Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara.. Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat meningkatkan taraf hidup, tetapi berbagai dampak negatif juga bisa terjadi pada masyarakat. Salah satu dampak negatif adalah timbulnya penyakit akibat kerja, terutama kerja yang menahun, yang dapat menjadi ancaman serius. Salah satunya pneumokoniosis.1 Pneumokoniosis adalah penyakit paru menahun yang disebabkan karena menghirup berbagai bentuk partikel debu, khususnya di perindustrian. Tingkat keparahan dan jenis pneumokoniosis tergantung pada partikel debu, misalnya, sejumlah kecil zat tertentu, seperti abses dan silika, dapat menyebabkan reaksi yang serius. Jenis paling umum pneumokoniosis adalah pneumokoniosis pekerja batu bara, silikosis, dan asbestosis.2 antara 3,9-0,8 kasus per 1000 pemeriksaan medis.3 Pada tahun 2008, jumlah kasus pneumokoniosis pekerja batu bara (230 kasus) terus menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan jumlah kasus silikosis atau pneumokoniosis lain (85 kasus) tetap sama dengan tahun sebelumnya. Ada 7 kematian silikosis dan 142 pneumoconiosis lainnya. Pneumokoniosis pekerja batu bara lebih sering ditemukan pada pekerja yang telah pensiun. Hal ini disebabkan karena masa laten yang panjang.4 1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan Umum PBL 1. Mahasiswa dapat menggunakan pengetahuan dan pemahaman tentang sistem pernafasan manusia dalam konteks individu seutuhnya pada berbagai penyakit. 2. Mahasiswa dapat bersikap positif dalam pemikiran ilmiah dasar termasuk cara berpikir untuk membuat keputusan ilmiah. Prevalensi berkisar

1.2.2

Tujuan Khusus PBL Pneumoconiosis

1. Mengetahui definisi dari Pneumoconiosis. 2. Mengetahui etiologi dari Pneumoconiosis. 3. Mengerti patofisiologi dari Pneumoconiosis. 4. Mengetahui gejala dari Pneumoconiosis. 5. Mengetahui cara mendiagnosis dan diagnosis banding dari Pneumoconiosis. 6. Mengetahui pengobatan atau tatalaksana dari Pneumoconiosis. 1.2.3 Manfaat 1. Dengan mengetahui dan mengerti mengenai Pneumoconiosis, mahasiswa diharapkan dapat menerapkannya di klinik. 1.3 Skenario PBL 2. You Reap What You Sow A 42 year old man is admitted with chief complaint of coughing for more than 4 month. His cough is productive with white to greenish sputum. He has no history of pulmonary TB and his weight is within normal limits. He admits to smoking 5 cigarettes a day. He works as a miner in a coal mine.

BAB II HASIL DISKUSI


I. Identify the Unfamiliar Terms 1. Sputum adalah saliva yang bercampur mukus yang dibatukkan dari traktus respiratorius.

II.

Define the problems 1. Apakah pengaruh rokok pada batuk? 2. Bagaimanakah pengaruh debu pada pekerja tambang dengan batuk? 3. Apakah perbedaan sputum hijau dengan sputum putih? 4. Apakah pengaruh berat badan pada kasus? 5. Apa saja penyakit yang bisa menimbulkan efek atau gejala atau manifestasi klinis batuk kronis? 6. Bagaimanakah mekanisme batuk dalam hubungannya dengan kasus? 7. Apa saja tindakan pencegahan yang dapat dilakukan? 8. Bagaimana pengobatan untuk kasus ini? 9. Mengapa terjadi batuk pada kasus ini, apakah karena salurannya radang? 10. Apakah sebab batuk dalam kasus ini, apakah oleh karena rokoknya atau karena pekerjaannya di tambang? 11. Bagaimana patofisologi penyakit yang ada di kasus? 12. Bagaimana cara anamnesis untuk kasus ini? 13. Apa saja pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk kasus ini? 3

14. Apa saja kandungan dalam rokok yang dapat memicu terjadinya batuk?

III.

Brainstorm possible hypotheses or explanations Dengan pertimbangan pekerja tambang yang diperberat dengan rokok, kami membahas tentang pneumoconiosis. 1. Definisi pneumoconiosis : penyakit paru yang disebabkan oleh inhalasi debu, terutama debu yang berukuran kurang dari 0,5 m, sehingga bisa masuk ke dalam paru. Etiologi : rokok menghambat kerja anti-tripsin, padahal anti-tripsin itu untuk menghancurkan zat-zat asing.

2.

