I. Pendahuluan
Dewasa ini, banyak sekali terdapat agen toksin dan bahan kimia berbahaya yang
digunakan di sekitar kita. Agen ini dapat dihirup dalam bentuk fiber, asap, kabut dan debu.
Hal tersebut dapat menimbulkan kelainan pada paru. Penyakit paru kerja adalah
merupakan sekelompok besar diagnosis penyakit yang disebabkan oleh inhalasi dan ingesti
partikel debu atau kimia berbahaya. Penyakit paru kerja mewakili diagnosa terkait
pekerjaan yang paling sering muncul dan jumlahnya setiap tahun bertambah. Bentuk yang
paling sering didapatkan berupa pneumokoniosis, silikosis, penyakit pleura dan parenkim
terkait asbestos dan pneumonitis hipersensitivitas (Rom, 2007). Istilah pneumokoniosis
berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan “konis” berarti debu.
Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggambarkan penyakit paru
yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral. International Labour Organization (ILO)
mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan
debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut Penyakit ini
telah tercatat sejak masa romawi dan yunani kuno dan insidennya meningkat dengan
perkembangan industri modern. Populasi yang tidak bekerja di industri pun dapat memiliki
risiko terkena penyakit paru kerja melalui pajanan tidak langsung. Populasi perkotaan
menghirup lebih dari 2 mg debu setiap hari dan pada pekerja di lingkungan berdebu
menghirup 100 kali lipat (Cowie,2010). Berkembangnya penyakit paru kerja pada
seseorang bergantung pada efek toksik dari zat yang dihirup, intensitas dan durasi pajanan,
serta kerentanan individual. Kondisi fisik dari zat yang dihirup (padat, asap atau
campuran), kelarutannya dan dimensi aerodinamik menentukan lokasi awal dari aktivitas
penyakit. Reaksi akut dan kronik terjadi ketika partikel menumpuk di saluran nafas bawah
bergantung pada kelarutan dan reaktivitas dari partikel yang dihirup. Reaksi akut
II. Epidemiologi
IV. Diagnosis
Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.
Ketiga kriteria tersebut adalah:
1. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat
menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang
mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar
debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta
kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali
timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau
sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan.
V. Gambaran Radiologis
Silikosis
Pajanan yang berbeda dapat menyebabkan penyakit yang berbeda. Pada pajanan
silika, penyakit yang paling sering adalah silikosis kronik yang dapat muncul bertahun
tahun setelah pajanan. Gejala klinis tidak selalu ditemukan. Intensitas pajanan yang lebih
tinggi bisa mempercepat silikosis akut. Silikosis akut sangat jarang tetapi memiliki
mortalitas yang sangat tinggi. Perkembangan serta bentuk kronik dari silikosis bisa
menyebabkan silikosis terkomplikasi atau fibrosis masif progresif, dimana nodul silika
menjadi lesi yang lebih lebar pada lobus atas paru dan pasien secara klinis terdapat
pertambahan gejala sesak nafas. Silikosis meningkatkan kerentanan menjadi tuberkulosis
sebanyak 2-30 kali lipat. Didapatkan adanya hubungan antara silikosis dan penyakit yang
dimediasi imun seperti sklerosis sistemik dan rheumatoid arthritis yang dapat muncul
hanya dari pajanan debu silika saja. Systemic lupus erythematosus berhubungan dengan
silikosis akut dan kronik. Tahun 1996, The International Agency for Research on Cancer
(IARC) mengklasifikasikan silika sebagai bahan karsinogenik pada manusia. Banyak bukti
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko kanker paru pada pasien silikosis, tetapi
belum jelas apakah pajanan silika sendiri yang menyebabkan kanker paru.
