioetanol sekaligus disengat listrik.
Tapi cetak biru transformasi bisnis PTPN X itu memang memiliki sejumlah syarat pendukung. Subiyono
menggambarkan semua itu akan sangat bergantung bagaimana pemimpin ke depan berkomitmen
mendorong energi terbarukan.
http://m.bisnis.com/industri/read/20140706/99/241425/transformasi-ptpn-x-siasat-ketika-tebu-tak-
lagi-manis

Ampas Tebu pun Jadi Sumber Energi
Terbarukan
18 Jan 2013 08:49:52| Karkhas | Penulis : Asmaul Chusna



(Kediri/ANTARA) - Ampas tebu, bagi sebagaian orang itu dianggap sebagai sampah, namun jika
itu sudah berada di sebuah pabrik besar, seperti pabrik gula, tentunya akan bisa dimanfaatkan.

Ampas adalah salah satu produk sampingan dari pabrik gula. Belum ada pabrik gula yang serius
menggarap produk sampingan yang dihasilkan dari pengolahan tebu ini.

Padahal, kegunaannya cukup banyak. Bisa dijadikan bioetanol, listrik, alkohol, pakan ternak,
spiritus, atau pupuk. Potensi pendapatannya pun cukup menjanjikan. Selain bisa untuk konsumsi
sendiri, juga bisa dijual.

Di Pabrik Gula Ngadirejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ampas tebu selama ini lebih banyak
dikirim ke pabrik kertas sebagai bahan baku kertas. Beberapa perusahaan yang menjadi tujuan
yaitu PT Tjiwi Kimia Mojokerto dan Pabrik Kertas Leces Probolinggo.

Namun, saat ini pengiriman justru berkurang, karena pabrik kertas pun sekarang juga dominan
menggunakan kertas bekas untuk bahan bakunya. Untuk itu, dibutuhkan pemikiran maju untuk
mengolah ampas, sekaligus ke depannya bisa mendatangkan keuntungan pabrik.

Administratur PG Ngadirejo Kabupaten Kediri Budi Adi Prabowo, mengatakan selama ini
produksi ampas di pabrik ini berlebih, karena adanya optimalisasi produksi.

"Optimalisasi produksi membuat surplus ampas, namun jika tidak bagus kadang juga minus.
Untuk itu, kami terus menjaga minimal terjadi BEP ampas, sehingga surplus," katanya.

Saat ini, pihaknya memang sedang berkonsentrasi untuk program diversifikasi usaha dengan
merintis program co-generation dengan mengubah ampas menjadi sumber energi listrik yang
bisa dipasarkan secara komersial.

Ia menyebut, potensi program ini cukup besar. Saat pengelolaan, dibutuhkan energi panas dan
listrik secara bersamaan. Salah satu harapannya dengan ini bisa menekan biaya operasional,
sekaligus memperbesar pendapatan pabrik.

Selain itu, program ini juga ditujukan untuk menjaga lingkungan. Beberapa sumber untuk energi
tidak bisa diharapkan keberlangsungannya, seperti batu bara atau sumber energi lain yang
tentunya bisa habis.

Pemerintah mencoba untuk mengembangkan beberapa sumber energi lainnya, di antaranya dari
gas bumi. Namun, sumber energi listrik pun bisa diproduksi dari ampas, sehingga langsung
diterapkan untuk pengelolaan sumber energi alternatif.

Budi menyebut, program ini sudah dirintis sejak 2011. Beberapa peralatan sudah disiapkan untuk
program tersebut dan pihaknya mengharapkan produksi listrik secara resmi untuk keperluan
komersial sudah bisa dilakukan pada 2013.

"Teknis jaringan sudah, ada trafo, kabel, dan sebagainya, dan tinggal koneksinya ke PLN,"
ucapnya.

Budi mengatakan, program itu secara teknis sebenarnya sudah akan dilaksanakan pada 2012,
namun karena masih terkendala adminstrasi, program itu ditunda dan baru dimungkinkan pada
2013.


Program Co-Generation
Kepala Bagian Instalasi PG Ngadirejo Setyo Budi Santoso mengatakan kapasitas produksi di
pabrik bisa mencapai 62 ribu kuintal per hari. Dari itu, rata-rata dihasilkan ampas sekitar 19.800
kuintal per hari.

Selain dimanfaatkan untuk keperluan bahan bakar di ketel pabrik masih terdapat sisa sampai
sekitar 4.340 kuintal per hari. Jumlah ini nantinya diakumulasi dan diubah menjadi energi listrik
lewat program co-generation.

Namun, ia menyebut musim giling saat ini belum dimulai. Dijadwalkan, sekitar Mei baru akan
dimulai untuk giling tebu, sehinggga produksi ampas pun belum bisa dilakukan.

"Perkiraaan produksi dan perhitungan sisa ampas sudah kami buat, namun untuk perhitungan
harga jual listrik ke PLN, kami belum sejauh itu," ucapnya.

Untuk produksi pada 2013, luasan lahan tebu yang akan digiling sekitar 12 ribu hektare, baik
tebu sendiri atau tebu rakyat. Dari jumlah itu, ada sekitar 1,20 juta ton tebu. Secara bertahap,
tebu akan digiling dengan prediksi waktu penggilingan sampai 170 hari.

Untuk co-generation, saat penggilingan itu diharapkan bisa memanfaatkan listrik sendiri, begitu
juga pascapenggilingan.

Di pabrik, keperluan setiap tahun sekitar 5 megawatt. Jika dinominalkan, maka anggaran yang
diperlukan sekitar Rp200 juta per tahun untuk listrik. Dengan program pemanfaatkan ampas,
diharapkan bisa surplus, dan untuk awal bisa 1 megawatt.

Sekretaris PTPN X M Cholidi menyatakan manajemen saat ini memang berusaha keras dan
menciptakan berbagai macam strategi baru, dengan harapan mampu menerapkan posisinya
sebagai "market leader" di industri gula nasional.

Pihaknya menyadari, industri berbasis perkebunan saat ini semakin kompetitif. Kebutuhan akan
gula ternyata sampai saat ini juga belum maksimal.

Saat ini, dari 62 pabrik gula di Indonesia, masih mampu menghasilkan gula 2,5 juta ton. Padahal,
dengan jumlah pabrik sebesar itu, akan mampu memproduksi gula sampai 3,1 juta ton, dengan
rata-rata produksi tebu 205.000 per hari dan rendemen 9 persen.

Cholidi menyebut, saat ini berusaha keras untuk menerapkan strategi baru, yaitu EDO (efesiensi,
diversifikasi, dan optimalisasi), guna mengatasi masalah masih kurang maksimalnya produksi itu
atau terjadinya inefisiensi produksi gula.

Apalagi, pemerintah saat ini sudah membuat keputusan untuk menaikkan tarif tenaga listrik
(TTL) yang sudah resmi sejak Januari 2012. Kenaikan itu mencapai 15 persen yang dilakukan
secara bertahap triwulan sekali.

"Kami terapkan strategi EDO. Kami lakukan efisiensi semaksimal. Kenaikan ini (listrik) rutin,
dan kami pun harus menghadapi kenyataan," katanya mengungkapkan.

Pihaknya membuat terobosan dengan memanfaatkan ampas tebu yang diubah menjadi energi
listrik itu. Diversifikasi dilakukan, mengingat biaya produksi yang terus meningkat seiring
dengan ongkos tebang tebu yang naik serta upah tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan daya
beli, belum bisa maksimal, sehingga perlu diversifikasi.

Pihaknya menyebut, program co-generation sangat memungkinkan dilakukan. Produksi gula di
PTPN X cukup tinggi. Pada 2011, produksinya mampu mencapai 446.493,57 ton, tertinggi di
atara pabri gula lainnya. Jumlah itu juga lebih tinggi pada 2012, yaitu dengan produksi 494.000
ton, meningkat 10 persen. Dimenargetkan, pada 2013 ini akan mampu memproduksi gula sampai
538.000 ton.

Jumlah tebu yang digiling juga semakin meningkat. Pada 2011 hanya 5,61 juta ton naik menjadi
6,07 juta ton. Selain itu, tingkat rendemen atau kadar gula dalam tebu juga terus naik, dari
sebelumnya level 7,95 persen (2011) menjadi 8,14 (2012).