Mekanisme batuk sebagai reflek fisiologis : Sinyal-sinyal ditangkap oleh reseptor saraf aferen (N. Vagus, N. Glossopharingeal, N. Phrenicus) pusat pernafasan (medulla) saraf eferen efektor (otot-otot pernafasan). Epiglottis terbuka saat batuk, tekanan diafragma naik sehingga tekanan meningkat dan terjadilah batuk.

3.

Pengaruh berat badan dalam kasus ini : hanya untuk menunjukkan bahwa kasus ini bukanlah keganasan dan menyingkirkan kemungkinan TBC.

4.

Patofisiologi : bila di saluran ada benda yang menghambat atau masuk, terjadilah batuk. Namun bila silia rusak akibat rokok ataupun zat-zat lain, maka bisa terjadi batuk terus menerus.

5.

Anamnesa : digunakan untuk mengetahui patofisiologi. Sejak kapan batuknya? (hal ini berguna untuk mengetahui sifat batuk, apakah akut atau kronis, dan untuk mengetahui dalam fase apa.) Apakah saat bekerja memakai pelindung? Apakah disertai dengan gejala lain seperti sesak, sakit atau nyeri dada? Apakah batuk terus selama 4 bulan? Apakah ada darah dalam sputum? Bagaimana daerah tempat tinggal penderita?

Apakah ada riwayat minum obat? (terutama obat anti-hipertensi yang dapat menyebabkan batuk) Apakah ada riwayat penyakit paru di keluarga? (untuk mengetahui apakah ada kemungkinan alergi atau tidak.)

6.

Pemeriksaan Fisik : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

7.

Pemeriksaan Penunjang :

Spirometri : untuk mengetahui apakah ada kelainan fungsi paru, apakah kelainan tersebut bersifat obstruktif ataukah restriktif. Rontgen thoraks : opak (berisi cairan atau gas) Cek sputum Bronchoscopy : untuk cek saluran nafas, pasien dibius total.

CT Scan : dilakukan bila inhalan banyak dan pasien mampu secara finansial. Berguna untuk mengetahui setinggi apa obstruksi atau gangguannya, yang akan membantu penentuan prognosis.

IV.

(digabung dengan step III)

V.

Learning Objectives 1. Diagnosis banding penyakit-penyakit yang mempunyai manifestasi klinis batuk, yang berhubungan dengan kasus. 2. Diagnosis banding yang paling dominan, dibahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, pencegahan dan prognosis.

VI. VII.

Gather Information and private study Share the results of information gathering and private study

Penyakit paru lingkungan adalah penyakit paru yang disebabkan oleh inhalasi kronis bahan inorganic dari lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja yang biasanya disebabkan oleh debu asbes, silica, batu baru, berilium. Pneumoconiosis adalah penyakit paru non-neoplastik yang terjadi karena akumulasi debu yang terhidup di dalam jaringan paru dan respon terhadap debu yang terakumulasi. Debu merupakan komponen aerosol dari bahan inorganik.

Terjadinya pneumoconiosis tergantung dari agen yang diinhalasi, intensitas terpapar agen, dan durasi terpapar agen tersebut. Jenis Debu ada dua macam, yaitu kolagen dan non-kolagen. Debu kolagen tidak menimbulkan fibrosis pada jaringan dan bersifat reversible. Contohnya inhalasi debu berilium. Sedangkan debu non-kolagen menimbulkan fibrosis yang irreversible. Contohnya adalah inhalasi debu asbes. Etiologi: Debu inorganik yang berukur 1-3 m. Debu dari silica menyebabkan silicosis. Asbes dapat menyebabkan asbestorsis. Debu dari berilum dapat menyebabkan berilosis. Carbon terdapat 2 jenis yaitu jenis hard (dari batu bara) yang dapat menyebabkan Coal workers pneumoconiosis (CWP) dan jenis soft yang dapat menyebabkan anthracosis. Epidemiologi: Paparan debu inorganic harus selama 15-20 tahun5 untuk dapat menimbulkan pneumoconiosis. Resiko terjadinya pneumoconiosis adalah pada buruh tambang, pengangkut, dan pemotong batu bara. Patofisiologi terjadinya pneumoconiosis (berlaku untuk semua debu): Debu dari batu bara terinhalasi. Debu yang berukur 5-10 m akan tertahan oleh silia epithelium saluran nafas. Dan debu yang berukuran 1-3 m akan masuk sampai ke struktur aciner paru (alveoli, sakus alveoli, ductus alveoli, bronkiolus respiratorius). Debu yang masuk ini merangsang sel-sel leukosit, terutama makrofag, untuk mobilisasi ke alveolinya untuk mengusir partikel-partikel debut tersebut. Makrofag atau dust cell ini akan memfagosit debu, kemudian akan di dorong keluar oleh silia bronkiolar dan keluar melalui sputum. Debu yang tertinggal akan mempenetrasi membrane respirasi untuk dibawa oleh makrofag ke saluran limfe. Makrofag akan tersangkut oleh elemen jaringan kemudian akan menstimulasi pembentukan agregasi limfoid di dalam saluran limfe intrapulmonair, ruang perivaskular dan ruang peribronkial. Jika jumlah debu yang terinhalasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dapat difagosit makrofag, maka dengan stasisnya alveolar, makrofag yang mengandung debu akan hancur sehingga terjadi pelepasan debu kembali. Debu ini akan mempenetrasi

