Anda di halaman 1dari 50

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN SISTEM PENGENDALIAN

INTERNAL PEMERINTAH (SPIP) SESUAI COSO INTERNAL CONTROL-


FRAMEWORK TERHADAP AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN
DAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN NIAS SELATAN

PROPOSAL

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Auditing


Dosen: Dr. Payamta, M.Si., Ak., CPA

Disusun Oleh:
Fandi Galang Wicaksana
NIM. S431708017

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pencapaian efektivitas dan efisiensi tujuan penyelenggaraan
pemerintah negara dalam konteks pengelolaam Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) perlu adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
sebagai bentuk keyakinan yang memadai (reasonable assurance) sehingga
mampu menciptakan kualitas pelaporan keuangan, pengamanan aset negara
agar terhindar dari segala bentuk fraud dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar, tujuan akhir dari sistem
pengendalian intern adalah untuk mencapai efektivitas, efisiensi, transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara (Noor, 2014). Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP menyebutkan bahwa Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah adalah sistem pengendalian intern yang
diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dimana tata pelaksanaannya mewajibkan menteri/pimpinan
lembaga, gubernur dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian
terhadap penyelenggaraan kegiatan pemerintahannya.
SPIP sendiri diadopsi dari sebuah konsep yang mencoba menghubungkan
terjadinya sebuah perubahan secara bertahap terhadap sistem pengendalian
intern. Dalam beberapa kurun waktu tertentu konsep ini telah disempurnakan
berdasarkan pengalaman selama menjalankan dan mempelajari sistem
pengendalian intern. SPIP mencoba beralih fungsi yang semula hanya berbasis
accounting control dan administrative control namun kemudian dapat
dipadukan dengan unsur lingkungan pengendalian (control environment).
Faktor penunjang keberhasilan SPIP terletak pada aspek manusia yang
merupakan soft control dalam unsur Lingkungan Pengendalian. Pentingnya
Lingkungan Pengendalian terhadap penerapan SPIP di Pemerintah Daerah
pernah dikemukakan oleh Ibnu (2009) yang menyatakan bahwa efektivitas
SPIP sangat ditentukan oleh Lingkungan Pengendalian yang merupakan
manifestasi kepemimpinan. Sementara itu Yudi (2010) menyatakan bahwa
Lingkungan Pengendalian dimana keteladanan pimpinan, moral, etika,
kejujuran, dan integritas menjadi prasyarat kokohnya SPIP. Meskipun
demikian, SPIP masih tetap mengaitkan tanggung jawab audit dengan laporan
keuangan.
Konsep SPIP diadopsi dari sebuah grup studi: The Committee of
Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO), berdasarkan
publikasi laporan Internal ControlIntegrated Framework (September 1992).
Menurut COSO, pengendalian manajemen terdiri dari lima komponen utama
yang saling berkaitan. Komponen tersebut bersumber dari cara manajemen
(pimpinan) menyelenggarakan tugasnya. Prinsipnya apabila kinerja pimpinan
organisasi baik, maka seluruh komponen utama tersebut akan menyatu (built
in) dan saling menjalin (permeatted) di dalam proses manajemen. Oleh COSO,
lima komponen sistem pengendalian intern dirumuskan sebagai: lingkungan
pengendalian (control environment); penilaian resiko (risk assessment);
aktivitas pengendalian (control activities); informasi dan komunikasi
(information and communication); serta pemantauan (monitoring). Dengan
perpaduan kelima komponen tersebut dengan membentuk suatu skema
pengendalian, maka sistem pengendalian intern diartikan sebagai rangkaian
kegiatan, prosedur, proses, dan aspek lain yang berkaitan dengan pencapaian
tujuan penciptaan pengendalian intern.
Terbitnya SPIP juga didorong oleh gejolak reformasi di bidang keuangan
negara yang membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan pemerintah
melalui pembenahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penyiapan
infrastruktur sistem keuangan baik berupa hardware maupun software dan
penyiapan sumberdaya manusia termasuk penataan struktur tata organisasi
pemerintahan. Dari aspek kebijakan dan peraturan perundang-undangan,
reformasi pengelolaan keuangan negara telah melahirkan paket perundang-
undangan keuangan negara yang baru, diantaranya adalah : Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara. Dalam paket peraturan perundang-undangan keuangan
negara dilakukan perubahan fundamental dengan memasukkan kerangka ilmu
manajemen kinerja dan ilmu akuntansi keuangan. Dengan perubahan tersebut
maka entitas pelaporan melakukan pengelolaan keuangannya harus
berdasarkan pada perencanaan kinerja (performance planning) yang sudah
disusun dengan sebaik-baiknya, anggaran kinerja (performance budget) yang
merupakan penjabaran dari perencanaan kinerja dan disetiap periode entitas
pemerintahan harus menyajikan laporan kinerja (performance report) dan
laporan keuangan (financial statement).
Berkaitan dengan penyajian laporan keuangan, berdasarkan pada PP 71
tahun 2010 (Lampiran 1 , pada PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
berbasis Akrual) setiap instansi pemerintahan harus menjalankan sistem
akuntansi agar dapat menyajikan Laporan keuangan yang terdiri dari : Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
(LPSAL), Neraca, Laporan keuangan negara yang lebih akuntabel dan
transparan. Berubahnya sistem pengelolaan keuangan negara tidak hanya
dalam hal penerapan penganggaran namun juga dalam sistem pencatatan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan atas akuntabilitas keuangan negara.
Reformasi pengelolaan keuangan negara terus dilakukan Operasional (LO),
Laporan Arus Kas (LAK), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), Catatan Atas
Laporan Keuangan (CaLK).
Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD)
menjadi salah satu fokus penelitian karena salah satu tugasnya adalah
menyusun dan membuat perencanaan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah. Dalam menyusun/membuat laporan pertanggungjawaban
keuangan daerah tersebut menggunakan dokumen-dokumen berupa laporan
keuangan SKPD, sehingga akan tergambar sejauhmana tingkat penerapan SPIP
di seluruh SKPD pada Kabupaten Nias Selatan. Jika laporan
pertanggungjawabannya sesuai standar dan karakteristik kualitatif laporan
keuangan, dengan opini BPK WDP/WTP maka dapat diasumsikan bahwa SPIP
telah berjalan dengan optimal.
Ada 2 hal yang digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat
penerapan SPIP di masing-masing SKPD berdasarkan laporan keuangan yang
telah diaudit BPK, yakni :
1) Seberapa besar penyerapan anggaran,
Tingkat penyerapan anggaran tergambar dari tingkat penyelesaian
program/kegiatan Pemda sesuai Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)
dan Skedul Anggaran kas masing-masing SKPD. Apabila penyerapan
anggaran rendah, jelas menunjukkan bahwa kegiatan tidak efektif, kalau
kegiatan tidak efektif berarti SPIP belum berjalan optimal, namun jika
penyerapan anggaran tinggi namun tidak akuntabel menunjukkan bukti
bahwa kegiatannya tidak dilakukan secara efisien ini juga menggambarkna
bahwa penerapan SPIP belum optimal pula.
2) Kualitas laporan dan opini BPK Terlihat melalui 4 Opini BPK yakni:
a. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Menyatakan bahwa laporan keuangan
telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang
material dan informasi keuangan dalam keuangan dapat digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan.
b. Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP DPP),
Menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan
secara wajar dalam hal yang material dikecualikan dengan adanya
pemenuhan koreksi material sehingga informasi keuangan dalam
keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
c. Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Menyatakan bahwa laporan
keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal
yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan
yang dikecualikan sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan
yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa dapat digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan.
d. Tidak Wajar (TW) Menyatkan bahwa laporan keuangan tidak disajikan
dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga
informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan.
e. Pernyataan menolak memberikan opini / tidak memberikan pendapat
(TMP)/ desclaimer of opinion : Menyatakan bahwa laporan keuangan
tidak dapat diperiksa sesuai standar pemeriksaan, dengan kata lain
pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan
bebas dari salah saji material, sehingga informasi keuangan dalam
laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan
keuangan.

Berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003


tentang Keuangan Negara, BPK RI bertugas salah satunya untuk memeriksa
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang terdiri dari Neraca,
Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan. Selanjutnya sesuai Pasal 17 ayat (2)Undang Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut disampaikan oleh BPK RI kepada
DPRD selambat–lambatnya dua bulan setelah menerima laporan keuangan dari
pemerintah daerah. Berikut adalah tabel Opini yang diberikan oleh BPK RI
Perwakilan Sumatera Utara atas Hasil Pemeriksaan terhadap Laporan
Keuangan atas 1 Pemprov, 25 Kabupaten dan 8 Kota di Provinsi Sumatera
Utara.
Tabel 1. Opini BPK terhadap LKPD seluruh Kabupaten/Kota pada Propinsi
Sumatera Utara Tahun 2012-2016.
Entitas Pemerintah Opini BPK Terhadap LKPD
No
Daerah 2012 2013 2014 2015 2016
1 Prov. Sumatera Utara WDP WDP WTP DPP WTP WTP
2 Kab. Asahan WDP WDP WTP DPP WDP WDP
3 Kab. Batubara WDP WDP TMP WDP WDP
4 Kab. Dairi WDP WDP WTP WTP WTP
5 Kab. Deli Serdang TW TMP WDP TMP WDP
6 Kab. Humbang Hasundutan WTP DPP WTP WTP WDP WTP
7 Kab. Karo WDP WDP WDP WDP TMP
8 Kab. Labuhanbatu WDP WDP WTP WDP WDP
9 Kab. Labuhanbatu Selatan WDP WTP WTP DPP WTP WTP
10 Kab. Labuhanbatu Utara WDP WDP WTP WTP WTP
11 Kab. Langkat WDP WDP WDP WDP WDP
12 Kab. Mndailing Natal TMP TMP WDP WDP WDP
13 Kab. Nias TMP WDP WDP WDP WDP
Entitas Pemerintah Opini BPK Terhadap LKPD
No
Daerah 2012 2013 2014 2015 2016
14 Kab. Nias Barat TMP TMP TMP WDP TMP
15 Kab. Nias Selatan TMP TMP TMP TMP TMP
16 Kan. Nias Utara TMP TMP WDP WDP WDP
17 Kab. Padang Lawas TMP TMP WDP WDP WDP
18 Kab. Padang Lawas Utara WDP WDP WDP WDP WDP
19 Kab. Pakpak Bharat WDP WTP WTP WDP WTP
20 Kab. Samosir WDP WDP WDP TMP WDP
21 Kab. Serdang Bedagai WDP WDP WTP DPP WDP WDP
22 Kab. Simalungun WDP TMP WDP WDP WDP
23 Kab. Tapanuli Selatan WDP WDP WTP WTP WTP
24 Kab. Tapanuli Tengah WDP WDP WDP WDP WDP
25 Kab. Tapanulis Utara WDP WDP WTP DPP WTP WTP
26 Kab. Toba Samosir WDP WDP WDP WDP WTP
27 Kota Binjai WDP WDP WTP DPP WTP WTP
28 Kota Gunung Sitoli WDP WDP WDP WDP WDP
29 Kota Medan WTP DPP WTP DPP WTP DPP WDP WDP
30 Kota Padangsidimpuan WDP WDP WDP WDP WDP
31 Kota Pematangsiantar WDP WDP WTP WDP WTP
32 Kota Sibolga WDP WDP WTP TMP TMP
33 Kota Tanjungbalai TMP TMP WDP WDP WDP
34 Kota Tebing Tinggi TMP WDP WTP WDP WTP
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksanaan Semester (IHPS) I Tahun 2017
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan No.
66/LHP/XVIII.MDN/07/2017, telah dilakukan hasil pemeriksanaan terhadap
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Nias Selatan dari
tahun 2012 sampai 2016. Dalam pemeriksaan tersebut, BPK memberikan opini
Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer disebabkan karena
terdapat suatu bahwa laporan keuangan pemerintah daerah Nias Selatan tidak
dapat diyakini kewajarannya dalam semua hal yang material sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Hal tersebut disebabkan oleh
pembatasan lingkup pemeriksaan, kelemahan pengelolaan yang material pada
akun aset tetap, kas, piutang, persediaan, investasi permanen dan nonpermanen,
aset lainnya, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.
Dalam kondisi demikian auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan
keuangan.
(Dilansir dalam http://niassatu.com/2015/10/02/bpk-nyatakan-disclaimer-atas-
laporan-keuangan-2014-pemda-nias-selatan-dan-nias-barat/, pada tanggal 19
Desember 2017)
Dalam perencanaan audit, BPK melakukan pertimbangan awal terhadap
materialitas, dalam 2 tingkatan, yaitu (1) Tingkat laporan keuangan, pada
tingkat ini materialitas dihitung sebagai keseluruhan salah saji minimum yang
dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini
disebabkan karena laporan keuanganpada dasarnya adalah saling terkait satu
sama lain dan sama halnya dengan prosedur audityang dapat berkaitan dengaan
lebih dari satu laporan keuangan. (2) Tingkatan Saldo akun, pada tingkat ini,
materialitas merupakan “salah saji terkecil” yang mungkin terdapat dalam
saldo akun yang dipadang material. Auditor idealnya perlu mempertimbangkan
materialitas pada tingkat laporan keuangan. Selain itu para akuntan pemda
dalam proses penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) oleh
standar, diharapkan mampu menggunakan materialitas secara profesional tanpa
mengurangi keandalan dan ketepatwaktuan laporan tersebut.
Di sisi lain, SPI dinyatakan efektif apabila telah memadai dan mampu
mendeteksi adanya kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan,
yaitu kelemahan sistem pengendalian yang terkait kegiatan pencatatan
akuntansi dan pelaporan keuangan. Kelemahan sistem pengendalian
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, yaitu kelemahan pengendalian
yang terkait dengan pemungutan dan penyetoran penerimaan daerah daerah
serta pelaksanaan program/kegiatan pada entitas yang diperiksa. Selain itu,
kelemahan struktur pengendalian intern, yaitu kelemahan yang terkait dengan
ada/tidaknya struktur pengendalian intern atas efektivitas struktur pengendalian
intern yang ada dalam entitas yang diperiksa. Pemberian opini juga didasarkan
pada penilaian kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu hasil pemeriksaan atas laporan keungan berupa laporan keuangan
kepatuhan yang mengungkapkan ketidakpatuhan entitas terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, sehingga terjadi ketidakefektifan,
ketidakefisienan, ketidakhematan, kekurangan penerimaan, penyimpangan
administrasi terhadap penggunaan anggaran daerah yang mengakibatkan
kerugian daerah.

Hal-hal inilah yang masih ditemui pada Sejumlah Entitas atau SKPD
pada Kabupaten Nias Selatan yang berdampak terhadap Pernyataan Tidak
Memberikan Pendapat atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah oleh BPK,
yang sangat membutuhkan perhatian serius untuk ditindak lanjuti demi
perubahan kearah perbaikan. Dapat terlihat pada tabel 2, sejumlah penyebab
opini Desklaimer tersebut.
Tabel 2. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemda Nias Selatan

TAHU PENYEBAB
OPINI JUMLAH
N SPI KEPATUHAN
1 2 3 4 5
2012 DISCLAIMER 28 23 51
2013 DISCLAIMER 27 21 48
2014 DISCLAIMER 16 27 43
2015 DISCLAIMER 16 23 39
2016 DISCLAIMER 9 15 24
Sumber: BKK-RI Perwakilan Sumatera Utara
Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah ditujukan untuk
memberikan opini atas kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan kesesuaian Laporan Keuangan dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan, kecukupan pengungkapan, efektivitas sistem
pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Opini yang diberikan oleh BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) dari TA 2012 sampai 2016 pada Kabupaten Nias Selatan adalah Tidak
Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion) dengan 9 (tujuh) hal yang
menjadi pertimbangan yang telah dijelaskan di atas yakni permasalahan terkait
akun aset tetap, kas, piutang, persediaan, investasi permanen dan nonpermanen
dana bergulir, aset lainnya, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta
belanja modal, permasalahan terkait Aset Tetap, terdapat penggunaan langsung
pendapatan dari Program Jamkesmas dan Jampersal pada Dinas Kesehatan,
terdapat kelebihan pembayaran Belanja Perjalanan Dinas pada Bagian Umum
Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD, terdapat Belanja Sewa Sarana
Mobilitas Udara pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika berupa
perjanjian kerja sama dengan PT TAM berindikasi merugikan keuangan
negara/daerah serta permasalahan pemutusan kontrak pada Badan Lingkungan
Hidup tanpa disertai pengembalian uang muka dan pencairan jaminan
pelaksanaan. Jika dibandingkan dengan TA 2013, terdapat 8 (delapan) hal yang
mengakibatkan BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan, sehingga
ruang lingkup pemeriksaan BPK tidak cukup untuk memungkinkan
menyatakan opini atas Laporan Keuangan TA 2013 sebagai berikut:
Tabel 3. Temuan BPK - RI atas LKPD kab. Nias Selatan TA. 2012-2016

