Anda di halaman 1dari 23

Tinjauan Kepustakaan

Pencitraan Radiologis Penyakit Paru Kerja

Penyaji : Ni Made Dwita Yaniswari,dr

Pembimbing : Prof.DR.Triyono KSP, dr, SpRad(K)

Program Studi Ilmu Radiologi


FK Universitas Airlangga- RSU Dr. Soetomo Surabaya
2017

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 1
Tinjauan Kepustakaan

Pencitraan Radiologis Penyakit Paru Kerja


Ni Made Dwita Yaniswari, Triyono KSP

I. Pendahuluan

Dewasa ini, banyak sekali terdapat agen toksin dan bahan kimia berbahaya yang
digunakan di sekitar kita. Agen ini dapat dihirup dalam bentuk fiber, asap, kabut dan debu.
Hal tersebut dapat menimbulkan kelainan pada paru. Penyakit paru kerja adalah
merupakan sekelompok besar diagnosis penyakit yang disebabkan oleh inhalasi dan ingesti
partikel debu atau kimia berbahaya. Penyakit paru kerja mewakili diagnosa terkait
pekerjaan yang paling sering muncul dan jumlahnya setiap tahun bertambah. Bentuk yang
paling sering didapatkan berupa pneumokoniosis, silikosis, penyakit pleura dan parenkim
terkait asbestos dan pneumonitis hipersensitivitas (Rom, 2007). Istilah pneumokoniosis
berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan “konis” berarti debu.
Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggambarkan penyakit paru
yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral. International Labour Organization (ILO)
mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan
debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut Penyakit ini
telah tercatat sejak masa romawi dan yunani kuno dan insidennya meningkat dengan
perkembangan industri modern. Populasi yang tidak bekerja di industri pun dapat memiliki
risiko terkena penyakit paru kerja melalui pajanan tidak langsung. Populasi perkotaan
menghirup lebih dari 2 mg debu setiap hari dan pada pekerja di lingkungan berdebu
menghirup 100 kali lipat (Cowie,2010). Berkembangnya penyakit paru kerja pada
seseorang bergantung pada efek toksik dari zat yang dihirup, intensitas dan durasi pajanan,
serta kerentanan individual. Kondisi fisik dari zat yang dihirup (padat, asap atau
campuran), kelarutannya dan dimensi aerodinamik menentukan lokasi awal dari aktivitas
penyakit. Reaksi akut dan kronik terjadi ketika partikel menumpuk di saluran nafas bawah
bergantung pada kelarutan dan reaktivitas dari partikel yang dihirup. Reaksi akut

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 2
berhubungan reaksi inflamasi dan edema serta reaksi kronik dikarakteristikkan dengan
fibrosis atau pembentukkan granuloma. Insiden Kebanyakan penyakit ini menyebabkan
penyakit paru difus. Walaupun sebagaian besar penyakit dapat dideteksi dengan foto
toraks, CT scan memberikan hasil lebih baik dalam menunjukkan kelainan parenkim,
saluran nafas dan pleura. Sebagian gambaran radiologi pada penyakit paru kerja
menunjukkan diagnosis yang tepat, sedangkan yang lain diperlukan kombinasi dari gejala
klinis, riwayat pekerjaan terkait, gambaran radiologis dan literatur yang mendukung
hubungan antara pajanan dan penyakit (Susanto,2011).

II. Epidemiologi

Pneumokoniosis terbanyak adalah silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis


batubara. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus
pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis
batubara. Prevalensi pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika
Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada
daerah pertambangan tersebut. Prevalensi pneumokoniosis di negara bagian Amerika pada
tahun 1960 sekitar 30% dan angka ini jauh menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 2.5%.
Angka kejadian pneumokoniosis berkurang setiap tahunnya, hal ini dapat dikarenakan
kontrol dari perusahaan yang kian meningkat. Pneumokoniosis primernya didapat pada
pekerjaan, tetapi pajanan lingkungan juga dapat menyebabkan kesakitan. Pekerja sekat
asbes membawa pakaian yang terkena asbes ke lingkungan rumah (Smith,2006).

Prevalensi pneumokoniosis batu bara di Indonesia belum jelas. Masih belum


ada penelitian khusus mengenai prevalensi penyakit ini secara luas, hanya pada skala
kecil yang mencakup suatu perusahaan saja. Penelitian OSH center tahun 2000 pada
pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%. Penelitian Pandu et al. di pabrik
pisau baja tahun 2002 menemukan 5% gambaran radiologis yang diduga
pneumokoniosis. Damayanti et al. pada pabrik semen menemukan kecurigaan
pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5% (Pandu,2002;Laney,2009).

