“Pimpinan BPK resmi mengumumkan bahwa atas hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan atas 362 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
propinsi/kabupaten/kota terdapat 3 daerah yang baik laporan keuangannya yang berarti
mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yakni Kota Surabaya, Kabupaten
Pontianak, dan Kabupaten Sambas. Ada 284 daerah dengan predikat Wajar Dengan
Pengecualian (WDP), dan 19 daerah berpredikat Tak Wajar, serta 56 daerah laporan
keuangannya memperoleh predikat disclaimer.” (Kedaulatan Rakyat, 15/11/2007)
Pendahuluan
Tahun 2006 ini, BPK mulai melakukan audit keuangan terhadap Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagaimana telah diatur dalam Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara BPK-RI 2007. Atas hasil audit tersebut BPK memberikan
opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan layaknya audit keuangan yang telah
banyak dipraktekan di sektor privat. Harapannya adalah dengan adanya audit keuangan
tersebut, terjadi praktik akuntansi yang sehat, transparansi fiskal, dan tentunya
akuntabilitas dari pengelolaan keuangan di daerah. Dari sini pula, pemerintah dapat
mengawasi implementasi desentralisasi di setiap daerah khususnya yang terkait dengan
pengelolaan fiskal daerah.
Namun, saat ini, pada titik awal dimulainya audit keuangan atas LKPD ini,
apakah LKPD hasil auditan akan memberikan kebermanfaatan yang tinggi dan akan
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan layaknya informasi akuntansi yang
disajikan dalam laporan keuangan pada umumnya? Di sisi lain, pemerintah tidak bisa
menafikkan lemahnya teori dan praktik akuntani pemerintahan dan juga adanya masalah
rendahnya pemahaman SDM pemerintahan terhadap teori maupun praktik akuntansi itu
sendiri.
Tataran Idealita
Pertama, kita harus mengingat kembali apa sebanarnya tujuan dari penerbitan
laporan keuangan oleh suatu entitas. Laporan keuangan diterbitkan untuk meberikan
informasi yang bermanfaat sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan terutama keputusan yang bersifat ekonomik.
Selain itu, dengan adanya laporan keuangan yang telah disajikan secara wajar
akan memberi informasi mengenai efesiensi, efektifitas, dan ekonomi operasional suatu
entitas dan dapat menjadi dasar untuk alokasi sumber daya ekonomik. Laporan keuangan
tersebut juga dapat memberi informasi adanya tindakan penyelewengan dan tindak
kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara.
Tataran Realita
Namun, rupanya realita tak seindah idealita. Dengan kondisi yang ada di
pemerintahan daerah, kebermanfaatan laporan keuangan hasil auditan BPK berpotensi
besar tidak akan terasa atau bahkan laporan tersebut tidak akan digunakan sebagai basis
pengambilan keputusan.
Ada beberapa tataran aspek yang dapat menyebabkan tidak bermanfaatnya LKPD
hasil auditan BPK. Aspek tersebut meliputi tataran teori, konsep, dan manusia. Dalam
tataran teori, akuntansi pemerintahan belum menemukan bentuknya. Pemerintah belum
menyadari berbagai konsep dasa yang harusnya digunakan dalam akuntansi
pemerintahann. Akuntansi pemerintahan seharusnya berangkat dari teori entitas dana
yang diimplementasikan dalam lingkup akuntansi dana. Namun, dilihat dalam praktik,
peraturan, dan pemahaman personil akuntansi di sektor pemerintahan terbukti bahwa
mereka terjebak dalam pemahaman akuntansi keungan yang telah banyak diterapkan di
sektor swasta. Padahal akan berebeda secara teori maupun praktik antara pemerintahan
dengan swasta yang berangkat dari teori entitas kepemilikan sebagai dasar asas
keberlanjutan usaha. Kerancuan ini diinikasikan oleh adanya usulan untuk menngunakan
asas akrual secara utuh dalam pelaporan keuangan sekotr pemerintah. Padahal dalam
konteks akuntansi dana, asas yang tepat digunakan adalah asas akrual modifikasian
Dalam tataran konsep, sebagai konsekuensi dari tidak matangnya teori akuntansi
pemerintahan, Standar Akuntansi Pemerintahan terkandung bias. SAP sendiri pada
dasarnya juga belum matang dan pemerintah mengakui hal tersebut. Dalam tataran
manusia, kualitas SDM yang rendah terkait pemahaman dan penerapan akuntansi
pemerintahan menyebabkan penyusunan laporan keuangan akuntansi jauh dari
terpenuhinya karateristik kualitas informasi akuntansi. Selama ini, pemerintah daerah
hanya menyusun realisasi anggaran tanpa memahami berbagai konsep dasar yang
melandasai pencacatan tersebut. Dengan demikian, konsekuensi logisnya dalam tahun
pertama penyusunan laporan keuangan ini, pemerintah daerah masih kekurangan SDM
yang memahami akuntansi khususnya akuntansi pemerintahan dalam penyusunan laporan
keuangannya.
