Disusun oleh
Apriastuti Puspitasari, 0706272585
Putri Wulandari C., 0706273745
Rika Nurhayati, 0706273865
1
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Robert L. Wilkins dan James B. Dexter dalam buku Respiratory Diseases:
Principles of Patient Care, bronkitis kronis adalah salah satu penyakit paru dimana pasien
memiliki batuk produktif kronik yang berhubungan dengan inflamasi bronchus. Untuk
membuat diagnosis, para ahli menyatakan bahwa jangka waktu kronik pada penyakit ini
adalah selama batuk produktif muncul, minimal selama tiga bulan setahun dan pada dua
tahun berturut-turut. Sebelum diketahui menderita Bronkitis kronis, pada awalnya pasien
yang mengalami batuk produktif yang panjang biasanya terdiagnosis oleh dokter mengalami
tuberculosis, kanker paru, dan congestive heart failure.
Bronkitis kronik sering disamakan dengan emfisema, padahal keduanya berbeda.
Kedua penyakit ini sering ditemukan pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOM). PPOM merupakan penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Diperkirakan
12 juta orang Amerika menderita bronkitis kronik dan atau emfisema (National Heart, Lung,
and Blood Institute, 1986). Sedangkan American Thoracic Society dalam buku Standards for
the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease tahun 1995,
sekitar 10 juta orang Amerika menderita PPOM, dan menyebabkan 40.000 kematian setiap
tahun. Sedangkan Tjandra Yoga Aditama dosen FK UI, dalam Cermin Dunia Kedokteran No.
84 tahun 1993 menyatakan bahwa di Indonesia penyakit asma, bronkitis dan emfisema
merupakan penyebab kematian ke 10. Bronkitis, asma dan penyakit saluran napas lain
menduduki peringkat ke lima dalam pola morbiditas di negara kita. PPOM menyerang pria
dua kali lebih banyak daripada wanita, diperkirakan karena pria merupakan perokok yang
lebih berat dibandingkan wanita, tetapi insidensnya pada wanita semakin meningkat dan
stabil pada pria (Price, 1992). Untuk Bronkitis kronis, jumlah orang dewasa yang terdiagnosa
kronik Bronkitis pada tahun 2007 di Amerika Serikat adalah 7,6 juta orang.
Dampak yang timbul akibat menderita penyakit bronkitis kronis adalah infeksi
saluran napas yang berat dan sering, penyempitan dan penyumbatan bronchus, sulit
bernafas, disability, hingga kematian. Kebiasaan merokok merupakan faktor penting yang
berkontribusi menyebabkan bronkitis kronik. Menurut American Academy of Family
Physian, lebih dari 90 persen pasien bronkitis kronis memiliki riwayat pernah menjadi
2
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
perokok. Tetapi terdapat faktor lain yang sedikit kontribusinya menyebabkan bronkitis
kronik yaitu infeksi virus atau bakteri, polusi udara (ozon dan nitrogen dioksida/NO2),
terpajan iritan di tempat kerja, dan lain-lain. Iritan-iritan yang dapat menyebabkan penyakit
ini diantaranya uap logam (fume) dari bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida (SO2),
hidrogen sulfida (H2S), bromin (Br), amonia (NH3), asam kuat, beberapa organic solvent, dan
klorin (Cl). Debu juga dapat menyebabkan bronkitis kronis, seperti debu batu bara atau
debu pertanian (www.pdrhealth.com).
3
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
BAB II
PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA (BRONKITIS KRONIK)
4
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
b. Farings (pharynx)
Farings merupakan merupakan pipa (tuba) yang terdiri dari jaringan otot. Terletak
disebelah posterior dari cavum nasi dan cavum oris (rongga mulut). Farings terdiri dari
nasofarings (nasopharynx), terletak dibelakang cavum nasi; orofarings (oropharynx); dan
laringofarings (Bantas, 2007).
c. Larings (larynx)
Laring menghubungkan antara faring dan trakea. Laring ini ditopang sembilan
kartilago. Kartilago tersebut terdiri dari kartilago tiroid (jakun) dan kartilago krikoid. Pada
laring juga terdapat pita suara yang berfungsi sebagai sumber keluarnya suara manusia.
Selain itu juga terdapat epiglottis yang berfungsi untuk menutup pernafasan ketika makan
dan sebaliknya.
d. Trachea
Trakea merupakan saluran pernafasan yang bermula dari laring sampai ke
percabangan paru-paru (bronkus) yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin kartilago yang
terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti C. Trakea dilapisi oleh selaput lendir
yang terdiri atas epitilium bersilia dan sel cangkir.
