Anda di halaman 1dari 20

1

ELECTIVE STUDY PHASE I



BIOFILM PADA KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT
(KSSRM)





OLEH:
GUSTI AYU NINDYA NORMALASARI
NIM. 1302005026
SEMESTER II


PEMBIMBING :
dr. ARIF WINATA, Sp.B





FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
2



KATA PENGANTAR


Om Swastyastu,

Pertama-tama, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan,
karena berkat-Nya sehingga penulis dapat membangun ulasan jurnal ini dengan
benar dan tepat waktu. Ulasan jurnal ini adalah tentang "Biofilm pada Karsinoma
Sel Skuamosa Rongga Mulut"
Jurnal Ulasan ini telah dilakukan oleh beberapa pengamatan dan bantuan
tertentu dari pihak manapun untuk menyelesaikan dan tantangan lengkap atau
hambatan selama penyelesaian ini. Sehingga penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr dr. IWP Sutirta Yasa, M.Si sebagai Kepala Blok Elective Study
2. Dr Putu Ayu Asri Damayanti, M.Kes sebagai sekretaris Blok Elective
Study
3. dr. Arif Winata,Sp.B sebagai pembimbing di Departemen Ilmu Bedah
di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
4. Teman dan semua pihak yang penulis tidak dapat disebutkan satu
persatu yang juga membantu penyelesaian ini.
Penulis menyadari bahwa ada banyak berbasis kekurangan dalam ulasan
jurnal ini. Oleh karena itu, pembaca berharap penulis dapat memberikan kritik dan
rekomendasi yang dapat membuat penulis melakukan lebih baik di selanjutnya
disebut. Akhir kata, penulis berharap ulasan jurnal ini dapat memberikan manfaat
bagi semua orang.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, 20 Agustus 2014


Penulis

3


DAFTAR ISI

Cover .......... i
Kata Pengatar .. ii
Daftar Isi ............... iii
BAB I
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan.......................... 2
1.3 Manfaat .. 2
1.4 Metode 3
BAB II
2.1 Definisi Biofilm .... 4
2.2 Hubungan Antara Biofilm dengan KSSRM . 5
2.2.1 Flora Normal Rongga Mulut.......................................... 5
2.2.2 Patobiologi Biofilm....................................................... 6
2.2.3 Peran Biofilm pada KSSRM.......................................... 7
2.3 Biofilm pada Protesa untuk KSSRM............................ 9
2.3.1 Perubahan Flora Normal Mulut Pasien dengan Protesa 9
2.3.2 Hubungan Antara Pilihan Biomaterial Protesa dengan
Biofilm............................................................................. 10
2.4 Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien KSSRM .... 11
2.4.1 Preoperative dan Postoperative Oral Hygiene Pasien
KSSRM............................................................................ 11
2.4.2 Perawatan Protesa Rongga Mulut.................................... 13
BAB III
Simpulan dan Saran 15
Daftar Pustaka........................................................................................ 16




4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahun hampir 30.000 orang Amerika didiagnosis dengan kanker
rongga mulut. 90% dari lesi ini adalah karsinoma sel skuamosa rongga mulut .
Meskipun kemajuan dalam operasi, radiasi dan kemoterapi, tingkat
kelangsungan hidup lima tahun adalah 54%, salah satu yang terendah dari
kanker utama, dan tingkat ini belum membaik secara signifikan dalam beberapa
dekade terakhir. Di seluruh dunia, masalah ini jauh lebih besar, dengan lebih
dari 350.000 menjadi 400.000 kasus baru ditemukan setiap tahun . Pada tahun
2001, tingkat kelangsungan hidup lima tahun serupa ditemukan dalam studi
kanker mulut dan faring antara laki-laki Afrika-Amerika. Khususnya, kejadian
pada dewasa muda (<40 tahun) meningkat di Amerika Serikat dan di seluruh
dunia. (DL Mager et al, 2005) Di Indonesia, menurut Simanjuntak kasus kanker
rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi . Angka
kematiannya 2-3% dari seluruh kematian akibat keganasan.
Faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker rongga mulut antara lain
merokok dan mengunyah tembakau, penggunaan alkohol secara berlebihan,
kurangnya kebersihan gigi, virus HPV (human papilloma virus), makan rendah
buah dan sayur, terkena serat asbes. Umumnya penderita datang berobat
sesudah ada keluhan seperti adanya benjolan di leher, nyeri tukak atau borok.
Pada hal bila sudah ada keluhan maka penyakit sudah dalam stadium lanjut
akibatnya prognosa dari kanker tenggorokan maupun rongga mulut relatif
buruk. Suatu kenyataan yang kurang menyenangkan dimana seringkali
prognosa ini diakibatkan oleh diagnosa dan perawatan yang terlambat. (Anna
Maria, 2007)
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan keterlambatan ini antara lain dari
segi penyakitnya, perkembangan kanker pada tahap awal seringkali tidak
menimbulkan keluhan. Dari segi pasien itu sendiri, bahwa mereka yang sudah
tua serta lemah tidak mau repot-repot datang ke dokter, pendidikan masyarakat
pada umumnya masih rendah, lokasi lesi yang tidak langsung terlihat dan lesi
dirawat sebagai lesi jinak (Lynch,1994; Pinborg,1991). Faktor lain adalah
5