"Untuk awal, di PG Ngadirejo dan PG Pesantren untuk co-generation. Memang harus ada
teknologi dan biaya, tapi kami harus siap menghadapinya. Ke depannya, 11 pabrik gula di PTPN
X juga akan memanfatkan program yang sama," katanya menegaskan.

Tunggu Kepastian Izin
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Area Kediri, Jawa Timur, mengapresiasi rencana dari
PTPN X, khususnya PG Ngadirejo Kabupaten Kediri, yang akan memproduksi listrik sendiri dari
program co-generation.

Bagian Hubungan Masyarakat PT PLN Area Kediri Herry Siswanto mengatakan listrik saat ini
memang bukan hanya monopoli dari PLN saja.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN sebagai
pemegang izin. Hal itu berbeda dengan UU yang lama, yaitu UU Nomor 15 Tahun 1985, PLN
sebagai pemegang kuasa listrik atau yang ditunjuk sebagai penyediaan tenaga listrik.

"Dengan UU kelistrikan yang baru, listrik bukan hanya monopoli dari PLN. Syaratnya, harus
mengajukan izin," katanya.

Pihaknya memang pernah melakukan survei ke PG Ngadirejo tentang rencana program c-
generation tersebut. Namun, sejauh ini belum ada tindak lanjut, termasuk tentang harga jika
listrik itu akan dijual ke PLN.

Salah satu penyebab dengan belum adanya tindak lanjut karena masih ada kendala pada
perizinan. "Sampai saat ini, surat itu belum keluar, sehingga PLN pun belum bisa berbicara lebih
lanjut," katanya.

Pihaknya memperkirakan, jika nantinya benar akan dijual ke PLN untuk kelebihan daya listrik
itu, harga yang akan diberikan akan di bawah harga jual pada pelanggan.

Hal itu diakui Administratur PG Ngadirejo Kabupaten Kediri Budi Adi Prabowo. Sampai saat
ini, katanya, masalah izin untuk pengelolaan co-generation itu belum keluar. Izin sudah diajukan
pada Pemkab Kediri untuk mendapatkan IUKS (Izin Usaha Kelistrikan Sendiri).

"Kami sudah mengajukan dan prosesnya sekitar tiga bulan. Kami harapkan, bisa turun pada
pertengahan tahun ini," harapnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Kediri Edhi
Purwanto mengatakan saat ini pemkab masih memproses izin yang diajukan oleh PG Ngadirejo
itu.

"Masih diproses sampai saat ini. Kalau sudah turun, tentunya kami akan memberikannya," kata
Edhi.

Pihaknya juga menyambut baik tentang program co-generation tersebut. Dengan rencana akan
dijual ke PLN, tentunya akan menambah daya. Terlebih lagi, saat ini masih terdapat beberapa
dusun yang belum teraliri listrik.

Ia mengatakan, daerah-daerah yang belum teraliri listrik di wilayah Kabupaten Kediri tidak
banyak. Pada 2012, pemerintah daerah juga sudah berupaya untuk membangun tiang pancang.
Ada sekitar 24 tiang pancang yang didirikan di sejumlah dusun dengan harapan akan
memudahkan jaringan PLN masuk.

"Kami upayakan bantu dengan tiang pancang. Pada 2013 ini, kami juga anggarkan untuk
beberapa dusun yang belum ada jaringan listriknya," katanya. (*)
Editor : Edy M Yakub
http://www.antarajatim.net/lihat/berita/102882/ampas-tebu-pun-jadi-sumber-energi-terbarukan

Rabu, 06 Februari 2013
PERAN PABRIK GULA MENUJU SUGAR CANE BASED INDUSTRY

Perkembangan industri gula dewasa ini mulai menunjukkan arah yang berbeda dibandingkan dengan
beberapa tahun yang lalu. Komoditas gula yang dulu harganya sekitar dua kali lipat harga komoditas
beras, sekarang harganya setara dengan harga beras. Padahal ditinjau dari sisi produksi, memproduksi
gula membutuhkan usaha dan biaya yang jauh lebih besar daripada memproduksi beras. Inilah yang
membuat produk gula yang dulu menjadi andalan industri gula untuk mendapatkan laba sudah mulai
bergeser menjadi hanya untuk menutup biaya produksi. Pertanyaannya adalah darimana pabrik gula
bisa bertahan hidup dan mendapatkan laba bila produk utamanya hanya cukup untuk menutup biaya
produksi?

Untuk bertahan hidup dan terus bertumbuh, pabrik gula harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi dewasa ini. Peluang untuk mendapatkan laba secara signifikan dari hasil
produksi yang berupa gula sudah sangat sulit diharapkan, maka pabrik gula harus mencari sumber
sumber pendapatan dari komoditas selain gula. Disinilah dituntut adanya kreativitas dari pengelola
pabrik gula untuk mendiversifikasikan produk yang dihasilkan. Pabrik gula selain menghasilkan gula,
dalam proses produksinya juga menghasilkan tetes (molasses), blotong, abu ketel dan ampas tebu
(bagasse) sebagai produk sampingan. Produk produk sampingan tersebut selama ini hanya dibiarkan
dan bila ada yang laku (molasses) dijual sebagaimana adanya.

Beberapa tahun belakangan, produk sampingan yang berupa blotong dan dan abu ketel sudah mulai
diolah sehingga menjadi produk pupuk kompos yang lebih berdayaguna. Dari pengolahan kedua produk
sampingan (atau bisa disebut limbah produksi) ini, pabrik gula bisa meningkatkan keuntungan. Di satu
sisi, pabrik gula bisa melakukan penghematan biaya, seperti biaya pembuangan abu ketel dan blothong
yang selama ini membutuhkan biaya yang cukup besar, dengan adanya pengolahan abu ketel dan
blothong menjadi kompos, biaya pembuangan tersebut bisa dipangkas. Di sisi lain, dari produksi
kompos, pabrik gula bisa meningkatkan pendapatan dari penjualan pupuk kompos.

Namun kontribusi pendapatan pabrik gula yang berasal dari diversifikasi kedua produk sampingan
tersebut (blothong dan abu ketel) dirasakan masih sangat minim. Sedangkan produk produk
sampingan yang lain (molasses dan ampas tebu) belum tersentuh. Padahal, kedua produk sampingan
tersebut (molasses dan ampas tebu) masih bisa diolah dan ditingkatkan lagi nilai tambahnya. Ditambah
lagi masih ada komditas lain yang bisa dihasilkan dari produk produk sampingan pabrik gula. Dikutip
dari situs sugarcane.org, produk produk yang bisa dihasilkan dari tebu antara lain adalah : gula,
bioethanol, bioelectricity, bioplastik, dan biohidrokarbon.

Menilik uraian di atas, potensi dan peluang untuk bisa surviving, sustaining and growing masih cukup
besar dan terbuka, syaratnya adalah pabrik gula seharusnya tidak hanya fokus memproduksi gula saja,
tetapi juga harus bisa melakukan diversifikasi dengan cara memproduksi produk produk lain yang
bernilai tinggi. Karena itu, dimulai sekitar tahun 2010, pabrik gula di lingkungan PTPN X (Persero) mulai
menggali potensi potensi, dan juga menginventarisir kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk bisa
mewujudkan visi menjadi pabrik gula modern yang terintegrasi. Pabrik gula modern yang terintegrasi
idealnya merupakan suatu lingkungan industri yang terdiri dari beberapa pabrik yang berbeda dan
memproduksi beberapa produk yang berbeda pula, namun tetap berbasis tebu.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyoroti peran pabrik gula dalam kaitan dengan terwujudnya suatu
lingkungan sugar cane based industry. Berdasarkan pengamatan terhadap proses produksi dan
gambaran umum mengenai sugar cane based industry yang berhasil penulis dapatkan, penulis
mengambil hipotesis bahwa peran pabrik gula dalam sugar cane based industry ini adalah sebagai poros
atau penggeraknya.

Kenapa penulis menyebut pabrik gula sebagai poros atau penggerak industri yang terintegrasi ini? Pabrik
gula bisa disebut sebagai poros atau penggerak industri ini karena industri yang lain tidak akan bisa
berjalan bila pabrik gula tidak berproduksi. Produksi kompos di pabrik gula, misalnya, membutuhkan
blothong dan abu ketel yang berasal dari proses pengolahan tebu. Produksi bioethanol, membutuhkan
tetes tebu (molasses) yang berasal dari proses pengolahan tebu menjadi gula, begitu juga dengan
produksi listrik (bioelectricity) yang memanfaatkan kelebihan energi dari pembangkit di pabrik gula yang
dibutuhkan untuk proses produksi gula. Intinya, industri yang lain baru bisa beroperasi dan berproduksi
bila pabrik gula beroperasi terlebih dahulu.

