BIOFILM PADA KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT (KSSRM)
OLEH: GUSTI AYU NINDYA NORMALASARI NIM. 1302005026 SEMESTER II
PEMBIMBING : dr. ARIF WINATA, Sp.B
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2014 2
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Pertama-tama, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, karena berkat-Nya sehingga penulis dapat membangun ulasan jurnal ini dengan benar dan tepat waktu. Ulasan jurnal ini adalah tentang "Biofilm pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut" Jurnal Ulasan ini telah dilakukan oleh beberapa pengamatan dan bantuan tertentu dari pihak manapun untuk menyelesaikan dan tantangan lengkap atau hambatan selama penyelesaian ini. Sehingga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr dr. IWP Sutirta Yasa, M.Si sebagai Kepala Blok Elective Study 2. Dr Putu Ayu Asri Damayanti, M.Kes sebagai sekretaris Blok Elective Study 3. dr. Arif Winata,Sp.B sebagai pembimbing di Departemen Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 4. Teman dan semua pihak yang penulis tidak dapat disebutkan satu persatu yang juga membantu penyelesaian ini. Penulis menyadari bahwa ada banyak berbasis kekurangan dalam ulasan jurnal ini. Oleh karena itu, pembaca berharap penulis dapat memberikan kritik dan rekomendasi yang dapat membuat penulis melakukan lebih baik di selanjutnya disebut. Akhir kata, penulis berharap ulasan jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang. Om Santih, Santih, Santih, Om Denpasar, 20 Agustus 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
Cover .......... i Kata Pengatar .. ii Daftar Isi ............... iii BAB I 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan.......................... 2 1.3 Manfaat .. 2 1.4 Metode 3 BAB II 2.1 Definisi Biofilm .... 4 2.2 Hubungan Antara Biofilm dengan KSSRM . 5 2.2.1 Flora Normal Rongga Mulut.......................................... 5 2.2.2 Patobiologi Biofilm....................................................... 6 2.2.3 Peran Biofilm pada KSSRM.......................................... 7 2.3 Biofilm pada Protesa untuk KSSRM............................ 9 2.3.1 Perubahan Flora Normal Mulut Pasien dengan Protesa 9 2.3.2 Hubungan Antara Pilihan Biomaterial Protesa dengan Biofilm............................................................................. 10 2.4 Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien KSSRM .... 11 2.4.1 Preoperative dan Postoperative Oral Hygiene Pasien KSSRM............................................................................ 11 2.4.2 Perawatan Protesa Rongga Mulut.................................... 13 BAB III Simpulan dan Saran 15 Daftar Pustaka........................................................................................ 16
4
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun hampir 30.000 orang Amerika didiagnosis dengan kanker rongga mulut. 90% dari lesi ini adalah karsinoma sel skuamosa rongga mulut . Meskipun kemajuan dalam operasi, radiasi dan kemoterapi, tingkat kelangsungan hidup lima tahun adalah 54%, salah satu yang terendah dari kanker utama, dan tingkat ini belum membaik secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Di seluruh dunia, masalah ini jauh lebih besar, dengan lebih dari 350.000 menjadi 400.000 kasus baru ditemukan setiap tahun . Pada tahun 2001, tingkat kelangsungan hidup lima tahun serupa ditemukan dalam studi kanker mulut dan faring antara laki-laki Afrika-Amerika. Khususnya, kejadian pada dewasa muda (<40 tahun) meningkat di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. (DL Mager et al, 2005) Di Indonesia, menurut Simanjuntak kasus kanker rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi . Angka kematiannya 2-3% dari seluruh kematian akibat keganasan. Faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker rongga mulut antara lain merokok dan mengunyah tembakau, penggunaan alkohol secara berlebihan, kurangnya kebersihan gigi, virus HPV (human papilloma virus), makan rendah buah dan sayur, terkena serat asbes. Umumnya penderita datang berobat sesudah ada keluhan seperti adanya benjolan di leher, nyeri tukak atau borok. Pada hal bila sudah ada keluhan maka penyakit sudah dalam stadium lanjut akibatnya prognosa dari kanker tenggorokan maupun rongga mulut relatif buruk. Suatu kenyataan yang kurang menyenangkan dimana seringkali prognosa ini diakibatkan oleh diagnosa dan perawatan yang terlambat. (Anna Maria, 2007) Faktor-faktor yang dapat menimbulkan keterlambatan ini antara lain dari segi penyakitnya, perkembangan kanker pada tahap awal seringkali tidak menimbulkan keluhan. Dari segi pasien itu sendiri, bahwa mereka yang sudah tua serta lemah tidak mau repot-repot datang ke dokter, pendidikan masyarakat pada umumnya masih rendah, lokasi lesi yang tidak langsung terlihat dan lesi dirawat sebagai lesi jinak (Lynch,1994; Pinborg,1991). Faktor lain adalah 5