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 3
III. Patogenesis

Bentuk kelainan yang terjadi pada pneumokoniosis biasanya berupa peradangan


dan pembentukan jaringan fibrosis. Debu yang berukuran 0.1 – 10 mikron mudah terhirup
pada saat kita bernapas. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap
disaluran napas bagian atas. Debu berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun napas
bronkiolus, sedangkan yang berukuran 1-3 mikron akan sampai ke alveoli. Debu-debu
tersebut masuk ke dalam paru, dan akan terdistribusikan di saluran napas dan menimbulkan
reaksi sistem pertahanan tubuh sebagai respon terhadap debu tersebut. Reaksi yang
ditimbulkan juga bergantung terhadap komposisi kimia, sifat fisik, dosis dan lama pajanan
yang menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Timbulnya reaksi
debu terhadap jaringan membutuhkan waktu yang cukup lama, pada beberapa penelitian
didapatkan sekitar 15 – 20 tahun (Rai,2003).
Adapun mekanisme terjadinya pneumokoniosis dibagi menjadi tiga tahap yakni
tahap impaksi, sedimentasi dan difusi.
1. Inersia
Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat berubah
arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut banyak partikel tertahan
di mukosa hidung, faring ataupun percabangan saluran napas besar. Sebagian
besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mikron tertahan di nasofaring.
Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel tertahan di percabangan bronkus
karena tidak bisa berubah arah (Susanto,2011).
2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan berat
partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5 mikron).
Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan
bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada mukosa
bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu respirabel) akan langsung ke
permukaan alveoli paru. Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat
berkurang pada saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 4
per cc akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat
dapat menyebabkan pneumokoniosis (Morgan,2005).
3. Difusi
Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara. Terjadi
hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1 mikron sampai
0,5 mikron keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di
dinding alveoli (gerak brown).

Faktor faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit antara lain:


a. Tipe debu; debu yang mengandung silika dapat memperberat terjadinya penyakit,
usia batubara juga menentukan keparahan penyakit
b. Usia pekerja saat paparan debu pertama kali
c. Lama berada di tempat kerja
d. Merokok
e. Ukuran debu
f. Jenis pekerjaan, pekerja yang bertugas sebagai pemotong batu bara secara
langsung memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pekerja lainnya
(West,2003).

IV. Diagnosis

Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.
Ketiga kriteria tersebut adalah:
1. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat
menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang
mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar
debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta
kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali
timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau
sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan.

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 5
2. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat
membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan
respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumokoniosis
tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.
3. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial
paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial
lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular
(Susanto,2011)

Tabel 1. Beberapa Jenis Penyakit Paru Kerja Berdasarkan Debu Peyebab


(Schwartz,2000)
Jenis Penyakit Paru Kerja
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Batu bara Pneumokoniosis batu bara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Talk Talkosis (talc pneumoconiosis)
Aluminium Aluminosis
Grafit Pneumokoniosis grafit
Debu antimony Antimony pneumoconiosis
Debu mineral barite (barium sulfat) Baritosis
Debu karbon Pneumokoniosis karbon
Debu polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC
Debu polyvinylpyrrolidine Thesaurosis (PVP)
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Titanium oksida Pneumokoniosis titanium
Zirkonium Pneumokoniosis zirconium
Silicon carbide Carborundum Pneumoconiosis
Hard metal carbide Tungsten pneumoconiosis
(hard metal disease)
Nylon flock Lung Flock worker’s
Debu campuran

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 6
Campuran silika besi (Hematite Silikatosiderosis
pneumoconiosis)
-Silikat (campuran silikondioksida, Silikatosis
magnesium, aluminium dioksida, kalsium)
Slate Slate-workers Pneumoconiosis
(campuran mica)
Kaolin Pneumokoniosis kaolin
(partikel multilayer mengandung aluminium
hidroksida dan silicon oksida)
Mica Mica pneumoconiosis
(aluminium dan potassium silikat)

V. Gambaran Radiologis

Silikosis

Pajanan yang berbeda dapat menyebabkan penyakit yang berbeda. Pada pajanan
silika, penyakit yang paling sering adalah silikosis kronik yang dapat muncul bertahun
tahun setelah pajanan. Gejala klinis tidak selalu ditemukan. Intensitas pajanan yang lebih
tinggi bisa mempercepat silikosis akut. Silikosis akut sangat jarang tetapi memiliki
mortalitas yang sangat tinggi. Perkembangan serta bentuk kronik dari silikosis bisa
menyebabkan silikosis terkomplikasi atau fibrosis masif progresif, dimana nodul silika
menjadi lesi yang lebih lebar pada lobus atas paru dan pasien secara klinis terdapat
pertambahan gejala sesak nafas. Silikosis meningkatkan kerentanan menjadi tuberkulosis
sebanyak 2-30 kali lipat. Didapatkan adanya hubungan antara silikosis dan penyakit yang
dimediasi imun seperti sklerosis sistemik dan rheumatoid arthritis yang dapat muncul
hanya dari pajanan debu silika saja. Systemic lupus erythematosus berhubungan dengan
silikosis akut dan kronik. Tahun 1996, The International Agency for Research on Cancer
(IARC) mengklasifikasikan silika sebagai bahan karsinogenik pada manusia. Banyak bukti
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko kanker paru pada pasien silikosis, tetapi
belum jelas apakah pajanan silika sendiri yang menyebabkan kanker paru.