Untuk mendukung perannya sebagai poros atau penggerak tersebut, langkah pertama yang harus
dilakukan oleh pengelola pabrik gula bila ingin mewujudkan sugar cane based industry adalah
memperkuat pondasi dari industri ini, yaitu pabrik gula itu sendiri (off farm). Pabrik gula sebagai
penggerak utama industri ini harus dipastikan mempunyai kinerja dan berdayatahan tinggi serta
senantiasa dalam kondisi good maintain agar bisa tercipta kondisi zero defect selama proses produksi
berlangsung.
Agar mempunyai daya tahan tinggi, mesin mesin tersebut harus dipastikan terbuat dari bahan bahan
dengan kualitas yang tinggi, dibuat dan dirakit oleh produsen dengan kemampuan dan kualifikasi yang
mumpuni dan diawasi oleh orang orang yang juga mempunyai kualifikasi tinggi dibidangnya masing
masing (stakeholder). Setelah mesin mesin tersebut jadi, maka harus dipastikan bahwa operatornya
(human resources) mempunyai keahlian yang cukup dan dibekali dengan product knowledge yang
memadai. Operator tersebut juga harus memiliki kesadaran tinggi untuk merawat dan memelihara
mesin yang dioperasikannya sebaik mungkin seolah olah mesin tersebut adalah miliknya (sense of
belonging yang tinggi).

Mewujudkan kondisi good maintain ini butuh usaha yang cukup keras, dan yang lebih penting lagi
adalah disiplin yang berkesinambungan, terutama dalam hal pencatatan mengenai kondisi dan handling
peralatan pabrik secara terperinci (good documentation). Setelah dilakukan pembaruan mesin mesin
pabrik maupun mesin - mesin pendukung (bisa berupa overhaoule, penggantian mesin, penggantian
sparepart dan perbaikan) harus segera dimulai sistem pencatatan secara rapi dan terperinci. Yang perlu
dicatat, sebagai contoh misalnya adalah :

1. Sparepart apa saja yang sudah diganti?
2. Bila ada kerusakan, apa gejala yang terjadi sebelum terjadinya kerusakan tersebut, kemudian
bagaimana problem solving-nya, bagian apa yang rusak dan diganti?
3. Berapa lama lifecycle suatu sparepart?
4. Bagaimana cara perawatan suatu jenis mesin secara umum atau masing masing bagiannya
secara khusus?
5. Dan lain lain yang perlu dilakukan inventarisir mengenai masalah ini secara lengkap oleh orang
orang yang kompeten di bidangnya.


Hal ini sangat penting dilakukan karena dengan adanya pencatatan seperti ini, data historis mesin
tersebut bisa diketahui bahkan oleh orang yang benar benar baru sekalipun. Contohnya dengan
adanya pencatatan suatu kerusakan mesin yang pernah terjadi, bila gejala sebelum terjadinya kerusakan
tercatat dengan baik, maka bila gejala yang sama muncul, kerusakan serupa bisa dicegah dan mesin bisa
diselamatkan sebelum terjadi kerusakan, yang pada akhirnya proses produksi tidak perlu terganggu
terlalu lama untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

Kondisi good maintain ini sangat penting untuk segera diwujudkan di seluruh lingkungan pabrik gula.
Perlu disadari bahwa pada saat industri pabrik gula nantinya sudah terintegrasi, proses produksi dari
masing masing industri yang terkait juga akan terintegrasi. Kerusakan yang terjadi pada satu sistem
akan berpengaruh terhadap sistem yang lain. Demikian juga bila ada kerusakan mesin pada pabrik gula
selama proses produksi, bila kerusakan ini sampai berakibat pada berhentinya proses produksi, maka
yang mengalami kerugian akibat berhentinya proses produk ini bukan hanya pabrik gula itu sendiri,
melainkan juga berpotensi menghentikan proses produksi pada industri yang lain, sehingga pada
akhirnya akan menciptakan losses yang cukup tinggi pada semua sektor di dalam lingkungan industri ini.

Jadi karena sangat pentingnya peran pabrik gula dalam sugar cane based industry ini, maka sangat bisa
dimaklumi bila manajemen PTPN X (Persero) pada beberapa tahun belakangan melakukan upaya
revitalisasi yang cukup masif terhadap mesin mesin pabrik gula yang sudah mulai dimakan umur dan
ketinggalan teknologi.

Dari sisi pasokan bahan baku tebu (on farm), yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana
caranya supaya kelangsungan produksi bisa terjaga dengan adanya kepastian suplai bahan baku. Selama
ini masih sering terjadi pabrik gula berhenti giling karena terputusnya pasokan tebu. Untuk itu, penataan
pola tanam yang mendukung rencana giling pabrik gula harus diperhatikan dan diperhitungkan dengan
cermat. Selain itu, untuk mendukung proses produksi yang terintegrasi, dibutuhkan varietas tanaman
tebu yang bisa menghasilkan produk sampingan yang sesuai dengan kebutuhan industri industri lain.
Maka pabrik gula harus selalu berkoordinasi dengan pusat penelitian gula dan tebu atau bisa dengan
mengadakan serangkaian percobaan di internal untuk menemukan varietas dan pola tanam yang sesuai
dengan kebutuhan industri berbasis tebu ini secara keseluruhan. Setelah hal hal tersebut bisa
ditentukan maka yang juga tak kalah penting adalah melakukan sosialisasi kepada petani tebu yang
merupakan supplier bahan baku terbesar dari pabrik gula di lingkungan PTPN X (Persero), sehingga
mereka bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan pabrik gula dalam proses produksinya.

Terakhir, penulis mengakui bahwa dengan background non teknis, maka tulisan ini dibuat sebagian
besar hanya berdasarkan pengamatan saja dan kurang didasarkan pada kemampuan teknis dari penulis.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan adanya koreksi dan saran dari pembaca untuk perbaikan tulisan
ini.
http://iwanmahendra-n10.blogspot.com/2013_02_01_archive.html