dokter gigi kurang teliti pada pemeriksaan rutin rongga mulut atau tidak mengetahui tanda-tanda awal keganasan dalam mulut atau ragu-ragu karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gambaran klinis keganasan mulut sehingga terlambat untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut (Folson,1972). Untuk itu seorang dokter gigi seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sifat dan riwayat kanker mulut yang meliputi tanda dan gejala awal, gambaran klinis, lokasi yang sering terlibat, faktor-faktor etiologi dan cara diagnosis untuk mendeteksi penyakit ini (Bolden,1982) . Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu proses yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi dan perkembangan tumor (Scully,1992). Secara garis besar, etiologi kanker rongga mulut meliputi kebersihan rongga mulut yang buruk, iritasi kronis dari restorasi, gigi-gigi karies/akar gigi, gigi palsu (Smith,1989; Bolden,1982; Tambunan,1993). Oral hygiene yang buruk ini dapat mengakibatkan biofilm atau plak pada rongga mulut. Biofilm Plak ditemukan pada permukaan gigi dan peralatan terutama dengan tidak adanya kebersihan mulut. Secara umum ditemukan di daerah anatomi dilindungi dari pertahanan tubuh. Berdasarkan pada pernyataan di atas penulis tertarik untuk memaparkan tentang peranan biofilm dan oral hygiene yang baik untuk mencegah terbentuknya biofilm. 1.1 Tujuan Penulisan 1.1.1 Tujuan Umum Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan antara biofilm dengan Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut (KSSRM) 1.1.2 Tujuan Khusus 1. Untuk menambah pemahaman mengenai definisi biofilm. 2. Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan biofilm dan Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut (KSSRM). 3. Untuk menambah pemahaman mengenai pengaruh oral hygiene pada pembentukan biofilm serta penatalaksanaanya. 1.2 Manfaat penulisan Penulisan ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1.2.1 Memberikan informasi mengenai definisi dari biofilm 6
1.2.2 Memberikan informasi mengenai pengaruh biofilm terhadap KSSRM 1.2.3 Memberikan informasi oral hygiene pembentuk Biofilm 1.3 Metode Penulisan 1.3.1 Bentuk Penulisan Bentuk penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi pustaka. Mengambil beberapa sumber dari literatur yang relevan dan disusun sesuai dengan pengangkatan topik yang akan dibahas. 1.4.2 Sumber dan Jenis Data Data-data yang akan dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah : 1) Jurnal ilmiah edisi cetak dan non-cetak. 2) Artikel ilmiah yang bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif. 1.4.3 Pengumpulan Data Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan diupayakan saling berhubungan, relevan dengan topik, serta tidak menimbulkan bias. 1.4.4 Penarikan Simpulan Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada latar belakang, tujuan penulisan, serta pembahasan yang tertuang dalam analisis dan sintesis. Simpulan yang ditarik merepresentasikan pokok bahasan karya tulis serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi lanjut.
7
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Biofilm Defenisi biofilm telah berkembang sejak 25 tahun yang lalu. Marshall (1976) mencatat keterlibatan dari fibril polimer ekstraseluler yang sangat halus yang membawa bakteri ke permukaannya. Costerton melakukan observasi pada komunitas bakteri pada sistem akuatik yang ditemukan terperangkap dalam matrik glikokalik yang didapati pada polisakarida dan matrik ini ditemukan dapat memediasi penempelan atau proses adesi. Definisi baru dari biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alat- alat yang dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap proses fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika (Donlan, 2002). Dalam sebuah artikel berjudul "Bakteri Biofilm: A Common Cause Infeksi Persistent," JW Costerton di Pusat Biofilm Teknik di Montana mendefinisikan biofilm bakteri sebagai "sebuah komunitas yang terstruktur sel bakteri tertutup dalam matriks polimer diproduksi sendiri dan patuh kepada inert atau permukaan hidup. "Dalam istilah awam, itu