dokter gigi kurang teliti pada pemeriksaan rutin rongga mulut atau tidak
mengetahui tanda-tanda awal keganasan dalam mulut atau ragu-ragu karena
tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gambaran klinis keganasan
mulut sehingga terlambat untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut
(Folson,1972). Untuk itu seorang dokter gigi seharusnya memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai sifat dan riwayat kanker mulut yang meliputi tanda dan
gejala awal, gambaran klinis, lokasi yang sering terlibat, faktor-faktor etiologi
dan cara diagnosis untuk mendeteksi penyakit ini (Bolden,1982) .
Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu
proses yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi
dan perkembangan tumor (Scully,1992). Secara garis besar, etiologi kanker
rongga mulut meliputi kebersihan rongga mulut yang buruk, iritasi kronis dari
restorasi, gigi-gigi karies/akar gigi, gigi palsu (Smith,1989; Bolden,1982;
Tambunan,1993). Oral hygiene yang buruk ini dapat mengakibatkan biofilm
atau plak pada rongga mulut. Biofilm Plak ditemukan pada permukaan gigi dan
peralatan terutama dengan tidak adanya kebersihan mulut. Secara umum
ditemukan di daerah anatomi dilindungi dari pertahanan tubuh. Berdasarkan
pada pernyataan di atas penulis tertarik untuk memaparkan tentang peranan
biofilm dan oral hygiene yang baik untuk mencegah terbentuknya biofilm.
1.1 Tujuan Penulisan
1.1.1 Tujuan Umum
Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan antara biofilm dengan
Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut (KSSRM)
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menambah pemahaman mengenai definisi biofilm.
2. Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan biofilm dan
Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut (KSSRM).
3. Untuk menambah pemahaman mengenai pengaruh oral hygiene pada
pembentukan biofilm serta penatalaksanaanya.
1.2 Manfaat penulisan
Penulisan ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1.2.1 Memberikan informasi mengenai definisi dari biofilm
6

1.2.2 Memberikan informasi mengenai pengaruh biofilm terhadap KSSRM
1.2.3 Memberikan informasi oral hygiene pembentuk Biofilm
1.3 Metode Penulisan
1.3.1 Bentuk Penulisan
Bentuk penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi pustaka.
Mengambil beberapa sumber dari literatur yang relevan dan disusun sesuai
dengan pengangkatan topik yang akan dibahas.
1.4.2 Sumber dan Jenis Data
Data-data yang akan dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah : 1)
Jurnal ilmiah edisi cetak dan non-cetak. 2) Artikel ilmiah yang bersumber
dari internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun
kuantitatif.
1.4.3 Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai
literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh.
Penulisan diupayakan saling berhubungan, relevan dengan topik, serta tidak
menimbulkan bias.
1.4.4 Penarikan Simpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada latar belakang, tujuan
penulisan, serta pembahasan yang tertuang dalam analisis dan sintesis.
Simpulan yang ditarik merepresentasikan pokok bahasan karya tulis serta
didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi lanjut.








7


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Biofilm
Defenisi biofilm telah berkembang sejak 25 tahun yang lalu. Marshall (1976)
mencatat keterlibatan dari fibril polimer ekstraseluler yang sangat halus yang
membawa bakteri ke permukaannya. Costerton melakukan observasi pada
komunitas bakteri pada sistem akuatik yang ditemukan terperangkap dalam matrik
glikokalik yang didapati pada polisakarida dan matrik ini ditemukan dapat
memediasi penempelan atau proses adesi.
Definisi baru dari biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang
menempel pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan
alat- alat yang dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten
terhadap proses fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika (Donlan, 2002).
Dalam sebuah artikel berjudul "Bakteri Biofilm: A Common Cause Infeksi
Persistent," JW Costerton di Pusat Biofilm Teknik di Montana mendefinisikan
biofilm bakteri sebagai "sebuah komunitas yang terstruktur sel bakteri tertutup
dalam matriks polimer diproduksi sendiri dan patuh kepada inert atau permukaan
hidup. "Dalam istilah awam, itu berarti bahwa bakteri dapat bergabung bersama-
sama pada dasarnya setiap permukaan dan mulai membentuk matriks pelindung di
sekitar kelompok mereka. Matriks terbuat dari polimer - zat terdiri dari molekul
dengan unit berulang struktural yang dihubungkan oleh ikatan kimia.
Menurut Center for Biofilm Engineering di Montana State University, biofilm
terbentuk ketika bakteri menempel pada permukaan dalam lingkungan berair dan
mulai mengekskresikan, zat seperti lem berlendir yang dapat jangkar mereka untuk
semua jenis material - seperti logam, plastik, tanah partikel, bahan medis implan
dan, yang paling penting, jaringan manusia atau hewan. Koloni bakteri pertama
yang mematuhi permukaan awalnya melakukannya dengan menginduksi lemah,
obligasi reversibel disebut van der Waals. Jika koloni tidak segera lepas dari
permukaan, mereka dapat jangkar diri lebih permanen menggunakan molekul
adhesi sel, protein pada permukaan mereka yang mengikat sel-sel lain dalam proses
yang disebut adhesi sel.
8