Foto Toraks
Pada foto toraks, simple silicosis ditandai dengan terdapat opasitas nodul multipel
mulai dari 1 mm sampai 10 mm (opasitas p, q, dan r). Opasitas ini tampak teratur dan
Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –
RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 7
seragam dari segi bentuk dan kepadatannya (Oikonomou, 2003). Nodul Silikotik mungkin
terdapat pada paru tetapi cenderung banyak di lobus atas. Pada 10-20% pasien tampak
kalsifikasi nodul yang jelas pada foto toraks (Chong, 2006)
Complicated silicosis (FMP) ditandai dengan adanya nodul yang besar, yaitu nodul
yang memiliki diameter berukuran lebih besar dari 1 cm. Nodul besar merupakan hasil dari
perpaduan dari beberapa nodul dan cenderung terjadi terutama di lobus atas. Nodul secara
bertahap bermigrasi ke arah hilus meninggalkan paru emfisematus antara gabungan massa
dan pleura. Nodul besar biasanya memiliki batas tidak teratur atau tidak jelas (Chong,
2006; Sirajuddin, 2009). Jika dilihat secara lateral sering nampak sejajar dengan dinding
dada lateral. Nodul besar biasanya bilateral, simetris dan berkalsifikasi (Oikonomou,
2003). Terkadang terdapat kavitas sekunder sampai terjadi nekrosis iskemik. Namun bila
terdapat kavitas harus mengingat kemungkinan terjadi tuberkulosis atau infeksi
mikrobakteri atipikal, komplikasi yang relatif umum pada pasien dengan silikosis
(Oikonomou, 2003; Chong, 2006)

A B
B B

Gambar 1. Simple Silicosis. A dan B. Foto toraks menunjukkan nodul yang kecil
berada pada lobus superior (Oikonomou, 2003; Chong, 2006)

Hilus dan pembesaran kelenjar getah bening mediastinum dapat mendahului


nodularitas parenkim. Kalsifikasi kelenjar getah bening merupakan hal yang umum.

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 8
Kalsifikasi biasanya terjadi di pinggiran kelenjar getah bening ( kalsifikasi ''egg-shell''),
pola yang sangat sering ditemukan pada silikosis (Correia, 2014).
Silikoproteinosis (silikosis akut) ditandai dengan konsolidasi udara bilateral dengan
air bronchogram, pola yang sama dengan yang terlihat pada proteinosis alveolar
(Oikonomou, 2003).
Progresifitas foto toraks silikosis setelah pengangkatan dari pajanan telah
didokumentasikan dengan baik. Angka progresifitas berkorelasi dengan intensitas pajanan.
Pada pasien dengan pajanan ringan menunjukkan sedikit atau tidak ada progresifitas
selama bertahun-tahun sementara pada pasien dengan pajanan berat pada foto toraks dapat
berkembang dari simple silicosis dengan densitas nodul difus hingga terjadi komplikasi
pada 5 atau 6 tahun. Perkembangan foto toraks terkait dengan penurunan fungsi paru, dan
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan pernapasan, kor pulmonal dan gagal jantung kanan
(Oikonomou,2003; Sirajuddin, 2009).

A B
B B

Gambar 2. Complicated Silicosis (FMP) A. Nodul kecil multipel dan massa di kedua
parenkim paru yang dominan di daerah atas dan tengah, kalsifikasi “egg-shell”
(tanda panah) di hilus dan mediastinum. B. Tanda panah menunjukkan opasitas
bilateral besar. (Chong, 2006)

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 9
Gambar 3. Silikoproteinosis. Foto toraks menunjukkan konsolidasi udara bilateral
dan opasitas nodul yang tidak jelas pada perihilar dan lobus bawah. (Oikonomou,
2003)

High Resolution Computed Tomography (HRCT)


Pada HRCT, seperti pada foto toraks, fitur yang paling khas dari simple silicosis
adalah adanya nodul kecil. Nodul biasanya berukuran 2 sampai 5 mm dan dapat
berkalsifikasi. Nodul yang terlihat pada pasien dengan silikosis cenderung lebih berbatas
tegas jika dibandingkan CWP (Oikonomou, 2003; Champlin, 2016). Nodul dapat terjadi
secara difus di seluruh lapang paru tetapi cenderung paling banyak di lobus atas. Pada
HRCT nodul terlihat mendominasi di daerah centrilobular dan, untuk derajat yang lebih
rendah, dapat terjadi di paraseptal dan daerah subpleural. Nodul di daerah subpleural
mungkin memiliki bentuk bulat atau segitiga, yang bila ditemukan dapat seperti pleural
plaques (pseudoplaques) (Chong, 2006; Sirajuddin 2009).