membrane alveolar kemudain masuk ke parenkim paru, pembuluh darah, bronkus, dan struktur paru lainnya. Setelah penetrasi, sebagian debu ini akan dibawa oleh cairan interstitial dan cairan limfe ke limfonodus terdekat. Dimana pun partikel debu berakhir (tidak bisa bergerak kemanapun lagi), jika tidak terfagosit oleh makrofag, maka akan merangsang pembentukan agregat nodul yang kemudian akan mengalami kolagenasi dan hialinasi membentuk fibrosis sebagai respon tubuh. Fibrosis ini bersifat menarik jaringan sekitar. Sebenarnya, jika debunya adalah debu dari batu bara, maka jarang menimbulkan batuk yang produktif. Biasanya batuk yang terjadi adalah batuk non-produktif. Namun, lama-kelamaan, jika debu semakin menumpuk, maka dapat terjadi batuk produktif di mana sputum yang dihasilkan akan sangat kental karena mengandung partikel yang berat dan hanya dapat dikeluarkan melalui batuk yang kencang. Pada scenario, terdapat sputum yang terjadi karena pasien merokok. Merokok dapat menimbulkan batuk produktif. Pada silicosis, debu silica bersifat toksik sehingga bila difagosit oleh makrofag dapat membuat makrofag mati. Makrofag yang mati ini dapat memanggil makrofag-makrofag yang lain, dan makin banyak makrofag yang mati. Oleh makrofag merupakan bagian dari mekanisme defense awal, dan makrofag banyak yang mati, orang yang terpapar dengan debu silica akan menjadi rentan untuk terkena infeksi oleh bakteri, virus, dll. Pembagian CWP: Simple CWP (uncomplicated): CWP ringan yang dapat berubah menjadi PMF apabila masih terus secara rutin terpapar debu batu bara. Debu terakumulasi di bronkiolus terminalis dan arteri yang memperdarahinya. Biasanya yang terbentuk adalah reticulum fibrosis.6 Gejala pada Simple CWP ini biasanya asimptomatik, hanya terlihat jika paru di foto Rontgen. Progressive massive fibrosis (PMF): CWP dimana jika mencapai tahap ini, maka walaupun sudah tidak terpapar debu batu bara, akan tetap bertambah buruk keadaan parunya. Fibrosis yang terbentuk padat dan berkolagen akibat menghirup debu dalam jumlah besar. Jika terkena PMF, maka akan lebih rentan untuk terinfeksi kuman TBC yang akan menimbulkan kavitas.6

Manifestasi klinis: Awal: asimptomatik dan dyspnea Lanjut: dyspnea semakin parah, cacat yang parah. Ada suatu kekhasan pada CWP, yaitu printers ink pada sputum.

Diagnosis: Anamnesi. Keluhan batuk, merokok, masalah pernafasan, pekerjaan, terpapar debunya dimana, kontaminan yang terkait, riwayat terdahulu, ventilasi tempat kerja, alat pelindung saat kerja, aktivitas lain yang dapat berhubungan dengan terpaparnya dengan debu, lingkungan tempat tinggal, perokok pasif, polusi. Pemeriksaan fisik: o Auskultasi: terdengar bunyi mengi o Karena terdapat hipoxia, maka dapat terjadi clubbing of the finger. Pemeriksaan penunjang: o Rontgen. Pemeriksaan ini digunakan bukan sebagai gold standard, tetapi pemeriksaan ini hanya dapat digunakan pada pemeriksaan secara masal, untuk melihat apakah parunya bermasalah atau tidak, tidak dapat menentukan agen yang bertanggung jawab atas kerusakan paru. Simple CWP: awalnya terliahat bercak-bercak infiltrate. Kemudian menjadi nodul-nodul yang opak dengan ukuran <1cm (biasanya 3mm), mirip dengan TB milier. Kadang-kadang terdapat kerley lines yang terjadi karena deposit debu di limfe atau septum interlobular.