Pusat perintis bakteri memfasilitasi kedatangan patogen lain dengan
menyediakan situs adhesi lebih beragam. Mereka juga mulai membangun matriks
yang memegang biofilm bersama-sama. Jika ada spesies yang tidak dapat
melampirkan ke permukaan pada mereka sendiri, mereka sering dapat jangkar diri
untuk matriks atau langsung ke koloni sebelumnya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa selama waktu terbentuknya
biofilm, patogen di dalamnya dapat berkomunikasi satu sama lain berkat fenomena
yang disebut quorum sensing. Meskipun mekanisme di balik quorum sensing tidak
sepenuhnya dipahami, fenomena memungkinkan bakteri bersel tunggal untuk
melihat berapa banyak bakteri lain di dekat. Jika bakteri dapat merasakan bahwa itu
dikelilingi oleh populasi padat patogen lain, itu lebih cenderung untuk bergabung
dengan mereka dan berkontribusi pada pembentukan biofilm. (Amy Proal, 2008)
2.2 Hubungan Antara Biofilm dengan Karsinogenesis pada Rongga Mulut
2.2.1 Flora Normal Rongga Mulut
Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan
selaput lendir/mukosa manusia yang sehat maupun sakit. Pertumbuhan flora normal
pada bagian tubuh tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan adanya
zat penghambat. Keberadaan flora normal pada bagian tubuh tertentu mempunyai
peranan penting dalam pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu zat yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Adanya flora normal pada bagian
tubuh tidak selalu menguntungkan, dalam kondisi tertentu flora normal dapat
menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau berpindah
dari habitat yang semestinya ( Jawetz, 2005 ).
Flora normal dalam rongga mulut terdiri dari Streptococcus
mutans/Streptococcus viridans, Staphylococcus sp dan Lactobacillus sp. Meskipun
sebagai flora normal dalam keadaan tertentu bakteri-bakteri tersebut bisa berubah
menjadi patogen karena adanya faktor predisposisi yaitu kebersihan rongga mulut.
Sisa-sisa makanan dalam rongga mulut akan diuraikan oleh bakteri menghasilkan
asam, asam yang terbentuk menempel pada email menyebabkan demineralisasi
akibatnya terjadi karies gigi. Bakteri flora normal mulut bisa masuk aliran darah
melalui gigi yang berlubang atau karies gigi dan gusi yang berdarah sehingga terjadi
bakterimia ( Jawetz, 2005 ).
9



2.2.2 Patobiologi Biofilm
Perkembangan biofilm, dibagi empat tahapan, sebagaimana dirangkum oleh
Stoodley et al. (2002):

Gambar 1. Perkembangan biofilm : 1. Non-permanen 2. Permanen, 3. Maturasi, 4.
Detachment, 5. Penutupan siklus
Reversible attachment, yaitu penempelan sel tunggal dan pergerakan bebas
menginisiasi pembentukan biofiom pada permukaan. Sejumlah kecil dari
exopolymeric material terlibat dalam tahapan ini. Pelekatan sel ini tidak permanen
dan sel dengan mudahnya dapat meninggalkan permukaan material. Selama tahap
reversibel ini bakteri memperlihatkan perilaku khusus yang meliputi
menggelinding, meloncat, bergabung membentuk koloni dan lepas dari koloni,
sebelum mereka menghasilkan exopolysaccharides dan menempel secara
permanen.
Irreversible attachment, yaitu setelah pelekatan non-permanen pada
permukaan berubah menjadi pelekatan permanen, bakteri harus mempertahankan
kontak dengan substratum. Perubahan sifat penempelan dari non-permanen ke
permanen dicirikan sebagai transisi yang paling lemah. Bakteri mulai menghasilkan
banyak exopolysaccharides untuk melewati transisi ini. Setelah itu interaksi antar
bakteri untuk membentuk grup sel dan membantu untuk saling menguatkan dalam
penempelan di permukaan. Sel tunggal memproduksi polysaccharide yang
10

