Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

HUKUM LINGKUNGAN DALAM KACAMATA


HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Dosen Pengampu :
Eka Deviani, S.H., M.H.

Oleh :
Kelompok 4

Syabila Wulan Riyanti 2112011285


Dewingga Maharani Putri Utomo 2112011291
Iswan Agustian 2112011304
Sharla Martiza Maulana Puteri 2112011325
Dina Dwi Aulia 2112011326
Indira Faradisya 2112011329
Christin Margareth Sihaloho 2112011342
Dianta Pramudya 2112011352
Sartika Wulandari 2112011389

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Dengan izin dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa akhirnya kami sebagai tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Lingkungan dalam Kacamata Hukum
Lingkungan Internasional” ini dengan baik serta tepat waktu. Kami sebagai tim penulis juga
tidak lupa untuk bersyukur atas kesehatan, kekuatan, dan kemampuan dalam berpikir yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang atas karunia-Nya lah kami dapat meneliti dan
menyelesaikan makalah yang kami susun ini.
Makalah yang berjudul “Hukum Lingkungan dalam Kacamata Hukum Lingkungan
Internasional”, kami apresiasikan untuk diri kami sendiri sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum,
untuk keluarga kami, dan untuk para Dosen kami, serta untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Makalah ini kami buat atas dasar dedikasi kami sebagai Mahasiswa untuk mengembangkan
dan memajukan pendidikan bangsa Indonesia.
Kami meminta maaf jika terdapat kekeliruan dalam penyertaan materi ataupun data-
data yang telah kami himpun, ataupun kesalahan dan kekurangan dalam penulisan kata di
dalam makalah ini. Sebagai tim penulis makalah ini, kami bertanggung jawab atas apa yang
telah tertulis di dalam makalah ini. Kami mengucapkan terimakasih yang tiada tara atas
apresiasi dari para pembaca yang telah menelaah makalah yang kami susun ini.

Bandar Lampung, 24 Oktober 2022

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 5
2.1. Tinjauan umum ............................................................................................................... 5
2.2. Penelitian ......................................................................................................................... 5
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 7
3.1 Pembentukan Hukum Lingkungan Internasional ............................................................. 7
3.1.1 Sejarah Pembentukan .............................................................................................. 7
3.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional ..................... 8
3.2 Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional ............................................................... 10
3.2.1 Perlindungan Lingkungan Laut. ............................................................................ 10
3.2.2 Perlindungan Atmosfer .......................................................................................... 11
3.2.3 Konservasi Alam ................................................................................................... 12
3.2.4 Perlindungan Terhadap Bahan Beracun Berbahaya (B3) ...................................... 13
3.3 Hukum lingkungan internasional terhadap persengketaan lingkungan di berbagai
belahan dunia........................................................................................................................ 13
3.3.1 Peran Mahkamah Internasional Dalam Hukum Lingkungan ................................ 15
3.4 Hak dan Kewajiban serta Prinsip-prinsip ....................................................................... 15
3.4.1 Hak dan kewajiban terhadap lingkungan .............................................................. 15
3.4.2 Prinsip-prinsip Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan ....... 16
3.5 Analisis kasus serta Pertanggungjawaban Negara dalam hal tersebut ........................... 19
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 23
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 23
4.2 Saran ............................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan manusia tidak akan lepas dari lingkungan. Eksistensi kehidupan manusia
sangat bergantung kepada lingkungan. Lingkungan telah menyediakan berbagai kebutuhan
bagi manusia yang merupakan syarat mutlak agar manusia dapat mempertahankan
kehidupannya. Pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia harus dilakukan dengan bijak
sehingga jangan sampai merusak lingkungan itu sendiri sehingga pada akhirnya manusia juga
yang akan dirugikan.
Perbuatan manusia yang merusak atau mencemarkan lingkungan pada dasarnya adalah
perbuatan merusak kehidupan manusia itu sendiri, mengingat lingkungan adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dampak dari pencemaran atau perusakan
lingkungan tidak hanya dirasakan oleh manusia yang menjadi pelakunya saja, akan tetapi juga
manusia yang lain yang tinggal dalam satu wilayah tertentu dimana terjadi pencemaran
lingkungan tersebut dan juga makhluk hidup lainnya.
Bahkan dampak pencemaran lingkungan dapat dirasakan oleh manusia lain yang tinggalnya
tidak dalam satu wilayah terjadinya pencemaran. Misalnya, kasus kebakaran hutan yang terjadi
di wilayah Kalimantan atau Sumatera maka dampak asapnya dapat dirasakan oleh mereka yang
tinggal di Singapura dan Malaysia. Pencemaran lingkungan tidak mengenal batas-batas
kabupaten/kota, batas provinsi bahkan batas antar negara. Pencemaran lingkungan dapat terjadi
lintas negara atau global.
Lingkungan tidak mengenal perbatasan (the environtment knows no frontiers) adalah
semboyan yang sangat populer pada tahun 1970-an ketika pertama kali Uni Eropa berada di
bawah tekanan politik untuk mendukung perkembangan kebijakan lingkungannya masing-
masing.1 Untuk menanggulangi pencemaran lingkungan yang melintasi batas negara maka
tidak cukup apabila upaya penanggulangannya hanya dilakukan satu negara saja. Di sini
diperlukannya kerjasama antar negara untuk menyelesaikannya.

1
Ian Mann. A Comparative Study of the Polluter Pays Principle and its International
Normative Effect on Pollutive Processes. vol. 20-21, British Virgin Islands, Januari, 2009,
hlm. 20-21.
1
Pada juni 1972, diselenggarakan Konferensi PBB mengenai Lingkungan Manusia,
pertemuan itu dilaksanakan di Stockholm pada 5-6 juni 1972, yang mempertimbangkan
perlunya suatu pandangan umum dan prinsip-prinsip umum untuk mengilhami dan
membimbing seluruh manusia dalam pelestarian dan peningkatan lingkungan manusia.
Salah satu pilar pilar hukum lingkungan global (internasional) adalah Deklarasi Stockholm
1972. Sebab, melalui Deklarasi Stockholm lahir 26 prinsip yang mencakup seluruh aspek
perlindungan lingkungan beserta ekosistemnya mengenai Lingkungan dan Pembangunan,
Rencana Aksi dengan 109 Rekomendasi, dan Resolusi.2 Prinsip Deklarasi Stockholm:
1. Sejarah HAM di Dunia harus ditegaskan, segala bentuk apharteid dan
penjajahan dihapuskan.
2. Sumber daya alam harus dijaga
3. Kapasitas bumi untuk menghasilkan sumber daya harus dipertahankan.
4. Satwa liar harus dilindungi
5. Sumber yang tidak bisa diperbaharui harus dibagikan dan tidak dihabiskan
6. Polusi tidak boleh melebihi kapasitas lingkungan dalam membersihkan dirinya
sendiri
7. Pencemaran lautan yang merusak harus dicegah
8. Dibutuhkan pengembangan untuk memperbaiki lingkungan
9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
10. Negara-negara berkembang membutuhkan harga wajar untuk mengekspor demi
melaksanakan manajemen lingkungan
11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan
12. Negara-negara berkembang membutuhkan dana untuk mengembangkan
perlindungan terhadap lingkungan
13. Diperlukan perencanaan pembangunan secara terpadu
14. Perencanaan yang rasional harus bisa menyelesaikan konflik antara lingkungan
dan pembangunan
15. Pemukiman manusia harus direncanakan untuk menghilangkan masalah
lingkungan
16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan sendiri yang sesuai

