Anda di halaman 1dari 3

Sesuai UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggungjawab

Keuangan Negara, bahwa opini merupakan pernyataan profesional keuangan yang disajikan
dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria yaitu kesesuaian dengan SAP,
kepatuhan terhadap peraturan perundangan, efektivitas sistem pengendalian internal dan
kecukupan pengungkapan (adequate disclosures).
Pertama, BPK harus memastikan pencatatan angka-angka antara lain pendapatan, belanja,
pembiayaan, aset, hutang dan ekuitas dalam laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kesesuaian
dimaksud termasuk definisi, pengakuan dan pengukuran nilai rupiah suatu transaksi.
Kedua, dari sisi kepatuhan terhadap ketentuan perundangan, BPK harus melakukan
pemeriksaaan terhadap pelaksanaan anggaran dan pengelolaan aset dengan melihat
kesesuaiannya terhadap ketentuan perundangan. Misalnya, pengadaan barang jasa harus
dipastikan sesuai dengan ketentuan yang mengatur pengadaan barang jasa, pelaksanaan
perjalanan dinas pegawai harus sesuai dengan ketentuan perjalanan dinas termasuk besaran
rupiahnya.
Ketiga, terkait dengan Sistem Pengendalian Intern (SPI), BPK harus memeriksa efektivitas
sistem pengendalian intern dalam pengelolaan keuangan/aset. SPI bertujuan untuk memberikan
keyakinan yang memadai atas tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian penyelenggaraan
pemerintahan, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset dan ketaatan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, SPI yang efektif selayaknya akan memastikan
tercapainya program pembangunan dengan baik dan mencegah fraud atau korupsi.
Keempat, untuk menjaga transparansi pengelolaan keuangan, BPK juga harus memastikan
seluruh informasi penting yang terkait dengan pengelolaan keuangan telah diungkapkan dalam
catatan atas laporan keuangan. Transparansi tersebut sangat penting agar pengguna laporan
keuangan memahami secara utuh laporan keuangan.
Di samping 4 (empat) kriteria di atas, dalam melakukan pemeriksaannya, BPK berpedoman pada
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). SPKN tersebut berisikan antara lain prinsip-
prinsip pemeriksaan keuangan negara, Standar Umum Pemeriksaaan, Standar Pelaksanaan
Pemeriksaan dan Standar Pelaporan Pemeriksaaan. Artinya, secara profesi, pemberian opini BPK
dilakukan sesuai due proses yang berlaku umum dan dilakukan secara profesional.
Setiap tahun BPK memeriksa laporan keuangan entitas pemerintah dengan tujuan memberi opini
atas kewajaran laporan keuangan. Menurut standar audit, ada empat jenis opini sesuai tingkat
kewajarannya, yaitu: wajar tanpa pengecualian (WTP), wajar dengan pengecualian (WDP), tidak
wajar (TW), dan tidak memberikan pendapat (TMP).

Agar laporan keuangan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka harus
disusun sesuai standar akuntansi. Opini WTP diberikan jika dalam segala hal yang material,
laporan keuangan sudah sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Sedang WDP jika ada
ketidaksesuaian material satu atau beberapa pos laporan keuangan namun tidak mempengaruhi
kewajarannya secara keseluruhan.

Sementara, TW jika laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang sangat
material atau sangat menyesatkan sehingga tak menyajikan secara wajar. TMP atau disclaimer
jika auditor dibatasi geraknya, tak bisa mengumpulkan bukti audit secara sangat material
sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan.

Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri.
Umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tak mungkin memeriksa seluruh
transaksi, apalagi di perusahaan besar atau entitas pemerintah yang memakai anggaran besar.
Butuh biaya besar dan waktu lama memeriksa secara populasi. Manfaat informasi dalam laporan
keuangan juga sia-sia (basi) jika pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera
untuk pengambilan keputusan.
Penggunaan sampling merupakan praktik lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar
pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko, ada salah saji
material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisa risiko dan metoda sampling yang tepat,
maka risiko tersebut dapat dikurangi.

Masyarakat sering bertanya, mengapa pada kementerian tertentu terjadi korupsi padahal laporan
keuangannya memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Demikian pula,
opini WTP dari BPK sering dijadikan tameng oleh pihak tertentu yang menyatakan bahwa di
kementerian atau lembaganya tidak mungkin ada korupsi karena BPK memberikan opini WTP
atas laporan keuangannya.

Diketahui bahwa dasar pertimbangan utama opini yang diberikan BPK terhadap laporan
keuangan suatu instansi pemerintah adalah kewajaran penyajian pos-pos laporan keuangan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Kewajaran disini bukan berarti kebenaran
atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak mendasarkan kepada apakah pada entitas
tertentu terdapat korupsi atau tidak.

Jika misalnya dalam pemeriksaan ditemukan proses pengadaan barang atau jasa yang
menyimpang dari ketentuan, namun secara keuangan sudah dilaporkan sesuai dengan SAP, maka
laporan keuangan bisa memperoleh opini WTP.

