Anda di halaman 1dari 23

PNEUMOCONI

OSIS
Presentasi Respirasi III B PD 2016
165070107111045
165070107111046
Nurul Reza Fadhilah
Theodore Isaac Molandro
165070107111047 Vigyan Dananjaya
165070107111048 Harira
165070107111049 I Mn Wiranta Prasetyaji
165070107111050 Theresa Puspanadi
165070107111051 Adisty Aulia Kamarani
165070107111052 Pasenggo Trifena Alviera
165070107111054 Muhammad Revi Ramadhan
DEFINIS
I

PNEUMOCO
NISIS
Istilah yang digunakan untuk beberapa Pada kebanyakan kasus, terjadi
tipe penyakit pada parenkim paru setelah paparan dalam waktu yang
(diffuse) yang disebabkan oleh inhalasi panjang.
debu inorganic Dan dapat tetap berlanjut walau
Contoh agen: silika, asbestos, beryllium, dll paparan sudah dihentikan
DEFINIS
I • International Labour Organization mendefinisikan
pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang
terjadi akibat penumpukan debu dalam paru
yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap
debu tersebut.
• Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah
fibrosis.
• Respon terhadap pneumoconiosis bisa beragam:
Tatjana PG. , Clinical Atlas of Interstitial Lung Disease, 2006 London Springer
relative tidak berbahaya s.d. menyebabkan
fibrosis destruktif, tergantung dari kemampuan
Keppres No. 22 tahun 1993 :
Pneumokoniosis adalah salah satu
partikel terkait dalam menyebabkan reaksi
dari penyakit paru akibat kerja (PPAK) imunologis di jaringan paru
Guidotti TL. , Global Occupational Health, 2011 New York Oxford University Press
ETIOLO
GI Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral, dengan 4
Penyebab
etiologi tersering

asbestosis

silicosis

coal worker pneumoconiosis


(CWP)
berylliosis

Loscalzo, J. 2013. Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
EPIDEMIOL
OGI
• Pneumokoniosis terbanyak : Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara (CWP).
• ILO (1991) : sekitar 10-20% penyakit paru dari keseluruhan penyakit akibat kerja,
diperkirakan setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus baru pneumoconiosis sekitar
40.000 kasus.
• ILO (1991) : prevalensi kematian yang berhubungan dengan pekerjaan disebabkan oleh
kanker (34%), kemudian kecelakaan (25%), penyakit saluran pernafasan (21%),
penyakit kardiovaskuler (15%), dan faktor lain (5%).
• Hasil penelitian The Surveillance of Work Related and Occupational Respiratory Disease
(SWORD) : 3.300 kasus baru penyakit paru di Inggris berhubungan dengan pekerjaan.
• Data di Australia (1979-2002) : >1000 kasus pneumokoniosis (56% asbestosis, 38%
silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara)
• Prevalensi pneumoconiosis batubara di Amerika Serikat dan Inggris bervariasi
tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah pertambangan.
• Prevalensi pneumokoniosis batu bara di Indonesia belum
ada penelitian khusus.
• Prevalensi hanya pada skala kecil mencakup suatu
perusahaan.
• Penelitian Darmanto et al. di tambang batubara(1989) :
prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%.
• Data penelitian di Bandung (1990) pada pekerja tambang
batu : kasus pneumokoniosis sebesar 3,1%.
• Penelitian Bangun et al. (1998) pada pertambangan batu
di Bandung : kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%.
• Kasmara (1998) pada pekerja semen : kecurigaan
pneumokoniosis 1,7%.
• Penelitian OSH center (2000) pada pekerja keramik :
insiden silikosis sebesar 1,5%.
• Penelitian Pandu et al. (2002) di pabrik pisau baja :
menemukan 5% gambaran radiologis diduga
pneumokoniosis.
• Damayanti et al. pada pabrik semen : kecurigaan Susanto AD. Pneumokoniosis. J Indon Med Assoc. 2011;61:503-510.

pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.


