Anda di halaman 1dari 8

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 503
Pneumokoniosis
Agus Dwi Susanto
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
Abstrak: Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi
debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. Reaksi utama
akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Faktor utama yang berperan pada patogenesis
pneumokoniosis adalah karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran
napas terhadap partikel debu. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar
memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Mediator inflamasi yang pal-
ing banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-
, Interleukin-(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-
. Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis
terbanyak di seluruh dunia. Ada tiga kriteria mayor dalam diagnosis pneumokoniosis: pajanan
yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis
disertai dengan periode laten, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi,
dan tidak dapat diidentifikasi penyakit lain sebagai penyebab. Klasifikasi International Labour
Organization (ILO) digunakan untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus.
Tata laksana pneumokoniosis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada
pengobatan yang efektif untuk mengurangi kelainan ataupun menghentikan progresivitas
pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. J Indon Med Assoc.
2011;61:503-510.
Kata kunci: pneumokoniosis, patogenesis, diagnosis, tata laksana
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 504
Pneumoconiosis
Agus Dwi Susanto
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/
Persahabatan Hospital, Jakarta
Abstract: Pneumoconiosis is an occupational lung disease caused by dust deposition in the lungs
and the reaction of lung parenchim towards it. The major reaction caused by dust deposition in the
lungs is fibrosis. Major factors contributing to pathogenesis of pneumoconiosis were dust particle
characteristic, amount, duration of exposure and airway response to dust particle. Citotoxicity of
dust particle to alveolar macrophage has important role in pathogenesis of pneumoconiosis. The
inflammatory mediators which play major role in pathogenesis of pneumoconiosis includes tumor
necrosis factor (TNF)-, interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor and transforming
growth factor (TGF)-. Silicosis, asbestosis and coal worker pneumoconiosis are the most
frequent types of pneumoconiosis around the world. There are three major criteria in the diagno-
sis of pneumoconiosis: history of exposure with mineral dust that is possible to cause pneumoco-
niosis with laten period of exposure, specific appearance of the disease especially radiologic
abnormality and no other cause can be identified. International Labour Organization (ILO)
classification is used for radiologic interpretation for diffuse parenchimal abnormality. Manage-
ment of pneumoconiosis is symptomatic treatment. There is no effective treatment known to cause
regression of abnormality or stop progressivity of pneumoconiosis. Prevention is most important
action in pneumoconiosis. J Indon Med Assoc. 2011;61:503-510.
Keywords: pneumoconiosis, pathogenesis, diagnosis, management
Pneumokoniosis
Pendahuluan
Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula
pada kesehatan. Industri menimbulkan polusi udara baik di
dalam maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempe-
ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas
dan paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu,
gas ataupun asap yang timbul dari proses industri.
1
Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat
kerja, terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah
yang mengancam para pekerja. Data World Health Organi-
zation (WHO) tahun 1999 menunjukkan bahwa terdapat 1,1
juta kematian oleh penyakit akibat kerja di seluruh dunia, 5%
dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang
dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work-
related and occupational respiratory disease (SWORD)
menunjukkan pneumokoniosis hampir selalu menduduki
peringkat 3-4 setiap tahun.
2
Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia
mengenal proses penambangan mineral. Berbagai jenis debu
mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis.
3-5
Debu asbes
dan silika serta batubara merupakan penyebab utama
pneumokoniosis. Debu mineral lainnya dapat juga me-
nyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampak
secara klinis dan radiologis setelah pajanan debu ber-
langsung 20-30 tahun.
2,5
Definisi
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu
pneumo berarti paru dan konis berarti debu. Terminologi
pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggam-
barkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi
debu mineral.
3
Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan
berbagai keadaan berikut:
6,7
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik
seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah
(stannosis)
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoko-
niosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti
kapas (bisinosis)
Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan
dengan inhalasi debu anorganik. Definisi pneumokoniosis
adalah deposisi debu di dalam paru dan terjadinya reaksi
jaringan paru akibat deposisi debu tersebut.
4,8
International
Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokonio-
sis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan
debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap
debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru
adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada
kelainan reaksi non-neoplasma akibat debu tanpa me-
Pneumokoniosis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 505
masukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat
terjadi akibat pajanan debu dalam jangka lama.