No Hal yang dikecualikan Temuan


1 Kas di Bendahara Sisa Kas di Bendahara Pengeluaran belum
Pengeluaran dilaporkan dan disetorkan ke Kas Daerah
dan tidak diketahui keberadaan fisiknya.
2 Kas Lainnya di Kas Lainnya di Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran tidak
diketahui keberadaan fisiknya
3 Piutang
4 Persediaan Saldo persediaan belum didukung dengan
perhitungan fisik pada akhir tahun dan
pencatatan yang memadai
5 Investasi Permanen dan Investasi Permanen dan Non Permanen
Non Permanen Dana Bergulir belum diinvetarisasi secara
memadai dan belum didukung dengan
dokumen perjanjian dan atas dana bergulir
yang dihapuskan belum didukung dengan
bukti dasar yang valid sebagai dasar
penghapusan
6 Aset Tetap a) aset tetap disajikan tidak berdasarkan
verifikasi, rekonsiliasi, dan inventarisasi
yang memadai.
b) belanja perencanaan dan pengawasan
belum diatribusikan ke tiap Aset Tetap,
dan belum merinci Aset Tetap Peralatan
dan Mesin serta aset tetap lainnya
c) Terdapat 40 bidang tanah Pemerintah
Daerah Nias Selatan seluas 21.047 m2
telah berganti kepemilikannya, dari 40
bukti kepemilikan tersebut 9 diantaranya
tidak berada dalam penguasaan
pemerintah Kabupaten Nias Selatan
7 Aset Lainnya
8 Belanja Pegawai
9 Belanja Barang dan Terdapat kelebihan pembayaran Belanja
Jasa Perjalanan Dinas pada pada dua puluh
empat SKPD dan terdapat Belanja Barang
dan Jasa yang tidak didukung dengan bukti
pertanggungjawaban riil
10 Belanja Modal
Sumber: LKPD Kab. Nias Selatan oleh BPK-RI Perwakilan Sumatera Utara
Dari tabel diatas terlihat bahwa Kualitas Laporan Keuangan dari Pemda
Nias Selatan masih sangat jauh dari yang diharapkan, belum ada perubahan
yang berarti sejak awal penerapan SPIP ini dijalankan hingga tahun 2016.
Berbagai kondisi yang memicu terbitnya Desclaimer of opinion perlu segera
ditindaklanjuti. Kondisi tersebut meliputi antara lain, belum adanya serta
terbatasnya SDM aparatur PKN/D (para Bendahara Penerimaan maupun
Pengeluaran, dan Kasubag anggaran atau Kasubag Keuangan, PTK-SKPD) di
masing-masing SKPD, lemahnya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah serta
berbagai kondisi yang belum mencerminkan pengelolaan keuangan secara
kredibel yang perlu segera dibenahi.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan kerangka Sistem Pengendalian Intern yang baik, ada 5
komponen yang harus ada dan diimplementasikan dengan baik dalam
pelaksanaan SPIP (PP No.60 tahun 2008 dan COSO), yaitu lingkungan
pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan
komunikasi, serta pemantauan atas kegiatan pengendalian. Oleh karena itu,
pertanyaan penelitian yang perlu dianalisis adalah :
1. Bagaimana Penerapan Unsur-Unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
sesuai Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 dan COSO pada SKPD di
Kabupaten Nias Selatan dan pengaruhnya terhadap Akuntabilitas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan?
2. Faktor apa saja yang menjadi penyebab Opini Disclaimer oleh BPK atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupten Nias Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sejauh mana Implementasi PP N0.60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, khususnya di Kabupaten Nias
Selatan dalam menyajikan Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah.
2. Untuk mengetahui Problematika yang dihadapi dalam menyajikan Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah yang berdampak terhadap pemberian Opini
Disclaimer oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori COSO
Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission
(COSO) menerbitkan Internal Control – Integrated Framework tahun 1994
yang mengemukakan bahwa pengendalian intern merupakan pengendalian
kegiatan (operasional) perusahaan yang dilakukan pimpinan perusahaan
untuk mencapai tujuan secara efisien, yang terdiri dari kebijakan-kebijakan
dan prosedur-prosedur yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu dari
operasi perusahaan. Committee of Sponsoring Organizations of the
Treadway Commission (COSO) mengenalkan bahwa terdapat 5 (lima)
komponen kebijakan dan prosedur yang didesain dan diimplementasikan
untuk memberikan jaminan bahwa tujuan pengendalian intern dapat dicapai.
Kelima komponen pengendalian intern tersebut adalah:
a. Lingkungan Pengendalian (Control Environment).
Komponen ini meliputi tindakan, kebijakan dan prosedur yang
menggambarkan: 1) Integritas dan nilai etika; 2) komitmen terhadap
kompetensi; 3). Kebijakan dan praktik sumber daya manusia; 4)
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab; 5) Filosofi manajemen
dan gaya operasi; 6) Dewan direksi dan partisipasi komite audit; 7)
Struktur organisasi. Contoh: code of conduct, pemberian dan pemisahan
fungsi wewenang dan tanggung jawab, job description, dan kebijakan
sumber daya manusia seperti pelatihan dan kompensasi.
b. Penilaian Risiko Manajemen (Management Risk Assessment)
Perusahaan harus mewaspadai dan mengelola risiko yang
dihadapinya. Perusahaan harus menetapkan tujuan, terintegrasi dengan
penjualan, produksi, pemasaran, keuangan dan aktivitas-aktivitas lainnya
sehingga organisasi beroperasi secara harmonis. Perusahaan juga harus
menetapkan mekanisme untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan
mengelola risiko-risiko terkait. Contoh: penggunaan Key Performance
Indicator (KPI), survey kepuasan customer, dan Balance Score Card
(BSC).
c. Sistem Komunikasi dan Informasi Akuntansi (Accounting Information
and Communication System).
Komunikasi informasi tentang operasi pengendalian intern
memberikan substansi yang dapat digunakan oleh manajemen untuk
mengevaluasi efektivitas kontrol dan untuk mengelola operasinya.
Keakuratan dan ketepatan informasi dibutuhkan guna mengambil suatu
keputusan. Selain itu, dengan sistem informasi dan komunikasi
memungkinkan karyawan perusahaan mendapatkan dan menukar
informasi yang diperlukan untuk melaksanakan, mengelola, dan
mengendalikan operasinya. Contoh: staff meeting bulanan, news letter
dari perusahaan, dan process for escalation of issues.
d. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Aktivitas pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang
membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan diambil untuk
menghadapi risikorisiko yang terkait dalam mencapai tujuan satuan
usaha (entitas). Contoh: rekonsiliasi, protek user-ID dan password dan
verifikasi tandatangan atas penarikan cek.
e. Pemantauan (Monitoring).
Keseluruhan proses harus dimonitor, dan dibuat perubahan bila
diperlukan. Dengan cara ini, sistem dapat bereaksi secara dinamis,
berubah seiring dengan perubahan kondisi. Contog: ongoing review of
operations, penilaian kinerja karyawan dan exception reporting.
2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
a. Pengertian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Definisi pengendalian intern menurut Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission (COSO) dalam Buku
Modern Auditing Boynton, Johnson, dan Kell adalah:
“The process effected by an entity’s board of directors,
management, and other personel designed to provide reasonable
assurance regarding the achievement of objectives in the following
categories: (a) operations Controls – relating to the effective and
efficiency use of the entity’s resources; (b) financial reporting
controls – relating to the preparation of reliable published
financial statement; and (c) Compliance control – relating to the
entity’s compliance with applicable laws and regulations.”

“Pengendalian intern adalah suatu proses, yang dilaksanakan oleh


dewan direksi, manajemen, dan personel lainnya dalam suatu
entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang
memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam kategori
berikut: (a) keandalan pelaporan keuangan; (b) kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan yang berlaku; dan (c) efektivitas dan efisiensi
operasi.” Sistem pengendalian intern menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah adalah sebagai berikut: “Sistem pengendalian
Internal adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya
tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien,
keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah, yang kemudian disingkat SPIP
adalah Sistem Pengendalian Intenal yang diselenggarakan secara
menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.”
Sistem Pengendalian Internal merupakan kegiatan pengendalian
terutama atas pengelolaan sistem informasi yang bertujuan untuk
memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. Kegiatan pengendalian
atas pengelolaan informasi meliputi Pengendalian Umum dan
Pengendalian Aplikasi, yang masing- masing akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Pengendalian Umum
Pengendalian ini meliputi pengamanan sistem informasi,
pengendalian atas akses, pengendalian atas pengembangan dan
perubahan perangkat lunak aplikasi, pengendalian atas perangkat
lunak sistem, pemisahan tugas, dan kontinuitas pelayanan.
2) Pengendalian Aplikasi
Pengendalian ini meliputi pengendalian otorisasi, pengendalian
kelengkapan, pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap
keandalan pemrosesan dan file data. Dalam kaitannya dengan
efektivitas penyusunan laporan keuangan maka baik buruknya
implementasi sistem pengendalian internal dapat mempengaruhi
kualitas laporan keuangan pemerintah daerah.
b. Tujuan Pengendalian Intern Pemerintah
Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan
bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan
berpedoman pada SPIP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
ini.
SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan
efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara,
keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan.
Tujuan penyelenggaraan tersebut adalah untuk menentukan apakah
pengendalian telah berjalan seperti yang dirancang dan apakah orang
yang melaksanakan memiliki kewenangan serta kualifikasi yang
diperlukan untuk melaksanakan pengendalian secara efektif, sedangkan
tujuan dibangunnya sistem pengendalian intern menurut Mahmudi
(2010:20) adalah:
1) Untuk melindungi aset (termasuk data) negara.
2) Untuk memelihara catatan secara rinci dan akurat.
3) Untuk menghasilkan informasi keuangan yang akurat, relevan, dan
andal.
4) Untuk menjamin bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku (Standar Akuntansi Pemerintah/SAP)
5) Untuk efisiensi dan efektifitas operasi
6) Untuk menjamin ditaatinya kebijakan manajemen dan peraturan
perundangan yang berlaku.

c. Unsur Pengendalian Intern Pemerintah


Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah terdiri dari unsur-unsur berikut: 1)
Lingkungan pengendalian 2) Penilaian risiko 3) Kegiatan pengendalian
4) Informasi dan komunikasi 5) Pemantauan pengendalian intern
Adapun penjabaran unsur-unsur pengendalian internal sebagai berikut:
1) Lingkungan Pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan
memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku
positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Internal
dalam lingkungan kerjanya. Lingkungan pengendalian terdiri dari:
a) Penegakan integritas dan nilai etika;
b) Komitmen terhadap kompetensi;
c) Kepemimpinan yang kondusif;
d) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang
pembinaan sumber daya manusia;
g) Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang
efektif;
h) Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
2) Penilaian Risiko
Dalam rangka penilaian resiko, pimpinan Instansi Pemeritah
dapat menetapkan tujuan instansi pemerintah dan tujuan pada
tingkatan kegiatan, dengan berpedoman pada peratutan perundang-
undangan. Penilaian resiko terdiri dari:
a) Penetapan tujuan instansi secara keseluruhan;
b) Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan;
c) Identifikasi risiko;
d) Analisis risiko;
e) Mengelola risiko selama perubahan.
3) Kegiatan Pengendalian
Pimpinan Instansi pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan
pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dari sifat dan tugas
dan fungsi yang bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan
pengendalian terdiri dari:
a) Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b) Pembinaan sumber daya manusia;
c) Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d) Pengendalian fisik atas aset;
e) Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f) Pemisahan fungsi;
g) Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h) Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i) Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j) Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k) Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta
transaksi dan kejadian penting.
4) Informasi dan Komunikasi
Pimpinan instansi pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat,
dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang
tepat. Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif.
a) Informasi
b) Komunikasi
c) Bentuk dan sarana komunikasi
5) Pemantauan Pengendalian Intern
Pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan
Sistem Pengendalian Internal melalui:
a) Pemantauan berkelanjutan
b) Evaluasi terpisah
c) Penyelesaian audit

d. Keterbatasan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah


Kehadiran pengendalian intern pemerintah hanya dapat
memberikan keyakinan memadai bagi manajemen atau pimpinan
pemerintah berkaitan dengan pencapaian tujuan pengendalian intern
entitas. Kemungkinan pencapaian tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan
bawaan yang melekat dalam pengendalian intern sangatlah besar.
Keterbatasan sistem pengendalian intern dikemukakan oleh Indra Bastian
(2007:10) sebagai berikut: “Tidak ada sistem pengendalian intern yang
dengan sendirinya dapat menjamin administrasi yang efisien serta
kelengkapan dan akurasi pencatatan. Keterbatasan tersebut disebabkan
oleh:
1) Pengendalian intern yang bergantung pada pemisahan fungsi dapat
dimanipulasi dengan kolusi.
2) Otorisasi dapat diabaikan oleh seseorang yang mempunyai kedudukan
tertentu atau oleh manajemen.
3) Personel keliru dalam memahami perintah sebagai akibat dari
kelalaian, tidak diperhatikan, maupun kelelahan.”

Menurut Agus Riyanto dalam makalahnya yang berjudul “Empat


Tahap Due To:
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah”, mengatakan bahwa:
“Memiliki keterbatasan, efektivitas penerapan sistem pengendalian
intern pada instansi pemerintah tidak akan tercapai apabila terjadi:
1) Kesalahan manusia (human error)
2) Pengabaian oleh pihak manajemen (management overidde)
3) Kolusi (collusion)”

Berdasarkan buku Modern Auditing Boynton, Johnson, dan Kell


yang diterjemahkan oleh Budi (2003:375), keterbatasan yang melekat
(inherent limitations) adalah:
“Berikut yang menjelaskan mengapa pengendalian intern, sebaik
apapun ia dirancang dan dioperasikan, hanya dapat menyediakan
keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan
pengendalian sesuatu entitas, yaitu: (a) kesalahan dalam
pertimbangan; (b) kemacetan; (c) kolusi; (d) penolakan
manajemen; (e) biaya versus manfaat.”

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengendalian


intern tidak dapat menghilangkan semua masalah-masalah yang dihadapi
oleh perusahaan. Pengendalian intern memiliki keterbatasan yang
mendasar, sehingga pengendalian intern hanya berfungsi untuk
mengetahui masalah-masalah dengan cepat dan menekan serendah
mungkin masalah dan kecurangan-kecurangan yang terjadi.

e. Pihak Yang Bertanggung Jawab Atas Pengendalian Internal


Menurut Jalu Aribowo (2009) peran dan tanggung jawab orang-
orang dalam organisasi terhadap SPIP adalah:
1) Manajemen
Dalam hal ini adalah Menteri/Pimpinan, lembaga, Gubernur, dan
bupati/walikota serta jajaran manajemen di lingkungannya. Para
pimpinan inilah yang paling bertanggungjawab menyelenggarakan
SPIP dilingkungan kerjanya. Disamping itu pimpinan memegang
peranan penting dalam penerapan SPIP yang memerlukan keteladanan
dari pimpinan yang mempengaruhi integritas, etika dan faktor lainnya
dari lingkungan pengendalian yang positif.
2) Seluruh pegawai
SPIP dengan berbagai tingkatan, menjadi tanggungjawab semua
pegawai dalam suatu instansi dan seharusnya ada dalam uraian
pekerjaan setiap pegawai. Setiap pegawai menghasilkan informasi
yang digunakan dalam sistem pengendalian intern atau melakukan
tindakan lain yang diperlukan untuk mempengaruhi pengendalian.
Setiap pegawai juga harus bertanggung jawab untuk
mengkomunikasikan masalah dalam pelaksanaan kegiatan instansi,
ketidakpatuhan terhadap aturan prilaku, serta pelanggaran kebijakan
atau tindakan-tindakan yang illegal lainnya.
3) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memiliki peran
yang penting untuk mengevaluasi efektivitas penerapan SPIP, dan
memberikan kontribusi terhadap efektivitas SPIP yang sedang
berlangsung. Karena posisi organisasi APIP independen dari
manajemen serta otoritas yang disandangnya, APIP sering berperan
dalam fungsi pemantauan.
4) Auditor Eksternal dan Pihak Luar Instansi
Sejumlah pihak luar sering memberikan kontribusi terhadap
pencapaian tujuan instansi. Auditor eksternal membawa pandangan
yang objektif dan independen, mengkontribusikan langsung melalui
pernyataan audit atas laporan keuangan dan tidak langsung
menyediakan informasi penting untuk manajemen dalam menjalankan
tanggung jawabnya termasuk sistem pengendalian intern.
Pihak lain yang juga memberikan pengaruh kepada instansi
adalah legislator, regulator dan stakeholders lainnya yaitu pihak-pihak
yang berkepentingan atau terkait dengan instansi. Namun pihak luar
tidak bertanggung jawab atau tidak menjadi bagian dalam sistem
pengendalian intern.
3. Konsep Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Tidak hanya perusahaan-perusahaan yang selalu memerlukan
pertanggungjawaban atas kegiatan usahanya, lembaga pemerintahan juga
memerlukan pertanggungjawaban yang baik untuk menilai kinerja sektor
publik juga untuk memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat atas
dana yang diterima sektor publik yang berasal dari masyarakat.
Pemberlakuan undang-undang otonomi daerah harus dapat
meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat
memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai pengelolaan keuangan
daerah dari segi efisiensi dan efektivitas kepada DPRD maupun masyarakat
luas (Yahya, 2011)
Pengertian akuntabilitas menurut Ulum (2004) adalah sebagai
berikut: “Akuntabilitas yaitu mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan kepada yang mendelegasikan kewenangan dan mereka puas
terhadap kinerja pelaksana kegiatannya”.
Mardiasmo (2002) mengemukakan bahwa : “Akuntabilitas publik
adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala
aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pemberi
amana (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut”
Adapun menurut PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP adalah sebagai
berikut: “Akuntabilitas mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya
serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik”.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akuntabilitas
sektor publik memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintahan karena akuntabilitas itu merupakan
pertanggungjawaban kepada masyarakat yang harus dilakukan oleh
pemegang amanah (agent) yang bertujuan memberikan
pertanggungjawaban.
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh seorang sektor
publik terdiri dari beberapa dimensi. Elwood (1993) yang dialih bahasakan
oleh Mardiasmo (2002) menjelaskan terdapat empat dimensi akuntabilitas
yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor public termasuk pemerintah
daerah, yaitu:
1) Akuntabilitas kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and legality) Akuntabilitas kejujuran (accountability for probity)
terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power)
sedangkan akuntabilitas hukum (legal accountability) terkait dengan
jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang
diisyaratkan dalam penggunaan sumber daya publik.
2) Akuntabilitas proses (Process Accountability) Akuntabilitas proses
(Process Accountability) termanifestasikan melalui pemberian pelayanan
publik yang tepat, responsive, dan murah biaya. Pengawasan dan
pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan
misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark-up dan
pungutanpungutan lain diluar yang ditetapkan.
3) Akuntabilitas program (Program Accountability) Akuntabilitas program
(program accountability) Terkait dengan pertimbangan apakah tujuan
yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang
optimal dan biaya yang minimal.
4) Akuntabilitas kebijakan (Policy Accountability) Akuntabilitas kebijakan
(Policy Accountability) terkait dengan pertangggunjawaban pemerintah,
baik pusat maupun daerah atas kebijakankebijakan yang diambil
pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
Pasal 7 Undang-Undang No. 28 tahun 1999 menjelaskan bahwa : Asas
Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan amanat harus
mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya
kepercayaan.
Dari dimensi akuntabilitas yang telah di jelaskan dan disebutkan di
atas yang bersumber dari (Elwood, 1993) dimensi tersebut dapat di turunkan
menjadi indikator akuntabilitas adalah sebagai berikut:
1) Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran
a) Kepatuhan terhadap hukum.
b) Penghindaran korupsi dan kolusi.
2) Akuntabilitas Proses
a) Adanya Kepatuhan Terhadap Prosedur.
b) Adanya pelayanan publik yang responsif.
c) Adanya pelayanan publik yang cermat.
d) Adanya pelayanan publik yang biaya murah.
3) Akuntabilitas program:
a) Alternatif program yang memberikan hasil yang optimal.
b) Mempertanggung jawabkan yang telah dibuat.
4) Akuntabilitas Kebijakan
a) Mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah diambil.
4. Kinerja Pemerintah Daerah]
a. Pengukuran Kinerja
Untuk dapat menjamin suatu organisasi berlangsung dengan baik,
maka organisasi perlu mengadakan evaluasi. Evaluasi tersebut dapat
dilakukan dengan cara mengukur kinerjanya sehingga aktivitas organisasi
dapat dipantau secara periodik. Pengukuran Kinerja merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menjamin keberhasilan strategi organisasi
b. Pengertian Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja menurut Siegel dan Marconi (1998) dalam
Mulyadi (2001:415-416) adalah penentuan secara periodik efektifitas
operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya
berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hansen dan Mowen (1995) membedakan pengukuran
kinerja secara tradisional dan kontemporer. Pengukuran kinerja
tradisional dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual dengan
kinerja yang dianggarkan atau biaya standar sesuai dengan karakteristik
pertanggungjawabannya, sedangkan pengukuran kinerja kontemporer
menggunakan aktivitas sebagai pondasinya. Ukuran kinerja dirancang
untuk menilai seberapa baik aktivitas dilakukan dan dapat
mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan yang
berkesinambungan.
c. Tujuan Pengukuran Kinerja
Tujuan pokok penilain kinerja adalah untuk memotivasi karyawan
atau pegawai dalam mencapai tujuan organisasi dan dalam mematuhi
standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan
tindakan dan hasil yang diinginkan. Penilaian kinerja dilakukan pula
untuk menekan perilaku yang tidak semestinya (disfuctional behaviour)
dan mendorong perilaku yang semestinya diinginkan melalui umpan
balik hasil kinerja pada waktunya serta imbalan balik yang bersifat
intrinsik maupun ekstrinsik (Mulyadi, 2001:416).
d. Kinerja Pemerintah Daerah
Atmosudirdjo (dalam Haryanto, 2009), kinerja dapat dijelaskan
sebagai suatu kajian tentang kemampuan suatu organisasi dalam
pencapaian tujuan. Penilaian kinerja dapat dipakai untuk mengukur
kegiatan- kegiatan organisasi dalam pencapaian tujuan dan juga sebagai
bahan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Dari pendapat tersebut
dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi merupakan suatu prestasi kerja
dan proses penyelenggaraan untuk tercapainya tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
Perkiraan jumlah alokasi dana untuk setiap unit kerja pemerintahan
daerah dan program kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu
tingkat pelayanan publik, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat, sehingga identifikasi input, teknik produksi pelayanan publik
dan tingkat kualitas minimal yang harus dihasilkan oleh suatu unit kerja
menjadi syarat dalam menentukan alokasi dana yang optimal untuk setiap
unit kerja pelayanan publik. Dengan demikian pengeluaran Pemerintah
Daerah dapat menciptakan ukuran kinerja yang akan mempermudah
dalam melakukan kegiatan pengendalian dan evaluasi kebijakan
Pemerintah Daerah. Karena merupakan kebijakan Pemerintah Daerah,
maka orientasi Pemerintah Daerah pada pembangunan akan lebih dekat
dengan gerak dinamis masyarakatnya. Artinya akan bersifat terbuka
sehingga tuntutan dan kebutuhan publik masuk dalam penentuan strategi,
prioritas dan kebijakan alokasi.
Anggaran daerah merupakan disain teknis untuk pelaksanaan
strategi, sehingga apabila pengeluaran pemerintah mempunyai kualitas
yang rendah, maka kualitas pelaksanaan fungsi-fungsi Pemerintah
Daerah juga cenderung melemah yang berakibat kepada wujud daerah
dan Pemerintah Daerah di masa yang akan datang sulit untuk dicapai.
Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek
penting adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu
mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, dan
efektif.
Peran Pemerintah Daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan
Pemerintah Pusat, melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Konsep Value For Money (VFM) penting bagi
Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasinya
akan memberikan manfaat seperti:
1) Efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan
tepat sasaran;
2) Meningkatkan mutu pelayanan publik;
3) Biaya pelayanan yang murah, karena hilangnya inefisiensi dan
penghematan dalam penggunaan resources;
4) Lokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik;
5) Meningkatkan publik cost awareness sebagai akar pelaksanaan
pertanggungjawaban publik.
Dalam konteks otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk
mengantarkan Pemerintah Daerah mencapai good governance, yaitu
Pemerintah Daerah yang transparan, ekonomis, efisiensi, efektif,
responsif dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Langkah- langkah
dalam pengukuran VFM atas pengeluaran daerah dapat dirinci menurut
indikatornya sebagai berikut:
1) Pengukuran ekonomi.
Mardiasmo (2001) mengemukakan ekonomi merupakan ukuran
relatif, dalam suatu organisasi Pemerintah Daerah. Pertanyaan yang
timbul sehubungan dengan ukuran ekonomi ini adalah “apakah
pengeluaran (belanja) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah lebih
besar dari pada yang sesungguhnya diperlukan oleh organisasi itu?”.
“Apakah pengeluaran (belanja) organisasi lebih besar dari pada
organisasi lainya yang sejenis (yang dapat dibandingkan)?”
2) Pengukuran efisiensi.
Efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output/ keluaran dan
input/ masukan sekunder (pengeluaran). Semakin besar output yang
dihasilkan dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan, maka
semakin efisien suatu organisasi. Rasio efisiensi tidak dinyatakan
dalam bentuk absolut tetapi dalam bentuk relatif. Karena efisiensi
diukur lewat perbandingan keluaran dan masukan.
3) Pengukuran efektivitas.
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan
suatu organisasi. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan
maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Hal terpenting
yang perlu dicatat adalah bahwa efektivitas tidak menyatakan berapa
besar pengeluaran yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan
tersebut. Pengeluaran boleh jadi melebihi apa yang telah dianggarkan.
Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output
(keluaran). Menurut Robin dalam Setyawati (2008), kinerja
merupakan perilaku kerja yang ditampakkan oleh orang- orang yang
terlihat dalam suatu perusahaan dan dapat dijelaskan melalui sistem
evaluasi kinerja. Kinerja perusahaan merupakan indikator tingkatan
prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan manajer.
Jadi kinerja perusahaan merupakan hasil yang diinginkan perusahaan
dari perilaku orangorang didalamnya.
Sementara Mahsun (2009) mendefinisikan Kinerja
(Performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijakan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic
planning suatu organisasi. Dengan mengadopsi pendapat Mahsun
diatas, kinerja pemerintah daerah adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi pemerintah daerah yang
tertuang dalam strategic planning. Mahsun (2009) menyebutkan
indikator kinerja bahwa indikator kinerja pemerintah meliputi
indikator masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat dan dampak.
Sementara Palmer dalam Mahsun (2009) menyebutkan bahwa
indikator kinerja antara lain : (1) Indikator Biaya; (2) Indikator
produktifitas; (3) Tingkat penggunaan; (4) Target waktu; (5) volume
pelayanan; (6) Kebutuhan pelanggan; (7) Indikator kualitas pelayanan;
(8) Indikator kualitas pelanggan dan (9) Indikator pencapaian tujuan.
e. Kinerja Pemerintah Daerah
1) Laporan Keuangan Daerah
a) Pengertian Laporan Keuangan Daerah
Praktik pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia saat ini
masih berdasarkan konsep dan sistem yang berasal dari beberapa
dasawarsa lalu, belum dilakukan perubahan secara fundamental.
Beberapa pencatatan di berbagai entitas terhadap pelaksanaan
anggaran masih diselenggarakan secara tata buku tunggal, dan
diselenggarakan oleh instansi-instansi secara terpisah dengan jenis
akuntansi yang berbeda-beda pula. Pelaporan keuangan di beberapa
entitas masih sederhana yaitu untuk pertanggungjawaban saja,
belum dapat menyajikan informasi untuk tujuan manajerial.
Menurut Nordiawan (2012:35) laporan keuangan daerah
adalah: “Laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan.”
Kemudian disebutkan dalam Peraturan Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 4 dikatakan pula bahwa pengelolaan
keuangan daerah dilakukan dengan tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatuhan dan mafaat untuk masyarakat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010
pengertian laporan keuangan adalah: “ Laporan keuangan
merupakan laporan terstruktur mengenai posisi keuangan dan
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan.”
Dari beberapa pengertian diatas dapat dikatakan bahwa
laporan keuangan adalah laporan tertulis yang memberikan
informasi kualitatif tentang posisi keuangan dari transaksi-transaksi
yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan.

b) Tujuan Laporan Keuangan Daerah


Menurut Mardiasmo (2004:161) mengatakan bahwa secara
umum, tujuan dan fungsi laporan keuangan sektor publik adalah:

 Kepatuhan dan pengelolaan (Compliance and Stewardhip)


Laporan keuangan digunakan untuk memberikan jaminan
kepada para pengguna laporan keuangan dan pihak otoritas
penguasa bahwa pengelolaan sumber daya yang telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan lain
yang telah ditetapkan.
 Akuntabilitas dan pelaporan retrospektif (Accounting and
Retrospective Reporting) Laporan keuangan digunakan
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Laporan
keuangan digunakan untuk memonitor kinerja dan
mengevaluasi manajemen, memberikan dasar untuk
mengamati trend antar waktu, pencapaian atas tujuan yang
telah ditetapkan, dan membandingkannya dengan kinerja
organisasi lain yang sejenis.
 Perencanaan dan informasi otorisasi (Planning and
Authorization Information) Laporan keuangan berfungsi untuk
memberikan dasar perencanaan kebijakan dan aktivitas di
masa yang akan datang. Laporan keuangan berfungsi untuk
memberikan informasi pendukung mengenai otorisasi
penggunaan dana.
 Kelangsungan organisasi (Viability) Laporan keuangan
berfungsi untuk membantu pembaca dan menentukan apakah
suatu organisasi atau unit kerja dapat meneruskan
menyediakan barang dan jasa di masa yang akan datang.
 Hubungan masyarakat (Public Relation) Laporan keuangan
berfungsi memberikan kesempatan kepada organisasi untuk
mengemukakan pernyataan atas prestasi yang telah dicapai
kepada pemakai yang dipengaruhi, karyawan, dan masyarakat.
Laporan keuangan berfungsi sebagai alat komunikasi dengan
publik dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
 Sumber fakta dan gambaran (Source of Fact and Figures)
Laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi
kepada berbagai kelompok kepentingan yang ingin mengetahui
organisasi secara lebih dalam.

Secara spesifik, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010


menyatakan bahwa tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah
untuk menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan
keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan
atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya, dengan: a)
Menyediakan informasi mengenai posisi sumber daya ekonomi,
kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah; b) Menyediakan informasi
mengenai perubahan posisi sumber daya ekonomi, kewajiban, dan
ekuitas dana pemerintah; c) Menyediakan informasi mengenai
sumber, alokasi,, dan penggunaan sumber daya ekonomi; d)
Menyediakan informasi mengenai ketaatan realisasi terhadap
anggarannya; e) Menyediakan informasi mengenai cara entitas
pelaporan mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya;
f) Menyediakan informasi mengenai potensi pemerintah untuk
membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintah; g) Menyediakan
informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemampuan entitas
pelaporan dalam mendanai aktivitasnya.

2) Komponen Laporan Keuangan

Berdasarkan SAP Nomor 71 tahun 2010 komponen-komponen


yang terdapat dalam suatu aset laporan keuangan pokok adalah:
a) Laporan Realisasi Anggaran

PSAP Nomor 02 menjelaskan bahwa Laporan Realisasi


Anggaran (LRA) menyediakan informasi mengenai anggaran dan
realisasi pendapatan-LRA, belanja, transfer, surplus/defisit-LRA,
dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan. Informasi tersebut
berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi
keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi,
akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran
karena menyediakan informasi-informasi sebagai berikut:
 Informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber
daya ekonomi.
 Informasi mengenai realisasi anggaran secara menyeluruh yang
berguna dalam mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal
efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran.

LRA menyediakan informasi yang berguna untuk


memprediksi sumber daya ekonomi yang akan diterima untuk
mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode
mendatang dengan cara menyajikan laporan secara komparatif.

b) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL)

Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LP-SAL)


menyajikan pos-pos berikut, yaitu: saldo anggaran lebih, Sisa
Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SIKPA) tahun
berjalan, koreksi kesalahan pembukuan tahun sebelumnya, lain-lain
dan Saldo anggaran lebih akhir untuk periode berjalan. Pos-pos
tersebut disajikan secara komparatif dengan periode sebelumnya.
LP-SAL dimaksudkan untuk memberikan ringkasan atas
pemanfaatan saldo anggaran dan pembiayaan pemerintah, sehingga
suatu entitas pelaporan harus menyajikan rincian lebih lanjut dari
unsur-unsur yang terdapat dalam LP-SAL dalam Catatan atas
Laporan Keuangan. Struktur LP-SAL baik pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak
memiliki perbedaan.

c) Neraca

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas


pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal
tertentu. Dalam neraca, setiap entitas mengklasifikasikan asetnya
dalam aset lancar dan nonlancar serta mengklasifikasikan
kewajibannya menjadi kewajiban jangka pendek dan jangka
panjang. Neraca menyajikan pos-pos yang mencakup kas dan
setara kas, investasi jangka pendek, piutang pajak dan bukan pajak,
persediaan, investasi jangka panjang, aset tetap, kewajiban jangka
pendek, kewajiban jangka panjang dan ekuitas.
Pos-pos tersebut disajikan secara komparatif
(dipersandingkan) dengan periode sebelumnya. Selain pos-pos
tersebut, entitas dapat menyajikan pos-pos lain dalam neraca,
sepanjang penyajian tersebut untuk menyajikan secara wajar posisi
keuangan suatu entitas dan tidak bertentangan dengan SAP.

d) Laporan Arus Kas

Dalam Pemerintah pusat dan daerah yang menyusun dan


menyajikan laporan keuangan dengan basis akuntansi akrual wajib
menyusun laporan arus kas untuk setiap periode penyajian laporan
keuangan sebagai salah satu komponen laporan keuangan pokok.
Tujuan laporan arus kas adalah memberikan informasi mengenai
sumber, penggunaan, perubahan, kas dan setara kas selama suatu
periode akuntansi serta saldo kas dan setara kas pada tanggal
pelaporan.

e) Laporan Operasional
Laporan Operasional menyediakan informasi mengenai
seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan yang
tercerminkan dalam pendapatan-LO dan beban dan surplus/defisit
operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiaanya
disandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan operasional
disusun untuk melengkapi pelaporan dari siklus akuntansi berbasis
akrual (full accrual accounting cycle) sehingga penyusunan
Laporan Operasional, Laporan perubahan Ekuitas, dan Neraca
mempunyai keterkaitan yang dapat dipertanggungjawabkan.

f) Laporan Perubahan Ekuitas

Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan sekurang-kurangnya


pos-pos Ekuitas awal atau ekuitas tahun sebelumnya,
Surplus/defisit-LO pada periode bersangkutan dan koreksi-koreksi
yang langsung menambah/mengurangi ekuitas. Koreksi kesalahan
mendasar dari persediaan yang terjadi pada periode-periode
sebelumnya berupa nilai aset tetap karena revaluasi aset tetap.
Disamping itu, suatu entitas pelaporan juga menyajikan rincian
lebih lanjut dari unsur-unsur yang terdapat dalam Laporan
Perubahan Ekuitas yang dijelaskan pada Catatan atas Laporan
Keuangan.

g) Catatan Atas Laporan Keuangan

Agar informasi dalam laporan keuangan pemerintah dapat


dipahami dan digunakan oleh pengguna dalam melakukan evaluasi
dan menilai pertanggungjawaban keuangan negara maka
diperlukan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). CaLK
memberikan informasi kualitatif dan mengungkapkan kebijakan
serta menjelaskan kinerja pemerintah dalam tahapan pengelolaan
keuangan negara. Selain itu, CaLK memberikan penjelasan atas
segala informasi yang ada dalam laporan keuangan dengan bahasa
yang mudah dipahami.
Komponen-komponen laporan keuangan tersebut disajikan
oleh setiap entitas pelaporan kecuali, Laporan Arus Kas yang hanya
disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan.

3) Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan

Terdapat empat karakteristik kualitatif utama laporan keuangan


yang harus dipenuhi sehingga laporan keuangan dapat bermanfaat
bagi pengambilan keputusan sebagaimana dijelaskan pada kerangka
dasar Standar Akuntansi Pemeintah Nomor 71 tahun 2010. Keempat
karakteristik kualitatif tersebut adalah dapat dipahami, relevansi, dapat
dipercaya, dan dapat dibandingkan. Penjelasan dari keempat
karakteristik kualitatif tersebut adalah sebagai berikut:
a) Relevan
Laporan keuangan bisa dikatakan relevan apabila informasi
yang termuat didalamnya dapat mempengaruhi keputusan
pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa
lalu dan masa kini. Informasi yang relevan meliputi:
 Memiliki manfaat unpan balik (feedback value). Informasi
memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengoreksi
ekspetasi mereka di masa lalu.
 Memiliki manfaat prediktif (predictive value). Informasi dapat
membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang
berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini.
b) Tepat waktu
Informasi disajikan tepat waktu sehingga dapat berpengaruh
dan berguna dalam pengambil keputusan.
c) Lengkap
Informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan
selengkap mungkin mencakup semua informasi akuntansi yang
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dengan
memperhatikan kendala yang ada.
d) Andal atau dapat dipercaya
Informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian
yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta
secara jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi yang andal
memenuhi karakteristik:
 Penyajian jujur. Informasi menggambarkan dengan jujur
transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau
secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.
 Dapat diverifikasi. Informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan dapat diuji, dan apabila pengujian dilakukan lebih dari
sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan
simpulan yang tidak berbeda jauh.
 Netralitas. Informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak
berpihak pada kebutuhan pihak tertentu.

B. Review Penelitian Sebelumnya


Tabel 4. Penelitian Sebelumnya

Nama
Judul Hasil
Penulis
Primastuti Penilaian terhadap Sistem Hasil yang diperoleh pelaksanaan
(2008) Pengendalian Intern Dalam Sistem Pengendalian Intern dalam
Pengelolaan Aset Tetap pengelolaan aset tetap pada
Pada Pemerintah Kota Pemerintah Kota Depok belum
Depok efektif
Lalia (2009) Analisis Penyelenggaraan Hasil yang diperoleh Penerapan
Peraturan Pemerintah 60 SPIP pada kedua daerah tidak
Tahun 2008 tentang Sistem langsung mempengaruhi opini
Pengendalian Intern atas laporan keuangan.
Pemerintah pada Dua
Pemda

Nama
Judul Hasil
Penulis
Oktaviana Pengelolaan Aset Daerah Hasil yang diperoleh variabel
(2010) Berkaitan Opini Disclaimer bebas secara parsial hanya akan
BPK di Kabupaten Tojo memberikan pengaruh yang kecil
Una Una di Provinsi terhadap variabel terikatnya,
Sulawesi Tengah Tahun namun secara simultan
2007 berpengaruh secara signifikan.
Sehingga harus dilakukan dan
diterapkan sistem dalam rangka
mendukung pengelolaan aset
Widyaningsi Hubungan efektifitas sistem Hasil yang diperoleh sistem
h (2011) akuntansi keuangan daerah akuntansi keuangan daerah yang
dan pengendalian intern efektif ditunjang dengan sistem
dengan kualitas pengendalian intern yang baik
akuntabilitas keuangan dapat menghasilkan informasi
melalui kualitas informasi laporan keuangan yang
laporan keuangan sebagai berkualitas dan mendorong
variabel intervening meningkatnya kualitas
akuntabilitas keuangan
pemerintah daerah.