Gambar foto Rontgen dari Simple CWP. Terlihat ada diffusi kecil yang terang pada kedua daerah paru (1-3 mm).sumber: http://www.healthprofessor.com/encyclopedia/graphics/images/en/1599.jpg PMF: awalnya mirip TBC. Terlihat gabungan dari nodul-nodul (konglomerasi), sehingga terlihat semakin padat pada kedua paru terutama daerah sentral. Gabungan nodul ini berdiameter >1cm.

Gambar foto Rontgen PMF atau complicated CWP. Terdapat difusi massif yang terang pada bagian atas dan tengah pada kedua paru. Nodul-nodul yang mengawali terjadinya PMF telah menjadi satu (konglomerasi). Sumber: http://medicalimages.allrefer.com/large/coalworkers-pneumoconiosis-complicated-2.jpg 10

o CT-scan. Khususnya menggunakan HR-CT (high resolution-computed tomography) o Spirometri. FEV-1 akan turun. o Bronchoscopy o Biopsy o BAL (Bronchoalveolar lavage) Tatalaksana: Sama dengan bronchitis kronik dan emphysema. Terapi yang dilakukan biasanya adalah simptomatik. Jadi, jika terjadi hypoxia, maka diterapi dengan oksigen supplemental. Salah satu terapi yang tidak simptomatik adalah dengan pemberian kortison7 karena dapat menurunkan sistem imunitas tubuh. Jika sistem imunitas turun, maka transport debu ke kelenjar limfe atau daerah yang menuju kelenjar limfe akan lebih sedikit karena makrofag juga lebih sedikit. Pencegahan: Pencegahannya adalah dengan menggunakan masker basah. Digunakan masker yang basah supaya memperkecil pori-pori masker sehingga akan lebih sulit untuk ditembus oleh debu. Diagnosis banding: Silicosis yang sebabkan oleh debu silica. Akan mempermudah terinfeksi TBC karena efek toksik debu silica terhadap makrofag. Pada rontgen silicosis, terlihat sebagai garis-garis pada bagian apex lobus dan bagian posteriornya. Asbestosis yang disebabkan oleh asbes. Bagian paru yang biasanya diserang adalah lobus inferior pada bagian atasnya. Gejala yang terlihat biasanya dyspnea, batuk tidak produktif, terdengar rongki basah saat auskultasi. Terjadi penyakit paru restriktif jika terjadi pembentuk fibrosis. Terjadi obstruktif jika ditambah dengan riwayat sebagai seorang perokok.

11

Caplans syndrome merupakan gabungan dari silicosis dan PMF. Gejalanya sama dengan PMF disertai dengan Rheumatoid arthritis (RA). Pada bagian lobus atas biasanya akan membentuk caplans lesion. Dapat terjadi RA karena silicosis dapat menimbulkan penyakit autoimun, salah satunya adalah RA/

Bronchitis kronik Pneumonia PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) Emphysema Berrilosis Byssinossis Bagassosis Farmers lung disease Pneumonitis hipersensitif Polusi udara dalam ruangan8

12

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


III.1 Kesimpulan Pneumokoniosis adalah penyakit paru akibat terpaparnya partikel debu di tempat kerja yang menyebabkan penimbunan debu dalam paru yang menyebabkan pembentukan jaringan fibrosis pada paru dan pada CXR terlihat gambaran seperti bercak-bercak infiltrat. Penyakit ini belum ada pengobatannya karena merupakan penyakit yang irreversibel sehingga hanya dapat dicegah kerusakan paru yang lebih lanjut dengan menghentikan paparan terhadap debu dan atau menggunakan masker basah. III.2 Saran Tutor lebih membimbing jalannya PBL Waktu pencarian bahan diperlama Kasus PBL dapat diterapkan dalam kehidupan sehari - hari

13

Daftar Pustaka
1. Mangunnegoro H., Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. Dalam: Yunus F., Rasmin M., Hudoyo A., Mulawarman A., Swidarmoko B., editor. Pulmonologi klinik. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1992. P.205-214. 2. http://www.buzzle.com/articles/pneumoconiosis.html 3. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1916404 4. http://www.hse.gov.uk/statistics/causdis/pneumoconiosis 5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA. McGraw Hill. 2008. 6. Ashford, Nicholas A. Government Regulation of Occupational Health and Safety. P.211-222,492-500 7. Hinshaw HC, Murray JF. Silicosis in disease of the chest. In: Murray, editor. Textbook of respiratory medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1988. P. 693-722. 8. IPD UI

14

Anda mungkin juga menyukai