Ampas Tebu pun Jadi Bahan Bakar
Selasa, 29 Januari 2013 | 15:23 WIB
Baca juga

0

SURABAYA, KOMPAS.com - Dalam tiga tahun terakhir PT Perkebunan Nasional (PTPN) X
mampu memangkas biaya bahan bakar minyak saat musim giling tiba. Pengurangan biaya
produksi secara signifikan bisa dilakukan karena memanfaatkan ampas tebu sebagai energi
penegrak mesin giling.
Pengalihan bahan bakar penggerak mesin produksi tidak sulit, karena sejak masa penjajahan
Hindia Belanda, hampir seluruh pabrik gula di Indonesia disiapkan menggunakan energi dari
ampas tebu. Sejak 1870, di Jawa Timur telah berdiri sejumlah pabrik gula dan hingga kini masih
beroperasi.
Jatim bahkan menjadi lokomotif dalam kancah industri gula di Indonesia dengan kontribusi
produksi gula nasional rata-rata antara 45 - 55 persen per tahun. Untuk mewujudkan efisiensi
bahan bakar serta konservasi sumberdaya, PTPN X kata Direktur Utama PTPN X Subiyono,
terus menekan BBM dalam proses produksinya dengan mengoptimalkan ampas tebu sebagai
bahan bakar pengolahan.
Perseroan telah berhasil menekan biaya BBM dari sekitar Rp 130 miliar pada 2007 menjadi
hanya Rp 4 miliar pada 2012, tahun 2013 ditargetkan Rp 1,5 miliar, dan pada 2014 bebas dari
biaya BBM. Apalagi PTPN X merupakan perusahaan gula pertama di Indonesia yang memulai
program diversifikasi dengan serius. PG Ngadiredjo (Kediri), sudah memulai program co-
generation tahun 2012 dengan produksi listrik 2 Mega Watt (MW).
Program co-generation mengolah ampas tebu menjadi listrik ini juga akan diterapkan di sejumlah
PG milik PTPN X antara lain di PG Pesantren Baru (Kediri), PG Gempolkrep (Mojokerto).
Kedua PG ini akan merampungkan pembangunan pabrik bioetanol pada 2013 ini dan bisa
menghasilkan fuel grade ethanol 99 persen yang sangat ramah lingkungan. Pabrik bioetanol di
atas lahan seluas 6,5 hektar di kompleks PG Gempolkrep Mojokerto itu berkapasitas produksi
100 kiloliter per hari. Pabrik itu menelan investasi Rp 467,79 miliar, yang Rp 313,79 miliar di
antaranya berasal dari dana PTPN X sedangkan selebihnya hibah dari Jepang.
Subiyono mengatakan, bahan baku yang dibutuhkan untuk pabrik bioetanol itu adalah tetes tebu
(molases) sebanyak 120.000 ton per tahun. Tetes tebu akan dipenuhi dari seluruh PG milik PTPN
X.
Selama ini, tetes tebu itu dijual ke industri lain seperti pabrik makanan, sehingga nilai tambah
minim. PTPN X juga bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membangun pembangkit listrik
tenaga biofuel dari limbah bioetanol yang memasok listrik ke pasar dan kepentingan PTPN X
sendiri.
Ke depan, setiap pengembangan usaha didesain secara terintegrasi untuk memaksimalkan produk
turunan nongula, seperti pembangunan pabrik gula terintegrasi dengan pabrik bioetanol di Pulau
Madura.
PG ini nantinya akan menjalankan program co-generation. Langkah ini dinilai penting setelah
mengalami kasus PG Gempolkrep di Mojokerto yang sempat diprotes bahkan berhenti produksi
karena mencemari sungai akibat limbah.
Menurut Direktur Produksi PTPN X, T Sutaryanto tahun 2013, PTPN X ingin menciptakan
lingkungan yang bersih dan nyaman di semua komleks PG. Dana untuk pembenahan lingkungan
di seluruh PG pada 2013 mencapai Rp 40,8 miliar atau hampir dua kali lipat dibanding anggaran
pengelolaan lingkungan tahun 2012 sebesar Rp 13,5 miliar.
Pengelolaan limbah masih menjadi persoalan di industri gula, karena limbah tak bisa diolah
dengan baik, sehingga produksi terhambat dan kinerja PG merosot. Padahal kata dia, semakin
baik pengelolaan lingkungan, akan makin mengefisienkan biaya perusahaan. Sehingga mampu
meningkatkan laba perusahaan. Sehingga pabrik gula bisa beroperasi lancar.
Dari dana pengelolaan Rp 40,8 miliar itu, Rp 23 miliar di antaranya untuk in-house keeping agar
PG selalu terjaga tingkat kebersihannya.
Adapun roadmap in-house keeping PTPN X terdiri atas tiga pilar, yaitu in-house keeping secara
umum, revitalisasi sistem instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan manajemen penguatan
sumber daya manusia(SDM).
In-house keeping yang baik akan meningkatkan efisiensi serta kenyamanan di lingkungan pabrik
gula bia menyamai situasi di sebuah pusat perbelanjaan modern.
Kondisi pabrik prima dan bersih berpengaruh pada tingkat kehilangan pol yang kecil. Pol adalah
jumlah gula yang ada dalam setiap 100 gram larutan yang diperoleh dari teknis pengukuran di
pabrik. Pabrik bisa menekan tingkat kehilangan bahan olahan sehingga bisa mengoptimalkan
efisiensi.
"In-house keeping yang baik bisa mencegah kebocoran dan tumpahan dalam rantai produksi di
pabrik gula," katanya.
Swasembada gula Meningkatnya konsumsi masyarakat, otomatis beban 31 pabrik gula di
provinsi ini bertambah. Secara nasional produksi gula mencapai 2,3 juta ton, sementara
kebutuhan 5 juta ton, sehingga pemerintah perlu impor 2,7 juta ton atau (54 persen) berupa gula
kristal putih dan gula kristal rafinasi untuk industri.
Pada 2014, diproyeksikan kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, terdiri dari gula
konsumsi 3,5 juta ton yang diproduksi oleh 65 pabrik gula di Indonesia, dan gula rafinasi untuk
memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman sebanyak 2,2 juta ton.
Sementara PTPN X menargetkan produksi gula pada 2013 mencapai 538.000 ton naik dari
estimasi 2012 sekitar 494.000 ton. Target tersebut kata Subiyono bisa tercapai karena aksi
korporasi tahun depan, berupa perluasan areal tanam tebu dan optimalisasi kapasitas terpasang
mesin produksi pada 11 pabrik gula.
Untuk menyokong target tersebut, PTPN X mempersiapkan belanja modal sebesar Rp 960
miliar. Realisasi produksi tersebut menyumbang sekitar 20 persen dari total produksi gula
nasional sebesar 2,56 juta ton gula konsumsi.
Untuk itu pada 2013, PTPN X akan memperluas area tanam tebu hingga 76.000 hektar dari
72.000 hektar tahun 2012. Rinciannya, 1.000 hektar di Pulau Madura dan 3.000 hektar di
Lamongan, Tuban dan Bojonegoro. Seluruh lahan tebu milik rakyat, kendati demikian target
538.000 ton gula tahun 2013 bisa tercapai.
Guna mencapai swasembada gula, tak perlu menunggu hingga 2014, termasuk wacana
membangun pabrik gula di luar Pulau Jawa. Alasannya, dengan 62 pabrik gula yakni 51 PG
milik BUMN dan 11 milik swasta, memiliki kapasitas cukup untuk mewujudkan swasembada
gula sebesar 3,1 juta ton.
Dengan asumsi rendemen 9 persen dan hari giling 160 hari di 62 PG, produksi gula nasional
diyakini bisa menembus 3.136.000 ton gula. Dengan memperluas lahan tebu dan rendemen
bagus, petani tidak akan beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menjanjikan. Sebab
kenaikan harga gula juga cukup menarik minat petani bertahan di tanaman tebu.
Ketua Asosiasi Perkebunan Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil mengatakan, jika Indonesia ingin
swasembada gula nasional, maka lahan tebu harus diperluas hingga 750.000 hektar.
Selain itu, produksi per hektar mencapai 100 ton dan rendemen minimal 10 persen. Indonesia
saat ini baru memiliki lahan tebu seluas 451.000 hektar dan rendemen rata-rata nasional 8 persen.
"Jika digarap serius perluasan lahan bisa terwujud dalam lima tahun," katanya.
Langkah lain adalah pemerintah harus melakukan efisiensi dan revitalisasi PG agar terjadi
peningkatan rendemen. Langkah penegakan hukum juga dilakukan untuk mengantisipasi
beredarnya gula impor secara ilegal.
Alasannya, dari 4,7 juta ton kebutuhan gula di Indonesia, sebanyak 2,1 jt ton di antaranya masih
impor. Gula nasional yang dihasilkan dari 62 PG hanya 2,6 juta ton setahun.
Dalam upaya merealisasikan swasembada, PTPN X juga serius dalam upaya diversifikasi
produk. Penggarapan produk turunan tebu jangan hanya berfokus pada gula karena masih banyak
produk turunan tebu yang berpotensi untuk dikembangkan secara komersial.
Produk turunan itu kata Subiyono selaku Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) antara
lain program co-generation yang mengolah ampas tebu menjadi listrik dan mengolah tetes tebu
menjadi bioetanol. Jadi saatnya pabrik gula (PG) fokus pada produk turunan tebu nongula.
"Industri ini sudah seharusnya benar-benar bertransformasi menjadi industri berbasis tebu yang
terintegrasi dari hulu ke hilir," ujarnya.
Apalagi di Indonesia, diversifikasi belum menjadi perhatian serius industri gula. Padahal pada
tahun 1950-an pernah ada pabrik lilin dari blotong(limbah tebu) yang mampu mengekspor ke
berbagai negara, tapi kini bangkrut. Pada dekade 1960-an juga pernah ada sejumlah pabrik
alkohol dan spiritus di beberapa PG di Indonesia, kini justru merana.
Di Indonesia saat ini ada sekitar 45 industri koproduk tebu yang menghasilkan 14 jenis produk.
Sayangnya, mayoritas dari industri tersebut dimiliki perusahaan yang sama sekali tak bergerak di
bisnis pengolahan tebu. Artinya, PG hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik koproduk
tersebut, sehingga PG tidak menikmati nilai tambah dari bisnis koproduk tebu.
Diversifikasi produk tebu nongula bukan sekadar produk sampingan tapi sudah menjadi produk
turunan, sehingga PTPN X gencar berinovasi. Tahun 2013, otimalisasi kapasitas giling untuk
menembus target produksi 538.000 ton gula bisa terealisasi, dan diversifikasi untuk menciptakan
nilai tambah bagi perusahaan.
Paling utama citra pabrik gula yang kotor dan kumuh terkikis habis, sehingga keinginan untuk
menambah obyek wisata ke pabrik gula pun tidak sekadar mimpi.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/29/15230175/Ampas.Tebu.pun.Jadi.Bahan.Bakar

Kurangi konsumsi BBM, PTPN X
optimalkan ampas tebu
Nurul Arifin
Kamis, 10 Oktober 2013 17:28 WIB

ilustrasi/ist
Sindonews.com - PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X memaksimalkan potensi ampas tebu
(Bagasse). Pengembangan ampas ini untuk energi terbarukan sebagai pengganti Bahan Bakar
Minyak (BBM) untuk produksi gula.