3
Epidemiologi
Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap
negara di dunia. Data SWORD di Inggris tahun 1990-1998
menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di
Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993
sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-
1999 sebesar 61%.
9
Jumlah kasus kumulatif pneumokonio-
sis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan sampai
tahun 2008 mencapai 10 963 kasus.
10
Di Amerika Serikat,
kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami
penurunan, pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 2 531 kasus
kematian.
11
Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara
merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di Aus-
tralia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus
pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis
dan 6% pneumokoniosis batubara.
12
Prevalensi pneumoko-
niosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat
dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya
kandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut.
Studi surveilans yang dilakukan di Michigan, Amerika
Serikat, antara tahun 1987 hingga 1995 menunjukkan bahwa
60% lebih dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah
bekerja selama minimal 20 tahun menderita silikosis. Tahun
1 , 1 5
3 , 1
9 , 8
1 , 7
1 , 5
5
0 , 5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 0
%

k
a
s
u
s

p
n
e
u
m
o
k
o
n
i
o
s
i
s
D a r ma n t o
( B a t u b a r a ,
1 9 8 9 )
O S H Ce n t e r
( T a mb a n g
b a t u , 1 9 9 0 )
B a n g u n d k k
( T a mb a n g
b a t u , 1 9 9 8 )
K a s ma r a
( Pa b r ik s e me n ,
1 9 9 8 )
O S H C e n t e r
( K e r a mik ,
2 0 0 0 )
Pa n d u d k k
( Pa b r ik p is a u
b a ja , 2 0 0 2 )
D a ma y a n t i d k k
( Pa b r ik s e me n ,
2 0 0 5 )
Gambar 1. Beberapa Data Penelitian Pneumokoniosis di Indonesia
1996 silikosis dilaporkan terjadi pada 60 orang dari 1072 pekerja
pabrik mobil. Risiko penyakit ini meningkat seiring dengan
lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja
dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menderita silikosis.
9
Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia
belum ada. Data yang ada adalah penelitian-penelitian berskala
kecil pada berbagai industri yang berisiko terjadi pneumoko-
niosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan prevalensi
pneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8% (gambar 1). Penelitian
Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan
prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%.
13
Data
penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu
menemukan kasus pneu-mokoniosis sebesar 3,1%. Penelitian
oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu di
Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%.
14
Kasmara (1998) pada pekerja semen menemukan kecurigaan
pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH center tahun 2000 pada
pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%.
15
Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002
menemukan 5% gambaran radiologis yang diduga pneumoko-
niosis. Damayanti et al. pada pabrik semen menemukan
kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.
13
Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru
Debu adalah aerosol yang tersusun dari partikel-partikel
padat yang bukan termasuk benda hidup. Respons jaringan
tubuh seseorang terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain sifat fisik, kimia dan faktor
Pneumokoniosis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011
506
pejamu.
4,7,17
Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat
pajanan debu. Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar
debu rata-rata di udara dan waktu pajanan terhadap debu
tersebut.
3,4,16
Sifat fisik
Beberapa sifat fisik agen/bahan yang terinhalasi sangat
mempengaruhi respons jaringan paru. Keadaan fisik seperti
bentuk partikel uap atau gas, ukuran dan densitas partikel,
bentuk dan kemampuan penetrasi mempengaruhi sifat migrasi
dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh,
contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan silika
menyebabkan reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti
mangan dan berrylium mempunyai efek sistemik. Gas dan
uap yang relatif tidak larut seperti nitrogen oksida terinhalasi
sampai saluran napas kecil sedangkan yang larut seperti
amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di hidung
dan nasofaring. Sifat higroskopis partikel meningkatkan
ukurannya bila melalui saluran napas bawah. Sifat elek-
triksitas partikel juga menentukan letak deposisi di saluran
napas.
Sifat Kimia
Beberapa sifat kimia yang penting adalah sifat asam
atau basa, interaksi atau ikatan dengan substansi lain, sifat
fibrogenisitas dan sifat antigenisitas. Sifat asam atau basa
suatu bahan berhubungan dengan efek toksik pada silia,
sel-sel dan enzim. Beberapa bahan mempunyai kecen-
derungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan
jaringan. Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai
efek sistemik sedangkan komponen fluorin mungkin
mempunyai efek lokal dan sistemik. Sifat fibrogenisitas
merupakan sifat suatu bahan menimbulkan fibrosis jaringan.
Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi
jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan
asbes. Contoh debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur,
karbon dan timah. Sifat antigenisitas merupakan sifat bahan
untuk dapat merangsang antibodi, contohnya spora jamur
bila terinhalasi dapat merangsang respons imunologi.
Faktor Pejamu (host)
Faktor pejamu (host) berperan penting pada respons
jaringan terhadap agen/bahan terinhalasi. Gangguan sistem
pertahanan paru alami seperti kelainan genetik akan
mengganggu kerja silia, kecepatan bersihan dan fungsi
makrofag. Kecepatan dan rerata bersihan adalah karakteristik
bawaan. Gangguan sistem pertahanan paru didapat
contohnya karena obat-obatan, asap rokok, temperatur dan
alkohol mempengaruhi fungsi silia dan fungsi makrofag.
Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru
mempengaruhi pola pernapasan yang pada akhirnya
mempengaruhi deposisi agen/bahan terinhalasi. Keadaan
imunologi contohnya alergi atau atopi mempengaruhi
respons terhadap suatu agen.
Mekanisme Deposisi Partikel di Saluran Napas
Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas
dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu,
waktu pajanan, rerata pernapasan dan volume tidal. Kon-
sentrasi debu yang berhubungan dengan pneumokoniosis
diperkirakan >5000
o
/cc udara.
4
Debu yang mudah dihirup
berukuran 0,1 sampai 10 mikron.
7
Deposisi partikel debu di
saluran napas dan paru terjadi melalui mekanisme impaksi,
sedimentasi dan difusi atau gerak Brown.
Impaksi
Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak
dapat berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat
hal tersebut banyak partikel tertahan di mukosa hidung, far-
ing ataupun percabangan saluran napas besar. Sebagian
besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di
nasofaring. Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel
tertahan di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah
arah.
4,18
Sedimentasi
Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap
sesuai dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel
berukuran sedang (1-5 mm). Umumnya partikel tertahan di
saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus
respiratorius.
4,18
Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada
mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu
respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru.
Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat
berkurang pada saluran napas tengah.
4,7
Sekitar 90% dari
konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli,
10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan
pneumokoniosis.
7,17
Difusi
Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan
aliran udara. Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil.
Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk
alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di dinding
alveoli (gerak Brown).
4,7,18
Mekanisme Pertahanan Paru terhadap Partikel Terinhalasi
Sebagian besar debu yang terinhalasi akan difiltrasi oleh
saluran napas atas atau dibersihkan oleh silia di saluran napas
besar.
5
Pada prinsipnya sistem pertahanan tubuh terhadap
partikel atau debu yang terinhalasi terdiri atas tiga sistem
pertahanan yang saling berkaitan dan bekerja sama yaitu:
Garis pertahanan pertama adalah filtrasi mekanik udara
inspirasi di saluran napas atas dan bawah.
4,17
Filter
saluran napas atas terdiri atas rambut-rambut dan lipatan
mukosa (konka) yang menimbulkan turbulensi udara
sehingga partikel tertahan di saluran napas atas.
5
Efektivitas filtrasi tersebut menentukan deposit partikel
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011
Pneumokoniosis
507
pada saluran napas. Reseptor saluran napas berperan
dalam menimbulkan konstriksi otot polos bronkus
terhadap iritasi kimia dan fisik, menurunkan penetrasi
partikel dan gas berbahaya serta mencetuskan bersin
dan batuk.
4,17
Garis pertahanan ke-2 yaitu cairan yang melapisi saluran
napas dan alveoli serta mekanisme bersihan silia
(bersihan mukosiliar). Cairan tersebut berfungsi sebagai
pertahanan fisik dan kimia berisi bahan yang mempunyai
sifat bakterisidal dan detoksifikasi.
4,17
Mekanisme
bersihan mukosiliar (mukus disekresi oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa) membuat partikel dikeluarkan
kembali ke laring dan akhirnya ditelan.