Foto Toraks
Pada foto toraks, simple silicosis ditandai dengan terdapat opasitas nodul multipel
mulai dari 1 mm sampai 10 mm (opasitas p, q, dan r). Opasitas ini tampak teratur dan
Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –
RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 7
seragam dari segi bentuk dan kepadatannya (Oikonomou, 2003). Nodul Silikotik mungkin
terdapat pada paru tetapi cenderung banyak di lobus atas. Pada 10-20% pasien tampak
kalsifikasi nodul yang jelas pada foto toraks (Chong, 2006)
Complicated silicosis (FMP) ditandai dengan adanya nodul yang besar, yaitu nodul
yang memiliki diameter berukuran lebih besar dari 1 cm. Nodul besar merupakan hasil dari
perpaduan dari beberapa nodul dan cenderung terjadi terutama di lobus atas. Nodul secara
bertahap bermigrasi ke arah hilus meninggalkan paru emfisematus antara gabungan massa
dan pleura. Nodul besar biasanya memiliki batas tidak teratur atau tidak jelas (Chong,
2006; Sirajuddin, 2009). Jika dilihat secara lateral sering nampak sejajar dengan dinding
dada lateral. Nodul besar biasanya bilateral, simetris dan berkalsifikasi (Oikonomou,
2003). Terkadang terdapat kavitas sekunder sampai terjadi nekrosis iskemik. Namun bila
terdapat kavitas harus mengingat kemungkinan terjadi tuberkulosis atau infeksi
mikrobakteri atipikal, komplikasi yang relatif umum pada pasien dengan silikosis
(Oikonomou, 2003; Chong, 2006)
A B
B B
Gambar 1. Simple Silicosis. A dan B. Foto toraks menunjukkan nodul yang kecil
berada pada lobus superior (Oikonomou, 2003; Chong, 2006)
A B
B B
Gambar 2. Complicated Silicosis (FMP) A. Nodul kecil multipel dan massa di kedua
parenkim paru yang dominan di daerah atas dan tengah, kalsifikasi “egg-shell”
(tanda panah) di hilus dan mediastinum. B. Tanda panah menunjukkan opasitas
bilateral besar. (Chong, 2006)
Pada pasien dengan silikosis ringan nodul mungkin terbatas pada lobus atas. Pada
silikosis yang lebih berat ditandai dengan peningkatan jumlah dan ukuran nodul. Nodul ini
biasanya merata di seluruh daerah paru daripada berkelompok (Oikonomou, 2003).
Pertemuan nodul menyebabkan pembentukan massa dengan batas yang tidak
teratur dikenal sebagai FMP. FMP biasanya bilateral dan simetris (Correia, 2014). Ciri
pada HRCT yang utama adalah daerah yang berdensitas konsolidasi yang berhubungan
dengan emfisema yang berbatas tidak teratur (sikatrikal). Kalsifikasi massa dalam bentuk
punctate, linear atau masif merupakan hal yang umum. Nodul juga dapat mengalami
nekrosis sentral dan menunjukkan densitas yang rendah pada HRCT (Chong, 2006;
Sirajuddin, 2009). Hilus dan kelenjar getah bening mediastinum cenderung untuk
A B
daripada foto toraks dalam penilaian terjadinya dan derajat emfisema. Keterbatasan utama
HRCT dibandingkan dengan foto toraks adalah paparan radiasi yang lebih tinggi dan biaya
yang lebih mahal. Oleh karena itu, dalam praktek klinis, HRCT jarang dilakukan pada
evaluasi pasien yang diduga silikosis. Penggunaannya dan indikasi terbatas untuk pasien
yang terdapat
perbedaan antara riwayat klinis dan radiologis atau temuan fungsional atau di antaranya
ada kecurigaan komplikasi yang terjadi seperti karsinoma bronkogenik atau tuberkulosis
(Oikonomou, 2003; Sirajuddin 2009).
Asbestosis
Foto Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan beberapa gambaran radioopak kecil linier
iregular, lebih banyak di basal paru Berdasarkan klasifikasi ILO 1980, “gambaran opak
kecil iregular” adalah bayangan linier iregular diparenkim paru dan mengaburkan
gambaran bronkovaskular paru. Selain itu sering pula ditemukan garis septal, yaitu
penebalan fibrosa pada lobus-lobus (Chun,2008).