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 10
Gambar 4. Simple Silicosis A. Gambar menunjukkan nodul berukuran kecil,
berbatas tegas pada lobus atas. Terdapat distorsi arsitektur dan bronkiektasis
traksi ringan. perpaduan dari nodul subpleural membentuk pseudoplaques (panah
putih) (Sirajuddin, 2009).

Pada pasien dengan silikosis ringan nodul mungkin terbatas pada lobus atas. Pada
silikosis yang lebih berat ditandai dengan peningkatan jumlah dan ukuran nodul. Nodul ini
biasanya merata di seluruh daerah paru daripada berkelompok (Oikonomou, 2003).
Pertemuan nodul menyebabkan pembentukan massa dengan batas yang tidak
teratur dikenal sebagai FMP. FMP biasanya bilateral dan simetris (Correia, 2014). Ciri
pada HRCT yang utama adalah daerah yang berdensitas konsolidasi yang berhubungan
dengan emfisema yang berbatas tidak teratur (sikatrikal). Kalsifikasi massa dalam bentuk
punctate, linear atau masif merupakan hal yang umum. Nodul juga dapat mengalami
nekrosis sentral dan menunjukkan densitas yang rendah pada HRCT (Chong, 2006;
Sirajuddin, 2009). Hilus dan kelenjar getah bening mediastinum cenderung untuk

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 11
membesar dan berkalsifikasi menjadi seperti eggshell, punctate, atau masif (Oikonomou,
2003).
Silikoproteinosis pada HRCT secara khas terlihat oleh adanya ground glass
bilateral, tergantung pada daerah yang berkonsolidasi dan dapat berbentuk nodul
centrilobular dengan tidak terdapat adanya fibrosis (Chong, 2006).
HRCT telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan foto toraks dalam mendeteksi
nodul silikotik dan juga dapat memberikan informasi yang berguna mengenai tahap
penyakit karena dapat menunjukkan kumpulan dari nodul dan perkembangan massa yang
bergabung yang mungkin tidak terlihat pada foto toraks (Garcia, 2014). Hal ini juga
menunjukkan bahwa penurunan pertukaran gas (transfer factor) pada silikosis
berhubungan dengan derajat keparahan emfisema dibandingkan dengan opasitas nodul
profus. HRCT lebih unggul

A B

Gambar 5. Complicated Silicosis (FMP). A. Gambar menunjukkan konglomerasi


massa bilateral dengan kalsifikasi (tanda panah). B. Gambar menunjukka nodul
limfe mediastinum dengan dominan kalsifikasi perifer (egg-shell) (panah putih)
(Oikonomou,2003; Chong, 2006)

daripada foto toraks dalam penilaian terjadinya dan derajat emfisema. Keterbatasan utama
HRCT dibandingkan dengan foto toraks adalah paparan radiasi yang lebih tinggi dan biaya
yang lebih mahal. Oleh karena itu, dalam praktek klinis, HRCT jarang dilakukan pada
evaluasi pasien yang diduga silikosis. Penggunaannya dan indikasi terbatas untuk pasien
yang terdapat

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 12
Gambar 6. Silikoproteinosis. Gambar menunjukkan konsolidasi udara bilateral dan
nodul kecil (Oikonomou, 2003).

perbedaan antara riwayat klinis dan radiologis atau temuan fungsional atau di antaranya
ada kecurigaan komplikasi yang terjadi seperti karsinoma bronkogenik atau tuberkulosis
(Oikonomou, 2003; Sirajuddin 2009).

Asbestosis

Asbestos banyak digunakan oleh manusia selama berabad-abad karena


kualitasnya yang tahan api, kekuatan renggangan dan kelenturannya. Asbestos adalah
istilah industri yang menjelaskan berbagai jenis mineral (hydrated magnesium silicates)
yang pecah menjadi fiber ketika dihancurkan. Tipe asbestos mineral (chrysotile, amosite,
crocidolite, anthophyllite, tremolite dan actinolite) sangat penting karena dapat
membedakan potensial penyakit. Industrialisasi meningkatkan jumlah penduduk yang
terkena walaupun gejala mungkin tidak timbul bertahun-tahun setelah terkenan pajanan.
Asbestos diketahui dapat menyebabkan kanker paru dan mesothelioma dan juga penyakit
lain. Asbestosis dapat menyebabkan jaringan parut atau fibrosis pada paru. Manifestasi
penyakit terkait asbestos pada paru terdapat pada pleura (Chun,2008). Pleural plaques
adalah area penebalan jaringan fibrous yang sering mengalami kalsifikasi. Hal ini tidak
menyebabkan gejala dan bisa ditemukan dengan bentuk lain penyakit rekait asbestosis.
Cairan dapat muncul di rongga pleura (efusi pleura terkait asbestosis jinak) yang
dipercaya merupakan respon iritasi pleura oleh fiber asbestos. Istilah jinak digunakan
untuk membedakan dengan mesothelioma ganas, Efusi pleura dapat menyebabkan
Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –
RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 13
keluhan rasa tidak nyaman di dada dan sesak nafas. Efusi pleura dapat menetap dan
merupakan faktor risiko pleural fibrosis (Chong,2006).