2
Nancy K. Kubasek - Gary S. Silverman, Environmental Law (Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall)
2
17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam
negara
18. Sains dan teknologi harus digunakan untuk memperbaiki lingkungan
19. Pendidikan lingkungan sangat penting
20. Penelitian lingkungan harus dipromosikan, khususnya di negara-negara
berkembang
21. Negara dapat mengeksploitasi sumber daya mereka sesuai yang mereka
inginkan, tetapi tidak membahayakan orang lain
22. Kompensasi ada karena keadaan yang terancam punah
23. Setiap negara harus menetapkan standarnya sendiri
24. Harus ada kerjasama dalam masalah internasional
25. Organisasi internasional harus membantu untuk memperbaiki lingkungan
26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan.
Tegasnya, Deklarasi Stockholm 1972 merupakan pijakan bagi negara-negara peserta
konvensi terhadap pentingnya menyelamatkan bumi dari pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup yang pada akhirnya akan membawa bencana bagi umat manusia itu sendiri.
Seiring berkembangnya permasalahan yang dihadapi oleh dunia internasional terhadap
permasalahan lingkungan internasional. Maka dari itu kami sebagai penulis menulis makalah
dengan mengangkat judul Permasalahan Lingkungan dalam Lingkup Hukum Lingkungan
Internasional akan membahas pembentukan dan perkembangan prinsip-prinsip yang berlaku
dalam hukum lingkungan internasional, membahas secara rinci namun singkat hak dan
kewajiban terhadap lingkungan sebagaimana diperkenalkan dalam konvensi-konvensi
internasional tentang lingkungan hidup, membahas prinsip-prinsip dalam hukum lingkungan
mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam pergaulan
masyarakat internasional, dan prinsip-prinsip pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pembentukan hukum lingkungan internasional ?
2. Bagaimana pengaturan hukum lingkungan internasional ?
3. Bagaimana peran hukum lingkungan internasional terhadap persengketaan lingkungan
di berbagai belahan dunia ?

3
4. Bagaimana Ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban serta prinsip-prinsip
yang ada dalam hukum lingkungan internasional ?
5. Bagaimana pertanggungjawaban negara pada kerusakan lingkungan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pembentukan hukum lingkungan internasional
2. Mengetahui pengaturan hukum lingkungan internasional
3. Mengetahui peran hukum internasional terhadap persoalan lingkungan di berbagai
belahan dunia
4. Mengetahui tentang hak dan kewajiban serta prinsip-prinsip yang dimiliki oleh negara
dalam hal perlindungan lingkungan
5. Menganalisis kasus serta pertanggungjawaban negara dalam mengatasi hal tersebut

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan umum


Penelitian ini diperlukan beberapa jurnal yang terkait dengan topik diatas, hukum
lingkungan internasional merupakan bagian dalam perkembangan hukum internasional
(internasional law). Hal ini berawal dari perkembangan istilah hukum internasional itu sendiri,
serta sumber-sumber hukum internasional yang selalu mengacu dari pasal 38 statuta mahkamah
internasional. Dalam perkembangannya, hukum lingkungan internasional tidak bisa lepas dari
persoalan sumber daya alam dunia yang telah tersebar di berbagai negara yang juga tidak dapat
mencukupi atau tidak sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin bertambah hingga saat
ini.

2.2. Penelitian
M. Daud Silalahi (2005) membuat jurnal yang berisi juga mengangkat tema yang terkait
dengan materi saat ini yaitu peranan dan kedudukan hukum lingkungan internasional dewasa
ini. Yang mengkaji beberapa prinsip umum hukum internasional dalam memberikan tekanan
dalam pentingnya perlindungan lingkungan, serta memberikan suatu perhatian terhadap
konservasi sumber daya alam yang saat ini terintegrasi dengan hukum perlindungan
lingkungan.
Budi Handoyo (2017) membuat jurnal yang berjudul “legalitas lingkungan hidup dalam
perspektif keadilan dan hukum administrasi negara” membicarakan hukum tidak lepas dari
manusia, karena setiap manusia harus memiliki hukum yang terkait dan seimbang dalam
mengatur kehidupannya. Hukum tidak hanya mengatur tentang kepentingan manusia saja tetapi
juga mengatur tentang lingkungan hidup yang mencakup berbagai aspek makhluk hidup di
bumi. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dan saling
berpengaruh di dalam kehidupan. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia
disebabkan oleh etika Antroposentrisme yang merupakan pandangan manusia sebagai pusat
dari alam semesta. Dalam perspektif inilah manusia dianggap pusat alam semesta dan boleh
melakukan apa saja kepada alam, sehingga melahirkan sikap eksploitasi alam serta isinya tanpa
peduli pada kerusakan dan dampak apa saja yang ditimbulkan. L. J. Van Apeldoorn,

5
menyatakan bahwa Aristoteles telah membagi keadilan dalam dua jenis, yaitu keadilan
distributief dan keadilan commutatief. Penegakan hukum lingkungan sangat dibutuhkan untuk
negara yang kesadaran masyarakatnya terhadap lingkungan hidup sangat rendah, pencemaran
dan perusakan lingkungan menyebabkan kerugian baik secara materil maupun immaterial,
serta kesulitan dalam memulihkan lingkungan yang sudah dirusak.
Rispalman (2018) dalam jurnalnya yang berjudul “sejarah perkembangan hukum lingkungan
di Indonesia” mengkaji beberapa hal salah satunya perkembangan lingkungan hidup di
berbagai negara di dunia. Hukum lingkungan mencakup berbagai hal salah satunya tentang
hukum administrasi, perdata, pidana, pajak, internasional, serta tata ruang.
Hukum lingkungan dalam ruang lingkup internasional mencakup secara mendalam
terkait beberapa permasalahan yang ada di dunia internasional atau masyarakat internasional
dalam menghadapi tantangan global seperti perilaku sebagian manusia yang tidak
memperdulikan alam dengan mengeksploitasi secara berlebihan serta membuang limbah atau
sampah dengan sembarang. Hal ini dapat menjadi pemicu adanya permasalahan lingkungan
hidup yang terjadi di masyarakat internasional.