Ada tiga tingkatan gambaran foto toraks sesuai dengan perjalanan asbestosis. Pada tahap
awal, dapat diperoleh gambaran pola retikular pada basal paru, ground-glass appearance,
yang dapat menggambarkan proses alveolitis dan fibrosis intersisial. Tahap kedua
ditandai dengan peningkatan bayangan opak kecil iregular menjadi pola intersisial yang
luas. Pada tahap ini gambaran dapat mengaburkan batas jantung atau shaggy heart border
Pada tahap akhir, dapat menjadi pola intersisial kasar dan honey-comb pada paru atas,
namun gambaran ini jarang ditemukan. Dahnert menegaskan bahwa dalam pemeriksaan
foto toraks jarang sekali ditemukan fibrosis masif; bila ada, biasanya terjadi di basal paru
Gambar 9. Gambaran plak pleura (tanda panah): Plak bersifat simetris, terletak
lateral dan dapat berada di sebelah atas diafragma. Gambar 10. Gambaran CT-
scan pada inferior paru yang menunjukkan gambaran opak kurvilinier subpleura
(anakpanah putih) dan garis intersisial yang menebal (anakpanah hitam) (
Danhert,2011)
Foto Toraks
Pada sebagian penambang batubara yang menderita CWP terdapat fibrosis paru
yang masif dan progresif. Pada foto toraks terdapat gambaran opasitas kecil (1-5 mm)
yang ireguler pada lobus bawah paru yang kadang disertai dengan opasitas retikular
ataupun retikulonodular. Dibandingkan dengan nodul pada silikosis, nodul pada CWP
didapatkan batasnya lebih tidak tegas dan lebih tampak granular. Opasitas irregular ini
memiliki berkorelasi lebih baik dengan gejala klinis daripada opasitas bulat. Sekitar 10-
20% pasien CWP simple memiliki nodul dengan kalsifikasi sentral kecil sedangkan pada
silikosis didapatkan kalsifikasi yang difus. Kalsifikasi Egg shell yang merupakan pola
patognomonis pada silikosis simple didapatkan pada 2% kasus. Pada CWP
terkomplikasi, didapatkan gambaran opasitas luas dan fibrosis yang masif progresif.
Massa fibrotik ini memiliki batas tidak tegas disertai emfisema atau batas tegas tanpa
emfisema disekelilingnya (Antao,2005).
Gambar 15. Gambaran CT scan seorang pekerja tambang batu bara; anak panah
menunjukkan gambaran sentrilobular dan kepala panah menunjukkan nodul.
Gambar 16. Gambaran foto toraks penderita Pneumonitis hipersensitivitas dengan
opasitas ground glass yang patchy (Cox,2014)
Foto Toraks
Gambaran radiologis pneumonitis hipersensitivitas bergantung pada subtipe.
Pneumonia hipersensitivitas dibagi menjadi bentuk akut, subakut dan kronik. Secara
umum sensitivitas foto toraks untuk diagnosis ini sangat rendah. Banyak penderita
didapatkan memiliki foto toraks normal. Pada tahap awal, kelainannya dapat berupa
opasitas kecil (<5mm) multiple dengan batas tidak tegas di kedua lapangan paru, kadang
ditemukaan bersamaan di apeks dan basal paru. Biasanya didapatkan juga gambaran
ground glass opacities (bisa patchy maupun menyebar menyerupai edema paru) lebih
jarang dapat muncul gambaran konsolidasi. Dapat muncul gambaran retikular walaupun
jarang. Penyebarannya berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Pada fase lanjut, ketika
terbentuk fibrosis, diapatkan pola retikular dan honeycomb yang kadang lebih parah pada
lobus atas dibanding lobus bawah. Berkurangnya volume paru biasanya terjadi pada
lobus atas dan penebalan peribronkial bisa terlihat. Jika muncul komplikasi kor pulmonal
biasanya terdapat gambaran kardiomegali. Emfisema dan kista dapat terjadi pada kasus
kronik (Silva,2007) .
RINGKASAN
Penyakit paru kerja adalah merupakan sekelompok besar diagnosis penyakit yang
disebabkan oleh inhalasi dan ingesti partikel debu atau kimia berbahaya. Penyakit paru
kerja mewakili diagnosa terkait pekerjaan yang paling sering muncul dan jumlahnya
setiap tahun bertambah. Bentuk yang paling sering didapatkan berupa pneumokoniosis,
silikosis, penyakit pleura dan parenkim terkait asbestos dan pneumoniti. Penyakit ini
dapat terjadi dimanapun tetapi umumnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Secara umum, lesi penyakit paru kerja dibagi menjadi lesi akut dan kronik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pekerjaan dengan pajanan , lamanya pajanan,
serta pencitraan radiologi dibuat berdasarkan ILO. Foto toraks menjadi pemeriksaan
radiologis yang utama karena relatif memiliki dosis radiasi yang rendah, murah, dan
tersedia secara luas. HRCT telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan foto toraks
dalam mendeteksi lesidan juga dapat memberikan informasi yang berguna mengenai
tahap penyakit karena dapat menunjukkan kelainan parenkim dan pleura yang mungkin
tidak terlihat pada foto toraks dan juga lebih unggul dalam penilaian terjadinya dan
derajat emfisema.