mengikat sel bersama dan memfaasilitasi pembentukan mikro koloni dan ini
membawa tahapan berikutnya yakni tahapan pematangan biofilm.
Maturasi pematangan yaitu selama maturasi, biofilm menghasilkan salluran,
pori pori dan penempatan kembali dari bakteri yang sempat lepas dari material.
Dalam tahap ini, banyak protein yang dideteksi dalam sample biofilm yang
mencerminkan keragaman bakteri. Aktifitas yang bervariasi juga diidentifikasikan
seperti perubahan metabolisme, transpor melalui membran, adaptasi dan aktifitas
proteksi.
Detachment atau pelepasan, yaitu umumnya digambarkan sebagai pelepasan
sel baik itu sel tunggal ataupun grup dari biofilm. Sel yang lepas dipercaya menjadi
penutup bagi siklus pertumbuhan biofilm. Skema pendek dari siklus ini yang
diambil dari Stoodley et al. (2002) ditunjukkan dalam gambar berikut:
Struktur biofilm secara umum merupakan hasil interaksi dari mikroorganisme
dengan medium dan pengaruh proses biologi-fisikkimia di dalamnya. Semua faktor
di atas seharusnya dipertimbangkan selama pembentukan biofilm. Stoodlye et al.
(2002) menyatakan bahwa minimal ada empat hal mempengaruhi struktur biofilm
Karakteristik geometrikal dari substratum.
Karkateristik mikroorganisme yang menyusun biofilm
Kondisi hidrodinamik disekitar biofilm
Nutrisi yang tersedia dalam cairan dan dalam biofilm
Karakterisitik dari substratum (hydrophilic, hydrophobic)
Pada tahapan awal, sifat dari substratum memainkan peran terpenting.
Kekasaran substratum mempromosikan kolonisasi bakteri. Hasil yang mirip
diperoleh dengan mengobservasi pembentukan biofilm selma periode start-up dari
expanded-bed reactor. Hipothesanya adalah rekahan dalam permukaan kasar dapat
memproteksi pertumbuhan biofilm selama periode awal dari gaya geser akibat
hidrodinamik cairan. Hal ini memungkinkan perkembangan biofilm tahap
berikutnya.
2.2.3 Peran Biofilm pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut
Biofilm merupakan substansi menyerupai perekat yang secara permanen
memfiksasi mikroorganisme pada permukaan padat dan sulit dieradikasi dengan
menggunakan antimikrobial. Mikroorganisme pada biofilm berbeda dengan
11

mikroorganisme yang bergerak bebas karena mikroorganisme biofilm tidak bisa
dieradikasi dengan mudah seperti mikroorganisme yang bergerak bebas.
Seluruh implan buatan pada tubuh manusia akan mengalami resiko untuk
infeksi biofilm. Fiksasi mikroorganisme pada peralatan medis memiliki hubungan
yang kuat dengan media pertumbuhan, permukaan, serta mikroorganisme yang
berkaitan ( Donlan, 2002).
Radang kronis berisiko menjadi faktor untuk beberapa jenis kanker,
diantaranya Epstein-Barr virus dengan nonHodgins lymphoma, Human papilloma
virus dengan kanker serviks dan mulut. Kejadian pada mulut menunjukkan penyakit
Lichen planus terjadi 1-2% pada pasien dewasa dan WHO telah
mempertimbangkannya sebagai penyakit yang berpotensi premalignant, namun
secara klinis relevan berubah menjadi oral squamous cell carcinoma yang biasa
disebut OSCC terutama pada lidah. Penderita periodontitis baik kategori sedang
maupun parah yang candidiasis disertai tanggalnya gigi, 64% lebih berisiko kanker
pankreas. Sementara itu,manifes-tasi HIV pada rongga mulut dapat berupa, Hairy
leukoplakia, Kaposis sarcoma (human herpes virus-8/HHV-8), NonHodginss
lympoma dan penyakit periodontitis.
Penelitian telah menyatakan bahwa bakteri mulut tertentu umum meningkat
atau pada lesi kanker mulut dan kerongkongan dan kelenjar getah bening yang
terkait . Meskipun peningkatan kolonisasi streptokokus lisan fakultatif telah
dilaporkan paling sering , anaerobik Prevotella, Veillonella, Porphyromonas dan
Capnocytophaga spesies juga meningkat. Saat ini, studi meneliti apakah bakteri
dapat kebetulan atau kausal yang berhubungan dengan kanker mulut. Penelitian
tambahan menentukan apakah berbagai penanda saliva dapat digunakan sebagai
indikator diagnostik awal untuk kanker mulut.
Kanker telah disebut sebagai penyakit molekul glycoconjugates membran sel,.
Glycocon juga tes tertentu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteri tertentu dan
laporan terbaru mendukung gagasan bahwa pergeseran dalam kolonisasi sel kanker
yang berbeda yang terkait dengan perubahan yang diamati dalam reseptor
permukaan sel. Sebuah studi in vitro S. sanguis, penghuni oral, menunjukkan bahwa
kapasitas mengikat sel-sel epitel yang normal dikelupas manusia bukal (HBEC)
bergantung pada ketersediaan air permukaan sialic residu asam. Desialylation dari
12