PATOLO
GI
• Berdasarkan patologi bisa dibedakan menjadi dua yaitu
1. Fibrotic
a. Silicosis,
b. coal worker pneumoconiosis  pekerja batubara
c. asbestosis,
d. Berylliosis  berilium
e. talcosis  silikat magnesium terhidrasi

2. Non-fibrotic
a. Siderosis (from iron oxide),
b. stannosis (from tin oxide),
c. baritosis (from barium sulfate)
PATOGEN
ESIS
PATOFISIOLOGI
sistem imun.
SILICOSIS
• Silica yang masuk ke dalam paru-paru menyebabkan terjadinya inflamasi melalui modulasi

• Cairan Broncoalveolar lavage (BAL) penderita silicosis, terdapat banyak makrofag, limfosit, dan
neutrofil yang mengalami peningkatan jumlah. Diikuti dengan direkrutnya sel-sel inflamasi
mengeluarkan ROS dan enzim proteolitik yang menyebabkan hancurnya sel dan ECM
• Silica menstimulasi makrofag untuk mensekresikan TNF-alfa dan Interleukin-1. TNF-alfa yang
terus disekresikan menyebabkan timbulnya lesi.
• Selain itu makrofag juga mengeluarkan Insulin-like growth Factor (IGF-1) dan Transforming
Growth Factor Beta (TGF-Beta) untuk menstimulasi fibroblast dalam menghasilkan sistesis
kolagen  terjadinya proses fibrosis
• Makrofag mengeluarkan MIP dan CINC untuk memanggil neutrofil
• Sitokin-sitokin inflamasi yang terus dikeluarkan oleh makrofag akan menyebabkan terjadinya
alveolitis
PATOFISIOLOGI
ASBESTOSIS
• Asbetos yang masuk ke dalam paru-paru akan menyebabkan
kerusakan pada sel alveolar makrofag dan sel epitel
• Kerusakan pada sel makrofag dan sel epitel direspon dengan
mengeluarkan sitokin-sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan untuk
sel fibroblast dan merekrutan sel-sel inflamasi  fibrosis
• Pada asbestosis panjang serat dan karakteristik mineralnya
mempengaruhi terjadinya patofisiologi, contoh : (Ye et al., 2017)
• Serat asbestos makin panjang akan semakin meningkatkan kemampuan
makrofag untuk menghasilkan lebih banyak sitokin inflamasi
PATOFISIOLOGI COAL-
PENUMOCONIOSIS
• Bila debu tertumpuk dalam alveoli dan bronkiolus, pernapasan, makrofag menelan
partikel (dengan fagositosis) dan membawanya ke bronkiolus terminalis tempat mereka
akan dibuang melalui aksi mukosiliaris.
• Pada waktunya, mekanisme klierens tidak mampu mengatasi beban debu yang
berlebihan dan agregat makrofag dalam bronkiolus dan alveoli.
• Timbul fibroblast dan jaringan retikulin diletakkan mengelilingi makrofag yang
membungkus debu. Bronkiolus dan alveoli dipenuhi oleh debu dan batu bara, makrofag
yang mati, dan fibroblast yang mengarah pada pembentukan macula batubara, lesi
primer dari gangguan ini. (Makula tampak sebagai titik kehitaman pada paru).
• Dengan membesarnya macula, bronkiolus yang melemah berdilatasi dengan terjadinya
emfisema setempat sebagai akibatnya. Pasien dengan pneumociosis pekerja tambang
batuara mengalami lesi paru massif dengan jaringan fibrotic padat mengandung material
hitam. Masa ini pada akhirnya merudak pembuluh darah dan bronki dari lobus yang ter
1. Usia pekerja saat paparan debu pertama kali
DIAGNOSIS

2. Lama berada di tempat kerja


3. Paparan yang dihirup (serat asbes, kristal silika, debu batu bara,dll.)
FAKTOR
RISIKO
4. Perokok aktif.
5. Stress emosional
6. Aktivitas fisik yang berlebihan
7. Infeksi saluran napas
8. Kegagalan program pengobatan yang dianjurkan
9. Tipe debu , debu yang mengandung silika dapat memperberat terjadi
Pneumokoniosis , usia batu bara juga menentukan.
10.Debu yang mengandung silika dapat memperberat
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.
Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumoconiosis:
DIAGNOSIS

SYMPTOM
1. Adanya pajanan yang bersifat signifikan dengan debu penyebab
SIGN &

pneumokoniosis disertai periode laten yang mendukung. Batuk progresif dan


sesak napas saat aktivitas mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Gejala
seringkali timbul sebelum kelainan radiologis.