Foto Toraks

Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan beberapa gambaran radioopak kecil linier
iregular, lebih banyak di basal paru Berdasarkan klasifikasi ILO 1980, “gambaran opak
kecil iregular” adalah bayangan linier iregular diparenkim paru dan mengaburkan
gambaran bronkovaskular paru. Selain itu sering pula ditemukan garis septal, yaitu
penebalan fibrosa pada lobus-lobus (Chun,2008).

Gambar 7 Roentgen toraks yang memperlihatkan bayangan opak linear ireguler


pada basal paru,mengindikasikan asbestosis ringan. Gambar 8. Terdapat gambaran
opak linear kasar pada basal paru, cenderung meningkat pada paru kiri, batas
jantung dan diafragma menjadi kabur (shaggy border sign) (Chun,2008)

Ada tiga tingkatan gambaran foto toraks sesuai dengan perjalanan asbestosis. Pada tahap
awal, dapat diperoleh gambaran pola retikular pada basal paru, ground-glass appearance,
yang dapat menggambarkan proses alveolitis dan fibrosis intersisial. Tahap kedua
ditandai dengan peningkatan bayangan opak kecil iregular menjadi pola intersisial yang
luas. Pada tahap ini gambaran dapat mengaburkan batas jantung atau shaggy heart border
Pada tahap akhir, dapat menjadi pola intersisial kasar dan honey-comb pada paru atas,
namun gambaran ini jarang ditemukan. Dahnert menegaskan bahwa dalam pemeriksaan
foto toraks jarang sekali ditemukan fibrosis masif; bila ada, biasanya terjadi di basal paru

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 14
tanpa pergerakan ke hilus. Tidak ditemukan adenopati hilum ataupun mediastinal, yang
membedakan asbestosis dengan silikosis atau CWP. Selain itu sering ditemukan pula
penebalan pleura berupa plak pleura disertai fibrosis paru,biasanya di lapangan paru
bawah, terutama paru kiri di sekitar parakardial yang menutupi batas jantung kiri.
Pemeriksaan foto toraks pada asbestosis bersifat non-spesifik, yang dapat memberikan
tingkatan positif-palsu yang tinggi. Tingkat keakuratannya berkisar antara 40-90%
(Danhert,2011).

Gambar 9. Gambaran plak pleura (tanda panah): Plak bersifat simetris, terletak
lateral dan dapat berada di sebelah atas diafragma. Gambar 10. Gambaran CT-
scan pada inferior paru yang menunjukkan gambaran opak kurvilinier subpleura
(anakpanah putih) dan garis intersisial yang menebal (anakpanah hitam) (
Danhert,2011)

High Resolution Computed Tomography (HRCT)


Pada HRCT, dapat ditemukan asbestosis tahap awal berupa gambaran opak bulat,
kecil, intralobular, septa intralobular menebal, adanya garis kurva linear subpleura dan
pita parenkimal. Penebalan septa menunjukkan adanya fibrosis. Gambaran honey-comb
pada fase lanjut dapat ditemukan, namun jarang. Seperti pada pemeriksaan roentgen,
penemuan radiologis lebih sering ditemukan pada basal paru (Chong,2006).
Garis subpleura ditemukan 1 cm dari pleura. Biasanya garis berukuran 5-10 cm
dan mungkin menunjukkan fibrosis di daerah bronkiolar dan atelektasis. Sedangkan pita
parenkimal adalah bayangan opak linear tebal dengan ukuran 2-5 cm, yang melintasi paru
dan menyentuh permukaan pleura. Pita parenkimal berhubungan dengan distorsi

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 15
anatomis paru. Selain itu dapat ditemukan pula gambaran pada pleura, yaitu penebalan
pleura yang membentuk plak pleura. Penebalan ini bersifat bilateral, dan terdapat
kalsifikasi. CT-scan dinilai lebih sensitif mendeteksi asbestosis dibandingkan dengan
radiografi konvensional, terutama untuk menilai asbestosis awal (Chun,2008).