5
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
a. Paru-paru (pulmo)
Paru-paru merupakan alat yang paling vital dalam sisitem pernafasan karena pada
paru-paru inilah terjadinya pergantian oksigen dan karbondioksida secara difusi dalam
tubuh. Pergantian gas itu secara tepat terjadi pada alveolus ( gelembung paru-paru). Paru-
paru terletak dalam rongga torak. Secara anatomi paru-paru kanan memiliki 3 lobus dan
paru-paru kiri memiliki 2 lobus (Bantas, 2007). Paru-paru terdiri dari :
1. Bronchus
3. Alveolus
b. Membran pleura
6
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Paru-paru ditutup oleh membran tipis yang disebut membrane pleura. Membran
pleura terdiri dari Pleura parietalis (luar) dan viceralis ( dalam). Pleura parietalis melindungi
paru-paru dari gesekan dengan tulang-tulang iga dan dada, sedangkan pleura viceralis
melindungi paru-paru dari gesekan alveolus sehingga tidak saling menempel
7
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
b. Pernapasan Perut
Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktifitas
otot-otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.
Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua tahap yakni sebagai berikut.
1. Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar,
akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar
masuk.
2. Fase Ekspirasi. Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali
ke posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi
lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.
8
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Bronkitis kronik timbul sebagai akibat dari adanya pajanan terhadap agent
infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Agen non-infeksi masuk ke dalam
tubuh melalui jalur inhalasi. Agen non-infeksi seperti polusi udara terinhalasi ketika pekerja
sedang beraktifitas di lingkungan kerjanya.
Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan
vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Tidak seperti emfisema,
Bronkitis lebih mempengaruhi jalan nafas kecil dan besar dibandingkan pada alveolinya.
Aliran udara dapat atau mungkin juga tidak mengalami hambatan. Pekerja dengan
Bronkitis kronis akan mengalami (Saffira, 2009):
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana
akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental.
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus.
Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar
mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan
meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama
dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
9
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa
bronkus dan peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema
mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu
batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya
mempengaruhi bronkiolus yang kecil sedemikian rupa sehingga bronkiolus tersebut rusak
dan dindingnya melebar (Price, 1992).
Menurut Barry S. Levy dalam bukunya Preventing Occupational Disease and Injury
tahun 2005, bronkitis kronik merupakan penyakit yang diakibatkan oleh multifaktor.
Penyebab lingkungan merupakan penyebab yang mencolok dengan kehadiran semua
faktor-faktor lingkungan yang berbahaya. Tak hanya itu, penelitian membuktikan genetik
juga mempengaruhi munculnya penyakit ini dengan interaksi gene-environment. Infeksi viral
yang akut dan kronik pada saluran pernapasan juka memegang peran penting dalam asal-
usul dan persistensi bronkitis kronik.
Faktor penyebab Bronkitis kronik terdiri dari agen infeksi dan agen non-infeksi. Agen
infeksi yaitu virus dan bakteri seperti stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, dan
10
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
haemophilus influenzae. Agen non-infeksi yaitu merokok, polusi udara, dan pajanan iritan
yang biasanya terdapat pada daerah industri. Pajanan iritan dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu bahan kimia yang spesifik seperti sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S),
bromin (Br), amonia (NH3), asam kuat, beberapa organic solvent, dan klorin (Cl); debu dan
aerosol yang ditemukan di pembangunan rumah atau gedung, pabrik semen, penambangan
batubara dan penambangan lainnya, pengecoran logam, pabrik karet, pengelasan, dan
tempat penghacuran batu, ; dan debu-debu pertanian seperti debu kapas, rami, potasium,
dan fosfat (Levy, 2005). Polusi udara yang terus menerus juga merupakan predisposisi
infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga
timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah
(Saffira, 2009).
11
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
12
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Penyakit bronkitis kronik juga diawali dengan kebiasaan merokok, sehingga pekerja
yang merokok lebih berisiko terkena penyakit bronkitis kronik dibandingkan dengan pekerja
yang tidak merokok karena pekerja yang merokok lebih cepat mengalami penurunan atau
kerusakan fungsi paru, dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus
sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
2. Sesak napas
Sesak napas merupakan gejala yang paling signifikan pada pasien COPD. Sesak
napas dapat didefinisikan sebagai usaha pernapasan yang meningkat atau tidak sesuai.
Gejala ini merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Pasien biasanya mendeskripsikan
sesak napas sebagai kesulitan dalam melakukan inspiratori.
13
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Gambar 4. Perbedaan bronkus yang normal dengan bronkus yang memiliki penyakit
bronkitis
2. Pemeriksaan fisik
14
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang umum seperti
batuk yang retentif, suara napas yang mendecit, dan juga cyanosis di bagian lidah dan
membran mukosa akibat pengaruh sekunder polisitemia. Dari postur, penderita memiliki
kecenderungan overweight. Sedangkan melihat dari usia, kebanyakan penderita berumur
45-60 tahun. Penderita bronkitis kronik juga mengalami perubahan pada jantung berupa
pembesaran jantung, cor pulmonal.
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan untuk mengukur paru-paru antara lain
adalah Uji fungsi paru adalah tes yang dilakukan untuk mengukur kemampuan paru-paru
dalam melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Gambar 5. Tes Faal Paru (Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000)
Tes ini dilakukan menggunakan alat-alat khusus dan di dalamnya terdapat beberapa
tes, di antaranya:
a. Spirometri
Pengukuran dilakukan menggunakan spirometer. Spirometri merupakan salah satu
evaluasi paru yang sederhana. Fungsi dari spirometri sendiri antara lain untuk menentukan
seberapa baik menerima, menahan, dan menggunakan udara, untuk memonitor penyakit
paru, untuk memonitor keefektifan dari sebuah pengobatan, untuk menentukan tingkat
keparahan sebuah penyakit paru, untuk menentukan apakah penyakit paru tersebut
restriktif (penurunan laju udara) atau obstruktif (gangguan laju udara).