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembentukan Hukum Lingkungan Internasional


Ruang lingkup Catherine Redgwell menyatakan bahwa hukum lingkungan
internasional itu adalah cabang dari hukum internasional. Dan arti dari hukum lingkungan
internasional itu sendiri adalah kumpulan prinsip-prinsip hukum yang dikembangkan oleh
sistem pengaturan tentang lingkungan baik nasional dan internasional.
Penggunaan istilah hukum lingkungan internasional tidak lepas dari sumber-sumber
hukum internasional yang selalu mengacu pada pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional.
Sumber-sumber hukum lingkungan internasional terus berkembang baik melalui perjanjian-
perjanjian internasional,hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, putusan
pengadilan, dan ajaran sarjana terkemuka/doktrin. Hukum lingkungan internasional tersebut
tidak bisa dari persoalan sumber daya alam dunia yang tersebar di seluruh negara-negara yang
semakin hari semakin berkurang sejalan dengan pembangunan dan jumlah penduduk dunia
yang makin banyak.

3.1.1 Sejarah Pembentukan


Awal mula pencetusan hukum lingkungan internasional berkaitan dengan perlindungan
satwa liar pada Konvensi Tahun 1902 menyangkut tentang Perlindungan Atas Burung-Burung
yang Berguna untuk Pertanian. Kriteria yang dipakai adalah kegunaan dari burung-burung
yang akan dilindungi terhadap pertanian dalam jangka waktu singkat tanpa ada penyebutan
burung-burung lain yang ada dalam ekosistem.
Pemikiran mengenai Hukum Lingkungan secara murni baru tercetus/dimulai pada
tahun 1930-an. Ditandai dengan ditandatanganinya “The 1933 London Convention Relative to
the Preservation of Fauna and Flora in Their Natural State” walaupun pada awalnya konvensi
ini bermaksud hanya untuk diberlakukan di wilayah Afrika, akan tetapi telah memulai gerakan
perlindungan yang nyata terhadap lingkungan tanpa memperhitungkan faktor ekonomis atau
kebutuhan semata. Taman-taman nasional dan perlindungan terhadap binatang serta tumbuhan
liar juga telah dibentuk. Konvensi Kedua yang dilahirkan adalah “The Convention on Nature
Protection and Wildlife Preservation in the Western Hemisphere.” Kemudian sejak saat itu
semakin banyak bermunculan perjanjian-perjanjian perbatasan antara negara-negara yang juga

7
mengatur mengenai penanggulangan pencemaran, terutama pencemaran di laut. Pada tahun
1954 ditandatangani konvensi mengenai “marine pollution”, yang kemudian diikuti oleh
perjanjian-perjanjian pencegahan pencemaran lainnya.
Dengan demikian dimulailah suatu era baru yang mendukung tumbuh dan
berkembangnya hukum lingkungan internasional, ditandai dengan banyaknya perjanjian-
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pencegahan pencemaran dan adanya
keputusan-keputusan pengadilan internasional (“International Jurisprudence”).

3.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional


1. Sebelum Stockholm Declaration 1972
Pada akhir tahun 1960-an dimulai suatu gerakan yang potensial mengenai perlindungan
lingkungan yang ditandai oleh 2 hal:
(1) Adanya dukungan dari negara-negara
(2) Adanya gerakan dalam level internasional
Pergerakan pada 1960 dikarenakan meskipun negara-negara telah mencantumkan klausul
pencegahan pencemaran dalam perjanjian-perjanjian internasional mereka tetapi
perhatiannya tidak secara menyeluruh terbukti dengan sampai dibuatnya Konvensi London
tahun 1933 dan Konvensi Washington, D.C.1940.
Pengakuan terhadap adanya masalah baru ini diberikan oleh organisasi internasional seperti
“the United Nations Economic Commission for Europe” yang mempelajari mengenai
pembuangan limbah dan pencemaran perairan pedalaman di Eropa. Pada tahun 1968, "The
Council of Europe" membuat langkah penting dengan mengeluarkan dokumen umum
tentang lingkungan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yaitu "the
Declaration on Air Pollution Control" dan "the European Water Charter" yang
diproklamirkan pada tanggal 6 Mei 1968. "The Council of Europe" juga membuat perjanjian
regional Eropa yang pertama tentang lingkungan yaitu "the European Agreement on the
Restriction of the Use of Certain Detergents in Washing and Cleaning Products". Langkah
ini diikuti oleh negara-negara di Afrika dengan menandatangani "The African Convention
on the Conservation of Nature and Natural Resources" pada tanggal 15 September 1968
yang menggantikan "The 1933 London Convention"

Pada Tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (“The United Nations”) memulai usahanya
dalam melindungi lingkungan. Majelis umum telah mempelopori konferensi dunia tentang
lingkungan hidup manusia pada tahun 1972 di Stockholm. Konferensi ini melibatkan

8
Kerjasama antar negara-negara dan organisasi non pemerintah ditambah dengan adanya
kejadian tenggelamnya kapal tanker berakibatkan konvensi ini sangat dibentuk.

2. Deklarasi Stockholm 1972


Konferensi Stockholm diadakan pada tahun 1972 dan dihadiri oleh kurang lebih 6000 orang
yang terdiri dari 113 delegasi negara, perwakilan dan pengamat dari hampir semua
organisasi non pemerintah, dan sekitar 1500 wartawan dari seluruh dunia. Konferensi ini
mendapatkan pengakuan secara internasional terutama dengan banyaknya dokumen-
dokumen yang disahkan selama acara penutupan, diantaranya adalah "Declaration on
Human Environment" yang diterima secara aklamasi. The Stockholm Declaration on the
Human Environment mengeluarkan pemyataan bahwa:
" ... man is at once the creature and molder of his environment: the natural element and the
manmade are essential to his well-being and to the full enjoyment of basic human rights,
even the rights to life itself".
Deklarasi mengakui bahwa :
“The natural growth of the world population continuously poses problems for the
preservation of the environment.”
akan tetapi juga menyadari bahwa kemampuan manusia untuk meningkatkan lingkungan
dapat diperkuat dengan perkembangan sosial dan evolusi dari produksi, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hasil penting lainnya dari Konferensi Stockholm adalah "the Action Plan for
the Human Environment" yang terdiri dari 109 resolusi. Atas dasar usulan dari Konferensi
Stockholm pada tahun 1972, Sidang Umum PBB kemudian membentuk badan khusus
pembantu yaitu "the United Nations Environment Program" (UNEP).

3. Perkembangan Setelah Deklarasi Stockholm


Konferensi Stockholm telah meletakkan dasar untuk pengaturan global mengenai
pengaturan global tentang perlindungan lingkungan. UNEP juga tlah dengan aktif
mengkoordinasikan kegiatan organisasi internasional tidak hanya yang ada dalam
lingkungan PBB tetapi juga organisasi regional. Di antara perkembangan yang terjadi di
bidang hukum adalah:

1) The United Nations Conference on the Law of the Sea yang menghasilkan 1982
Convention on the Law of the Sea. Konvensi ini mempunyai pengaturan yang cukup
komprehensif mengenai lingkungan laut.