Gambar 11 Gambaran CT scan menunjukkan asbestosis lanjut: Terdapat


perusakan jaringan berupa honey-comb (anak panah). Gambar 12 Gambaran CT
scan pada mediastinal window setingkat vena cava inferior suprahepatica,
menunjukkan penebalan pleura (panah) pada lobus bawah di kedua paru,
mengindikasikan adanya plak pleura (Chun,2008)

Coal Workers Pneumoconiosis

Pajanan debu batubara dapat meyebabkan Coal Worker’s Pneumoconiosis


(CWP) yang dikenal dengan penyakit black lung. Diketahui adanya titik kecil di lapangan
paru atas yang menggambarkan inhalasi debu batu bara. Hal ini dapat menyebabkan
CWP yang terkomplikasi yang juga disebut dengan progressive massive fibrosis, hampir
mirip dengan istilah yang terdapat pada silikosis dimana perbedaannya adalah terdapat
bayangan kecil yang bergabung menjadi nodul lebih besar dengan diameter 1-2 cm. Lesi
ini dapat merusak dan menghancurkan struktur normal paru dan penyebabkan sesak nafas
dan kecatatan. Pajanan debu batubara didapatkan menyebabkan obstruksi saluran nafas
dan bronkhitis kronik dan juga berhubungan dengan rheumatoid arthritis dan ketika
bergabung dengan CWP disebut dengan Caplan Syndrome. Ditemukan juga insiden

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 16
kanker perut pada pekerja tambang batubara yang berhubungan dengan menelan debu
batubara ( Loney,2010;Kusumawidjaja,2005)

Gambar 13. Gambaran radiologi paru penderita coal worker pneumoconiosis. A:


Simple Pneumoconiosis, B: Progressive Massive Fibrosis. Gambar 14. Foto toraks
mantan penambang batubara dengan klinis Rheumatoid Arthritis menunjukkan
gambaran Caplan’s Syndrome (Antao,2005)

Foto Toraks
Pada sebagian penambang batubara yang menderita CWP terdapat fibrosis paru
yang masif dan progresif. Pada foto toraks terdapat gambaran opasitas kecil (1-5 mm)
yang ireguler pada lobus bawah paru yang kadang disertai dengan opasitas retikular
ataupun retikulonodular. Dibandingkan dengan nodul pada silikosis, nodul pada CWP
didapatkan batasnya lebih tidak tegas dan lebih tampak granular. Opasitas irregular ini
memiliki berkorelasi lebih baik dengan gejala klinis daripada opasitas bulat. Sekitar 10-
20% pasien CWP simple memiliki nodul dengan kalsifikasi sentral kecil sedangkan pada
silikosis didapatkan kalsifikasi yang difus. Kalsifikasi Egg shell yang merupakan pola
patognomonis pada silikosis simple didapatkan pada 2% kasus. Pada CWP
terkomplikasi, didapatkan gambaran opasitas luas dan fibrosis yang masif progresif.
Massa fibrotik ini memiliki batas tidak tegas disertai emfisema atau batas tegas tanpa
emfisema disekelilingnya (Antao,2005).

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 17
Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pada gambaran CT scan, didapatkan abnormalitas retikular, seperti adanya
gambaran honeycomb yang mirip dengan pneumonia interstisial. Gambaran lain dapat
pula nodul kecil dengan distribusi yang difus (biasanya perilimfatik) yang lebih sering
terjadi pada paru bagian atas. Sekitar 30% dari pasien memiliki kalsifikasi nodul.
Pembesaran limfonodi hilar dan mediastinal juga dilaporkan pada 30% kasus. Pola dari
fibrosis interstisial yang luas berhubungan dengan prevalensi yang tinggi dari kanker
paru,khususnya terjadi pada lobus paru yang mengalami fibrosis. Gambarannya mirip
dengan kanker paru, oleh karena itu penting untuk membedakan keduanya (Cox,2014).
Pada MRI, dibandingan dengan intensitas signal otot, CWP terkomplikasi
memiliki intensitas signal yang rendah pada T1 dan T2. Hal ini berbeda dengan proses
keganasan dimana didapatkan intensitas signal yang tinggi pada T2. Pada pemberian
kontras, lesi CWP terkomplikasi menunjukkan enhancement perifer. Peran PET-CT
untuk membedakan dengan keganasan masih belum jelas, karena keduanya menunjukkan
peningkatan penyerapan FDG.

Gambar 15. Gambaran CT scan seorang pekerja tambang batu bara; anak panah
menunjukkan gambaran sentrilobular dan kepala panah menunjukkan nodul.
Gambar 16. Gambaran foto toraks penderita Pneumonitis hipersensitivitas dengan
opasitas ground glass yang patchy (Cox,2014)

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 18
Pneumonitis Hipersensitivitas
Penyakit lain yang berhubungan dengan pajanan adalah Farmer’s lung atau
Pneumoniitis hipersensitivitas. Pneumonitis hipersensitivitas awalnya diketahui oleh oleh
Bernardino Ramazzini pada petani gandum tahun 1713, didapatkan penyakit paru
interstisial yang disebabkan oleh respon imun terhadap antigen yang terinhalasi. Populasi
yang berisiko adalah petani dan penghobi burung, tetapi banyak pajanan lain
menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas. Terbaru didapatkan pada pekerja pabrik
popcorn, tercatat didapatkan pada pekerja dan konsumen dengan riwayat terpajan
popcorn rasa mentega yang dimasak dalam microwave. Prevalensi pneumonitis hipertensi
yang sebenarnya tidak diketahui karena banyak produk yang menyebabkan.
Bagaimanapun telah dilaporkan adanya pneumonitis hipersensitivitas pada 12% petani
dan 20% penghobi burung (Selman,2012)

Foto Toraks
Gambaran radiologis pneumonitis hipersensitivitas bergantung pada subtipe.
Pneumonia hipersensitivitas dibagi menjadi bentuk akut, subakut dan kronik. Secara
umum sensitivitas foto toraks untuk diagnosis ini sangat rendah. Banyak penderita
didapatkan memiliki foto toraks normal. Pada tahap awal, kelainannya dapat berupa
opasitas kecil (<5mm) multiple dengan batas tidak tegas di kedua lapangan paru, kadang
ditemukaan bersamaan di apeks dan basal paru. Biasanya didapatkan juga gambaran
ground glass opacities (bisa patchy maupun menyebar menyerupai edema paru) lebih
jarang dapat muncul gambaran konsolidasi. Dapat muncul gambaran retikular walaupun
jarang. Penyebarannya berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Pada fase lanjut, ketika
terbentuk fibrosis, diapatkan pola retikular dan honeycomb yang kadang lebih parah pada
lobus atas dibanding lobus bawah. Berkurangnya volume paru biasanya terjadi pada
lobus atas dan penebalan peribronkial bisa terlihat. Jika muncul komplikasi kor pulmonal
biasanya terdapat gambaran kardiomegali. Emfisema dan kista dapat terjadi pada kasus
kronik (Silva,2007) .

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 19
Gambar 17. Gambaran CT pasien pneumonitis hipersensitivitas. A:Foto inspirasi
menunjukkan retikulasi perifer dengan traksi bronkiektasis dengan penipisan
mosaik. B: Gambaran ekspirasi menunjukkan air trapping (anak panah)
(Bruner,2006).

High Resolution Computed Tomography (HRCT)


Gambaran HRCT dapat berupa opasitas ground glass yang homogen yang
bilateral dan simetris walaupun kadang patchy dan terkonsentrasi di bagian tengah dan
basal paru atau memiliki distribusi bronkovaskular. Opasitas ground glass biasanya
menunjukkan inflamasi interstisial yang kronik tetapi kadang disebabkan oleh fibrosis
atau pneumonia yang terorganisasi. Sejumlah opasitas bulat sentrilobular (biasanya
diameter <5 mm) kadang ditemukan berbatas tegas dengan penipisan jaringan lunak.
Penipisan dan hipovaskular menandakan adanya air trapping yang disebabkan oleh
inflamasi bronkiolar dan obstruksi yang memberikan pola penipisan mosaik. Adanya
gambaran head cheese sign merupakan kombinasi dari opasitas ground glass, area normal
dan air trapping (Cox,2014). Pada beberapa kasus dapat pula ditemukan mediastinal
limfadenopati kecil (sekitar 10-20 mm pada diameter aksis pendek), sentrilobular
emfisema, dengan adanya fibrosis , dapat ditemukan retikulasi, biasanya pada bagian
tengah paru, jarang mencapai apeks maupun basal paru. Secara klasik,.gambaran
radiologis dari pneumonia hipersensitivitas tidak berhubungan dengan durasi dan gejala
klinis kecuali didapatkan fakta bahwa fibrosis hanya ditemukan pada pneumonitis

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 20
hipersensitivitas kronik. Ketika didapatkan gambaran fibrosis paru pada CT scan, angka
mortalitasnya didapatkan meningkat (Bruner,2006;Kim,2001).

RINGKASAN
Penyakit paru kerja adalah merupakan sekelompok besar diagnosis penyakit yang
disebabkan oleh inhalasi dan ingesti partikel debu atau kimia berbahaya. Penyakit paru
kerja mewakili diagnosa terkait pekerjaan yang paling sering muncul dan jumlahnya
setiap tahun bertambah. Bentuk yang paling sering didapatkan berupa pneumokoniosis,
silikosis, penyakit pleura dan parenkim terkait asbestos dan pneumoniti. Penyakit ini
dapat terjadi dimanapun tetapi umumnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Secara umum, lesi penyakit paru kerja dibagi menjadi lesi akut dan kronik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pekerjaan dengan pajanan , lamanya pajanan,
serta pencitraan radiologi dibuat berdasarkan ILO. Foto toraks menjadi pemeriksaan
radiologis yang utama karena relatif memiliki dosis radiasi yang rendah, murah, dan
tersedia secara luas. HRCT telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan foto toraks
dalam mendeteksi lesidan juga dapat memberikan informasi yang berguna mengenai
tahap penyakit karena dapat menunjukkan kelainan parenkim dan pleura yang mungkin
tidak terlihat pada foto toraks dan juga lebih unggul dalam penilaian terjadinya dan
derajat emfisema.