5
Garis pertahanan ke-3 adalah pertahanan spesifik paru
yang terbagi atas 2 sistem utama yaitu imunitas humoral
(produksi antibodi) dan imunitas seluler (limfosit T).
4,17
Makrofag merupakan sistem pertahanan seluler yang
membersihkan semua partikel kecil. Makrofag alveolar
membersihkan partikel yang terdeposit dengan meka-
nisme fagositosis.
5
Patogenesis Pneumokoniosis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneu-
mokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh
khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.
Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan
menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumoko-
niosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveo-
lar memegang peranan penting dalam patogenesis pneu-
mokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik
dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan
partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandungan
besi juga merupakan hal yang terpenting pada patogenesis
pneumokoniosis.
2
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons
makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi
paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses
selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel
debu.
2
Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut
aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik
cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran
utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas
bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan
saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fi-
brosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.
Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert
dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan
reaksi jaringan yang minimal.
6,7
Debu inert akan tetap berada
di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena
umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis
lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di
dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke
bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu
yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis
makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut
yang diikuti dengan fibrositosis.
2
Menurut Lipscomb,
2
partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk
mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu
respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibro-
blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak
berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor
Necrosis Factor (TNF)-, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet
derived growth factor dan transforming growth factor
(TGF)-. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting
untuk proses fibrogenesis.
5
Mediator makrofag penting yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan, pengum-
pulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah
2
:
Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.
Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis
terhadap leukosit.
Sitokin IL-1, TNF-, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang
berperan dalam fibrogenesis.
Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis
pneumokoniosis. Pappas
2
merangkum sitokin yang diha-
silkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu
yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibro-
sis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor
fibrogenesis seperti TNF-, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta
faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a.

Disamping
proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih
penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila
partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer
ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang
masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.

Hilangnya
integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan
makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses
fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk
dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag
interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke
kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me-
diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang
dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1
menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko-
niosis.
2
Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang
terjadi pada pneumokoniosis.
2
Debu silika dan asbes
mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim
dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari
silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan
makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara.
Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada
pajanan debu campuran.
6,7
Empat gambaran respons patologi
terlihat pada pneumokoniosis yaitu fibrosis interstisial, fi-
brosis nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema
fokal dan pembentukan makula.
4
Pneumokoniosis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 508
Jenis Pneumokoniosis
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu
penyebabnya, pajanan asbes menyebabkan asbestosis, debu
silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara menye-
babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.
3
Secara
ringkas beberapa yang dikategorikan pneumokoniosis
berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada tabel 1.
Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan
hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang
dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.

Pertama,
pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai
dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan
periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan
anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan
kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta
kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan
kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis
Tabel 1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu
Penyebabnya
3,5,8,19
Jenis debu Pneumokoni osi s
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Batubara Pneumokoniosis batubara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Talk Talkosis (talc pneumoconiosis)
Aluminium Aluminosis
Grafit Pneumokoniosis grafit
Debu antimony Antimony pneumoconiosis
Debu mineral barite Baritosis
(barium sulfat)
Debu karbon Pneumokoniosis karbon
Debu polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC
Debu polyvinylpyrrolidine Thesaurosis
(PVP)
Debu bakelite Pneumokoniosis bakelite
Titanium oksida Pneumokoniosis titanium
Zirkonium Pneumokoniosis zirkonium
Silicon carbide Carborundum pneumoconiosis
Hard metal Tungsten carbide pneumoconiosis
(hard metal disease)
Nylon flock Flock Workers Lung
Debu campuran
- Campuran silika dan besi Silikosiderosis (Hematite pneumo-
coniosis)
- Silikat (campuran silikondi- Silikatosis
oksida, magnesium, alumi-
nium oksida, kalsium )
- Slate (campuran mica, Slate-workers pneumoconiosis
feldspar, crystalline quarts)
- Kaolin (partikel multilayer Pneumokoniosis kaolin
mengandung aluminium hi-
droksida dan silikon oksida)
- Mica (aluminium dan pota- Mica pneumoconiosis
sium silikat)
seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas
saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah
pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada
kelainan radiologi dapat membantu menen-tukan jenis
pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta
abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumoko-
niosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumoko-
niosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang
menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan
mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti
sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau inter-
stitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan
penyakit kolagen vaskular.