HBEC selalu dihapuskan adhesi S. sanguis ke sel-sel epitel. Dalam percobaan
serupa dilakukan dengan garis sel karsinoma bukal, S. sanguis tidak andal
melampirkan. Terbukti pula bahwa sel-sel tumor tidak mengekspresikan membran
glikoprotein sialylated sel normal menunjukkan bahwa perubahan dalam reseptor
permukaan terjadi di garis sel karsinoma.
Dalam studi sebelumnya dari 225 subyek OSCC bebas ditemukan tingkat
tinggi kekhususan dalam "pilihan" lokalisasi intra-oral spesies, bahkan dalam satu
genus tunggal seperti Streptococcus. Spesifisitas ini di lokalisasi spesies individu
setuju dengan itu dijelaskan dalam penelitian sebelumnya. Penyelidikan kami
diperpanjang temuan sebelumnya dengan menggambarkan distribusi beberapa
spesies dalam genus yang sama pada jangkauan yang lebih luas dari permukaan
intra-oral. Misalnya, S. oralis, S. constellatus, S. mitis, S. intermedius dan S.
anginosus menjajah jaringan lunak dalam proporsi yang lebih tinggi dari gigi;
Namun, "disukai" habitat jaringan lunak mereka berbeda. S. sanguis dijajah lokasi
jaringan lunak yang berbeda dalam proporsi yang sama, tetapi ditemukan dalam
proporsi rata-rata lebih tinggi pada gigi, khususnya di plak supragingiva.
2.3 Biofilm pada Protesa untuk Karsinoma Sel Skuamousa Rongga Mulut
2.3.1 Perubahan Flora Normal Mulut Pasien dengan Protesa
Kandida adalah suatu spesies yang paling umum ditemukan di rongga mulut
dan merupakan flora normal. Telah dilaporkan spesies kandida mencapai 40 60
% dari seluruh populasi mikroorganisme rongga mulut (Silverman,2001). Terdapat
lima spesies kandida yaitu k.albikans, k. tropikalis, k. glabrata, k. krusei dan k.
parapsilosis. Dari kelima spesies kandida tersebut k. albikans merupakan spesies
yang paling umum menyebabakan infeksi di rongga mulut.(Nolte,1982)
Struktur k. albikans terdiri dari dinding sel, sitoplasma nukleus, membran
golgi dan endoplasmic retikuler. Dinding sel terdiri dari beberapa lapis dan
dibentuk oleh mannoprotein, gulkan, glukan chitin. (Farlane M, 2002). K. Albikans
dapat tumbuh pada media yang mengandung sumber karbon misalnya glukosa dan
nitrogen biasanya digunakan ammonium atau nitrat, kadang kadang memerlukan
biotin. Pertumbuhan jamur ditandai dengan pertumbuhan ragi yang berbentuk oval
atau sebagai elemen filamen hyfa/pseudohyfa (sel ragi yang memanjang) dan suatu
13

masa filamen hyfa disebut mycelium. Spesies ini tumbuh pada temperatur 20 40
derajat Celsius. ( Mc Farlane 2002).
Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya pembersihan oleh saliva dan
pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan perubahan pada mukosa. Selain itu
faktor nutrisi memegang peranan dalam ketahanan jaringan inang, seperti defisiensi
vitamin B12, asam folat dan zat besi, hal ini akan mempermudah terjadinya infeksi.
Gambaran klinisnya berupa lesi agak kemerahan karena terjadi inflamsi pada sudut
mulut (commisure) atau kulit sekitar mulut terlihat pecah - pecah atau berfissure.
(Nolte, 1982. Greenberg, 2003).
2.3.2 Hubungan Antara Pilihan Biomaterial Protesa dengan Biofilm
Modifikasi permukaan, termasuk penambahan SMEs dan modifikasi kimia,
telah diuji sebelumnya karena kemampuan mereka untuk memungkinkan bakteri
adhesi dan pembentukan biofilm pada bahan gigi dan kateter. Olsson et al.
diselidiki adsorpsi protein dan air liur-dimediasi kepatuhan bakteri pada diobati,
permukaan hidrofobik dan polietilen berlapis oksida kaca dan permukaan mahkota
keramik. Peneliti ini menunjukkan bahwa permukaan hidrofobik dan PEO-
diperlakukan dipamerkan jauh lebih rendah (atau tidak) kolonisasi dan pelikel dan
pembentukan plak. Dijk et al. melaporkan hasil yang sama, menunjukkan bahwa
pembentukan biofilm oleh C. albicans dan Candida tropicalis pada prosthesis suara
karet silikon diperlakukan dengan larutan paladium / timah koloid (yang
mengakibatkan lapisan logam tipis) secara signifikan kurang dari itu pada protesa
yang tidak diobati. Nikawa et al. menunjukkan bahwa bahan pelapis silikon gigi
tiruan fluoric dan panas-sembuh mempromosikan kolonisasi terendah dengan C.
albicans. Dalam studi ini, telah diidentifikasi modifikasi permukaan yang dapat
menghilangkan atau mengurangi kemampuan C. albicans untuk membentuk
biofilm pada permukaan biomaterial.
Studi ini menunjukkan bahwa kemampuan C. albicans untuk membentuk
biofilm dipengaruhi oleh kimia permukaan biomaterial yang digunakan. Meskipun
semua modifikasi permukaan mempengaruhi kemampuan C. albicans untuk
membentuk biofilm, hanya satu modifikasi, penambahan 6PEO SMEs, mengurangi
kemampuan untuk membentuk biofilm C. albicans pada permukaan E80A.
Aktivitas metabolik dan berat kering sel C. albicans ditaati E80A-6PEO berkurang
14

