Anda di halaman 1dari 2

Ketahanan Terimbas

Mekanisme ISR dan SAR


Ketahanan penyakit terimbas merupakan proses ketahanan aktif yang tergantung pada
penghalang fisik atau kimia tanaman inang, yang diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik
(agensia pengimbas), yang dapat melindungi tanaman terhadap patogen tanah dan dedaunan.
Ketahanan terimbas merupakan daya peningkatan pertahanan yang dikembangkan tanaman
karena adanya rangsangan yang sesuai (Soesanto, 2008).
Semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen (van
Loon et al., 1998). Hal ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis dan kimia yang
dapat mencegah infeksi (Sastrahidayat, 1990). Selain itu, ketahanan tanaman terbentuk
karena mekanisme agensia pengendali hayati yang mampu menurunkan jumlah sisi infeksi
dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap parasitnya di dalam tanah (Soesanto,
2008). Menurut van Loon et al. (1998), mekanisme tersebut gagal ketika tanaman diinfeksi
oleh patogen virulen karena patogen mencegah adanya reaksi ketahanan atau menghindari
pengaruh pengaktifan ketahanan. Apabila mekanisme ketahanan dapat dipacu lebih dulu
sebelum adanya infeksi patogen tanaman, maka penyakit dapat dikurangi.
Pengimbas ketahanan dapat berupa elisitor hayati, bahan kimia toksin dan tak-toksin,
sinar ultraviolet, kompos, dan agensia lainnya (Soesanto, 2008). Pada umumnya, ketahanan
terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak
hanya pada bagian tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang
tidak terinfeksi. Oleh karena bersifat sistemik, ketahanan terimbas umumnya dirujuk sebagai
SAR (Systemic Acquired Resistence). Akan tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu
ditampakkan secara sistemik, dapat juga ditampakkan secara setempat (Locally Acquired
Systemic = LAR), meskipun keaktifannya sama terhadap beragam tipe patogen tanaman (van
Loon et al., 1998).
Beberapa ciri atau sifat untuk pembuktian SAR, yang disusun oleh Steiner dan Schonbeck
(1995 dalam Soesanto, 2008), digunakan untuk membedakan ketahanan terimbas dari
mekanisme lain yang dapat menurunkan keberadaan atau keparahan penyakit. Ciri ini
berguna untuk membandingkan sifat ISR (Induces Systemic Resistance) yang diperantarai
rhizobakteri terhadap SAR. Ciri tersebut adalah: 1) tidak adanya pengaruh toksin dari agensia
pengimbas terhadap patogen penantang; 2) penekanan ketahanan terimbas oleh penerapan
penghambat khusus sebelumnya, seperti aktinomisin D (AMD), yang memengaruhi
kenampakan gen tanaman; 3) perlunya jarak waktu antara penerapan pengimbas dan
pembentukan perlindungan di dalam tanaman; 4) tidak-adanya hubungan tanggapan dosis
khusus yang diketahui sebagai senyawa toksin; 5) ketakkhususan perlindungan; 6)
perlindungan setempat secara sistemik; 7) ketergantungan terhadap genotip tanaman
(Soesanto, 2008).
Menurut Sastrahidayat (1990), ketahanan terimbas bertalian dengan peligninan tanaman,
yang mengakibatkan perkembangan jamur dapat dibatasi. Ketahanan kimia disebabkan
adanya senyawa yang menghambat, misalnya asam, minyak, ester, senyawa fenol, dan zat
penyamak tertentu. Beberapa senyawa fenol dan zat penyamak berkadar tinggi terdapat
dalam jaringan muda yang tahan terhadap patogen. Senyawa tersebut dapat menghambat
banyak enzim hidrolisis, termasuk enzim pektolisis, yang dihasilkan oleh patogen. Apabila
jaringan menjadi tua, kadar zat penghambat menurun, demikian pula ketahanannya terhadap
infeksi (Semangun, 2001).
Tanaman tahan menghasilkan protein yang dapat menghambat enzim hidrolisis perusak sel
yang dihasilkan patogen. Di lain pihak, sel tanaman inang yang mengandung enzim
hidrolisis, seperti glukonase dan kitinase, mampu merusak dinding sel patogen, yang
menyebabkan inang tahan terhadap infeksi. Baik tanaman tahan maupun rentan menghasilkan
fitoaleksin, tetapi tumbuhan yang tahan membentuknya lebih cepat dan lebih banyak
(Semangun, 2001).

Anda mungkin juga menyukai