Perseroan memprediksi sebanyak 1,8 juta ton ampas tebu yang diperoleh dari sisa giling pabrik
gula (PG) milik perusahaan pelat merah itu.

Direktur Utama PTPN X, Subiyono mengatakan, pengolahan tebu manjadi gula tentu
menghasilkan produk sampingan berupa Ampas dan Tetes. "Sekitar 30 persen bagian tebu dalam
proses produksi gula menjadi ampas. Sementara dari 1,8 juta ton Ampas tebu, PG membutuhkan
sebanyak 1,3-1,5 juta ton untuk bahan bakar sendiri," kata dia Kamis (10/10/2013).

Sehingga ada 300 ribu hingga 500 ribu ton ampas dapat dikonversi menjadi Bioetanol. Dia
menjelaskan, optimalisasi ampas tebu ini berdampak positif pada efisiensi dan meningkatkan
keuntungan perusahaan. Sebab, bahan bakar dari ampas dan hasil konversi ini mampu sebagai
pengganti BBM.

Menurutnya, konsumsi BBM di pabrik-pabrik gula milik PTPN X, mengalami penurunan.
Tercatat konsumsi BBM sebesar Rp130 miliar pada 2007 menjadi Rp4 miliar pada 2012.

"Pengembangan Bioetanol berbasis ampas tebu, potensinya sangat tinggi dan jauh lebih murah
dibanding dengan tetes tebu (Molasses)," jelasnya.

Dia merinci, 1 liter Bioetanol membutuhkan 5 kilogram ampas tebu. Lalu, 5 kg ampas tebu ini
harganya Rp1.000. Dibanding menggunakan tetes tebu, 1 liter Bioetanol membutuhkan 4 kg
tetes tebu. Sementara, harga 4 kg tebu itu sekitar Rp4.000. Dengan mengembangkan ampas tebu
menjadi Bioetanol menjanjikan keuntungan yang cukup besar.

Subiyono mengatakan, optimalisasi ampas tebu ini juga dapat dijadikan salah satu indikator
kinerja PG di lingkungan PTPN X. "PG sudah bisa menghasilkan ampas dalam proses produksi
tidak perlu mengonsumsi banyak BBM. Dengan memaksimalkan potensi ampas tebu ini
memberi banyak manfaat dan menunjukkan indikator kinerja budidaya dan pengolahan,"
pungkas dia.
http://ekbis.sindonews.com/read/793143/34/kurangi-konsumsi-bbm-ptpn-x-optimalkan-ampas-tebu

BAB 10. TEBU

PENGENALAN TANAMAN

Tebu diduga pertama kali ditemukan di New Guinea pada 6000 SM. Namun, budidaya
tanaman ini baru dilakukan pada 1400-1000 SM di India. Dalam bahasa latin, tebu dikenal
dengan sebutan 'saccharum', yang berasal dari kata 'karkara' dalam bahasa Sanskrit atau
'sakkara' dalam bahasa Prakrit.
Setelah mengalami persilangan dengan spesies-spesies liar dari India dan Cina, sejak 1000
SM tanaman ini menyebar secara berangsur-angsur ke berbagai belahan dunia, khususnya
wilayah tropis, seperti : Hawaii, Mediterania, Karibia, Amerika, akhirnya sampai ke kepulauan
Melayu. Saat ini, budidaya tebu telah dilakukan di lebih dari 70 negara di dunia, antara lain :
India, Cuba, Brasil, Mexico, Pakistan, Cina, Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Papua
Nugini (www.ikisan.com, 2000; Kuntohartono dan Thijsse, 2007).
Morfologi tanaman tebu dapat dilihat pada Gambar 2. Tebu merupakan sejenis rumput-
rumputan yang memiliki ketinggian sekitar 2-4 meter. Secara garis besar, tanaman tebu dapat
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu :
- Akar : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih
- Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang agak
pipih, berwarna hijau kekuningan
- Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan berbulu,
berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua
- Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.





Gambar 1 : Tanaman Tebu
Sumber Foto : Website Direktorat Budidaya Tanaman Semusim-Deptan