C. Kerangka Pemikiran
Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun dan disajikan dengan
standar akuntansi pemerintah yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Pemerintah juga mengeluarkan Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP) yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 71 tahun 2010. Tujuan diberlakukannya hal tersebut adalah agar lebih
accountable dan semakin diperlukannya peningkatan kualitas laporan
keuangan pemerintah sangat dipengaruhi oleh faktor kepatuhan terhadap
standar akuntansi, serta dukungan sistem pengendalian intern pemerintah
(SPIP) yang ada.
Tujuan penting reformasi SPIP sektor publik adalah penetapan sasaran
akuntanbilitas pengelolaan keuangan pemerintah pusat maupun daerah
maupun kinerja pemerintah daerah dalam hal ini kajian mengenai Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah Nias Selatan. Tuntutan reformasi ini
menyebabkan demokratisasi pengelolaan organisasi melalui aspek akuntabilitas
dan kinerja pemerintah daerah. Secara khusus, tuntutan ini lebih terkait dengan
bidang pengelolaan keuangan publik. Dengan adanya unsur SPIP dalam
pengelolaan keuangan daerah diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas
laporan keuangan daerah dan kinerja pemerintah daerah Nias Selatan sehingga
bisa merubah opini audit BPK Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dimana
dalam kasusnya selama kurun waktu 5 tahun secara berturut-turut mendapatkan
opini BPK yaitu Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) yang mengindikasikan
terjadinya suatu konflik atas LKPD hasil auditan BPK.
Agar informasi akuntansi yang dihasilkan dapat digunakan dengan baik
oleh pemakai, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) terdapat kriteria dan unsur-unsur
pembentuk kualitas informasi yang menjadikan informasi dalam laporan
keuangan pemerintah berkualitas yang terdiri dari: (a) relevan, (b) andal, (c)
dapat dibandingkan dan (d) dapat dipahami.
Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, maka
diperlukan kapasitas sumber daya manusia yang cukup agar mampu
menjalankan sistem yang ada dengan baik. Selain sumber daya manusia, hal
lain yang mempengaruhi kualitas laporan keuangan adalah pengendalian
internal. Pengendalian internal pemerintah daerah diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah.
Pada dasarnya pengendalian intern merupakan suatu proses yang
dijalankan dan dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang
pencapaian tiga golongan tujuan yaitu, a) efektifitas dan efisiensi operasi, b)
keandalan laporan keuangan, c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku menurut COSO dalam Bastian (2009).
Definisi di atas memberikan pengertian bahwa pengendalian internal
adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dan karyawan dalam
menyediakan secara layak suatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh
secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang
dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektifitas dalam kegiatan operasi
perusahaan dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati
oleh semua pihak.
Masih ditemukannya penyimpangan dan kebocoran di dalam laporan
keuangan oleh BPK, menunjukkan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah belum memenuhi karakteristik nilai informasi yang disyaratkan.
Representasi kewajaran dituangkan dalam bentuk opini itu sendiri dengan
mempertimbangkan kriteria kesesuaian dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP); kecukupan pengungkapan; kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dan efektivitas pengendalian intern (BPK, 2009). BPK
memberikan opini Disclaimer diantaranya disebabkan oleh kelemahan sistem
pengendalian internal. Permasalahan penting yang masih ditemukan BPK
dalam pemeriksaan LKPD mengenai pengendalian intern antara lain adalah:
1. Pengendalian atas pengelolaan pendapatan daerah belum memadai, di
antaranya penatausahaan piutang pajak dan retribusi daerah tidak tertib,
penggunaan langsung atas pendapatan daerah, adanya kekurangan
penetapan dan penerimaan pajak dan retribusi daerah, penyetoran retribusi
daerah tidak dilakukan secara tepat waktu, dan piutang pajak yang telah
kadaluarsa serta tunggakan pajak yang berpotensi tidak tertagih.
2. Sistem pengendalian intern yang lemah atas pengelolaan hibah, bantuan
sosial dan bantuan keuangan yang pada umumnya belum didukung dengan
laporan pertanggungjawaban dari para penerima hibah, bantuan sosial dan
bantuan keuangan.
Dalam penyusunan keuangan daerah yang baik, selain SKPD harus
memiliki sumber daya manusia yang kompeten, SKPD juga harus memiliki
sistem pengendalian intern yang baik. Lemahnya sistem pengendalian intern
dapat mempengaruhi kualitas laporan keuangan daerah yang dihasilkan. Dan
salah satu tolak ukur apakah sudah tercapainya tujuan SPIP terhadap keandalan
laporan keuangan adalah ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dicerminkan melalui opini BPK yang menjadi ukuran lain
mengenai kualitas laporan keuangan pemerintah.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rieska Widiani (2013)
Pengaruh Efektivitas Pengendalian Internal Pemerintah Terhadap Kualitas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian
nya Menyatakan bahwa Efektivitas Pengendalian Internal Pemerintah
berpengaruh signifikan positif terhadap Kualitas Laporan Keuangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
antara variabel dependen yaitu Kualitas Laporan keuangan Pemerintahan
Daerah dengan variabel independen yaitu Efektivitas Sistem Pengendalian
Internal Pemerintahan.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk merumuskan hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Akuntabilitas
Laporan Keuangan
Penerapan Sistem
Pengendalian
Internal Pemerintah
Kinerja Pemerintah
Daerah

Gambar 1. Kerangka Berpikir


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh dan
dihimpun langsung oleh peneliti dari responden melalui kuisioner dengan
pernyataan tertutup dengan jawaban menggunakan skala likert. Data primer
yang dianalisis dalam penelitian ini diperoleh dari sumber daya manusia di
pemerintah daerah Nias Selatan dengan topik yang dikaji adalah penerapan
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap Akuntabilitas Laporan
Keuangan dan Kinerja Pemerintah Daerah. Selain itu, peneliti menggunakan
data sekunder yaitu LKPD Kabupaten Nias selama tahun anggaran 2012-2016.
Setelah semua data terkumpul peneliti bisa menyimpulkan dan menganalisis
adanya hubungan variabel yang diangkat dalam penelitian terhadap opini BPK
terhadap LKPD Nias Selatan tahun anggaran 2012-2016.
B. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada
suatu variabel atau konstruk dengan cara memberikan arti atau
menspesifikasikan kegiatan ataupun operasional yang diperlukan untuk
mengukur variabel atau konstruk tersebut (Kerlinger dalam Sugiyono, 2011).
Variabel Definisi Operasional Skala
Sistem Pengendalian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Likert
Intern (SPIP) adalah sistem pengendalian intern yang
diselenggarakan secara menyeluruh
dilingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang menyatu, berkait
satu sama lain dan menjadi bagian
integral dari instansi pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008 dengan model COSO tentang
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
terdiri dari unsur-unsur berikut: 1)
Lingkungan pengendalian 2) Penilaian
risiko 3) Kegiatan pengendalian 4)
Informasi dan komunikasi 5) Pemantauan
pengendalian intern
(Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008)
Akuntabilitas Keuangan Akuntabilitas keuangan daerah adalah Likert
Daerah pertanggungjawaban mengenai integritas
keuangan daerah, pengungkapan dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan. Sasaran pertanggungjawaban
adalah laporan keuangan daerah yang
disajikan dengan dimensi akuntabilitas
hukum dan kejujuran, akuntabilitas
proses, aakuntabilitas program dan
akuntabilitas kebijakan. (LAN, BPKP,
2000 dan Elwood 1993).
Kinerja Pemerintah Kinerja (Performance) adalah gambaran Likert
Daerah mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/ program/
kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi dan visi organisasi yang
tertuang dalam strategic planning suatu
organisasi. Indikator kinerja antara lain :
(1) Indikator Biaya; (2) Indikator
produktifitas; (3) Tingkat penggunaan;
(4) Target waktu; (5) volume pelayanan;
(6) Kebutuhan pelanggan; (7) Indikator
kualitas pelayanan; (8) Indikator kualitas
pelanggan dan (9) Indikator pencapaian
tujuan (Palmer dalam Mahsun ,2009)
Karakteristik Kualitatif Karakteristik kualitatif utama laporan Likert
Laporan Keuangan keuangan yang harus dipenuhi sehingga
Daerah laporan keuangan dapat bermanfaat bagi
pengambilan keputusan. Keempat
karakteristik kualitatif tersebut adalah
dapat dipahami, relevansi, dapat
dipercaya, dan dapat dibandingkan.
(Kerangka dasar Standar Akuntansi
Pemerintah Nomor 71 tahun 2010).

C. Teknik Pengumpulan Data


1. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan dalam
penelitian untuk memperoleh data. Ketepatan teknik pengumpulan data
merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kualitas pengumpulan data
(Sugiyono, 2010:193). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Berikut data-data yang digunakan dalam
penelitian ini:
a. Data primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu dengan
melalui kuesioner serta dokumentasi. Jenis kuesioner yang digunakan
penulis adalah kuesioner tertutup, artinya pertanyaan atau pernyataannya
tidak memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan
jawaban dan pendapatnya sesuai dengan keinginan mereka karena
jawaban sudah disediakan. Instrumen kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan numerical scale (skala numerik) 4 point.
Tipe data yang digunakan adalah interval. Berikut merupakan penskoran
opsi jawaban yang disediakan bagi responden: Di bawah ini merupakan
keterangan untuk opsi jawaban yang tersedia pada kuesioner:
- Angka 4 untuk pernyataan positif sangat tinggi.
- Angka 3 untuk pernyataan positif tinggi.
- Angka 2 untuk pernyataan positif rendah.
- Angka 1 untuk pernyataan positif terendah.
b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research) yang dilakukan dengan cara mempelajari, meneliti, mengkaji
serta menelah literatur berupa buku-buku (text book), jurnal, peraturan
perundang-undangan, majalah, surat kabar, artikel, situs web dan
penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini serta
dokumen dari instansi yang bersangkutan.
D. Uji Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Menurut Umar (2000:123), “validitas menunjukkan sejauh mana suatu
alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur”. Kemampuan suatu
instrumen untuk mengukur dan mengungkapkan setiap variabel yang diteliti
dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut valid.
Validitas suatu instrumen dapat diketahui dengan terlebih dahulu
mencari nilai korelasi dengan menggunakan rumus Product Moment
Pearson:

(Umar, 2008:166)
dimana:
r : koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
∑X : jumlah skor item
∑Y : jumlah skor total
N : jumlah responden

Untuk menafsirkan hasil uji validitas, kriteria yang digunakan


menurut Sugiyono (2010: 215) adalah: - Jika nilai rhitung > nilai rtabel maka
item instrumen dinyatakan valid dan dapat dipergunakan. - Jika nilai rhitung ≤
nilai rtabel maka item instrumen dinyatakan tidak valid dan tidak dapat
dipergunakan. Untuk pengujian validitas, penulis menggunakan perangkat
lunak SPSS 20.0 for windows.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
pengujian instrumen. Pengujian ini menunjukkan konsistensi hasil
pengukuran. Jika konsistensi tersebut terpenuhi maka suatu instrumen dapat
dipercaya (reliable) dan dapat diandalkan (dependable). Umar (2000:135)
menyatakan bahwa “reliabilitas adalah suatu angka indeks yang
menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala
yang sama”.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan rumus Cronbach Alpha
untuk menguji reliabilitas. Rumus Cronbach Alpha digunakan untuk
mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 0-1 tetapi merupakan
rentangan antara beberapa nilai, misalnya 0-10 atau 0-100 atau bentuk skala
1-3, 1-5 atau 1-7 dan seterusnya. Rumus ini ditulis sebagai berikut:
(Riduwan, 2010:125)
Keterangan :
r11 = Nilai reliabilitas
∑ St = Jumlah varians skor butir soal
St = Varians total
k = Jumlah item pernyataan

Langkah-langkah untuk mencari nilai reliabilitas dengan


menggunakan rumus Alpha Cronbach (Riduwan, 2010:125):
a. Menghitung Varians Skor tiap-tiap item dengan rumus:

Keterangan:
Si = Varians skor tiap-tiap item
∑ Xi 2 = Jumlah kuadrat item
∑ (Xi) 2 = Jumlah item dikuadratkan
N = Jumlah responden

b. Menjumlahkan Varians semua item dengan rumus:

Keterangan:
∑ St = Jumlah varians semua item
S1 + S2 + S3.... Sn = Varians item ke-1,2,3,...n

c. Menghitung Varians total dengan rumus:


Keterangan:

St = Varians total
2
∑ Xt = Jumlah kuadrat total
∑ (Xt) 2 = Jumlah dikuadratkan
N = Jumlah responden
d. Masukkan nilai Alpha dengan rumus:

Setelah diperoleh hasil dari perhitungan diatas, maka untuk


menafsirkan hasilnya dengan menggunakan taraf signifikansi 5% dan
kriteria uji sebagai berikut:
- Jika r11> rtabel , berarti reliabel.
- Jika r11 ≤ rtabel, berarti tidak reliabel.
Untuk pengujian reliabilitas, penulis menggunakan perangkat lunak
SPSS 20.0 for windows.
E. Uji Asumsi Klasik
Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel independen. Jika terjadi
korelasi, terdapat masalah multikolinearitas yang harus diatasi.
Jika terdapat multikolinearitas sempurna akan berakibat koefisien regresi
tidak dapat ditentukan serta standar deviasi akan menjadi tak hingga. Jika
multikolinearitas kurang sempurna maka koefisien regresi meskipun berhingga
akan mempunyai standar deviasi yang besar yang berarti pula
koefisienkoefisiennya tidak dapat ditaksir dengan mudah.
Ada beberapa metode pengujian yang bisa digunakan diantaranya, yaitu:
1. Dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF) pada model regresi.
2. Dengan membandingkan nilai koefisien determinasi individual dengan nilai
determinasi secara serentak
3. Dengan melihat nilai eigenvalue dan condition index

(Umar, 2008:179)
Keterangan:
VIF = Variance Inflation Factor
R2 = Koefisien determinasi secara serentak
Setelah diperoleh hasil dari perhitungan diatas, maka untuk menafsirkan
hasilnya dengan menggunakan taraf signifikansi 5% dan kriteria uji sebagai
berikut:
- Jika VIF < 5, maka terdapat multikolinearitas
- Jika VIF> 5, maka tidak terdapat multikolinieritas

Untuk pengujian multikolinearitas, penulis menggunakan perangkat


lunak SPSS 20.0 for windows.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode SEM (structure equation model) berbasis PLS (partial least square)
yang memerlukan 2 (dua) tahap pengujian untuk menilai model dari sebuah
model penelitian. Alat bantu yang digunakan adalah software SmartPls ver.
3.00 for student, adapun tahap tersebut adalah:
1. Evaluasi Model
Menurut (Widarjono, 2015) analisis jalur di dalam PLS SEM
menjelaskan hubungan antara variabel laten dan indikator didalam outer
model. Evaluasi PLS SEM berbeda dengan CB SEM. Dalam PLS SEM
tidak ada kelayakan model berdasarkan overall goodness of fit seperti CB
SEM, karena PLS SEM bertujuan untuk meminimalkan perbedaan antara
nilai prediktif dan aktual dari variabel dependen. Pada evaluasi model PLS
SEM yaitu evaluasi model pengukuran (outer model)
2. Evaluasi Outer Model atau Measurement
Model Pengujian ini digunakan untuk memvalidasi model penelitian
yang dibangun yang meliputi validasi konstruk (convergent validity dan
discriminant validity) dan pengujian konsistensi internal (composite
realibility). Convergent validity dari model pengukuran dengan refleksi
indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score yang dihitung
dengan PLS. Evaluasi model terdiri dari sebagai berikut:
a. Indicator Reliability didasarkan pada outer loading, jika nilai outer
loading lebih dari 0,7 maka varibel indikator perlu dipertahankan untuk
penelitian uji teori dan untuk penelitian eksplorasi 0,5–0,7. Namun bila
kurang dari 0,5 maka variabel indikator harus dihilangkan. Ukuran
refleksi individual dikatakan tinggi apabila berkorelasi lebih dari 0,70
dengan konstruk yang diukur. Menurut (Ghozali, 2006) penelitian tahap
awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading 0,5 sampai
dengan 0,6 sudah dianggap cukup memadai.
b. Discriminant Validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator
dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika
korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar dari ukuran
konstruk lainnya, maka hal tersebut menunjukkan konstruk laten
memprediksi ukuran blok daripada ukuran blok lainnya. Selanjutnya
metode lain untuk menilai discriminant validity adalah membandingkan
nilai Root of Average Variance Extracted (AVE) setiap konstruk dengan
korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Jika nilai
AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antara konstruk
dengan konstruk lain dalam model maka dikatakan memiliki nilai
discriminant validity yang baik (Gozali 2006). Pengukuran ini dapat
digunakan untuk mengukur reliabilitas variabel laten dan hasilnya lebih
konservatif dibandingkan dengan composite reliability.
Direkomendasikan nilai AVE harus lebih besar dari 0,50.
c. Internal Consistency, digunakan untuk mengevaluasi konsistensi internal,
untuk penelitian uji teori nilai lebih dari 0,7 sedangkan penelitian
eksplorasi nilai lebih dari 0,6. Disamping itu dapat juga digunakan
cronbach’s alpha yang nilainya harus lebih besar dari 0,7 untuk uji teori
dan 0,6 untuk penelitian eksplorasi.
d. Convergent Validity, untuk mengevaluasi convergent validity digunakan
Average Variance Extracted (AVE) yang nilainya harus lebih dari 0,5.
DAFTAR PUSTAKA
COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission).
2012. Internal Control over External Financial Reporting: A Compendium
of Approaches and Examples. Internal Control – Integrated Framework.
Ibnu, A. (2009). Efektivitas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam
palayanan publik untuk memperkokoh ketahanan nasional. Studi di
kementerian Negara Pemuda dan olahraga RI. Tesis. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Mardiasmo. (2001). Pengawasan, Pengendalian dan Pemeriksaan Kinerja
Pemerintahan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis
dan Akuntansi , 441.
Niassatu. (2015). BPK Nyatakan Disclaimer atas Laporan Keuangan 2014 Pemda
Nias Selatan dan Nias Barat. http://niassatu.com/2015/10/02/bpk-nyatakan-
disclaimer-atas-laporan-keuangan-2014-pemda-nias-selatan-dan-nias-barat/,
diakses pada tanggal 19 Desember 2017
Noor, Isran. (2014). Pengelolaan Keuangan Negara Harus Transparan dan
Akuntabel, www.bpk.go.id.
PP 71 tahun 2010 Lampiran 1 , pada PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
berbasis Akrual
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara
Yudi. (2010). SPIP Pondasi Reformasi Birokrasi, Warta Pengawasan Vol XVII/
No 2: 76-77.

Anda mungkin juga menyukai