Anda di halaman 1dari 7

Tugas Sistem Model dan Simulasi

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

Muhammad Alfath Ishari
1214370180
Pagi B
Studi Kasus
Mengkaji permasalahan yang dihadapi Perusahaan Industri Manufaktur pada BUMN

Tulisan ini didasarkan pada pemantauan saya pada beberapa perusahaan yang bergerak dalam
sektor industri manufaktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk mengulas
permasalahan yang dihadapi sektor ini ditinjau dari sudut pandang ekonomi manajerial.
Tepatnya ada 10 BUMN (Persero) yang saya gunakan sebagai sample dalam tulisan ini, yaitu
: PT Krakatau Steel, PT Dirgantara Indonesia, PT Inti, PT Len Industri, PT Dahana, PT Pindad,
PT Inka, PT Barata Indonesia, PT Boma-Bisma-Indra, dan PT PAL Indonesia.
Dengan keterbatasan ruang yang tersedia, tulisan ini tentunya hanya mengulas permasalahan
pokok yang dihadapai sektor ini yang diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
peningkatan daya saingnya dikemudian hari. Tulisan ini juga menyinggung beberapa
permasalahan manajerial dalam pengelolaan perusahaan yang hangat dibicarakan belakangan
ini.
1. Masalah Organisasi, Hukum, dan Good Corporate Governance

Dilihat dari aspek struktur organisasi perusahaan, kegiatan berproduksi pada sebagian
besar industri manufaktur di Indonesia masih dikelompokkan dibawah "kotak" yang
dinamakan Direktur Produksi. Sedangkan dengan berkembangnya informasi dan
komunikasi serta dampak dari globalisasi, industri manufaktur di negara-negara maju
telah menggunakan penamaan Direktur Operasi yang fungsinya adalah mengelola
aspek desain, kualitas, sumber daya manusia, strategi proses, strategi lokasi, strategi
lay-out, supply chain management (SCM), inventory management, scheduling, dan
maitenance sebagai kesatuan yang terpadu.

Penulis berpendapat bahwa industri manufaktur di Indonesia perlu segera mengadopsi
perubahan paradigma baru (sebenarnya sudah cukup lama) ini, karena apabila tetap
menggunakan penamaan Direktur Produksi, banyak sekali keputusan yang tertunda
karena decision flow menjadi terhambat, apalagi bila terdapat birokrasi yang berlebihan
dalam suatu organisasi. Melalui pemusatan tanggung jawab dibawah satu orang,
borderless organization akan terbentuk dan pelaksanan kegiatan operasi menjadi sangat
efisien. Demikian pulan dengan penamaan/penugasan Direktur Operasi, masalah
Engineering, Procurement, Construction, yang menjadi masalah pokok pada sektor
industri manufaktur di BUMN dapat dieliminir. Itulah sebabnya dalam sistem Statutory
Law yang berlaku di Amerika Serikat misalnya, kita mengenal istilah/peran dari apa
yang dinamakan Chief Operations Officer (COO).

Berbicara mengenai Officer, ada satu hal yang aneh dengan pengelola BUMN saat ini,
yaitu penggunaan kata Officer bagi Direksi BUMN. Apabila kita mengkaji Undang-
undang No.1 tahun 1995 tetang Perseroan Terbatas dan Undang-undang No. 19 tahun
2003 tentang BUMN, kita tidak akan menemukan istilah Officer.

Undang-undang No. 1 tahun 1995 menganut Two Board System, dimana terjadi
pemisahan yang jelas antara Direksi dan Komisaris. Sedangkan Statutory Law
menganut One Board System di mana dalam Board ini duduk para Direktor dan
Komisaris; untuk menjalankan pengelolaan perusahaan sehari-hari Board of Directors
menunjuk para Officers, yang diberi kekuasaan penuh untuk mewakili perusahaan.
Member of The Board juga dapat dipilih menjadi Officer termasuk Chief Executive
Officer (CEO).

Yang saya maksudkan dengan aneh adalah peristiwa pemilihan dan penobatan CEO
terbaik di Indonesia baru-baru ini. Barangkali dengan maksud merangsang prestasi
seorang Direktur Utama BUMN, beberapa minggu yang lalu telah dilakukan pemilihan
Chief Executive Officer terbaik (maksudnya mungkin Direktur Utama terbaik?) di
Indonesia. Tidak tangung tangung, penganugrahan CEO terbaik ini (menurut berita)
diserahkan oleh Presiden Megawati
sendiri.

Padahal sebagaimana disebut diatas, kita tidak menganut apa yang dinamakan Officer.
Mengapa tidak memilih Direktur Utama terbai saja, misalnya; atau mungkin istilah
Direktur Utama kalah gagah kedengarannya dari CEO? Kalau memang demikian, ganti
saja sistemnya menjadi One Board System. Dikuatirkan pencampuradukan istilah CEO
dengan Direktur Utama ini, dapat mengganggu prinsip Good Corporate Governance
(yang sangat gencar
dikumandangkan), mengingat keduanya menganut dsar hukum yang berbeda.

2. Masalah Biaya dan Pendanaan

Industri manufactur pada umumnya adalah industri padat modal dan mempunyai
operating leverage (rasio antara biaya tetap dan biaya variabel total) yang tinggi.

Sebagai industri padat modal (pada umumnya), sebuah industri manufaktur harus
menekan biaya variabel serendah-rendahnya. Oleh karena itu (mengingat biaya variabel
yang antara lain mencakup biaya buruh langsung), adalah sangat naif pendapat yang
mengatakan bahwa suatu industri padat modal sekaligus dapat menjadi industri padat
karya. Kecuali apabila nilai tambah(diukur dari contribution margin) sanngatlah tinggi
(misalnya, diatas 75%). Apabila prinsip ini tidak dipahami sepenuhnya, maka resikonya
adalah sebuah perusahan industri manufaktur akan sangat sulit mencapai Break-Even
Point. Resiko ini makin besar lagi mengingat fluktuasi pencapaian penjualan sebuah
industri manufaktur (by nature) sangat tinggi dari waktu ke waktu.

Banyak industri manufaktur yang menghasilkan industrial goods, yaitu produk yang
kegunaanya tidak untuk dikonsumsi, tetapi untuk dioperasikan mencari uang lagi,
seperti kapal, pesawat terbang, taksi, dan sebagainya. Bagi perusahaan yang berbisnis
dalam produk ini, maka tersedianya paket kredit ( baik kredit dalam negeri maupun
kredit eksport) sangat dibutuhkan untuk menciptakan penjualan. Secanggih apapun
industrial goods, tanpa fasilitas kredit/kredit ekspor, transaksi untuk menciptakan sales
sangatlah sulit terjadi.

3. Masalah Kemampuan Penguasaan Cross-Functional Area

Total Quality Management, misalnya, masih belum menjadi agenda penting dalam
pertemuan RUPS pada beberapa BUMN walaupun topik ini sangat penting bagi
industri manufaktur; rapat lebih banyak memfokuskan diri pada aspek keuangan saja,
yaitu laba atau rugi. Demikian pula, kita tahu bahwa hidup matinya sebuah perusahaan
tergantung pada empat perspektif utama, yaitu: prespektif pemasaran, operasi/produksi,
keuangan, dan learning organization & pertumbuhan. Dalam lingkungan yang bersaing,
kemampuan untuk menguasai keempat prespektif ini sangat diperlukan. Oleh sebab itu,
pengelola BUMN harus mempunyai expertise yang cross-functional. Dari hasil
penelitian para pakar manajemen disimpulkan bahwa kemampuan menguasai keempat
perspektif ini sudah menjadi persyaratan bagi pimpinan perusahaan masa depan,
sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel berjudul "The Business Leader of the Future"
(Harvard B-School, Business Week, July 19, 1993).

4. Masalah Suku Cadang dan Entrepreneurship

Salah satu penyebab dari lemahnya daya saing industri manufaktur di Indonesia adalah
tidak siapnya pemasok suku cadang untuk produk industri manufaktur. Oleh sebab itu
entrepreneurship berbasis teknologi (technopreneurship) sudah mutlak dikembangkan
di Indonesia. Salah satu cara meningkatkan kemampuan entrepreneurship di Indonesia
adalah dengan menciptakan inkubator bisnis di industri, tentunya dengan bekerjasama
dengan penyedia dana bagi pebisnis pemula (venture capital) seperti PT PNM(Persero),
Venture Capital yang berada di berbagai propinsi, dan lain-lain.
5. Masalah Kepemimpinan

Dari semua industri penghasil produk dan jasa, learning process paling banyak terjadi
di sektor industri manufaktur; oleh sebab itu dari pemimpin perusahaan sektor industri
ini sangat dibutuhkan:

Pemimpin yang mampu mengatasi konflik antar fungsi-fungsi manajemen yang
(lag-lagi by nature) adalah ciri khas dari sektor Industri ini. Kemampuan ini
hanya dapat dimiliki oleh seorang pemimpin sektor industri manufaktur apabila
ia menguasai cross-functional area sebagaimana disebut diatas.
Pemimpin yang visonary, yang mampu menyelaraskan visi, misi, tujuan strategi
dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kebijakan perusahaan. Hanya
dengan cara ini budaya profesional dapat timbul pada BUMN kita.