15
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Gambar 6. Tafsiran Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) (Cermin Dunia Kedokteran
No. 128, 2000).
d. Pulse oximetry
Pengukuran dilakukan menggunakan oksimeter. Oksimeter berfungsi untuk
mengukur kadar oksigen di dalam darah.
16
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
b. Radiografi dada
Bronkitis kronik juga dapat dilihat melalui radiografi dada. Pada penderita bronkitis
kronik biasanya radiografi dada menemukan peningkatan volume dada dengan diafragma
dalam keadaan hiperinflasi. Kemudian, dinding bronchial juga mengalami penebalan.
Ukuran jantung membesar menyebabkan volume jantung sebelah kanan terbebani terlalu
berat.
17
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Hasil dari surveilans pada pekerja kemudian akan digunakan untuk melakukan
pengendalian. Pengendalian pada penderita bronkitis kronik berupa program promosi,
pencegahan, dan pengendalian.
2.6.2 Lingkungan
Surveilans di lingkungan kerja dapat dilakukan melalui tiga tahap rekognisi, evaluasi,
dan pengendalian. Surveilans di lingkungan mengukur variabel-variabel apa saja yang
berkontribusi pada timbulnya kasus bronkitis kronik seperti asap rokok serta iritan-iritan lain
yang terdapat d tempat kerja sesuai dengan karakteristik tempat kerjanya. Bila surveilans di
lingkungan telah dilakukan maka bandingkan hasilnya dengan standar yang ada (misalnya
TLV). Hasil tersebut penting untuk melihat apakah pajanan yang diterima pekerja besar dan
berkontribusi menimbulkan bronkitis kronik. Bila pajanan telah melewati ambang batas
maka harus segera dilakukan pengendalian dapat berupa eliminasi, substitusi, minimisasi,
engineering control, administrative control, dan PPE
18
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Materi yang diberikan dalam promosi kesehatan penyakit paru, khususnya bronkitis
kronis adalah sebagai berikut
Perilaku hidup sehat, seperti tidak merokok, olah raga, dan lain-lain.
19
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
Perilaku kerja sehat, seperti menggunakan APD, dan bekerja sesuai SOP.
Hak dan kewajiban pekerja agar mendapat lingkungan kerja yang sehat.
20
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
BAB III
PENUTUP
Bronkitis kronik adalah salah satu penyakit terkait kerja yang termasuk dalam
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM), selain emfisema dan asma. Penyakit ini ditandai
dengan batuk produktif selama minimal tiga bulan setahun dan pada dua tahun berturut-
turut. Bronkitis kronik merupakan penyakit yang diakibatkan oleh multifaktor, tetapi faktor
penting yang menyebabkan bronkitis kronik adalah kebiasaan merokok. Faktor lain yang
juga berkontribusi adalah infeksi virus atau bakteri, polusi udara, terpajan iritan di tempat
kerja, seperti uap logam sulfur dioksida, hidrogen sulfida, bromin, beberapa organic solvent,
klorin dan lain-lain.
Gejala klinik bronkitis kronis diantaranya adalah batuk produktif, sesak napas, suara
napas mendecit. Sedangkan dasar diagnosisnya adalah berupa anamnesis, pemeriksaan fisik
berupa tanda-tanda umum serta uji fungsi paru, dan evaluasi laboratorium berupa tes darah
dan radiografi dada. Metode surveilans dilakukan pada pekerja dan lingkungan. Surveilans
pada lingkungan dapat dilakukan dengan pengukuran asap rokok serta iritan di tempat
kerja. Promosi kesehatan serta pencegahan yang dilakukan biasanya cenderung fokus pada
penghentian kebiasaan merokok. Untuk mengatasi iritan penyebab bronkitis kronis di
lingkungan bisa digunakan melalui teknik pengendalian industrial higiene, seperti eliminasi,
subtitusi, isolasi, dan lain-lain.
21
Created By: Apriastuti Puspitasari, Putri Wulandari, dan Rika Nurhayati; K3 FKM UI
DAFTAR PUSTAKA
Bantas, Krisnawati. Modul Kuliah Anatomi Fisiologi : Sistem Respirasi. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007.
Barry S. Levy, et al. Preventing Occupational and Injury. Washington : DC.APHA, 2005.
Dahlan, Zul. ’Penegakan Diagnosis dan Terapi Asma dengan Metode Obyektif’. Dari Cermin
Dunia Kedokteran No. 128, 2000.
Kumar, Robbins Contran. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran,
1995.
Lax, Michael B., et al. ‘Recognizing Occupational Disease: Taking an Effective Occupational
History . http://www.aafp.org/afp/980915ap/lax.html [18 September 2009].
Wilkins, Robert L-James R. Dexter. Respiratory Disease : Principles of Patient Care. USA : F.A
Davis Company, 1993.
22