berarti bahwa bakteri dapat bergabung bersama- sama pada dasarnya setiap permukaan dan mulai membentuk matriks pelindung di sekitar kelompok mereka. Matriks terbuat dari polimer - zat terdiri dari molekul dengan unit berulang struktural yang dihubungkan oleh ikatan kimia. Menurut Center for Biofilm Engineering di Montana State University, biofilm terbentuk ketika bakteri menempel pada permukaan dalam lingkungan berair dan mulai mengekskresikan, zat seperti lem berlendir yang dapat jangkar mereka untuk semua jenis material - seperti logam, plastik, tanah partikel, bahan medis implan dan, yang paling penting, jaringan manusia atau hewan. Koloni bakteri pertama yang mematuhi permukaan awalnya melakukannya dengan menginduksi lemah, obligasi reversibel disebut van der Waals. Jika koloni tidak segera lepas dari permukaan, mereka dapat jangkar diri lebih permanen menggunakan molekul adhesi sel, protein pada permukaan mereka yang mengikat sel-sel lain dalam proses yang disebut adhesi sel. 8
Pusat perintis bakteri memfasilitasi kedatangan patogen lain dengan menyediakan situs adhesi lebih beragam. Mereka juga mulai membangun matriks yang memegang biofilm bersama-sama. Jika ada spesies yang tidak dapat melampirkan ke permukaan pada mereka sendiri, mereka sering dapat jangkar diri untuk matriks atau langsung ke koloni sebelumnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa selama waktu terbentuknya biofilm, patogen di dalamnya dapat berkomunikasi satu sama lain berkat fenomena yang disebut quorum sensing. Meskipun mekanisme di balik quorum sensing tidak sepenuhnya dipahami, fenomena memungkinkan bakteri bersel tunggal untuk melihat berapa banyak bakteri lain di dekat. Jika bakteri dapat merasakan bahwa itu dikelilingi oleh populasi padat patogen lain, itu lebih cenderung untuk bergabung dengan mereka dan berkontribusi pada pembentukan biofilm. (Amy Proal, 2008) 2.2 Hubungan Antara Biofilm dengan Karsinogenesis pada Rongga Mulut 2.2.1 Flora Normal Rongga Mulut Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan selaput lendir/mukosa manusia yang sehat maupun sakit. Pertumbuhan flora normal pada bagian tubuh tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan adanya zat penghambat. Keberadaan flora normal pada bagian tubuh tertentu mempunyai peranan penting dalam pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu zat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Adanya flora normal pada bagian tubuh tidak selalu menguntungkan, dalam kondisi tertentu flora normal dapat menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau berpindah dari habitat yang semestinya ( Jawetz, 2005 ). Flora normal dalam rongga mulut terdiri dari Streptococcus mutans/Streptococcus viridans, Staphylococcus sp dan Lactobacillus sp. Meskipun sebagai flora normal dalam keadaan tertentu bakteri-bakteri tersebut bisa berubah menjadi patogen karena adanya faktor predisposisi yaitu kebersihan rongga mulut. Sisa-sisa makanan dalam rongga mulut akan diuraikan oleh bakteri menghasilkan asam, asam yang terbentuk menempel pada email menyebabkan demineralisasi akibatnya terjadi karies gigi. Bakteri flora normal mulut bisa masuk aliran darah melalui gigi yang berlubang atau karies gigi dan gusi yang berdarah sehingga terjadi bakterimia ( Jawetz, 2005 ). 9
2.2.2 Patobiologi Biofilm Perkembangan biofilm, dibagi empat tahapan, sebagaimana dirangkum oleh Stoodley et al. (2002):
Gambar 1. Perkembangan biofilm : 1. Non-permanen 2. Permanen, 3. Maturasi, 4. Detachment, 5. Penutupan siklus Reversible attachment, yaitu penempelan sel tunggal dan pergerakan bebas menginisiasi pembentukan biofiom pada permukaan. Sejumlah kecil dari exopolymeric material terlibat dalam tahapan ini. Pelekatan sel ini tidak permanen dan sel dengan mudahnya dapat meninggalkan permukaan material. Selama tahap reversibel ini bakteri memperlihatkan perilaku khusus yang meliputi menggelinding, meloncat, bergabung membentuk koloni dan lepas dari koloni, sebelum mereka menghasilkan exopolysaccharides dan menempel secara permanen. Irreversible attachment, yaitu setelah pelekatan non-permanen pada permukaan berubah menjadi pelekatan permanen, bakteri harus mempertahankan kontak dengan substratum. Perubahan sifat penempelan dari non-permanen ke permanen dicirikan sebagai transisi yang paling lemah. Bakteri mulai menghasilkan banyak exopolysaccharides untuk melewati transisi ini. Setelah itu interaksi antar bakteri untuk membentuk grup sel dan membantu untuk saling menguatkan dalam penempelan di permukaan. Sel tunggal memproduksi polysaccharide yang 10