9
2) The Charter of Economic Rights and Duties of States pasal 30 memproklamasikan
bahwa perlindungan, pelestarian dan pengelolaan lingkungan untuk generasi sekarang
dan yang akan datang adalah tanggung jawab dari semua negara.
3) The World Charter for Nature disepakati pada tahun 1982 yang merupakan titik
kulminasi dari perjuangan perlindungan lingkungan.
Beberapa prinsip dari hukum kebiasaan mengenai lingkungan mulai berkembang setelah
Konferensi Stockholm yang kemudian dituangkan oleh UNEP sebagai "the principles of
conduct in the field of the environment for the guidance of states in the conservation and
harmonious utilization of natural resources shared by two or more states" yang disetujui oleh
Governing Council UNEP pada tanggal 19 May 1978

3.2 Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional


Hukum lingkungan internasional telah menetapkan prinsip-prinsip dasar hukum
lingkungan internasional sebagai instrumen hukum. Berikut ini beberapa perjanjian
internasional di bidang hukum lingkungan internasional.

3.2.1 Perlindungan Lingkungan Laut.3


Rezim terhadap perlindungan lingkungan laut terdapat ke dalam beberapa konvensi
berdasarkan sumber pencemarannya. Pada bagian ini memuat beberapa sub bagian, yaitu
perlindungan lingkungan laut dari penambangan minyak, dumping dan dari sumber darat.
a) Konvensi Paris 1974
Nama asli dari konvensi ini adalah The 1974 Paris Convention for Prevention of Marine
Pollution from Land-Based Sources. Konvensi ini memuat 29 pasal dan 2 Annex yang
mewajibkan negara-negara peserta ikut serta secara individu atau bersama-sama
mencegah terjadinya pencemaran laut dari bahan-bahan pencemar yang bersumber dari
darat. Konvensi ini secara nyata mengatur mengenai jenis-jenis bahan pencemar yang
dilarang dan batasan yang dapat dimasukkan ke dalam laut. Maka dari itu, Annexnya
disebutkan terdapat 4 klasifikasi jenis bahan kimia yang dilarang serta dibatasi, dan
juga yang diperbolehkan hanya dengan jumlah yang ditentukan.

3
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, (Sinar Grafika Offset:
Jakarta, 2009), hlm. 68-69

10
b) Konvensi London 1976
Konvensi ini aslinya bernama Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage
Resulting From Exploration and Exploitation of Seabed Mineral Resources yang
dibentuk dan ditetapkan di London pada tahun 1976. Konvensi ini adalah konvensi
Internasional pertama yang menganggap bahwa tindakan mencemarkan lingkungan
laut merupakan suatu tindakan yang telah melawan hukum. Oleh sebab itu, Konvensi
London 1976 ini mewajibkan bagi setiap atau seluruh perusahaan yang melakukan
tindakan pencemaran di lepas pantai atau laut baik yang bersumber pada instalasi
maupun dari kapal, mereka memikul tanggung jawab secara finansial atas kerugian
yang menyebabkan derita bagi korban atau negara korban.
c) Konvensi Hukum Laut 1982
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) memang tidak secara khusus mengatur
mengenai pencemaran lingkungan. Pada Bab XII konvensi ini, mengatur secara umum
mengenai pencegahan pencemaran laut (marine pollution). Jadi menurut konvensi ini,
setiap negara memiliki hak kedaulatan (sovereign right) untuk dapat mengangkut
sumber daya alam di dalam laut maupun di dasar laut. Konvensi ini juga mewajibkan
kepada negara-negara peserta untuk memanfaatkan teknologi sadar lingkungan agar di
dalam melakukan penggalian sumber daya alam tersebut dengan tujuan supaya tidak
terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Maka dari itu, negara-negara di dunia
ini diwajibkan untuk dapat bekerja sama dalam membuat teknologi serta peraturan
perlindungan lingkungan laut.

3.2.2 Perlindungan Atmosfer4


a) konvensi Wina 1985
Konvensi Wina 1985 juga dikenal dengan nama The Vienna Conventation for the
protection of the Ozone Layer yang dibentuk pada tahun 1985. Permulaan konvensi
Wina 1985 ini menunjukkan akan adanya kesadaran masyarakat internasional atas
ancaman terhadap atmosfer dunia. Konvensi Wina ini merupakan hard law namun
memuat juga soft regulation, artinya konvensi tersebut tidak memuat standar yang perlu
dipenuhi dalam rangka membatasi zat perusak ozon. Namun demikian, konvensi ini
bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan kerja sama bagi para negara-negara di
dunia dalam melindungi lapisan ozon yang menipis. Tindak lanjut dari konvensi Wina

4
Ibid, hlm 69-70

11
1985 ini adalah munculnya Protokol Montreal 1987, Amandemen London 1990,
Amandemen Copenhagen 1992, Amandemen Montreal 1997 dan Amandemen Beijing
1999. Angka-angka standar dan jadwal (hard rules) yang mesti dicapai oleh negara-
negara anggota untuk dapat mencegah kerusakan yang berlanjut terhadap lapisan ozon.
b) Konvensi tentang Perubahan Iklim
Konvensi tentang perubahan iklim ini dirancang untuk mengatur tentang penggunaan
gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6 yang
merupakan penyebab terjadinya global warming dan global climate change. Tujuan
akhir dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada
suatu level yang mencegah akibat merusak dari gas rumah kaca pada sistem iklim.
Konvensi ini menggunakan approach yang sama dengan konvensi Wina 1985 tentang
Perlindungan Lapisan Ozon dimana Konvensi tentang Perubahan Iklim ini hanya
memuat soft obligations (aturan lunak) yaitu aturan yang tidak langsung menimbulkan
dampak terhadap. pengurangan zat yang dikontrol (controlled substances). Hard
obligations untuk mengurangi gas rumah kaca baru ditemukan dalam Kyoto Protocol
tahun 1997. Karena Protokol Kyoto menganut prinsip Common but Differentiated
Responsibilities, maka QELROs-nya (Quantified Emissions Limitation and Reduction
Objectives) ditetapkan secara berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara
yang lain. Misalnya, hampir semua negara-negara Eropa diminta untuk mengurangi
emisi mereka 8% di bawah level 1990 sedangkan Islandia dibolehkan mengeluarkan
10% lebih besar dari level 1990 (lihat Annex B)

3.2.3 Konservasi Alam5


Dalam Hukum Internasional, Perlindungan keanekaragaman hayati terdapat di dalam
dua konvensi internasional, yaitu CITES 1973 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Kedua
konvensi tersebut merupakan dua produk hukum internasional yang memberikan suatu
perlindungan terhadap setiap spesies di semua habitat yang ada di dunia ini.
a) CITES 1973
Konvensi CITES ini dibuat pada tahun 1973 dan ditandatangani oleh 21 negara. Nama
asli dari konvensi ini adalah the Convention on International Trade in Endangered
Species, konvensi ini memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap

5
Ibid hlm. 70-71

12
keanekaragaman hayati melalui pelarangan perdagangan spesies tertentu secara
internasional.6
b) Konvensi Keanekaragaman Hayati
Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati,negara memiliki hak berdaulat (sovereign
right) atas sumber daya biologisnya tetapi negara juga mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan serta melestarikan sumber daya biologis yang terdapat pada
wilayah teritorialnya. Maka dari itu, konvensi keanekaragaman hayti mengharuskan
negara-negara anggota mengembangkan strategi, program serta rencana nasional dalam
melaksanakan konservasi dan pemakaian berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.