5
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk
membantu dalam diagnosis pneumokoniosis yaitu
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis
debu penyebab.
Pemeriksaan Radiologi
Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar
menurut International Labour Organization (ILO) untuk
interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang
terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epide-
miologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk mem-
bantu interpretasi klinis.
3
Perselubungan pada pneumoko-
niosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan halus dan
kasar. Klasifikasi standar ILO tersebut dapat dilihat pada tabel
2.
20
Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography (CT) scan bukan merupakan
bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi.
Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara indi-
vidual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang
terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau
menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaam
dengan opasiti yang ada.
5
High resolution CT (HRCT) lebih
sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi
abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan
pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada
pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high at-
tenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi
bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bron-
kiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperatte-
nuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis,
pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat
opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan
pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus
pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine branching
lines dan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis
menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan in-
tralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey
comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran
Pneumokoniosis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011
Tabel 2. Klasifikasi ILO Gambaran Radiologi Pneumokoniosis
20
Gambaran radiologi Deskripsi
Perselubungan halus
Bercak kecil bulat
p Diameter sampai 1,5 mm
q Diameter 1,5 - 3 mm
r Diameter 3-10 mm
Bercak kecil ireguler/tidak beraturan
s Diameter sampai 1,5 mm
t Diameter 1,5 - 3 mm
u Diameter 3-10 mm
Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 - tidak terlihat perselubungan lingkar kecil atau kerapatan kurang dari kategori 1
1/0 1/1 1/2 Kategori 1 - terlihat perselubungan lingkar kecil dengan jumlah relatif sedikit
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 - terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil. Corakan paru tidak terlalu jelas
3/2 3/3 3/4 Kategori 3 - banyak terlihat perselubungan lingkar kecil. Corakan paru sebagianatau keselu-
ruhan tidak jelas
Perselubungan kasar
A Satu perselubungan dengan diameter 1-5 cm atau beberapa perselubungan dengan diameter
masing-masing lebih dari 1cm, tetapi bila tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak
melebihi 5 cm
B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak dibandingkan kategori A
dengan jumlah luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas
C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya melebihi luas lapangan paru kanan atas
atau sepertiga lapangan kanan
HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan
tidak spesifik, masing-masing mempunyai karakteristik
sendiri.
21
Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu
studi epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagno-
sis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru
memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan
pemeriksaan kapasitas difusi (DLco),
5
namun tidak selalu
tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai
hendaya yang telah terjadi.
3,5
Pada pneumokoniosis dapat
ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi
obstruksi, restriksi ataupun campuran.
3
Sebagian besar
penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber-
hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di
parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang
luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi.
10,22
Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan
konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan
pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok
pada populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah
obstruksi yang terjadi karena efek debu terinhalasi atau efek
rokok.
8
Analisis Debu Penyebab
Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti
pajanan bahan di lingkungan kerja dengan analisis bahan
biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi
transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu
mineral atau produk metabolismenya.
3
Pemeriksaan BAL
membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan BAL
dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu
kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop
elektron.

Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes
dan asbestos body (AB) pada pemeriksaan BAL.
5,23
AB adalah
bahan yang terbentuk secara intraselular dan berasal dari
satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat
asbes. Penemuan AB menjadi stndar baku emas penegakkan
diagnosis asbestosis.
23
Pada silikosis, makrofag yang
ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin
lama riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin
banyak ditemukan makrofag tersebut. Selain itu, nodul
silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi
silikosis.
23,24
Tata Laksana
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi,
menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya
dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya
terbatas hanya pengobatan simptomatik.
3
Tidak ada
pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi
kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokonio-
sis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting.
Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah
dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus
dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk
pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat
untuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab
masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan
509
Pneumokoniosis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011
seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat dilakukan bila
dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dan pence-gahan infeksi dengan vaksinasi dapat diper-
timbangkan.
5
Daftar Pustaka
1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In:
Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B,
editor. Pulmonologi klinik. 1
st
Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
1992. p. 05-42.
2. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi.
In: Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara,
et al. Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2003. p. 183-216.
3. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason
RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of
Respiratory Medicine. 4
th
Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005. p. 1748-82.
4. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the
lungs. Their role in etiology of occupational lung disease. In:
Morgan WKC, Seaton A, editors. Occupational lung disease. 3
rd
ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p. 111-26.
5. Demedts M, Nemey B, Elnes P. Pneumoconioses. In: Gibson GJ,
Gedder DM, Costales U, Sterk PJ, Cervin B, editor. Respiratory
Medicine. 3
rd
ed. London: Elsevier Science; 2003. p. 675-92.
6. Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Muray, Nadel, editor. Text-
book of respiratory medicine. 1
st
Ed. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1988. p. 1556-92.
7. Yunus F. Pneumokoniosis. Paru. 1994;22-8.
8. Mapel D, Coultas D. Disorders due to minerals other than silica,
coal and asbestos and to metals. In: Hendrick DJ, Burge PS,
Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the
lung: recognition, management and prevention. 1
st
ed. London:
WB Saunders Company: 2002. p. 163-90.
9. Meredith S, Blanc PD. Surveillance: clinical and epidemiological
perspectives. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A.
Occupational disorders of the lung; Recognition, management,
and prevention. London: WB Saunders; 2002. p. 7-24.
10. Liang ZX, Wong O, Fu H, Hu TX, Xue SZ. The economic burden
of pneumoconiosis in Cina. [Cited 2009 Feb. 8]. Available from:
www.ocenvmed.com.
11. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Changing
patterns of pneumoconiosis mortality-United States, 1968-2000.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004;53:627-32.
12. Smith DR, Leggat PA. 24 years of pneumoconiosis mortality
surveillance in Australia. J Occup Health. 2006; 48:309-13.
13. Menaldi Rasmin. Kedokteran respirasi, pemahaman sebuah
perjalanan. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar
tetap dalam bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI. FKUI: Jakarta: 2008.
14. Bangun U, Widjaya M. Analisis epidemiologis pneumokoniosis
berdasarkan X ray paru klasifikasi standar international labour
organization (ILO) pada pekerja tambang batu P.T. A di Bandung
Jawa Barat [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1998.
15. National and Occupational Safety and Health Center. Pneumo-
coniosis in Indonesia. Presented at: The ILO/OSH Center na-
tional training workshop. Prevention of pneumoconiosis. Using
the ILO International Classification of radiographs of pneumo-
coniosis, 2000. Jakarta, 19-22 November 2007.
16. Peter JM, Murphy RL, Ferris BG, Buryess WA. Pulmonary func-
tion in shippyard welders. Arch Environt Health. 1993;6:26-8.
17. Gregory J. A survey of pneumoconiosis at a Sheffield steei foundry.
Arch Environt Health. 1993;6:29-34.
18. West JB. Enviromental and other diseases. In: West JB. Pulmo-
nary pathopysiology. The essentials. 6
th
ed. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. p. 123-41.
19. Morgan WKC. Other pneumoconiosis. In: Morgan WKC, Seaton
A. Occupational lung disease. 3
rd
Ed. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1995. p. 407-56.
20. International Labour Organization. Guidelines for the use of the
ILO International Classification of Radiographs of pneumoco-
niosis. Revised edition 2000. Geneva; International Labour Of-
fice, 2002.
21. Akira M. High-resolution CT in evaluation of occupational and
environmental disease. Rad Clin North Am. 2002;40:1-13.
22. American Association for Respiratory Care. AARC Clinical prac-
tice guideline: single breath carbon monoxide diffusing capacity-
1999 update. Respir Care. 1999;44:539-46.
23. Cordeiro CR, Jones JC, Alfaro T, Ferreira AJ. Bronchoalveolar
lavage in occupational lung diseases. Semin Respir Crit Care Med.
2007;28:504-13.
24. Christman JW, Emerson RJ, Graham WGB, Davis GS. Mineral
dust and cell recovery from the bronchoalveolar lavage of healthy
vermont granite workers. Am Rev Resp Dis. 1985;132:393-9.
IAKM/FS
510

Anda mungkin juga menyukai