Misalnya suatu instansi membeli mobil seharga Rp10 miliar. Seharusnya sesuai aturan, proses
pengadaannya harus dilaksanakan secara tender, namun entitas tersebut melakukan penunjukan
langsung. Jelas ini menyalahi aturan. Dalam laporan keuangan, entitas melaporkan pembelian
mobil tersebut senilai Rp10 miliar, kemudian mencatat mobil tersebut dalam pos aktiva tetap.
Penyajian laporan keuangan oleh entitas atas pembelian mobil tersebut sudah sesuai dengan SAP
meskipun proses pengadaannya tidak sesuai dengan aturan.

Untuk menilai apakah pembelian mobil tersebut sudah ekonomis, efisien, dan efektif, BPK bisa
melakukan pemeriksaan kinerja. Jika dari pemeriksaan keuangan BPK sudah melihat ada
indikasi penyimpangan terhadap aturan, BPK juga bisa melakukan pemeriksaan investigatif
untuk menilai apakah ada korupsi disitu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa opini WTP tidak menjamin bahwa pada entitas
yang bersangkutan tidak ada korupsi. Karena pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan
secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi. Namun demikian, BPK wajib mengungkapkan
apabila menemukan ketidakpatuhan atau ketidakpatutan baik yang berpengaruh atau tidak
berpengaruh terhadap opini atas laporan keuangan.

Pemerintah pada 2003 mereformasi anggaran untuk mengatasi korupsi dengan


memperkuat peran BPK dan membentuk KPK, tapi faktanya kelompok lembaga yang lebih
banyak mendapat predikat terbaik WTP dari BPK, kasus korupsinya jauh lebih banyak daripada
yang sedikit mendapat WTP. KPK dianggap penyebab tidak mengalirnya dana pembangunan
daerah, karena takutnya kepala daerah tersangkut perkara korupsi, padahal kebijakan anggaran
ditujukan untuk mendukung pembangunan. Fakta ini merupakan anomali, mengindikasikan
putusnya formulasi dan implementasi dengan tujuan kebijakan.

Modifikasi model evaluasi kebijakan CIPP (Context, Input, Process, Product) diterapkan
untuk solusi masalah diatas. Unsur C (context) disini adalah perlunya penelitian untuk
meniadakan kesenjangan antara formulasi dan implementasi dengan tujuan kebijakan
meniadakan korupsi, sedang unsur IPP digabung dalam satu kesatuan model yang dinamakan
sebagai PCE (policy control engine), dengan I (input) adalah sistem terapan teknik simulasi LSS
(logic simulation system). Terapan PCE dalam evaluasi kebijakan ketenagakerjaan di perusahaan
menemukan 52% implementasi beresiko perselisihan yang membutuhkan mekanisme kendali
proses guna mengantisipasinya.

Pembelajaran praktis LSS membuatnya mampu dibangun langsung oleh


penanggungjawab proses sehingga sistem dibangun dari dalam (built in), menjamin manfaat
implementasi. Sebagai pusat analisa data, SNS mendeteksi langsung proses kerja LSS, dimana
penyimpangan proses terdeteksi saat proses dijalankan. Untuk mengunci kesalahan, data LSS
berasal dari dua sumber, unsur eksternal yang dilayani dan internal yang melayani, dengan audit
sampling sebagai penyempurna validasi. Secara praktis PCE menjamin korupsi diatasi sejak awal
mulainya proses korupsi, sehingga pencegahan menjadi suatu keniscayaan. PCE memperkuat
fungsi dan peran KPK mendukung lembaga pengguna anggaran memastikan tercapainya
pemberantasan korupsi. Secara teoritis PCE fokus pada pertumbuhan berkesinambungan
sehingga berbeda dengan TQM yang fokus pada perbaikan berkesinambungan. Ciri khasnya
mendahulukan efektifitas daripada efisiensi, sehingga progresif mengadaptasi perubahan global.
Untuk itu terapan PCE harus diikuti perubahan budaya dan perubahan sikap mental seluruh
karyawan.

Tanpa mekanisme kendali menyeluruh yang dibangun bersamaan dengan perubahan


budaya kerja dan sikap mental, adalah mustahil untuk menjamin terintegrasinya formulasi dan
implementasi dengan tujuan kebijakan keuangan negara secara berkesinambungan.

Kutipan :

OPINI WTP TIDAK MENJAMIN TIDAK ADA KORUPSI, https://www.bpk.go.id/news/opini-


wtp-tidak-menjamin-tidak-ada-korupsi (diakses pada 7 Mei 2023)

OPINI WTP DAN KORUPSI, https://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi (diakses pada


7 Mei 2023}

“Anomali Kebijakan Keuangan Negara dan Solusinya Melalui Perubahan Budaya Kerja di
Lembaga Pengguna Anggran” (Zukra Budi Utama,2018:137)

Anda mungkin juga menyukai