3.2.4 Perlindungan Terhadap Bahan Beracun Berbahaya (B3)7


a) Konvensi Basle 1989
Konvensi Basle 1989 dibuat untuk mengatur tentang pelarangan perdagangan serta
perpindahan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) dari suatu negara anggota ke
negara anggota lainnya. Konvensi ini hanya memperkenankan perdagangan dan
perpindahan limbah B3 semata-mata hanya untuk keperluan daur ulang atau keperluan
bahan baku industri tertentu dengan syarat bahwa negara asal bersedia menerima
kembali sisa limbah B3 tersebut jika dari pemakaiannya masih meninggalkan limbah
B3.

3.3 Hukum lingkungan internasional terhadap persengketaan lingkungan di berbagai


belahan dunia
Sengketa lingkungan dapat muncul dari adanya hubungan antar negara yang sedang
melakukan kerjasama dalam bidang lingkungan. Hukum lingkungan internasional merupakan
cabang dari hukum internasional, sudah merupakan ketentuan hukum positif bahwa setiap
persoalan lingkungan yang melintasi batas negara harus diselesaikan secara damai tanpa
adanya kekerasan. Penyelesaian secara damai sudah diatur dalam Pasal 1 perjanjian tentang
Penyelesaian Sengketa-sengketa secara damai yang telah ditandatangani di Den Haag pada
tahun 1907, dan dikukuhkan kembali dalam Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB. 8

6
Koenadi Hardja Soemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 268-276.
7
Sukanda Husin, Hukum Lingkungan Internasional, Edisi pertama, (Sinar Grafika: Jakarta, 2016),
hlm.27
8
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung, Alumni, 2001, hlm.186

13
Hukum lingkungan internasional mendefinisikan sengketa internasional sebagai
sengketa antar dua negara, atau antara suatu negara dan suatu “entitas bukan negara” dalam
hal-hal persoalan lingkungan yang bersifat lintas batas. Dalam penyelesaian sengketa
lingkungan internasional, setiap negara yang bersengketa perlu memperhatikan beberapa
prinsip, antara lain: 9
· Prinsip itikad baik;
· Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa
· Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
· Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
· Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Hukum internasional sendiri membebaskan setiap negara untuk mencari jalan masing-
masing dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan internasional sendiri
dapat dilakukan lewat prosedur litigasi dan prosedur non litigasi. Penyelesaian secara litigasi
adalah penyelesaian lewat jalur hukum, dalam hal ini dibutuhkan peran Mahkamah
Internasional sebagai pengambil keputusan. Sedangkan, penyelesaian secara non litigasi
ditempuh lewat jalur non-hukum, antara lain negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, angket,
konsiliasi, dan arbitrase.
Berikut adalah penjabaran dari penyelesaian sengketa secara non litigasi, antara lain:
● Negosiasi; Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan perundingan secara langsung
antara pihak yang bersengketa guna mencari bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersengketa. Tujuan daripada perundingan tersebut tidak harus
untuk menyelesaikan sengketa tertentu, namun juga dapat menghasilkan suatu pengaturan
baru untuk dapat mencegah atau meredakan situasi sengketa yang potensial. Contoh kasus
penyelesaian secara negosiasi adalah kasus jatuh satelit Cosmos-954 bertenaga nuklir milik
Uni Soviet di Kanada.
● Jasa-jasa baik; Suatu bentuk penawaran dari negara ketiga untuk menawarkan jasa baiknya
mempertemukan negara-negara yang bersengketa untuk bertemu satu sama lain untuk
merundingkan sengketanya.
● Mediasi; Penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral
untuk menemukan solusi jalan keluar persengketaan antar negara.

9
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18

14
● Angket; Penyelesaian sengketa antar negara yang non yurisdiksional dengan tujuan
mengumpulkan fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa, keadaan di waktu terjadinya
sengketa dan jenis sengketa yang terjadi.
● Konsiliasi; Penyelesaian secara damai melalui suatu organ yang sebelumnya sudah
terbentuk atau kemudian dibentuk atas kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa setelah
munculnya masalah yang dipersengketakan.
● Arbitrase; Penyelesaian secara damai melalui surat keputusan oleh arbitrators yang
diberikan pihak-pihak yang bersengketa, dimana pihak-pihak tersebut sudah menerima sifat
mengikat keputusan yang diambil. Contoh kasus penyelesaian secara arbitrase adalah kasus
Lake Lanoux pada tahun 1957 antara Spanyol dan Prancis.

3.3.1 Peran Mahkamah Internasional Dalam Hukum Lingkungan


Mahkamah Internasional menjadi solusi dari penyelesaian sengketa secara litigasi atau
pengadilan dari masalah lingkungan internasional yang melintasi batas negara. Dengan adanya
Mahkamah Internasional, diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan global pada sektor
sengketa lingkungan hidup internasional yang belum memiliki penegakan hukum dan sanksi
yang kuat. Pada proses penyelesaian sengketa, Mahkamah Internasional bersifat pasif yaitu
hanya akan mengambil tindakan jika terdapat pihak-pihak yang berperkara mengajukan ke
Mahkamah Internasional. Sehingga, peran Mahkamah Internasional dalam sengketa
lingkungan hidup internasional hanya bergantung pada sukarela dan kesepakatan negara dalam
menyelesaikan sengketa.10

3.4 Hak dan Kewajiban serta Prinsip-prinsip


3.4.1 Hak dan kewajiban terhadap lingkungan
Hak dan kewajiban pada lingkungan diatur dan ditetapkan dalam undang-undang atau
peraturan negara. Sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia, masyarakat berhak
mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan baik. Namun masyarakat juga memiliki
kewajiban yang harus dilakukan terhadap lingkungannya.
Hak terhadap lingkungan :
1) Menikmati lingkungan segar

10
Nur Asyraf Munif Junaidy Nasser. (2018). Peran Mahkamah Internasional Dalam penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Internasional. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, 9(1), 124-125.

15
2) Memperoleh air yang bersih yang air bersih ini hanya sedikit di Bumi
3) Memperoleh apa yang manusia butuhkan
4) Memperoleh tempat untuk mendirikan berbagai prasarana dalam mendukung
kehidupan manusia
5) Bebas dari pencemaran lingkungan seperti polusi.

Kewajiban terhadap lingkungan :


Kewajiban menjaga lingkungan datang seiring pemanfaatannya sesuai dengan kepentingan
manusia. Kewajiban terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan
dan memperlakukan alam dengan pembatasan, Manusia sejatinya saling terkait serta tidak
terpisahkan dengan lingkungan sekitar, setiap orang memiliki kewajiban untuk memelihara
kelestarian lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran ataupun kerusakan
lingkungan hidup, Membatasi pola konsumsi serta produksi manusia yang mengeksploitasi
alam berlebihan demi kepentingan pribadi, serta Menerapkan kebijakan dalam pengelolaan
sumber daya alam dan pelestariannya agar masyarakat dapat memanfaatkan SDA dan dan
alam yang baik.

3.4.2 Prinsip-prinsip Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan

A. Prinsip-prinsip berkenaan dengan Pencemaran Lintas Batas dan Perusakan


Lingkungan
1. A Duty to Prevent, Reduce and Control Environmental Harm
Setiap negara diberikan kewajiban oleh Hukum internasional untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan demi mengontrol dan menangani sumber pencemaran global
yang serius atau sumber perusakan lintas batas yang ada dalam wilayah yurisdiksi
mereka. Lalu Prinsip ini diuraikan dalam prinsip-prinsip khusus sebagai berikut:
a) Due Diligence and Harm Prevention
Prinsip ini merupakan prinsip yang menentukan bahwa setiap pemerintah yang baik
hendaknya memastikan ketentuan-ketentuan hukum maupun administratif yang
mengatur tindakan-tindakan publik maupun privat, hal ini dilakukan demi
melindungi negara lain dan lingkungan global. Adapun keunggulan dari standar ini
yaitu fleksibilitasnya dan negara tidaklah menjadi satu-satunya penjamin atas
pencegahan kerusakan. Untuk menerapkan prinsip ini butuh untuk
mempertimbangkan segala segi aspek dari pemerintahan baik dari segi Sumber daya

16
alam yang tersedia, segi keefektifan atau tidaknya pengawasan wilayah, maupun dari
segi aktivitas yang dilakukan. Akan tetapi kekurangan dari prinsip ini bahwa tidak
jelasnya ketentuan mengenai bentuk peraturan dan kontrol yang diminta dari setiap
negara, karena tergantung kepada kondisi dari negara yang bersangkutan.
b) Absolute Obligations of Prevention
Sesuai Prinsip ini setiap negara diharuskan untuk berusaha sebaik dan semaksimal
mungkin dalam melakukan pencegahan terhadap terjadinya pencemaran, juga bahwa
negara bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang tidak terhindari atau tak
terduga sebelumnya. Akan tetapi prinsip ini dianggap terlalu jauh membatasi
kebebasan negara dalam menentukan kebijaksanaan mengenai lingkungan di
wilayahnya sendiri. Kekurangan dari Prinsip yaitu hanya menitikberatkan pada
kewajiban pembuktian dan tanggung jawab atas terjadinya kerusakan kepada pihak
yang menyebabkan pencemaran daripada penekanan dalam mengenai pengawasan
yang seharusnya.
c) Foreseeability of Harm and the “Precautionary Principle”
Berdasarkan dari ketentuan ini negara diwajibkan untuk menghitung setiap
kebijaksanaannya berkenaan dengan lingkungan, Negara wajib untuk mencegah atau
melarang tindakan yang sebelumnya yang diduga akan dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan.

2. Transboundary Co-operation in Cases of Environmental Risk


Prinsip kedua dalam hukum lingkungan internasional ini bahwa di setiap negara
diharuskan untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal-hal untuk
penanggulangan pencemaran lintas batas negara. Hal ini sesuai dengan adanya
pengakuan bahwa ada kalanya negara-negara tersebut mempunyai “shared natural
resources”, yang harus dimanfaatkan bersama. Shared natural resources merupakan
Konsep “Sumber Daya Alam Bersama” yang digunakan ketika satu sumber daya alam
berada di bawah yurisdiksi beberapa negara bagian. Contohnya seperti Danau yang
dibatasi oleh dua atau lebih negara bagian, Sungai yang mengalir melalui wilayah
beberapa negara bagian, atau jenis-jenis hewan berpindah (“migratory species”).
Pemanfaatan yang berkeadilan menyeimbangkan berbagai kepentingan negara yang
bersangkutan.

17
Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah menegaskan bahwa kerjasama melalui pengaturan
multilateral atau bilateral atau cara lain yang sesuai sangat penting untuk secara efektif
mengendalikan, mencegah, mengurangi dan menghilangkan efek lingkungan yang
merugikan akibat dari kegiatan yang dilakukan di semua bidang. Hal sedemikian rupa itu
dilakukan untuk memperhitungkan kedaulatan dan kepentingan semua negara.

3. The “Polluter Pays” Principle


Ketentuan The “Polluter Pays” lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi
hukum, karena pengaturannya yang mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai
kerusakan dan pembebanannya.
OECD’s memberikan definisi sebagai berikut:
“Pencemar harus menanggung biaya pelaksanaan tindakan yang diputuskan oleh otoritas
publik untuk memastikan bahwa lingkungan berada dalam “keadaan yang dapat
diterima”, atau dengan kata lain biaya tindakan ini harus tercermin dalam biaya barang
dan jasa yang menyebabkan polusi diproduksi dan atau konsumsi”. Dengan demikian
bagi pihak yang menyebabkan pencemaran akan dikenakan segala biaya baik yang
digunakan untuk pencegahan pencemaran maupun untuk memperbaiki kerusakan akibat
pencemaran tersebut.

4. Equal Access and Non-Discrimination


Ketentuan dasar dari prinsip ini adalah bahwa pihak asing dapat menggunakan
ketentuan-ketentuan ganti rugi yang ada dalam hukum nasional suatu negara yang
berkenaan dengan adanya pencemaran lintas batas yang disebabkan oleh negara yang
bersangkutan. Prinsip ini meminta perlakuan yang sama baik kepada subyek hukum
nasional maupun subyek hukum asing tanpa adanya perbedaan atau diskriminatif.

B. Prinsip-prinsip Pelestarian dan Pemanfaatan dari Sumber Daya Alam dan Area
Bersama (“Conservation and Utilization of Natural Resources and Common Spaces”)
1. Status Hukum dari Sumber Daya Alam dan Area Bersama
Dalam hukum internasional diakui adanya kedaulatan tetap dari negara atas sumber daya
alam yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya. Setiap negara juga harus mengakui
bahwa akan ada kemungkinan dimana beberapa negara mempunyai “shared natural
resources”, jadi tidak hanya dalam k ontrol satu negara saja tetapi negara-negara yang

18
bersangkutan akan mempunyai “shared rights over the resources”. Kepunyaan bersama
ini dianggap sebagai warisan bersama dari umat manusia, yang harus dijaga dan
dipelihara bersama.

2. Prinsip Berkenaan dengan Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Perlindungan


terhadap Lingkungan
Setiap negara harus memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya secara wajar,
tidak berlebihan (“reasonable use”) dan tidak melakukan suatu penyalahgunaan dari hak
eksploitasi yang dimilikinya (“abuse of rights”) serta akan memanfaatkan suatu “shared
resources” dengan penggunaan yang bersifat seimbang (“equity and equitable
utilization”). Prinsip ini juga mengharuskan kepada negara-negara untuk selalu bertindak
sebagai tetangga yang baik, karena mereka pada dasarnya hidup dalam satu tempat yang
sama (bumi) dan menikmati semua yang ada bersama-sama.

3.5 Analisis kasus serta Pertanggungjawaban Negara dalam hal tersebut


Sengketa Internasional Terkait Pencemaran Laut Timor Akibat Kebocoran Sumur Minyak
Montara Australia Antara Indonesia dan Australia
Pada tahun 2009, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009, terjadi suatu permasalahan
yang menyangkut antara negara Indonesia serta negara Australia. Sumur minyak yang
terletak di perairan antara Australia dan Indonesia bagian timur. Permasalahan tersebut
menyangkut tentang pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh minyak yang bocor
atau tersebar dengan tidak terkendali akibat dari meledaknya anjungan pengeboran minyak
yang dikendalikan oleh anak perusahaan milik PTT Exploration and Production
(PTTEP) Australasia yaitu, Montara. Anjungan pengeboran minyak yang dikendalikan
oleh Montara tersebut awalnya mengeluarkan api yang tak terkendali lalu pada akhirnya
anjungan pengeboran minyak milik Montara tersebut meledak. Sumur minyak yang telah
digali oleh Montara tersebut, tetap mengeluarkan minyak-minyak mentah yang berasal dari
dalam bumi.
Anjungan pengeboran minyak milik Montara yang meledak tersebut berjarak 700
Kilometer dari daratan Australia, yaitu tepatnya Kota Darwin, Australia Timur. Tetapi
anjungan pengeboran minyak yang meledak itu hanya berjarak 250 kilometer dari
kepulauan Indonesia, yaitu Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Sebenarnya PTT
Exploration and Production (PTTEP) adalah perusahaan minyak dan gas yang berasal dari

19
negara Thailand, tetapi perusahaan migas tersebut mengembangkan dan menjalankan
produksinya di wilayah hukum negara Australia.
Ledakan pada anjungan pengeboran minyak Montara berdampak besar kepada
kehidupan ekologi dan kehidupan masa depan manusia. Minyak adalah suatu cairan yang
bermanfaat jika telah diproduksi dengan cermat tetapi akan berdampak buruk jika produksi,
distribusi, dan konsumsinya tidak dilakukan dengan cermat dan tepat. Pada masalah
meledaknya anjungan pengeboran minyak milik Montara ini, Montara telah lalai dalam
tahap produksi. Dengan mengacu pada beberapa artikel dan jurnal yang beredar, Montara
telah gagal dalam melindungi keselamatan pekerja dan lingkungan. Walaupun tidak
disebutkan faktor apa yang menyebabkan anjungan pengeboran minyak milik Montara
meledak, tetapi dapat disimpulkan bahwa pihak manjemen Montara yang bersalah. Karena
dalam setiap perusahaan, jika ada suatu permasalahan yang berdampak bagi kegiatan
eksternal perusahaan dan berdampak bagi perusahaan, perseorangan ataupun subjek
maupun objek yang lainnya, maka manajemen/perusahaan pemegang kendali yang dapat
disalahkan. Ledakan anjungan pengeboran minyak milik Montara ini telah berdampak bagi
lingkungan dan kehidupan manusia di wilayah Indonesia.
Berdasarkan Konvensi London 1972, kelalaian yang dilakukan oleh pihak Montara
dalam mengoperasikan anjungan pengeboran minyak miliknya, sehingga berdampak buruk
bagi lingkungan khususnya lingkungan laut di suatu wilayah Indonesia, maka pihak
montara telah melanggar hukum karena telah melakukan pencemaran lingkungan walaupun
peristiwa tersebut terjadi karena ketidaksengajaan. Dan berdasar pada prinsip A Duty to
Prevent, Reduce and Control Environmental Harm, negara Indonesia berhak dan wajib
untuk menangani sumber pencemaran global yang serius atau sumber perusakan lintas
batas yang ada dalam wilayah yurisdiksi negara Indonesia.
Dapat diperkirakan dampak pencemaran tumpahan minyak dari sumur minyak milik
Montara yang terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut, sekitar 75% minyak masuk
wilayah perairan Indonesia. Pencemaran yang terjadi akibat dari ledakan anjungan
pengeboran minyak milik Montara ini menjadi masalah yang penting bagi Bangsa
Indonesia, karena pencemaran minyak memasuki Zona Ekonomi Ekslusif. Hal tersebut
mendapat perhatian sebagaimana yang telah diatur dalam hukum laut internasional Pasal
192, yang menyatakan bahwa setiap negara harus menjaga lingkungan laut, yang berarti

20
bahwa dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa ekosistem laut merupakan bagian
yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh setiap negara.11
Penyelesaian:
Pihak Pemerintah Indonesia harus sigap dalam menangani dan menanggulangi
peristiwa ini. Dengan cara penanggulangan yaitu mendirikan pusat komando bagi tim
khusus yang ditugaskan menangani kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan minyak
ini. Posko-posko medis harus segera didirikan pada wilayah yang terdampak pencemaran
lingkungan demi menanggulangi dampak bagi kesehatan masyarakat yang ada di wilayah
yang terdampak.
Dalam penanganan terhadap peristiwa ini, Pemerintah harus mengambil langkah cepat
untuk mengumpulkan sampel-sampel dari air laut, biota laut dan segala objek yang
terdampak dari pencemaran lingkungan akibat dari minyak ini, sehingga Pemerintah
Indonesia dapat lebih cepat mengetahui langkah apa yang tepat untuk dilakukan
kedepannya.
Berdasarkan Pasal 283 UNCLOS, negara-negara yang bersengketa atas pencemaran
lingkungan wajib untuk bertukar pandangan dan membuat perjanjian dalam menangani
kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh satu negara diantara negara yang
bersengketa tersebut. Sesuai dengan kasus ini, Pemerintah Indonesia berhak dan wajib
untuk bernegosisasi kepada pihak PPTEP ataupun pihak Australia dalam menangani kasus
pencemaran lingkungan karena minyak ini. Pembuatan perjanjian antara pihak yang
bersengketa ini diharapkan agar para pihak yang bersengketa tetap sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Pasal 33 Piagam PBB, yaitu pihak yang bersengketa harus menyelesaikan
sengketanya secara damai.
Pemerintah Indonesia dalam perjanjian yang akan ditulis seharusnya menuliskan
jumlah ganti-rugi yang harus dibayarkan oleh pihak yang bersalah dengan jumlah yang
sesuai dengan dampak yang terjadi bagi wilayah Indonesia. Minyak yang berasal dari
ledakan anjungan pengeboran minyak Montara telah sampai pada kejauhan 284 Kilometer
(KM) dari pantai Indonesia, banyak nelayan yang mengeluh bahwasanya biota laut yang
selama ini menjadi sumber penghidupan mereka, kini telah tercemar dan sudah tidak dapat
lagi untuk di panen. Seperti halnya golongan masarakat yang terdampak peristiwa