mengikat sel bersama dan memfaasilitasi pembentukan mikro koloni dan ini membawa tahapan berikutnya yakni tahapan pematangan biofilm. Maturasi pematangan yaitu selama maturasi, biofilm menghasilkan salluran, pori pori dan penempatan kembali dari bakteri yang sempat lepas dari material. Dalam tahap ini, banyak protein yang dideteksi dalam sample biofilm yang mencerminkan keragaman bakteri. Aktifitas yang bervariasi juga diidentifikasikan seperti perubahan metabolisme, transpor melalui membran, adaptasi dan aktifitas proteksi. Detachment atau pelepasan, yaitu umumnya digambarkan sebagai pelepasan sel baik itu sel tunggal ataupun grup dari biofilm. Sel yang lepas dipercaya menjadi penutup bagi siklus pertumbuhan biofilm. Skema pendek dari siklus ini yang diambil dari Stoodley et al. (2002) ditunjukkan dalam gambar berikut: Struktur biofilm secara umum merupakan hasil interaksi dari mikroorganisme dengan medium dan pengaruh proses biologi-fisikkimia di dalamnya. Semua faktor di atas seharusnya dipertimbangkan selama pembentukan biofilm. Stoodlye et al. (2002) menyatakan bahwa minimal ada empat hal mempengaruhi struktur biofilm Karakteristik geometrikal dari substratum. Karkateristik mikroorganisme yang menyusun biofilm Kondisi hidrodinamik disekitar biofilm Nutrisi yang tersedia dalam cairan dan dalam biofilm Karakterisitik dari substratum (hydrophilic, hydrophobic) Pada tahapan awal, sifat dari substratum memainkan peran terpenting. Kekasaran substratum mempromosikan kolonisasi bakteri. Hasil yang mirip diperoleh dengan mengobservasi pembentukan biofilm selma periode start-up dari expanded-bed reactor. Hipothesanya adalah rekahan dalam permukaan kasar dapat memproteksi pertumbuhan biofilm selama periode awal dari gaya geser akibat hidrodinamik cairan. Hal ini memungkinkan perkembangan biofilm tahap berikutnya. 2.2.3 Peran Biofilm pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Biofilm merupakan substansi menyerupai perekat yang secara permanen memfiksasi mikroorganisme pada permukaan padat dan sulit dieradikasi dengan menggunakan antimikrobial. Mikroorganisme pada biofilm berbeda dengan 11
mikroorganisme yang bergerak bebas karena mikroorganisme biofilm tidak bisa dieradikasi dengan mudah seperti mikroorganisme yang bergerak bebas. Seluruh implan buatan pada tubuh manusia akan mengalami resiko untuk infeksi biofilm. Fiksasi mikroorganisme pada peralatan medis memiliki hubungan yang kuat dengan media pertumbuhan, permukaan, serta mikroorganisme yang berkaitan ( Donlan, 2002). Radang kronis berisiko menjadi faktor untuk beberapa jenis kanker, diantaranya Epstein-Barr virus dengan nonHodgins lymphoma, Human papilloma virus dengan kanker serviks dan mulut. Kejadian pada mulut menunjukkan penyakit Lichen planus terjadi 1-2% pada pasien dewasa dan WHO telah mempertimbangkannya sebagai penyakit yang berpotensi premalignant, namun secara klinis relevan berubah menjadi oral squamous cell carcinoma yang biasa disebut OSCC terutama pada lidah. Penderita periodontitis baik kategori sedang maupun parah yang candidiasis disertai tanggalnya gigi, 64% lebih berisiko kanker pankreas. Sementara itu,manifes-tasi HIV pada rongga mulut dapat berupa, Hairy leukoplakia, Kaposis sarcoma (human herpes virus-8/HHV-8), NonHodginss lympoma dan penyakit periodontitis. Penelitian telah menyatakan bahwa bakteri mulut tertentu umum meningkat atau pada lesi kanker mulut dan kerongkongan dan kelenjar getah bening yang terkait . Meskipun peningkatan kolonisasi streptokokus lisan fakultatif telah dilaporkan paling sering , anaerobik Prevotella, Veillonella, Porphyromonas dan Capnocytophaga spesies juga meningkat. Saat ini, studi meneliti apakah bakteri dapat kebetulan atau kausal yang berhubungan dengan kanker mulut. Penelitian tambahan menentukan apakah berbagai penanda saliva dapat digunakan sebagai indikator diagnostik awal untuk kanker mulut. Kanker telah disebut sebagai penyakit molekul glycoconjugates membran sel,. Glycocon juga tes tertentu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteri tertentu dan laporan terbaru mendukung gagasan bahwa pergeseran dalam kolonisasi sel kanker yang berbeda yang terkait dengan perubahan yang diamati dalam reseptor permukaan sel. Sebuah studi in vitro S. sanguis, penghuni oral, menunjukkan bahwa kapasitas mengikat sel-sel epitel yang normal dikelupas manusia bukal (HBEC) bergantung pada ketersediaan air permukaan sialic residu asam. Desialylation dari 12