Konsekuensi dari semua itu adalah penilaian BPK atas laporan keuangan daerah
pun mengandung bias. Menurut SPKN BPK-RI 2007, bahwa penilian kewajaran laporan
keuangan adalah atas Prisnisp Akuntansi Berterima Umum. PABU ini seahrusnya
merupakan rerangka konseptual yang terdiri dari standar akuntansi, berabagai peraturan
perundangan, dan praktik akuntansi yang sehat. Namun, tidak pernah ada ketentuan yang
jelas sendiri mengenai PABU. Selain itu, dalam SPKN tidak dijelaskan menegnai
karateristik PABU sebagai dasar penilian kewajaran apakah PABU dalam konteks
pemerintahan yang tentunya akan banyak berebeda dengan PABU yang selama ini
dipahami. Akibatnya, penilaian kewajaran BPK atas LKPD tidak lebih merupakan
formalitas yang hampa tanpa memberikan konstirbusi nyata terhadap berabagi keputusan
fiskal yang seharusnya diambil berdasarkan LKPD tersebut.
Selain itu, dalam tataran praktik, rendahnya dan seidikitnya aparat pemerintah
yang mengerti menegnai akuntansi menyebabkan tidak dipenuhinya kualitas informasi
akuntansi dalam hal understandibility atau keterpahamian. Para pemakai laporan
keuangan meskipun sudah diaudit dan diberikan opini terhadapnya, namun hanya sedikit
pihak yang mampu memahaminya. Hal ini, pada akhirnya, akan berdampak pada tidak
digunakannya informasi-informasi tersebut termasuk sebagai dasar pengambilan
keputusan. Tidak digunakannya laporan keuangan berarti laporan tersebut tidak
mengendung kebermanfaatan.
Dengan demikian, usaha BPK dalam tahap ini untuk melakukan audit keuangan
dan memberikan opini atas LKPD adalah hal yang sia-sia dan dipaksakan
pelaksanaannya. Pertanyaannya? Mengapa BPK bersikeras memberikan opini tersebut?
Apakah ini usaha BPK untuk mempertahankan eksitensinya?
Melihat peranan BPK yang sia-sia tersebut, adakah baiknya BPK dibubarkan
saja? Tentu tidak, karena meskipun dalam lingkup akuntansi opini BPK atas laporan
keuangan tidak memberi pengaruh signifikan atas nilai laporan keuangan tersebut, nmaun
proses pemeriksaan dalam mekanisme audit yang dilakukan oleh BPK memberi manfaat
sendiri. Manfaat tersebut antara lain adalah ditemukannya berabagi ketidakefisienan
pelaksanaan anggaran, pengelolaan keuangan negara, dan adanya praktik korupsi dapat
sedikit banyak terungkap disini.
Namun, bicara dalam lingkup akuntansi, akan sangat disayangkan bila peran BPK
hanya terbatas pada hal tersebut. Bila peranan laporan keuangan hasil auditan BPK hanya
terhenti sampai disitu maka penilaian kewajaran laporan keuangan tidak perlu dilakukan
oleh BPK.
Melihat posisi BPK yang cukup strategis, sebenarnya BPK adalah organisasi yang
melihat secara langsung bagaaimana praktik yang sedang berlangsung dan perkembangan
penerapan akuntansi di sektor pemerintahan. Oleh karena itu, demi perkembangan
akuntansi di sektor pemerintahan dan demi menguatnya eksitensi BPK sebagai badan
pemeriksa sekaligus mengaudit keuangan negara, BPK dapat berperan lebih tidak
terbatas pada pemeriksa saja.
Dengan LKPD yang demikian itu, maka BPK dapat memberikan opini yang
memang tepat dan tidak bias, dan lapora hasil auditnya dapat menambha keyakinan para
pemakai laporan keuangan. Dari sini eksistensi BPK akan semakin mantap dan tidak
hanya melakukan pekerjaan yang sia-sia.
Theory is a torch that cats upon practice the illumination of principles (Allan W.
Wright, 1984)
Behind every pratice is a rationale…..Good practice is based on good theory wheter we
are aware of the theory or not. If we can formulate “good” theory, then we will have
“good” practice if the theory is followed. (Vernon Kam, 1990)
Ashiq Ali
University of Texas at Dallas - School of Management
Lee-Seok Hwang
Seoul National University - College of Business Administration
July 1999
Abstract:
Using financial accounting data from manufacturing firms in 16 countries for 1986-1995, we
demonstrate that the value relevance of financial reports is lower for countries where the financial
systems are bank-oriented rather than market-oriented; where private sector bodies are not
involved in standard setting process; where accounting practices follow the Continental model as
opposed to the British-American model; where tax rules have a greater influence on financial
accounting measurements; and where spending on auditing services is relatively low. Results are
robust to alternative measures of value relevance of financial accounting data, including
measures based on earnings (using a regression and a hedge-portfolio approach), accruals, and
earnings and book value of equity combined. We show that the extent to which earnings
information is reflected in leading-period returns as compared to contemporaneous returns is
greater for bank-oriented than for market-oriented countries. This feature potentially induces
spurious associations between value relevance measures and financial system characteristics.
Our results are robust to using value relevance measures adjusted for this confounding effect.