11Maya Dwi Ambarwati, Penyelesaian Sengketa Pencemaran Laut TimorAkibat Kebocoran Sumur
Minyak Montara Australia Antara Indonesia dan Australia. Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang: 2021. Hal 64.

21
pencemaran lingkungan ini adalah: Petani rumput laut yang telah kehiangan pekerjaannya
karena rumput laut di laut timur telah tercemar miyak, nelayan akan mendapatkan
tangkapan yang sedikit dan kualitas ikan yang tidak baik, dan wilayah pantai di beberapa
daerah di NTT telah tercemar karena minyak.
Jika mendasarkan penelitian terhadap wilayah dan objek yang telah terdampak
pencearan minyak ini serta tawaran dan gugatan yang dilakukan pihak Montara dan gugatan
yang dilakukan oleh pihak Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), yaitu ganti rugi yang
ditawarkan oleh Pihak Montara adalah 5 juta Dollar Amerika Serikat, dan
mempertimbagkan kejadian dan dampak yang ikut terbawa ketika terjadinya pencemaran
lingkungan ini, maka dapat diajukan ganti-rugi oleh para masyarakat yang terdampak
pencemaran lingkungan ini sebesar 800 Juta Rupiah sampai 1 Triliun Rupiah.
Kejadian pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh minyak dan berdampak bagi
wilayah negara Indonesia ini telah terjadi 13 tahun yang lalu dan proses penyelidikannya
telah berlangsung selama 10 tahun. Ganti-rugi yang diajukan oleh pihak yang dirugikan
masih belum dapat digantikan oleh pihak Montara. Penyelesaian yang dapat dilakukan agar
cepat selesainya proses pertanggung jawaban atas pencemaran lingkungan melewati batas
negara ini dapat dilakukan sesuai dengan pengaturan yang terdapat pada UNCLOS 1982.
Walaupun UNCLOS 1982 tidak mengatur secara rinci tentang ganti-rugi yang harus
diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa, namun UNCLOS 1982 dapat dijadikan
acuan pada MoU yang dituliskan antara pihak yang bersengketa. Karena UNCLOS 1982
berisi tentang dasar-dasar penyelesaian sengketa antar negara dalam hal sengketa laut.

22
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Hukum lingkungan internasional itu sendiri merupakan
kumpulan prinsip-prinsip hukum yang dikembangkan oleh sistem pengaturan tentang
lingkungan baik nasional dan internasional. Hukum lingkungan internasional tersebut tidak
bisa dari persoalan sumber daya alam dunia yang tersebar di seluruh negara-negara yang
semakin hari semakin berkurang sejalan dengan pembangunan dan jumlah penduduk dunia
yang makin banyak. Awal mula pencetusan hukum lingkungan internasional berkaitan dengan
perlindungan satwa liar pada Konvensi Tahun 1902 menyangkut tentang Perlindungan Atas
Burung-Burung yang Berguna untuk Pertanian. Dan dari situlah dimulai suatu era baru yang
mendukung tumbuh dan berkembangnya hukum lingkungan internasional, ditandai dengan
banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai pencegahan
pencemaran dan adanya keputusan-keputusan pengadilan internasional (“International
Jurisprudence”).
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Sebelum
Stockholm Declaration 1972 Pada akhir tahun 1960-an dimulai suatu gerakan yang potensial
mengenai perlindungan lingkungan. Beberapa prinsip dari hukum kebiasaan mengenai
lingkungan mulai berkembang setelah Konferensi Stockholm yang kemudian dituangkan oleh
UNEP sebagai "the principles of conduct in the field of the environment for the guidance of
states in the conservation and harmonious utilization of natural resources shared by two or
more states" yang disetujui oleh Governing Council UNEP pada tanggal 19 May 1978.
Hukum internasional sendiri membebaskan setiap negara untuk mencari jalan masing-
masing dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan internasional sendiri
dapat dilakukan lewat prosedur litigasi dan prosedur non litigasi. Penyelesaian secara litigasi
adalah penyelesaian lewat jalur hukum, dalam hal ini dibutuhkan peran Mahkamah
Internasional sebagai pengambil keputusan. Sedangkan, penyelesaian secara non litigasi
ditempuh lewat jalur non-hukum, antara lain negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, angket,
konsiliasi, dan arbitrase.

23
4.2 Saran
1. Masyarakat harus mengimbangi antara hak dan kewajiban. Sebagai salah satu bagian dari
hak asasi manusia, masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan
baik. Namun selaras dengan hak nya masyarakat juga memiliki kewajiban yang harus
dilakukan terhadap lingkungannya dengan menjaga keseimbangan dan memperlakukan
alam dengan pembatasan guna menjaga kelestarian lingkungan.
2. Diharapkan penegak hukum lingkungan internasional dapat terus memperketat
penjagaan dan selalu melakukan pembaharuan aturan dengan menyesuaikan
permasalahan yang sering terjadi dalam lingkup lingkungan internasional, agar para
oknum tidak memiliki peluang untuk melakukan pelanggaran dan kejahatan yang
bertentangan dengan hukum lingkungan internasional.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Ambarwati, Maya Dwi. 2021. Penyelesaian Sengketa Pencemaran Laut TimorAkibat
Kebocoran Sumur Minyak Montara Australia Antara Indonesia dan Australia. Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang.
Boer Mauna, Boer. 2001. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni.
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar
Grafika Offset.
Husin, Sukanda. 2016. Hukum Lingkungan Internasional, Edisi pertama. Jakarta: Sinar
Grafika.
Kubasek, Nancy K. and Gary S. Silverman, Environmental Law (Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall)
Mann, Ian. 2009. A Comparative Study of the Polluter Pays Principle and its International
Normative Effect on Pollutive Processes. vol. 20-21, British Virgin Islands.
Nasser, Nur Asyraf Munif Junaidy. 2018. Peran Mahkamah Internasional Dalam penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Internasional. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas
Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma.
Soemantri, Koenadi Hardja. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

25

Anda mungkin juga menyukai