Gambar 2 : Morfologi Tanaman Tebu

Budidaya tebu merupakan upaya manusia untuk mengoptimalkan kondisi tanaman tebu
agar memperoleh sumberdaya alam yang dibutuhkannya, sehingga diperoleh hasil panen yang
maksimal, baik dilihat dari sisi produktivitas maupun dari sisi kualitas. Tanaman tebu yang
banyak dibudidayakan di Indonesia umumnya berasal dari spesies saccharum officinarum
(www.ikisan.com, 2000), dengan berbagai varietas, antara lain POY 3016, PS 30, PS 41, PS 38,
PS 36, PS 8, BZ 132, BZ 62.
Secara umum, keberhasilan budidaya tebu sangat ditentukan oleh kondisi agroklimat
(iklim, topografi dan kesuburan tanah). Tanaman tebu akan tumbuh optimal di wilayah tropis
yang lembab, yaitu : berada di antara 35
0
LS - 39
0
LS, ketinggian tanah 0 - 1.500 mdpl, suhu
udara 28 - 34
0
C, kelembaban minimal 70%, sinar matahari 7 - 9 jam/hari, dan curah hujan 200
mm/bulan.
Pertumbuhan tebu juga didukung oleh sifat-sifat fisik dan kimia dari tanah, seperti :
drainase/permeabilitas, tingkat kemasaman, tekstur, serta kandungan organik dan hara tanah.
Meskipun tanaman tebu dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah, namun pertumbuhannya
akan optimal apabila ditanam pada tanah yang subur, memiliki drainase yang baik (cukup air
tetapi tidak tergenang) dan tingkat kemasaman (pH) sekitar 6-7. Sementara tekstur tanah yang
sesuai bagi pertumbuhan tebu adalah sedang sampai berat atau menurut klasifikasi tekstur tanah
(Buckman and Brady, 1960) adalah lempung, lempung berpasir, lempung berdebu, liat berpasir,
liat berlempung, liat berdebu dan liat atau yang tergolong bertekstur agak kasar sampai halus.
Ketersediaan unsur hara minimal yang dibutuhkan oleh tanaman tebu, antara lain adalah : kadar
N total 1,5 ppm; kadar P
2
O
5
75 ppm; dan kadar K
2
O 150 ppm (data P3GI).sumber bukunya atau
laporan
Pertumbuhan tanaman tebu umumnya berlangsung selama kurang lebih 12 bulan, terhitung
mulai ditanam hingga dipanen. Tanaman tebu mengalami 4 (empat) fase pertumbuhan, yaitu :
1. Fase perkecambahan (germination phase), yaitu dimulai sejak penanaman hingga
pembentukan kecambah pada bud (mata), berlangsung selama 30-45 hari, dengan faktor-
faktor berpengaruh antara lain : kadar air, suhu dan aereasi tanah, kadar air, kadar gula
tereduksi, status nutrien akar.
2. Fase pertunasan (tillering phase), yaitu fase pembentukan tunas yang akan menentukan
populasi tanaman, berlangsung kurang lebih 75 hari, dengan faktor-faktor berpengaruh : sinar
matahari, varietas, suhu, kadar air, pupuk.
3. Fase pemanjangan batang (grand growth phase), yaitu fase perpanjangan batang tebu,
berlangsung sekitar 120-150 hari. Dalam kondisi yang optimal, dimana kebutuhan air, pupuk,
suhu udara dan sinar matahari terpenuhi, kecepatan perpanjangan batang dapat mencapai 4-5
ruas per bulan.
4. Fase pematangan (maturity and ripening phase), yaitu fase pembentukan dan penyimpanan
gula, berlangsung sekitar 90 hari. Air dan makanan yang diserap oleh akar diangkut menuju
daun. Dengan bantuan sinar matahari, bahan-bahan tersebut akan bereaksi dengan
karbondioksida di udara untuk membentuk gula (sukrosa). Gula yang terbentuk disimpan di
dalam batang, dimulai dari bagian bawah dan berangsur-angsur naik ke bagian atas batang.
Pada pola monokultur, penanaman tebu umumnya dilakukan : (1) pada bulan Juni -
Agustus untuk tanah berpengairan, atau (2) pada akhir musim hujan untuk tanah tegalan atau
sawah tadah hujan. Penanaman tebu meliputi berbagai kegiatan, yaitu : Persiapan bibit, berupa
bibit pucuk, bibit batang muda, bibit rayungan atau bibit siwilan, dengan kebutuhan sekitar
20.000 bibit per hektar, Persiapan tanah, meliputi kegiatan pembuatan parit dan lubang tanam,
Penanaman, dilakukan dengan 2 cara, yaitu: (1) bibit diletakkan di sepanjang aluran, ditutup
tanah setebal 2-3 cm, dan disiram; (2) bibit diletakkan melintang di sepanjang selokan, dengan
jarak tanam 30-40 cm.
Pemeliharaan tanaman tebu dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Penyulaman tanaman yang tidak tumbuh dengan baik
2. Penyiangan gulma di sekitar tanaman
3. Pembubunan tanah, meliputi pembersihan rumput-rumputan, pembalikan guludan,
penghancuran dan penambahan tanah
4. Perempalan atau pengeletekan, untuk melepaskan daun-daun kering pada ruas-ruas tebu,
umumnya dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : sebelum gulud akhir, umur 7 bulan dan 4
minggu sebelum tebang
5. Pemupukan, umumnya dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu : Pada saat tanam hingga 7 hari
setelah tanam, dengan dosis anjuran: 7 gram urea, 8 gram TSP dan 35 gram KCl per
tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCl per hektar) dan 30 hari setelah
pemupukan pertama, dengan dosis anjuran: 10 gram urea per tanaman (200 kg urea per
hektar)
6. Pengairan dan penyiraman, minimal dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : pada saat penanaman,
fase pertumbuhan vegetatif dan fase pematangan
7. Pengendalian hama (penggerek, tikus) dan penyakit (fusarium pokkahbung, dongkelan, noda
kuning, penyakit nanas, noda cincin, busuk bibit, blendok, virus mozaik) secara rutin.
Kegiatan pemanenan dilakukan pada saat tebu mencapai masak, yaitu kondisi dimana
kandungan gula di sepanjang batang seragam, kecuali pada beberapa ruas di bagian pucuk dan
pangkal batang. Pada umumnya, kemasakan tebu akan terjadi pada usia tanaman sekitar 12
bulan, dan kriteria yang umumnya digunakan untuk menilai kematangan tebu adalah kandungan
sukrosa. Analisa kemasakan tebu pada saat menjelang panen sangat diperlukan untuk
mengetahui waktu panen yang paling tepat agar diperoleh rendemen yang optimal.

POLA PENYEBARAN TANAMAN TEBU DI INDONESIA DAN POTENSI
Budidaya tanaman tebu dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia, khususnya Jawa dan
Sumatera, dengan pola penyebaran sebagai berikut (Gambar 3.)


Gambar 3 : Peta Penyebaran Tanaman Tebu di Indonesia

Secara keseluruhan, lahan perkebunan tebu di Indonesia saat ini mencapai kurang lebih
400.000 hektar (Tabel 1.), dimana sebagian besar (lebih dari 95%) di antaranya berada di Jawa
dan Sumatera, dan sisanya berada di Sulawesi.

Tabel 1. Lahan Perkebunan Tebu
Nama Provinsi Luas Kebun (ha) Persentase
(%)
Sumatera Utara 13.140 3,30
Sumatera Selatan 12.479 3,13
Lampung 105.915 26,59
Jawa Barat 21.956 5,51
Jawa Tengah 50.958 12,80
DI Yoyakarta 3.282 0,82
Jawa Timur 171.915 43,17
Sulawesi Selatan 9.398 2,36
Gorontalo 9.217 2,31
TOTAL 398.260 100,00
Sumber : BKPM, 2008.

Secara rinci di bawah ini diuraikan potensi tanaman tebu masing-masing daerah,yaitu :
a. Jawa Timur
Dengan total lahan tebu seluas 171.915 hektar, saat ini wilayah Jawa Timur merupakan
sentra gula terbesar di Indonesia. Departemen Perindustrian melaporkan bahwa pada tahun 2008
Indonesia memiliki 58 pabrik gula (PG), dimana 31 PG tersebut beroperasi di wilayah Jawa
Timur dengan kapasitas giling total mencapai 86.278 TCD (ton cannes per day). Di wilayah ini,
perkebunan tebu sangat didominasi oleh perkebunan rakyat, sementara pengelolaan pabrik gula
dilakukan oleh BUMN, yaitu PTPN X mengelola 11 PG berkapasitas 34.300 TCD, PTPN XI
mengelola 16 PG berkapasitas 36.278 TCD, dan PT.RNI I mengelola 4 PG berkapasitas 15.700
TCD.

b. Lampung
Sentra gula terbesar kedua di Indonesia adalah Lampung. Di wilayah ini, terdapat PG
Bungamayang yang dikelola PTPN VII dengan kapasitas giling 6.250 TCD, dan 4 buah PG
berskala besar yang dikelola perusahaan swasta, yaitu PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo
Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gunung Madu Plantation, dengan kapasitas
produksi total sebesar 650.000 ton/tahun. Saat ini, telah beroperasi sebuah pabrik etanol berskala
besar yaitu PT Indo Lampung Distillery, dengan kapasitas produksi sebesar 50 juta liter/tahun.

c. Jawa Barat
Budidaya tebu terkonsentrasi di wilayah Pantura (Cirebon, Majalengka, Subang dan
Kuningan), dan didominasi oleh lahan tegalan tanpa irigasi. Saat ini, wilayah Jawa Barat
memiliki 5 PG dengan kapasitas giling total 13.400 TCD.

d. Jawa Tengah
Perkebunan tebu di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : (1) wilayah
Pantura Barat (Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes), pengelolaan kebun oleh PG pada tanaman
pertama, kemudian keprasannya dilanjutkan oleh petani, serta (2) wilayah Pantura Selatan dan
Timur (Sragen, Tasikmadu, Klaten, Rembang, Pati, Kudus), pengelolaan kebun oleh rakyat. Saat
ini, wilayah Jawa Tengah memiliki 8 PG dengan kapasitas giling total 18.985 TCD.

e. Wilayah Lainnya
Wilayah lain yang telah melakukan budidaya tebu adalah Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, namun dalam jumlah yang masih sangat
terbatas. Pabrik gula yang beroperasi di wilayah tersebut berjumlah 8 PG, dengan rincian : 2 PG
di Sumatera Utara (8.000 TCD), 1 PG di Sumatera Selatan (5.000 TCD), 1 PG di Yogyakarta
(3.250 TCD), 3 PG di Sulawesi Selatan (8.000 TCD) dan 1 PG di Gorontalo.
Secara ringkas, kinerja perkebunan tebu dan pabrik gula Indonesia selama 5 tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 2.