6. Masalah Change Management

Untuk menyehatkan BUMN, sudah banyak konsultan kelas dunia yang diminta
bantuannya; sebut saja AT Kearney, Booz Allen Hamilton, Japan Indonesian Forum,
dan masih banyak lagi. Semuanya berbicara mengenai jargon- jargon management
yang mutahir, seperti restrukturisasi, revitalisasi, reengineering, reborn, reviving dan
seterusnya......semuanya bertujuan untuk menyehatkan perusahaan. Tetapi apa
hasilnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, bandingkan saja dengan apa yang dicapai
oleh Motorola misalnya. Berkat upaya resturkturisasi yang sama dengan yang
dilakukan BUMN pada umumnya, namun berbeda dalam hal komitmen, Motorola
dapat mencapai kualitas Six Sigma (atau prefection rate sebesar 99,99997%), setelah
belajar dari peningkatan produktivitas Hitachi yang ambisius sebesar 200% dalam satu
tahun.

Jadi mengapa restrukturisasi tidak banyak membuahkan hasil di BUMN
kita?

Menurut pendapat saya penghalang utamanya terletak pada tahap implementasi dari
segudang upaya penyehatan yang disebut di atas tadi. Dalam hal ini program mengubah
dan komitmen para pelaku bisnis itulah yang paling perlu dilakukan secara terus-
menerus, konsisten dan dikomunikasikan dengan baik; salah satu program yang
disarankan antara lain adalah program yang dinamakan Change Acceleration Process
(CAP). Kunci keberhasilan program ini adalah, pada setiap organisasi yang sedang
menjalani proses restrukturisasi harus ada beberap champions, yaitu tokoh-tokoh
pembaharu yang dijadikan panutan, termasuk Direktur Utama yang terus-menerus
melakukan komunikasi dengan seluruh karyawan.

System : Industri / Dunia Industri
Entisitas : BUMN
Attribut : PT Krakatau Steel
PT Dirgantara Indonesia
PT Inti
PT Len Industri
PT Dahana
PT Pindad
PT Inka
PT Barata Indonesia
PT Boma-Bisma-Indra
PT PAL Indonesia
Aktivitas : * Organisasi, Hukum, dan Good Corporate Governance
* Biaya dan Pendanaan
* Kemampuan Penguasaan Cross-Functional Area
* Suku Cadang dan Entrepreneurship
* Kepemimpinan
* Change Management

Model Simulasi

1. Model Preskriptif
Digunakan untuk mendefenisikan dan mengoptimalkan permasalahan.
Contoh : Membahas Teori Pembelajaran / Mempengaruhi orang lain untuk belajar
atau terjadi belajar.
2. Model Deskriptif
Menggambarkan sistem berdasarkan perilakunya dan permasalahan optimasi
diserahkan ke analisis berikutnya.
Contoh : Menentukan hasil belajar atau bagaiman seseorang tersebut belajar.
3. Model Simulasi Deterministik
Tidak memiliki komponen porbabilistik ( Random ).
Contoh : Simulasi kedatangan pasien seorang dokter praktek yang telah diatur jadwal
pelayanannya.
4. Model Simulasi Stokastik
Memiliki komponen input random, dan menghasilkan output yang random pula.
Contoh : Simulasi layanan teller bank
5. Model Loop Terbuka
Pengklarifikasian model kedalam bentuk loop terbuka didasarkan pada struktur
model. Pada model terbuka, output dari model tidak menjadi umpan balik untuk
memperbaiki input.
Contoh : Automatic Traffic Light Control System
6. Model Loop Tertutup
Pengklarifikasian model kedalam bentuk loop tertutup didasarkan pada struktur
model. Pada model tertutup, output dari model menjadi umpan balik untuk
memperbaiki input.
Contoh : Disepenser
7. Model Simulasi Statik
Representasi sistem pada waktu tertentu.
Contoh : Model Monte Carlo
8. Model Simulasi Dinamik
Merepresemtasikan sistem dalam perubahannya terhadap waktu.
Contoh : Sistem Conveyor di pabrik
9. Model Simulasi Kontiniu
Status berubah secara kontiniu terhadap waktu.
Contoh : Pesawat Terbang
10. Model Simulasi Diskrit
Status berubah secara instan pada titik titik waktu yang terpisah.
Contoh : Jumlah customer di Bank.

Anda mungkin juga menyukai