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 21
DAFTAR PUSTAKA

Alper F, Akgun M, Onbas O, Araz O. 2008. CT finding in silicosis due to denim sandblasting.
European Society of Radiology, 18: 2739-2744.
Akgun M, Araz O, Akkurt I, Eroglu A, Alper F, Saglam L., et al. An epidemic of silicosis among
former denim sandblasters. European Respiratory Journal, 32: 1295-1303.
Barboza CEG, Winter DH, Seiscento M, Santos UP, Filho MT. 2008. Tuberculosis and silicosis:
epidemiology, diagnosis and chemoprophylaxis. The Jornal Brasileiro de Pneumologia,
34(11): 961-968.
Champlin J, Edwards R, Pipavath S. 2016. Imaging of occupational lung disease. Radiologic
clinics of North America, 54(6): 1077–1096.
Chong S, Lee KS, Chung MJ, Han J, Kwon OJ, Kim TS. 2006. Pneumoconiosis : Comparison of
imaging and pathologic findings. RadioGraphics, 26: 59-77.
Correia R, Rodrigues MSC, Esteves C, Simoes AFS, Pimenta A. 2014. Silicosis: a pictorial
review. European Society of Radiology, (1739): 1-11.
Cowie, RL, Murray J, Becklake MR. 2010. Pneumoconioses and other mineral dust-related
diseases. Dalam Textbook of Respiratory Medicine 5th edition. Editor Murray JF, Nadel
JA. WB Saunders Company. Philadelphia. P1554-1586.
Cox W, Rose S, Lynch A. 2014. State of art: Imaging of Occupational Lung Disease. Radiology,
270 (3): 681-694
Davis GS. 2002. Silicosis. Dalam Occupational disorders of the lung. Editor Hendrick DJ, Burge
S, Beckett WS, Churg A. WB Saunders Company. Philadelphia. P105-12.
Flors L, Domingo ML, Salinas CL, Mazon M. 2009. Uncommon Occupational Lung Diseases :
High-Resolution CT Findings. American Journal of Radiology, 194:20-26
Garcia DDD. 2014. Silicosis: controversy in detection. Medicia y Seguridad del Trabajo,
60(234): 4-8.
Glazer CS, Newman LS. 2004. Occupational interstisial lung disease. Clinics in Chest Medicine,
25:467-478.
Greenberg MI, Waksman J, Curtis J. 2007. Silicosis : a review. Disease a Month, 53: 394-416.
Ikhsan M, L. Marlond R, Swidarmoko B. 2009. Silikosis. Dalam Bunga Rampai Penyakit Paru
Kerja Dan Lingkungan. Editor Ikhsan M, Yunus F, Susanto AD, FK UI. P27-38.
Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –
RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 22
Kim KI, Kim CW, Lee MK. 2001. Imaging of Occupational Lung Disease. Radiography, 21(6) :
1371-1390
Leung CC, Yu ITS, Chen W. 2012. Silicosis. The Lancet, 379(9830): 2008-2018.
Marchiori E, Souza CA, Barbassa TG, Escuissato DL, Gasparetto EL, Souza AS. 2007.
Silicoproteinosis: High-Resolution CT Finding in 13 Patients. American Journal of
Roentgenology, 189: 1402-1406.
Mazziotti S, Gaeta M, Costa C, Ascenti G, Martino LB, Spatari G, et.al.2004. Computed
tomography features of liparitosis : a pneumoconiosis due to amorphous silica. European
Respiratory Journal, 23: 208-213.
Mossman BT, Churg A. 1998. Mechanism in the pathogenesis of asbestosis and silicosis.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine Home, 157: 1666-1680.
Oikonomou A, Muller NL. 2003. Imaging of pneumoconiosis. Imaging, 15(1): 11-22.
Rees D, Murray J. 2007. Silica, silicosis and tuberculosis. International Journal Tuberculous
Lung Disease, 11(5): 474-484.
Selman M, Pardo A, King TE. 2012. Pneumonia Hipersensitivity. American Journal of
Repiratory and Critical Care Medicine, 186 : 314-324
Silva CI, Churg A, Muller NL. 2007. Hipersensitivity Pneumonitis : Spectrum of High
Resolution CT and Pathologic Findings. American Journal of Radiology, 188: 334-344
Sirajuddin A, Kanne JP. 2009. Occupational lung disease. Journal Thorac Imaging, 24(4): 310-
320.

Tinjauan Kepustakaan Departemen – SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Unair –


RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017 Page 23

Anda mungkin juga menyukai