Tabel 2 : Data Statistik Tebu dan Gula Indonesia (2004 2008)
Tahun Luas Lahan
(hektar)
Produksi Tebu
(ton)
Produksi Gula
(ton)
Produktivitas
(ton tebu/ha)
Rendemen
(%)
2004 344.800 26.754.000 2.052.000 77,59 7,67
2005 381.800 31.139.000 2.242.000 81,56 7,20
2006 384.000 29.101.000 2.267.000 75,78 7,79
2007 400.500 33.292.000 2.660.000 83,13 7,99
2008* 405.600 34.707.000 2.780.000 85,57 8,01
Sumber : Ditjenbun 2009 dan P3GI 2008 (diolah)

Pada periode 2004-2009, perkebunan tebu Indonesia telah mengalami perluasan lahan dari
344.800 hektar menjadi 405.600 hektar, atau rata-rata per tahun sebesar 15.200 hektar; serta
peningkatan produksi tebu dari 26.754.000 ton menjadi 34.707.000 ton, atau rata-rata per tahun
sebesar 2.000 ton. Di sisi lain, pada periode yang sama produksi gula nasional meningkat dari
2.052.000 ton menjadi 2.780.000 ton, atau rata-rata per tahun sebesar 182.000 ton.
Kinerja kebun dapat dilihat dari produktivitas lahan yaitu berat tebu yang dihasilkan per
hektar, sementara kinerja pabrik dapat dilihat dari rendemen yaitu persentase berat gula terhadap
berat tebu. Pada tahun 2008, produktivitas lahan yang dicapai oleh perkebunan tebu di Indonesia
rata-rata adalah 85,57 ton per hektar, dan rendemen yang dicapai oleh pabrik gula rata-rata
adalah 8,01%.

PEMANFAATAN SAAT INI
Tebu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, baik untuk keperluan pangan maupun
untuk keperluan non pangan, secara umum pohon industri tebu dapat dilihat pada Gambar 4.


Gambar 4 : Pohon Industri Tebu (Sumber : Departemen Perindustrian, 2009)

Pengolahan tebu menjadi gula melibatkan serangkaian proses/perlakuan kimia dan fisika
yang saling berkaitan satu sama lain, yang secara skematik dapat dilihat pada Gambar 5.

Gula Pasir
Gula Padat
AsamGlutamat MSG
AsamOrganik AsamAsetat
Bahan Kimia Lain Etanol
Makanan Ternak Bahan Bakar
Protein Sel Tunggal Ragi Roti
Semen
Bahan Cat
Pupuk
Bahan Bakar
Particle Board Furniture KertasKoran
Makanan Ternak KertasTulisCetak
Pulp Selulosa Kertas Security Paper
Furfural
Polimer
Pelarut
Furfural Alkohol Bahan Penolong
Industri Logam
Falyor
Pucuk Daun Makanan Ternak
Gula Bahan Makanan
Tebu Nira
Ampas
Makanan dan
Minuman
Molasse
Blotong

Gambar 5 : Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula

Proses pembuatan gula berbahan baku tebu akan menghasilkan produk utama berupa gula,
serta produk samping berupa tetes (molasse), blotong (mud), ampas tebu (bagasse).

a. Gula (sucrose)
Sebagai produk utama dari pengolahan tebu, pemanfaatan gula di Indonesia masih
difokuskan untuk keperluan pangan, baik dikonsumsi secara langsung maupun diolah lebih lanjut
menjadi gula rafinasi. Saat ini, nilai rendemen yang dicapai oleh pabrik gula sangat bervariasi,
yaitu sekitar 7-9% untuk pabrik gula yang dikelola BUMN, dan sekitar 9-11% untuk pabrik gula
yang dikelola swasta.
b. Tetes (molasses)
Tetes merupakan produk samping dari proses pemisahan sirup low grade dan massecuite
(masakan). Tetes tidak layak untuk dikonsumsi langsung karena di dalam tetes terdapat banyak
kotoran-kotoran non gula yang dapat membahayakan kesehatan.
Tebu
Air Imbibisi
Ekstraksi
(St Penggilingan)
Ampas
(bagasse )
Bahan Kimia
Klarifikasi
(St Pemurnian)
Blotong
(press cake )
Uap
Evaporasi
(St Penguapan)
Air kondensat
Uap
Kristalisasi
(St Masakan)
Air kondensat
Sentrifugasi
(St Puteran)
Tetes
(molasse )
Gula
Nira Mentah
Nira Encer
Nira Kental
Masse Cuite
Produksi tetes Indonesia sebesar 1,4 juta ton pada tahun 2007, dengan rincian : 0,6 juta ton
untuk bahan baku etanol, 0,6 juta ton untuk bahan baku MSG dan pakan ternak, dan sisanya 0,2
juta ton diekspor (Aprobi, 2008).

c. Ampas (bagasse)
Ampas merupakan hasil samping dari proses ekstraksi tebu, dengan komposisi : 46-52%
air, 43-52% sabut dan 2-6% padatan terlarut. Departemen Pertanian melaporkan bahwa produksi
tebu nasional saat ini adalah 33 juta ton/tahun (Dirjenbun, 2008). Dengan asumsi bahwa
persentase ampas dalam tebu sekitar 30-34%, maka pabrik gula yang ada di Indonesia berpotensi
menghasilkan ampas tebu rata-rata sekitar 9,90-11,22 juta ton/tahun.
Saat ini, pemanfaatan ampas yang paling utama adalah bahan bakar boiler di pabrik gula, di
samping sebagai bahan baku partikel board, pulp, dan bahan-bahan kimia seperti furfural, xylitol,
dan plastik.

d. Blotong (filter mud)
Blotong merupakan hasil samping dari proses pemurnian nira, berupa padatan yang
mengandung sekitar 2-3% gula. Sampai saat ini, pemanfaatan blotong masih terbatas sebagai
pupuk.

e. Pucuk Tebu (top cane)
Pucuk tebu merupakan sisa hasil panen banyak digunakan sebagai pakan ternak baik dalam
bentuk segar maupun dalam bentuk awetan (silase).

PROSPEK PEMANFAATAN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOENERGI

Bioetanol merupakan jenis bahan bakar nabati yang digunakan sebagai substitusi bensin.
Senyawa bioetanol terbuat dari tumbuh-tumbuhan, baik berupa bahan bergula, bahan berpati
atau bahan berselulosa. Sebagai substitusi bensin, senyawa etanol dipersyaratkan berupa fuel
grade ethanol (FGE) dengan kadar etanol minimal 99,5%-volume.
Pada umumnya, campuran bahan bakar bensin dan bioetanol dinyatakan dengan E-X,
dimana X menunjukkan persentase bioetanol dalam bahan bakar. Sebagai contoh, E-10
menunjukkan bahwa bahan bakar tersebut terdiri dari 10% FGE dan 90% bensin.

Ketersediaan Bahan Baku
Produk samping dari proses pengolahan gula yang sangat potensial untuk dijadikan bahan
baku etanol adalah tetes (molasse), dikarenakan kandungan gula yang masih sangat tinggi, yaitu
sekitar 30-35%. Di samping tetes, produk samping lain yang dapat dikonversi menjadi etanol
adalah ampas (bagasse), dikarenakan mengandung 37,65% selulosa dan 27,97% hemiselulosa.
Namun, saat ini produksi ampas umumnya terserap habis untuk keperluan bahan bakar boiler,
sehingga ketersediaan ampas untuk keperluan lainnya sangat terbatas.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa pada tahun 2008 produksi tebu nasional sebesar
34,707 juta ton, luas lahan tebu nasional sebesar 405.600 hektar dan produktivitas lahan rata-rata
sebesar 85,57 ton tebu per hektar. Dengan asumsi bahwa kandungan tetes dalam tebu sebesar
4,5%, maka setiap hektar kebun tebu berpotensi menghasilkan tetes sekitar 3,85 ton, atau secara
nasional produksi tetes diperkirakan mencapai sekitar 1,56 juta ton pada tahun 2008.
Dengan asumsi bahwa faktor konversi tetes menjadi etanol adalah 1 : 4, yaitu untuk
menghasilkan 1 liter etanol diperlukan bahan baku sebanyak 4 kg tetes (Aprobi, 2008), maka
produksi tetes nasional sebanyak 1,56 juta ton tetes dapat dikonversi menjadi 0,39 juta kliter
etanol (FGE). Berdasarkan perhitungan-perhitungan di atas, diperoleh bahwa setiap hektar
kebun tebu dapat menghasilkan sekitar 0,96 kliter etanol (FGE). Namun, sekitar 0,6 juta ton
tetes dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri MSG dan pakan ternak (Aprobi, 2008),
sehingga tetes yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar hanya sekitar 0,96 juta ton tetes,
atau setara dengan 0,24 juta kliter etanol (FGE).
Saat ini, terdapat sebanyak 10 pabrik etanol berbahan baku tebu yang beroperasi di
Indonesia, dengan produksi total sebesar 183,2 juta liter per tahun, dengan rincian sebagai
berikut :