HBEC selalu dihapuskan adhesi S. sanguis ke sel-sel epitel. Dalam percobaan serupa dilakukan dengan garis sel karsinoma bukal, S. sanguis tidak andal melampirkan. Terbukti pula bahwa sel-sel tumor tidak mengekspresikan membran glikoprotein sialylated sel normal menunjukkan bahwa perubahan dalam reseptor permukaan terjadi di garis sel karsinoma. Dalam studi sebelumnya dari 225 subyek OSCC bebas ditemukan tingkat tinggi kekhususan dalam "pilihan" lokalisasi intra-oral spesies, bahkan dalam satu genus tunggal seperti Streptococcus. Spesifisitas ini di lokalisasi spesies individu setuju dengan itu dijelaskan dalam penelitian sebelumnya. Penyelidikan kami diperpanjang temuan sebelumnya dengan menggambarkan distribusi beberapa spesies dalam genus yang sama pada jangkauan yang lebih luas dari permukaan intra-oral. Misalnya, S. oralis, S. constellatus, S. mitis, S. intermedius dan S. anginosus menjajah jaringan lunak dalam proporsi yang lebih tinggi dari gigi; Namun, "disukai" habitat jaringan lunak mereka berbeda. S. sanguis dijajah lokasi jaringan lunak yang berbeda dalam proporsi yang sama, tetapi ditemukan dalam proporsi rata-rata lebih tinggi pada gigi, khususnya di plak supragingiva. 2.3 Biofilm pada Protesa untuk Karsinoma Sel Skuamousa Rongga Mulut 2.3.1 Perubahan Flora Normal Mulut Pasien dengan Protesa Kandida adalah suatu spesies yang paling umum ditemukan di rongga mulut dan merupakan flora normal. Telah dilaporkan spesies kandida mencapai 40 60 % dari seluruh populasi mikroorganisme rongga mulut (Silverman,2001). Terdapat lima spesies kandida yaitu k.albikans, k. tropikalis, k. glabrata, k. krusei dan k. parapsilosis. Dari kelima spesies kandida tersebut k. albikans merupakan spesies yang paling umum menyebabakan infeksi di rongga mulut.(Nolte,1982) Struktur k. albikans terdiri dari dinding sel, sitoplasma nukleus, membran golgi dan endoplasmic retikuler. Dinding sel terdiri dari beberapa lapis dan dibentuk oleh mannoprotein, gulkan, glukan chitin. (Farlane M, 2002). K. Albikans dapat tumbuh pada media yang mengandung sumber karbon misalnya glukosa dan nitrogen biasanya digunakan ammonium atau nitrat, kadang kadang memerlukan biotin. Pertumbuhan jamur ditandai dengan pertumbuhan ragi yang berbentuk oval atau sebagai elemen filamen hyfa/pseudohyfa (sel ragi yang memanjang) dan suatu 13
masa filamen hyfa disebut mycelium. Spesies ini tumbuh pada temperatur 20 40 derajat Celsius. ( Mc Farlane 2002). Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya pembersihan oleh saliva dan pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan perubahan pada mukosa. Selain itu faktor nutrisi memegang peranan dalam ketahanan jaringan inang, seperti defisiensi vitamin B12, asam folat dan zat besi, hal ini akan mempermudah terjadinya infeksi. Gambaran klinisnya berupa lesi agak kemerahan karena terjadi inflamsi pada sudut mulut (commisure) atau kulit sekitar mulut terlihat pecah - pecah atau berfissure. (Nolte, 1982. Greenberg, 2003). 2.3.2 Hubungan Antara Pilihan Biomaterial Protesa dengan Biofilm Modifikasi permukaan, termasuk penambahan SMEs dan modifikasi kimia, telah diuji sebelumnya karena kemampuan mereka untuk memungkinkan bakteri adhesi dan pembentukan biofilm pada bahan gigi dan kateter. Olsson et al. diselidiki adsorpsi protein dan air liur-dimediasi kepatuhan bakteri pada diobati, permukaan hidrofobik dan polietilen berlapis oksida kaca dan permukaan mahkota keramik. Peneliti ini menunjukkan bahwa permukaan hidrofobik dan PEO- diperlakukan dipamerkan jauh lebih rendah (atau tidak) kolonisasi dan pelikel dan pembentukan plak. Dijk et al. melaporkan hasil yang sama, menunjukkan bahwa pembentukan biofilm oleh C. albicans dan Candida tropicalis pada prosthesis suara karet silikon diperlakukan dengan larutan paladium / timah koloid (yang mengakibatkan lapisan logam tipis) secara signifikan kurang dari itu pada protesa yang tidak diobati. Nikawa et al. menunjukkan bahwa bahan pelapis silikon gigi tiruan fluoric dan panas-sembuh mempromosikan kolonisasi terendah dengan C. albicans. Dalam studi ini, telah diidentifikasi modifikasi permukaan yang dapat menghilangkan atau mengurangi kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm pada permukaan biomaterial. Studi ini menunjukkan bahwa kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm dipengaruhi oleh kimia permukaan biomaterial yang digunakan. Meskipun semua modifikasi permukaan mempengaruhi kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm, hanya satu modifikasi, penambahan 6PEO SMEs, mengurangi kemampuan untuk membentuk biofilm C. albicans pada permukaan E80A. Aktivitas metabolik dan berat kering sel C. albicans ditaati E80A-6PEO berkurang 14