78% dan 74%, masing-masing (dibandingkan dengan biofilm yang terbentuk pada
E80A yang tidak dimodifikasi). Berat kering rendah C. albicans biofilm yang
terbentuk pada 6PEO berkorelasi baik dengan penurunan aktivitas metabolik
biofilm yang terbentuk pada bahan yang sama. Selain itu, ketika menggunakan
menggunakan CSLM, kami tidak dapat mendeteksi adanya pembentukan biofilm
oleh C. albicans pada permukaan E80A-6PEO. Sejak sangat rendah, namun
terlihat, aktivitas metabolisme dan berat kering diamati untuk biofilm yang
terbentuk pada E80A-6PEO, nilai-nilai XTT rendah serta ketidakmampuan
menggunakan CSLM untuk mendeteksi biofilm di permukaan ini mungkin karena
sel-sel jamur tidak mematuhi kuat untuk dimodifikasi biomaterial dan mungkin
terpisah selama manipulasi dilakukan untuk analisis confocal. (Jyotsna Chandra. et
al ,2005)
2.4 Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien KSSRM
2.4.1 Preoperative dan Postoperative Oral Hygiene Pasien KSSRM
Pada masa pre operative oral hygiene yang di perlukan oleh pasien KSSRM,
Seorang dokter gigi atau ahli hygiene harus akrab dengan komplikasi oral akibat
perawatan kanker. Dokter gigi harus memeriksa terlebih dahulu pasien sebelum
perawatan (kemoterapi dan radioterapi pada kepala dan leher). Idealnya
pemeriksaan ini dilakukan 2-4 minggu sebelum perawatan, untuk mendapatkan
penyembuhan adekuat buat perawatan dental. Pemeriksaan ini membuat dokter gigi
dapat mengetahui kondisi mukosa oral dan jaringan pendukung sebelum terapi dan
untuk memulai intervensi yang diperlukan yang dapat mengurangi komplikasi oral
selama dan sesudah terapi. Sebuah program oral hygiene harus dimulai dimana
pasien harus diberitahu tentang pentingnya OH yang bagus sebelum memulai
perawatan. (Shaha AR.,1991) Metode oral hygiene termasuk diantaranya
berkumur/mengirigasi dan penghilangan plak secara mekanik. Memberitahukan
pasien bagaimana melakukan perawatan kebersihan mulut adalah sama pentingnya
dengan pengobatan.
Setelah makan, permukaan oral harus dibilas dan atau dibersihkan ; dimana
membersihkan kavitas oral hampir selalu dibutuhkan. Gigi palsu perlu untuk
dibersihkan sesering mungkin dan harus disikat lalu dibilas setelah makan.
Membilas permukaan mulut saja dapat menjadi tidak cukup untuk membersihkan
15

kavitas oral ; pembersihan plak secara mekanik terkadang diperlukan , bahkan pada
pasien edentolous. Setelah kebiasaan ini berkembang, pasien harus mengetahui
pembersihan plak secara mekanis diperlukan untuk membantu pembersihan.
Pembersihan plak secara mekanik diantaranya gauze, toothettes, sikat gigi serta
bantuan dari pembersihan interdental seperti : floes, sikat proxy, wooden, wedge,
dan sikat gigi palsu.
Toothettes tidak membersihkan seluruh gigi, walaupun mereka bekerja
dengan baik untuk membersihkan area pembedahan pada kasus maxillectomy atau
hemimandibuloctomy. Toothettes juga baik untuk membersihkan alveolar ridge
maxilla/mandibula pada area edentulous, palatum, palatum dengan torus yang
menonjol, serta lidah. Jika terjadi xerostomia, maka plak menjadi tebal dan lebih
berat serta tidak mampu dihilangkan.
Produk perawatan mulut harus dipilih secara seksama, alat-alat yang
menghasilkan gejala atau cedera pada mukosa jangan digunakan. Pembersihan
dengan menggunakan alkohol harus dihindari. Jika penggunaan pasta gigi
mengiritasi dan membuat rasa terbakar pada gingiva atau mukosa, pasta gigi dengan
komposisi ringan harus dipilih, seperti pasta gigi anak-anak. Perawatan bibir juga
penting dengan memberikan pelembab.
Sementara itu penatalaksanaan pada post operative, pasien dianjurkan pada
seminggu setelah operasi, pasien harus kembali untuk menyikat gigi seperti biasa,
diharapkan beberapa kali dalam sehari. Pembilasan yang menyeluruh dengan air
keran atau air garam membantu menjaga kebersihan di lokasi bedah. Tidak perlu
untuk penggunaan berlebihan obat kumur; sebenarnya dapat membahayakan.
Perhatian khusus di lokasi ekstraksi mungkin diperlukan sampai 3-4 minggu setelah
gigi dikeluarkan sampai penyembuhan jaringan telah mengisi defek. Larutan kumur
menjaga mulut pasien bersih setelah operasi sangat penting. Gunakan . Sdt garam
dilarutkan dalam segelas air hangat dan bilas dengan lembut pada bagian-bagian
bekas operasi, membutuhkan lima menit untuk menggunakan segelas larutan ini.
Ulangi sesering mungkin tapi setidaknya dua atau tiga kali sehari selama lima hari
ke depan.