Tabel 3 : Produksi Bioetanol Indonesia (2004 2008)
No Nama
Perusahaan
Kapasitas
(juta
liter/tahun)
Lokasi
1
Molindo Raya
Ind 50
Lawang, Jawa
Tengah
2 PTPN XI 7
Jatiroto, Jawa
Tengah
3
Indo
Acidatama 45 Solo, Jawa Tengah
4 Madu Baru 7 Yogyakarta
5 PSA Palimanan 7 Cirebon, Jawa Barat
6 Nabati Saran 3,6 Cirebon, Jawa Barat
7
Indo Lampung
Dist 50 Lampung
8 Permata Sakti 5 Medan, Sumut
9 Molasindo 3,6 Medan, Sumut
10 Basis Indah 5 Makassar
Total 183,2
Sumber : SBRC-IPB. 2009

Di sisi lain, kebutuhan bensin dalam negeri saat ini sekitar 20,44 juta kliter (BPH Migas,
2009). Dalam kondisi saat ini, dimana secara nasional produksi etanol maksimal hanya sebesar
0,24 juta kliter, maka pencapaian target substitusi E-5 memerlukan tambahan produksi etanol
sebesar 0,76 juta kliter. Penambahan produksi etanol dapat diperoleh melalui perluasan lahan
perkebunan tebu kurang lebih 800.000 hektar.
Negara lain yang menggunakan bahan baku tebu sebagai bioetanol adalah Brazil. Negara
tersebut merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia, dengan pangsa produksi melampaui
70% dari produksi etanol dunia. Brazil menggunakan bahan baku berupa tebu (campuran nira
dan tetes). Dengan lahan perkebunan tebu seluas 3,6 juta hektar pada tahun 2006, Brazil telah
memproduksi etanol sebanyak 16,3 milyar liter, sehingga produktivitas yang dicapai oleh Brazil
pada tahun 2006 sekitar 4.500 liter etanol per hektar, sementara produktivitas yang dicapai oleh
USA sekitar 3.000 liter etanol per hektar.
Daftar Pustakabanyak daftar pustaka tidak ada dalam test

Anonymous. 2007. Flora Kita. Yayasan KEHATI dan Perhimpunan Prosea. Diakses tanggal 5 Mei 2009.
http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php

_________. 2008. Informasi Spesies Tebu. Plantamor Situs Dunia Tumbuhan. Diakses tanggal 5 Mei
2009. http://www.plantamor.com/index.php?plant=1100

_________. 2009. Pohon Industri Tebu. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
www.google.com/search/pohon_industri.pdf

BKPM. 2008. Komoditi Investasi. Diakses tanggal 9 April 2009.
http://regionalinvestment.com/sipid/id/commodity.php?ic=5 .

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2009. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia menurut
Pengusahaan. Diakses tanggal 9 April 2009. www.google.com/search/tebu.xls

Kuntohartono, T. dan Thijsse, JP. 2007. Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Indonesia. Diakses tanggal 5
Mei 2009. http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php?docsid=698

Kurniawan, Y, Susmiadi, A. dan Toharisman, A. 2005. Potensi Pengembangan Industri Gula sebagai
Penghasil Energi di Indonesia. Pengembangan Bioetanol. Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI). Diakses tanggal 5 Mei 2009. http://sugarresearch.org/wp-
content/uploads/2008/12/bioenergi.pdf

Kuswurj, R. 2009. Pemanfaatan Produk Hasil Samping Pabrik Gula. Sugar Technology and Resarch.
Diakses tanggal 5 Mei 2009. http://www.risvank.com/pemanfaatan-produk-hasil-samping-pabrik-
gula.html

Sugiyarta, E. 2008. Perkembangan Penataan Terkini Varietas Tebu di Indonesia. Direktorat Pembenihan
dan Sarana Produksi. Forum Komunikasi PBT. Diakses tanggal 5 Mei 2009.
http://pengawasbenihtanaman.blogspot.com/2008/12/perkembangan-terkini-penataan-varietas.html
P3GI, Aprobi, DPH Migas, Buckman ????


FERMENTASI AMPAS TEBU
Proses fermentasi ampas tebu (bagassilo) memiliki prinsip yang sama dengan fermentasi jerami padi.
Ampas tebu memiliki kandungan lignin yang tinggi (+ 19,7%), kandungan protein rendah (+ 2%) dan
Total Digestible Nutrientnya (TDN) rendah (+ 28%) sehingga perlu dilakukan perlakuan khusus dengan
tujuan :
1. Struktur lignin dapat disederhanakan sehingga bermanfaat dan dapat meningkatkan nilai tukar kation
pada pakan
2. Nilai Total Digestible Nutrient (kecernaan) dan kandungan protein dapat meningkat sehingga
memenuhi syarat sebagai pakan ternak ruminansia.
Keunggulan ampas tebu dibanding jerami padi adalah rendahnya kandungan silica.
Proses Fermentasi Ampas Tebu :
1. Ampas Tebu ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada sebuah
wadah dari kayu dengan dinding papan yang tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat
digunakan urea sebanyak 0,6% dari ampas tebu), pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA sebanyak 0,2%
dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi ampas tebu dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan
ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat
digunakan urea sebanyak 0,6% dari berat ampas tebu), pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA sebanyak
0,2% dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan
adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air
tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan
bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 21 hari
7. Setelah 14 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering
sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia

FERMENTASI PUCUK TEBU
Pucuk tebu memiliki proporsi sebesar 23% dari seluruh batang tebu. Proses fermentasi pucuk tebu (cane
top) memiliki prinsip yang sama dengan fermentasi jerami padi dan ampas tebu.
Proses Fermentasi Pucuk Tebu :
1. Pucuk Tebu dipotog-potong dengan panjang 5 7,5 cm lalu ditumpuk dan dipadatkan dengan cara
dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat
digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat pucuk tebu) dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi pucuk tebu dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan
ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat
digunakan urea sebanyak 0,6% dari berat pucuk tebu) dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan
adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air
tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan
bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 hari
7. Setelah 14 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai
stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
http://ekabees.blogspot.com/2010/04/pemanfaatan-hasil-samping-usaha-dan.html

Produksi Bioetanol Generasi II dari Biomassa Tebu
INOVASI TEKNOLOGI PERKEBUNAN Dewasa ini dunia menghadapi
masalah serius penurunan cadangan energi. Keterbatasan bahan bakar minyak (BBM) terjadi
karena bahan baku fosil sudah mulai habis. Akibatnya pemerintah memangkas subsidi BBM dan
melakukan penghematan energi serta berupaya mencari bahan bakar alternatif yang terbarukan
seperti bietanol.
Bioetanol generasi kedua berbahan baku biomassa yang merupakan limbah hasil perkebunan,
pertanian, dan kehutanan. Salah satunya adalah agroindustri tebu yang menyediakan biomassa
berlimpah sebagai produk samping.
Limbah Tebu
Dalam industri pabrik gula, dihasilkan produk sampingan berupa padatan yaitu bagas tebu
sebesar 30-40% dari setiap tebu yang diproses, gula yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya
berupa tetes tebu (molase), blotong, dan air. Di luar limbah pabrik itu, tanaman tebu
menghasilkan limbah berupa daduk, daun klentekan, dan pucuk. Bagas tebu maupun daun
klentekan, tebu merupakan sumber lignoselulosa yang dapat dikonversi menjadi bioetanol secara
enzimatis.
Produksi Bioetanol
Secara garis besar dalam memproduksi bioetanol dari bahan lignoselulosa dibutuhkan enzim
pendegradasi lignoselulosa yaitu enzim selulase, hemiselulase, dan lignase serta berbagai jenis
khamir yang akan mengubah glukosa menjadi etanol. Enzim tersebut dapat diperoleh dari
mikroorganisme yang tersedia berlimpah di alam. Melalui penerapan bioteknologi, dengan
penggunaan mikroba sebagai penghasil enzim, diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan
kimia yang cenderung menambah polusi di bumi. Secara keseluruhan teknologi ini bertujuan
untuk mengurangi biaya produksi etanol dan untuk menghasilkan bioetanol generasi kedua dan
bahan baku biomassa tebu, sehingga dapat meningkatkan daya saing agroindustri tebu dan
menjamin pasokan energi masa depan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk sektor
transportasi.
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/?p=7827

Anda mungkin juga menyukai