78% dan 74%, masing-masing (dibandingkan dengan biofilm yang terbentuk pada E80A yang tidak dimodifikasi). Berat kering rendah C. albicans biofilm yang terbentuk pada 6PEO berkorelasi baik dengan penurunan aktivitas metabolik biofilm yang terbentuk pada bahan yang sama. Selain itu, ketika menggunakan menggunakan CSLM, kami tidak dapat mendeteksi adanya pembentukan biofilm oleh C. albicans pada permukaan E80A-6PEO. Sejak sangat rendah, namun terlihat, aktivitas metabolisme dan berat kering diamati untuk biofilm yang terbentuk pada E80A-6PEO, nilai-nilai XTT rendah serta ketidakmampuan menggunakan CSLM untuk mendeteksi biofilm di permukaan ini mungkin karena sel-sel jamur tidak mematuhi kuat untuk dimodifikasi biomaterial dan mungkin terpisah selama manipulasi dilakukan untuk analisis confocal. (Jyotsna Chandra. et al ,2005) 2.4 Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien KSSRM 2.4.1 Preoperative dan Postoperative Oral Hygiene Pasien KSSRM Pada masa pre operative oral hygiene yang di perlukan oleh pasien KSSRM, Seorang dokter gigi atau ahli hygiene harus akrab dengan komplikasi oral akibat perawatan kanker. Dokter gigi harus memeriksa terlebih dahulu pasien sebelum perawatan (kemoterapi dan radioterapi pada kepala dan leher). Idealnya pemeriksaan ini dilakukan 2-4 minggu sebelum perawatan, untuk mendapatkan penyembuhan adekuat buat perawatan dental. Pemeriksaan ini membuat dokter gigi dapat mengetahui kondisi mukosa oral dan jaringan pendukung sebelum terapi dan untuk memulai intervensi yang diperlukan yang dapat mengurangi komplikasi oral selama dan sesudah terapi. Sebuah program oral hygiene harus dimulai dimana pasien harus diberitahu tentang pentingnya OH yang bagus sebelum memulai perawatan. (Shaha AR.,1991) Metode oral hygiene termasuk diantaranya berkumur/mengirigasi dan penghilangan plak secara mekanik. Memberitahukan pasien bagaimana melakukan perawatan kebersihan mulut adalah sama pentingnya dengan pengobatan. Setelah makan, permukaan oral harus dibilas dan atau dibersihkan ; dimana membersihkan kavitas oral hampir selalu dibutuhkan. Gigi palsu perlu untuk dibersihkan sesering mungkin dan harus disikat lalu dibilas setelah makan. Membilas permukaan mulut saja dapat menjadi tidak cukup untuk membersihkan 15
kavitas oral ; pembersihan plak secara mekanik terkadang diperlukan , bahkan pada pasien edentolous. Setelah kebiasaan ini berkembang, pasien harus mengetahui pembersihan plak secara mekanis diperlukan untuk membantu pembersihan. Pembersihan plak secara mekanik diantaranya gauze, toothettes, sikat gigi serta bantuan dari pembersihan interdental seperti : floes, sikat proxy, wooden, wedge, dan sikat gigi palsu. Toothettes tidak membersihkan seluruh gigi, walaupun mereka bekerja dengan baik untuk membersihkan area pembedahan pada kasus maxillectomy atau hemimandibuloctomy. Toothettes juga baik untuk membersihkan alveolar ridge maxilla/mandibula pada area edentulous, palatum, palatum dengan torus yang menonjol, serta lidah. Jika terjadi xerostomia, maka plak menjadi tebal dan lebih berat serta tidak mampu dihilangkan. Produk perawatan mulut harus dipilih secara seksama, alat-alat yang menghasilkan gejala atau cedera pada mukosa jangan digunakan. Pembersihan dengan menggunakan alkohol harus dihindari. Jika penggunaan pasta gigi mengiritasi dan membuat rasa terbakar pada gingiva atau mukosa, pasta gigi dengan komposisi ringan harus dipilih, seperti pasta gigi anak-anak. Perawatan bibir juga penting dengan memberikan pelembab. Sementara itu penatalaksanaan pada post operative, pasien dianjurkan pada seminggu setelah operasi, pasien harus kembali untuk menyikat gigi seperti biasa, diharapkan beberapa kali dalam sehari. Pembilasan yang menyeluruh dengan air keran atau air garam membantu menjaga kebersihan di lokasi bedah. Tidak perlu untuk penggunaan berlebihan obat kumur; sebenarnya dapat membahayakan. Perhatian khusus di lokasi ekstraksi mungkin diperlukan sampai 3-4 minggu setelah gigi dikeluarkan sampai penyembuhan jaringan telah mengisi defek. Larutan kumur menjaga mulut pasien bersih setelah operasi sangat penting. Gunakan . Sdt garam dilarutkan dalam segelas air hangat dan bilas dengan lembut pada bagian-bagian bekas operasi, membutuhkan lima menit untuk menggunakan segelas larutan ini. Ulangi sesering mungkin tapi setidaknya dua atau tiga kali sehari selama lima hari ke depan.