16

2.4.2 Perawatan Protesa Rongga Mulut
Kehilangan gigi pada seseorang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
anatomis, fisiologis maupun fungsional, bahkan tidak jarang pula menyebabkan
trauma psikologis. Penyebab kehilangan gigi bisa bermacam-macam, namun yang
paling umum diakibatkan oleh penyakit karies dan penyakit periodontal.
Kehilangan gigi yang terjadidapat ditanggulangi dengan pembuatan restorasi
berupa gigi tiruan lepasan maupun gigi tiruan cekat. Gigi tiruan lepasan dimaksud
bisa berupa gigi tiruan sebagian lepasan untuk menanggulangi kehilangan sebagian
gigi dan gigi tiruan lepasan penuh untuk menanggulangi kehilangan seluruh gigi.
Solusi pemakaian gigi tiruan seringkali dapat menimbulkan masalah yang
lain apabila tidak diperhatikan kebersihan dan perawatannya. Pada pasien pengguna
gigi tiruan yang tidak memerhatikan kebersihan mulut termasuk gigi tiruannya
sesuai instruksi yang diberikan dokter gigi, dapat mengakibatkan terjadinya
penumpukan sisa makanan yang merupakan predisposisi terbentuknya plak. Dokter
gigi berkewajiban untuk memberitahukan kepada pasien bagaimana cara
penyikatan gigi, dental floss, penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride,
dan penggunaan obat kumur yang dipakai untuk memelihara oral hygiene. Hal ini
terutama terjadi pada pasien lanjut usia. Seiring dengan meningkatnya usia terjadi
perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang
yang digantikan oleh jaringan lemak,lining sel duktus intermediate mengalami
atropi yang mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva.Selain itu, penyakit-
penyakit sistemis yang diderita pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan
untuk perawatan penyakit sistemis. Keadaan ini yang mengakibatkan
meningkatnya prevalensi mikroorganisme Kandida albikan dalam mulut pasien.
Kandida albikan merupakan salah satu flora normal di rongga mulut.
Penelitian yang dilakukan oleh Campos dkk. menemukan Kandida albikan sebagai
spesies jamur utama yang ditemukan pada pemakai gigitiruan. Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Zomorodian dkk pada 114 subjek penelitian menemukan
adanya Kandida albikan sebanyak 41,5% , Kandida glabrata 18,4% dan Kandida
tropikalis 12,9%. Peningkatan jumlah Kandida albikan yang terjadi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, terutama penggunaan gigi tiruan, serostomia, penyakit
sistemik, penyakit autoimun, trauma, kondisi ph dalam rongga mulut.
17

Kandidiasis di rongga mulut dapat dibedakan atas Kandidiasis
Pseudomembran (oral trush), Kandidiasis Angular Cheilitis, Kandidiasis
Hiperplastik Kronik, dan Kandidiasis Eritematosa. Secara klinis Kandidiasis
Eritematosa dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu inflamasi ringan yang
terlokalisir, Erythema lebih tersebar meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang
tertutup gigitiruan dan inflamasi papilla hiperplasia.
Pada pasien pengguna gigi tiruan, kandidiasis yang paling banyak ditemukan
yakni Kandidiasis eritematosa. Penelitian yang dilakukan pada 24 pasien yang
menggunakan gigitiruan terus menerus, prevalensinya 53,85%, sedangkan pada
pasien yang membuka gigi tiruan pada malam hari prevalensinya 36,36%.
(Afrina,L,2007)
Terjadinya Kandidiasis pada rongga mulut diawali dengan adanya
kemampuan kandida untuk melekat pada mukosa mulut, dimana hal ini yang
menyebabkan terjadinya infeksi. Perlekatan jamur pada mukosa mulut
mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa gejala atau disertai dengan gejala
infeksi. Kandidiasis eritematosa pada pengguna gigi tiruan terjadi karena adanya
invasi jamur kandida ke dalam jaringan dan penggunaan gigi tiruan tersebut
menyebabkan akan bertambahnya mukus dan serum, namun pelikel saliva
berkurang.













18

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel pada
permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alat- alat
yang dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap
proses fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika.
2. Radang kronis berisiko menjadi faktor untuk beberapa jenis kanker,
diantaranya Epstein-Barr virus dengan nonHodgins lymphoma, Human
papilloma virus dengan kanker serviks dan mulut.
3. Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya pembersihan oleh saliva dan
pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan perubahan pada mukosa.
4. Kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm dipengaruhi oleh kimia
permukaan biomaterial yang digunakan.
3.2 Saran
1. Seorang dokter gigi atau ahli hygiene harus akrab dengan komplikasi oral
akibat perawatan kanker. Dokter gigi harus memeriksa terlebih dahulu
pasien sebelum perawatan.
2. Dokter gigi berkewajiban untuk memberitahukan kepada pasien bagaimana
cara penyikatan gigi, dental floss, penggunaan pasta gigi yang mengandung
fluoride, dan penggunaan obat kumur yang dipakai untuk memelihara oral
hygiene.
3. Produk perawatan mulut harus dipilih secara seksama, alat-alat yang
menghasilkan gejala atau cedera pada mukosa jangan digunakan.
Pembersihan dengan menggunakan alkohol harus dihindari.







19

DAFTAR PUSTAKA
Afrina L,Prevalensi Denture Stomatitis Yang Disebabkan Kandida Albikan
pada Pasien Gigi tiruan Rahang Atas Di Klinik FKG USU;2007.
Amy Proal. 2008. Understanding Biofilms. available from URL:
http://bacteriality.com/2008/05/26/biofilm/ [19 Agustus 2014]
Anna Maria,S. 2007. Faktor Risiko Tumor Kanker Rongga Mulut dan
Tenggorokan di Indonesia. Indonesia Basic Health Research.
Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan,Republik Indonesia 2008; p.132
Bolden, T.E. 1982. The Prevention and Detection of Oral Cancer, dalam
Stallard,R.E. A Textbook of Preventif Dentistry. Ed. Ke.2.
Philadelphia. W.B. Sainders Company. 277-306.
Dahar E. Penatalaksanaan gigi tiruan penuh rahang bawah dengan reservoir
(mandibular split denture) pada pasien xerostomia.
Donlan,R.M.2002. Biofilms: Microbial Life on Surfaces.Emerging
Infectious Diseases.
Felton D,Lyndon cooper,Ibrahim Duqum,etall.Evidence-based guedelines
for the care and maintenance of complete denture : a publication of
the american college of prosthondontists. 2011;142;1s-20s
Folson, T.C; White, C.P; Broner,l. [et,al]. 1972. Oral Exfoliatif Study.
Review of the Literature and Report of Three Year Study. Oral
Surgery. 33. 61-64.
Jyotsna Chandra, et al.2005. Modification of Surface Properties of
Biomaterials Influences the Ability of Candida albicans To Form
Biofilms. American Society for Microbiology.
Lynch, M.A.1994. Burket's Oral Medicine. Diagnosis and Treatment
Ed.Ke-9.
Mager,D.L.; Haffajee,A.D.[et al].2005. The salivary microbiota as a
diagnostic indicator of oral cancer: A descriptive, non-randomized
study of cancer-free and oral squamous cell carcinoma subjects.
Journal of Translational Medicine.
20

Pinborg, J.J. 1991. Kanker dan Prakanker Rongga Mulut, alih bahasa
drg.Lilian Yuwono.Ed.ke-1. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 21-93,125. Philadelphia. J.B.Lippincott Company. 203-213.
Scully, C. 1992. Oncogen, Onco-Supressor, Carcinogenesis and Oral
Cancer. British.Dental Journal. 173. 53.
Shaha AR. 1991. Preoperative evaluation of the mandible in patients with
carcinoma of the floor of the mouth. Head Neck.13:398-402.
Stephen C. Bayne.2005. Dental Biomaterials: Where Are We and Where
Are We Going?. American Dental Education Association. available
from URL: http://www.jdentaled.org/content/69/5/571.full [21
Agustus 2014]
Stoodley, P., Saure, K., Davies, D.G., Costerton, J.W. 2002. Biofilms as
complex differentiated communities. Annu. Rev. Microbiol. 56,
187209.
Tambunan, G. W. 1993. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Editor dr. Maylani Handoyo. Ed.Ke-2.
Penerbit Buku Kedokteran EGG. Jakarta. 185-198.
Zomorodian K,Haqhiqhi NN,Pakshir K.,assessment of candida species
colonization and denture-related stomatitis in complete denture
weares. available from URL:
http//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20795762 [19 Agustus 2014]

Anda mungkin juga menyukai