Alper F, Akgun M, Onbas O, Araz O. 2008. CT finding in silicosis due to denim sandblasting.
European Society of Radiology, 18: 2739-2744.
Akgun M, Araz O, Akkurt I, Eroglu A, Alper F, Saglam L., et al. An epidemic of silicosis among
former denim sandblasters. European Respiratory Journal, 32: 1295-1303.
Barboza CEG, Winter DH, Seiscento M, Santos UP, Filho MT. 2008. Tuberculosis and silicosis:
epidemiology, diagnosis and chemoprophylaxis. The Jornal Brasileiro de Pneumologia,
34(11): 961-968.
Champlin J, Edwards R, Pipavath S. 2016. Imaging of occupational lung disease. Radiologic
clinics of North America, 54(6): 1077–1096.
Chong S, Lee KS, Chung MJ, Han J, Kwon OJ, Kim TS. 2006. Pneumoconiosis : Comparison of
imaging and pathologic findings. RadioGraphics, 26: 59-77.
Correia R, Rodrigues MSC, Esteves C, Simoes AFS, Pimenta A. 2014. Silicosis: a pictorial
review. European Society of Radiology, (1739): 1-11.
Cowie, RL, Murray J, Becklake MR. 2010. Pneumoconioses and other mineral dust-related
diseases. Dalam Textbook of Respiratory Medicine 5th edition. Editor Murray JF, Nadel
JA. WB Saunders Company. Philadelphia. P1554-1586.
Cox W, Rose S, Lynch A. 2014. State of art: Imaging of Occupational Lung Disease. Radiology,
270 (3): 681-694
Davis GS. 2002. Silicosis. Dalam Occupational disorders of the lung. Editor Hendrick DJ, Burge
S, Beckett WS, Churg A. WB Saunders Company. Philadelphia. P105-12.
Flors L, Domingo ML, Salinas CL, Mazon M. 2009. Uncommon Occupational Lung Diseases :
High-Resolution CT Findings. American Journal of Radiology, 194:20-26
Garcia DDD. 2014. Silicosis: controversy in detection. Medicia y Seguridad del Trabajo,
60(234): 4-8.
Glazer CS, Newman LS. 2004. Occupational interstisial lung disease. Clinics in Chest Medicine,
25:467-478.
Greenberg MI, Waksman J, Curtis J. 2007. Silicosis : a review. Disease a Month, 53: 394-416.
Ikhsan M, L. Marlond R, Swidarmoko B. 2009. Silikosis. Dalam Bunga Rampai Penyakit Paru
Kerja Dan Lingkungan. Editor Ikhsan M, Yunus F, Susanto AD, FK UI. P27-38.
Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –
RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 22
Kim KI, Kim CW, Lee MK. 2001. Imaging of Occupational Lung Disease. Radiography, 21(6) :
1371-1390
Leung CC, Yu ITS, Chen W. 2012. Silicosis. The Lancet, 379(9830): 2008-2018.
Marchiori E, Souza CA, Barbassa TG, Escuissato DL, Gasparetto EL, Souza AS. 2007.
Silicoproteinosis: High-Resolution CT Finding in 13 Patients. American Journal of
Roentgenology, 189: 1402-1406.
Mazziotti S, Gaeta M, Costa C, Ascenti G, Martino LB, Spatari G, et.al.2004. Computed
tomography features of liparitosis : a pneumoconiosis due to amorphous silica. European
Respiratory Journal, 23: 208-213.
Mossman BT, Churg A. 1998. Mechanism in the pathogenesis of asbestosis and silicosis.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine Home, 157: 1666-1680.
Oikonomou A, Muller NL. 2003. Imaging of pneumoconiosis. Imaging, 15(1): 11-22.
Rees D, Murray J. 2007. Silica, silicosis and tuberculosis. International Journal Tuberculous
Lung Disease, 11(5): 474-484.
Selman M, Pardo A, King TE. 2012. Pneumonia Hipersensitivity. American Journal of
Repiratory and Critical Care Medicine, 186 : 314-324
Silva CI, Churg A, Muller NL. 2007. Hipersensitivity Pneumonitis : Spectrum of High
Resolution CT and Pathologic Findings. American Journal of Radiology, 188: 334-344
Sirajuddin A, Kanne JP. 2009. Occupational lung disease. Journal Thorac Imaging, 24(4): 310-
320.