16
2.4.2 Perawatan Protesa Rongga Mulut Kehilangan gigi pada seseorang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan anatomis, fisiologis maupun fungsional, bahkan tidak jarang pula menyebabkan trauma psikologis. Penyebab kehilangan gigi bisa bermacam-macam, namun yang paling umum diakibatkan oleh penyakit karies dan penyakit periodontal. Kehilangan gigi yang terjadidapat ditanggulangi dengan pembuatan restorasi berupa gigi tiruan lepasan maupun gigi tiruan cekat. Gigi tiruan lepasan dimaksud bisa berupa gigi tiruan sebagian lepasan untuk menanggulangi kehilangan sebagian gigi dan gigi tiruan lepasan penuh untuk menanggulangi kehilangan seluruh gigi. Solusi pemakaian gigi tiruan seringkali dapat menimbulkan masalah yang lain apabila tidak diperhatikan kebersihan dan perawatannya. Pada pasien pengguna gigi tiruan yang tidak memerhatikan kebersihan mulut termasuk gigi tiruannya sesuai instruksi yang diberikan dokter gigi, dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa makanan yang merupakan predisposisi terbentuknya plak. Dokter gigi berkewajiban untuk memberitahukan kepada pasien bagaimana cara penyikatan gigi, dental floss, penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride, dan penggunaan obat kumur yang dipakai untuk memelihara oral hygiene. Hal ini terutama terjadi pada pasien lanjut usia. Seiring dengan meningkatnya usia terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak,lining sel duktus intermediate mengalami atropi yang mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva.Selain itu, penyakit- penyakit sistemis yang diderita pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemis. Keadaan ini yang mengakibatkan meningkatnya prevalensi mikroorganisme Kandida albikan dalam mulut pasien. Kandida albikan merupakan salah satu flora normal di rongga mulut. Penelitian yang dilakukan oleh Campos dkk. menemukan Kandida albikan sebagai spesies jamur utama yang ditemukan pada pemakai gigitiruan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Zomorodian dkk pada 114 subjek penelitian menemukan adanya Kandida albikan sebanyak 41,5% , Kandida glabrata 18,4% dan Kandida tropikalis 12,9%. Peningkatan jumlah Kandida albikan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama penggunaan gigi tiruan, serostomia, penyakit sistemik, penyakit autoimun, trauma, kondisi ph dalam rongga mulut. 17
Kandidiasis di rongga mulut dapat dibedakan atas Kandidiasis Pseudomembran (oral trush), Kandidiasis Angular Cheilitis, Kandidiasis Hiperplastik Kronik, dan Kandidiasis Eritematosa. Secara klinis Kandidiasis Eritematosa dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu inflamasi ringan yang terlokalisir, Erythema lebih tersebar meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigitiruan dan inflamasi papilla hiperplasia. Pada pasien pengguna gigi tiruan, kandidiasis yang paling banyak ditemukan yakni Kandidiasis eritematosa. Penelitian yang dilakukan pada 24 pasien yang menggunakan gigitiruan terus menerus, prevalensinya 53,85%, sedangkan pada pasien yang membuka gigi tiruan pada malam hari prevalensinya 36,36%. (Afrina,L,2007) Terjadinya Kandidiasis pada rongga mulut diawali dengan adanya kemampuan kandida untuk melekat pada mukosa mulut, dimana hal ini yang menyebabkan terjadinya infeksi. Perlekatan jamur pada mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa gejala atau disertai dengan gejala infeksi. Kandidiasis eritematosa pada pengguna gigi tiruan terjadi karena adanya invasi jamur kandida ke dalam jaringan dan penggunaan gigi tiruan tersebut menyebabkan akan bertambahnya mukus dan serum, namun pelikel saliva berkurang.