2. Gambaran spesifik kelainan radiologi dan abnormalitas faal paru pada pasien
pneumoconiosis.

3. Tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai


pneumoconiosis (Sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis , atau
interstitial lung disease ).
PEMERIKSAAN Pemerikaan Radiologi
Foto thorax CT Scan
DIAGNOSIS

PENUNJANG
Pada pneumokoniosis digunakan Pemeriksaan CT mungkin sangat
klasifikasi standar menurut bermanfaat secara individual untuk
International Labour Organization (ILO) memperkirakan beratnya fibrosis
interstisial yang terjadi, menilai
untuk kelainan parenkim yang terjadi.
luasnya emfisema dan perubahan
pleura atau menilai ada tidaknya
nekrosis atau abses yang bersamaan
dengan opasiti yang ada. High
Resolution CT (HRCT) lebih sensitif
dibanding radiologi konvensional
untuk evaluasi abnormalitas parenkim.
Gambaran radiologis

simple pneumoconiosis progressive massive fibrosis


Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi
PEMERIKSAAN
DIAGNOSIS

pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja.
PENUNJANG
Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri
dan pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia.

Pemeriksaan lab
Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan
kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsy
transbronkial atau biopsy paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk
metabolismenya.
Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Dapat terlihat debu di makroag
dan jenis debu kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS

Asbetosis
BANDING

Hyperthrophic osteoarthropathy
Idiopatic pulmonary fibrosis
Interstitial (Nonidiopathic) pulmonary fibrosis Silicosis
Tuberculosis
DIAGNOSI
S
Gejala respirasi
Batuk berdahak yang cenderung menetap. disertai dengan dahak
berwarna kehitaman. (komplikasi infeksi) sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri dada
Gejala non respirasi
bengkak di kaki dan tungkai yang (komplikasi lanjut).
pemeriksaan spirometri ditemukan penurunan nilai fungsi paru

Tindakan preventif adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih parah
Untuk menegakkan Diagnosis diperlukan anamnesis yang cermat :
a. Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
b. Riwayat pekerjaan seperti lama
bekerja, penempatan tugas, dan
lingkungan.
c. Kebiasaan penderita seperti
menggunakan alat pelindung diri
(APD) dan kebiasaan merokok.
TREATME
NT
• Tidak ada terapi spesifik untuk pneumoconiasis (tidak dapat
disembuhkan), akan tetapi lebih kepada terapi simptomatis.
• Tujuan treatment :
• Pencegahan kerusakan lebih lanjut
• Mengurangi keluhan gejala
• Meningkatkan kualitas hidup
• Penggunaan Oxygen dan Bronchodilator dapat dipertimbangkan sesuai dengan
gejala dan tingkat keparahan pada pasien. Begitu juga pemberian rehabilitas paru
untuk meningkatkan kemampuan beraktivitas sedang-berat
TREATME
NT
• Pada kasus yang jarang, transplantasi dapat dipertimbangkan jika
tingkat keparahan sudah tidak dapat dikompensasi.
• Beberapa pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya/memperparah pneumoconiasis, yaitu:
• Hand wash & menjaga hygine
• Penggunaan masker
• Berhenti merokok  (1st atau 2nd smoker)
• Menghindari paparan debu dan zat pemicu
DAFTAR
PUSTAKA
• Chong, S. et al. (2006) ‘Pneumoconiosis: Com- parison of Imaging and
Pathologic Findings 1 LEARNING OBJECTIVES FOR TEST 3 CME FEATURE’,
pp. 59–78. doi: 10.1148/rg.261055070.
• Fujimura, N. (2000) ‘Pathology and Pathophysiology of Cirrhosis’, pp. 140–
144. Available at: http://nadeeshan301.hubpages.com/hub/Pathology-
and-Pathophysiology-of-Cirrhosis.
• Ye, J. et al. (2017) ‘Critical role of glass fiber length in TNF-α production
and transcription factor activation in macrophages’, American Journal of
Physiology-Lung Cellular and Molecular Physiology, 276(3), pp. L426–
L434. doi: 10.1152/ajplung.1999.276.3.l426

Anda mungkin juga menyukai