18
BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan 1. Biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alat- alat yang dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap proses fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika. 2. Radang kronis berisiko menjadi faktor untuk beberapa jenis kanker, diantaranya Epstein-Barr virus dengan nonHodgins lymphoma, Human papilloma virus dengan kanker serviks dan mulut. 3. Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya pembersihan oleh saliva dan pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan perubahan pada mukosa. 4. Kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm dipengaruhi oleh kimia permukaan biomaterial yang digunakan. 3.2 Saran 1. Seorang dokter gigi atau ahli hygiene harus akrab dengan komplikasi oral akibat perawatan kanker. Dokter gigi harus memeriksa terlebih dahulu pasien sebelum perawatan. 2. Dokter gigi berkewajiban untuk memberitahukan kepada pasien bagaimana cara penyikatan gigi, dental floss, penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride, dan penggunaan obat kumur yang dipakai untuk memelihara oral hygiene. 3. Produk perawatan mulut harus dipilih secara seksama, alat-alat yang menghasilkan gejala atau cedera pada mukosa jangan digunakan. Pembersihan dengan menggunakan alkohol harus dihindari.
19
DAFTAR PUSTAKA Afrina L,Prevalensi Denture Stomatitis Yang Disebabkan Kandida Albikan pada Pasien Gigi tiruan Rahang Atas Di Klinik FKG USU;2007. Amy Proal. 2008. Understanding Biofilms. available from URL: http://bacteriality.com/2008/05/26/biofilm/ [19 Agustus 2014] Anna Maria,S. 2007. Faktor Risiko Tumor Kanker Rongga Mulut dan Tenggorokan di Indonesia. Indonesia Basic Health Research. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,Republik Indonesia 2008; p.132 Bolden, T.E. 1982. The Prevention and Detection of Oral Cancer, dalam Stallard,R.E. A Textbook of Preventif Dentistry. Ed. Ke.2. Philadelphia. W.B. Sainders Company. 277-306. Dahar E. Penatalaksanaan gigi tiruan penuh rahang bawah dengan reservoir (mandibular split denture) pada pasien xerostomia. Donlan,R.M.2002. Biofilms: Microbial Life on Surfaces.Emerging Infectious Diseases. Felton D,Lyndon cooper,Ibrahim Duqum,etall.Evidence-based guedelines for the care and maintenance of complete denture : a publication of the american college of prosthondontists. 2011;142;1s-20s Folson, T.C; White, C.P; Broner,l. [et,al]. 1972. Oral Exfoliatif Study. Review of the Literature and Report of Three Year Study. Oral Surgery. 33. 61-64. Jyotsna Chandra, et al.2005. Modification of Surface Properties of Biomaterials Influences the Ability of Candida albicans To Form Biofilms. American Society for Microbiology. Lynch, M.A.1994. Burket's Oral Medicine. Diagnosis and Treatment Ed.Ke-9. Mager,D.L.; Haffajee,A.D.[et al].2005. The salivary microbiota as a diagnostic indicator of oral cancer: A descriptive, non-randomized study of cancer-free and oral squamous cell carcinoma subjects. Journal of Translational Medicine. 20
Pinborg, J.J. 1991. Kanker dan Prakanker Rongga Mulut, alih bahasa drg.Lilian Yuwono.Ed.ke-1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 21-93,125. Philadelphia. J.B.Lippincott Company. 203-213. Scully, C. 1992. Oncogen, Onco-Supressor, Carcinogenesis and Oral Cancer. British.Dental Journal. 173. 53. Shaha AR. 1991. Preoperative evaluation of the mandible in patients with carcinoma of the floor of the mouth. Head Neck.13:398-402. Stephen C. Bayne.2005. Dental Biomaterials: Where Are We and Where Are We Going?. American Dental Education Association. available from URL: http://www.jdentaled.org/content/69/5/571.full [21 Agustus 2014] Stoodley, P., Saure, K., Davies, D.G., Costerton, J.W. 2002. Biofilms as complex differentiated communities. Annu. Rev. Microbiol. 56, 187209. Tambunan, G. W. 1993. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Editor dr. Maylani Handoyo. Ed.Ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGG. Jakarta. 185-198. Zomorodian K,Haqhiqhi NN,Pakshir K.,assessment of candida species colonization and denture-related stomatitis in complete denture weares. available from URL: http//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20795762 [19 Agustus 2014]
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis