Anda di halaman 1dari 6

Reseptor olfaktorius di hidung adalah ujung neuron aferen khusus yang dapat diperbarui.

Mukosa olfaktorius (penciuman, penghidu), suatu bercak mikosa 3 cm


2
di atap rongga hidung,
mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel penunjang, dan sel basal (Gambar 6-43).
Sel penunjang mengeluarkan mucus yang melapisi saluran hidung. Sel basal adalah prekursor
untuk sel reseptor olfaktorius baru, yang diganti sekitar setiap dua bulan. Sel reseptor
olfaktorius adalah neuron aferen yang bagian septornya terletak di mukosa di hidung yang
akson aferennya berjalan ke dalam otak. Akson sel-sel reseptor olfaktorius secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius.


Bagian reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tombol yang membesar dan
mengandung beberapa silia panjang yang berjalan seperti jumbai ke permukaan mukosa. Silia ini
mengandung tempat untuk mengikat odoran, molekul yang dapat dicium baunya. Selama
bernapas tenang, odoran biasanya mencapai reseptor sensitif hanya dengan difusi karena
mukosa olfaktorius terletak di atas jalur normal aliran udara. Tindakan mengendus meningkan
proses ini dengan menarik arus udara kea rah dalam rongga hidung sehingga lebih banyak
molekul odoriferous di udara yang berkontak dengan mukosa olfaktorius. Odoran juga mencapai
mukosa olfaktorius sewaktu makan dengan menghembus ke hidung dari mulut melalui faring
(belakang tenggorokan).
Agar dapat dibaui, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap sehingga sebagian molekulnya
dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke
lapisan mucus yang menutupi mukosa olfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat terdeteksi
oleh reseptor olfaktorius, molekul harus larut.

Berbagai bagian dari suatu bau dideteksi oleh reseptor olfaktorius yang berbeda dan disortir ke dalam
arsip bau
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe berbeda. Selama
deteksi bau, sebuah bau diuraikan menjadi berbagai komponen. Setiap hanya terhadap satu
komponen diskret suatu baud an buka terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu,
masing-masing bagian dari suatu odoran dideteksi oleh satu dari ribuan reseptor berbeda, dan
sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai
aroma. Bandingkan ini dengan tiga jenis sel kerucut untuk menyandi penglihatan warna dan
kuncup kecap yang berespons secara berbeda terhadap hanya lima rasa primer untuk
mendiskriminasikan rasa.
Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius mengaktifkan protein G, memicu
jenjang reaksi intra sel dependen-cAMP yang menyebabkan terbukanya saluran Na
+
.
Perpindahan ion yang terjadi menyebabkan depolarisasi potensial reseptor yang menghasilkan
potensial aksi di serat aferen. Frekuensi potensial aksi bergantung pada konsentrasi molekul
kimiawi perangsang.
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor di hidung berjalan melalui lubang-lubang
halus di lempeng tulang gepeng yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di
atasnya (Gambar 6-43). Serat-serat ini segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur
saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang secara fungsional mirip dengan
lapisan retina mata. Bulbus olfaktorius yang kembar, satu di masing-masing sisi, berukuran buah
anggur kecil. Masing-masing bulbus olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip-bola yang
dikenal sebagai glomerulus (boal kecil) (Gambar 6-44). Di dalam setiap glomerulus ini, ujung-
ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang komponen bau tertentu bersinaps dengan
sel berikutnya di jalur olfaktorius, sel mitral. Karena masing-masing glumerulus berfungsi
sebagai asip bau. Komponen-komponen dari suatu bau disotir ke dalam glomerulus yang
berbeda-beda, satu komponen per asip. Karena itu, glomerulus, yang berfungsi sebagai stasiun
pemancar pertama untuk pemrosesan informasi bau, berperan kunci dalam pengorganisasian
persepsi bau.
Sel mitral tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di glomerulus menyempurnakan sinyal baud
an memancarkannya ke otak untuk pemrosesan lebih lanjut. Serat-serat yang meninggalkan
bulbus olfaktorius berjalan dalam dua rute berbeda:
1. Sebuah rute subkorteks yang terutama menuju ke daerah-daerah system limbik, khususnya
sisi medial lobus temporalis (dianggap sebagai korteks penciuman primer). Rute ini,
mencakup hipotalamus, memungkinkan koordinasi erat antara bau dan reaksi perilaku yang
berkaitan dengan makan, kawin, dan orientasi arah.
2. Sebuah rute melalui thalamus ke korteks. Seperti indera lain, rute korteks penting untuk
persepsi sadar dan diskriminasi halus bau.











Gambar 6-44: Pemrosesan bau di bulbus olfaktorius. Masing-masing glomerulus yang melapisi
bulbus olfaktorius menerima masukan sinaps dari hanya satu jenis reseptor bau, yang
sebaliknya, hanya berespons terhadap satu komponen tertentu dari suatu edoron. Karena itu,
glomerulus menyortir dan menyusun berbagai komponen suatu molekul odoriferosa sebelum
menyalurkan sinyal bau ke sel mitral dan pusat-pusat otak yang lebih tinggi untuk pemrosesan
lebih lanjut.

Diskriminasi bau dikode oleh pola aktivitas di glomerulus bulbus olfaktorius.
Karena setiap odoran mengaktifkan banyak reseptor dan glomerulus sebagia respons terhadap
komponen-komponen baunya, maka diskriminasi bau didasarkan pada pola-pola glomerulus
yang diaktifkan oleh bau. Dengan cara ini, korteks dapat membedakan lebih dari 10.000 bau
yang berbeda. Mekanisme untuk menyortir dan membedakan berbagai bau ini sangat efektif.
Contoh penting adalah kemampuan kita mendeteksi metal merkaptan (bau bawang putih) pada
konsentrasi 1 molekul per 50 milyar molekul di udara! Bahan ini ditambahkan ke gas alam yang
tidak berbau agar kita dapat mendeteksi kebocoran yang berpotensi mematikan. Bahkan
dengan sensitivitas yang mengesankan ini, sensasi bau yang dimiliki manusia masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan spesies lain. Sebagai perbandingan, indera penciuman anjing
ratusan kali lebih peka dibandingkan dengan yang dimiliki oleh manusia. Bloodhound (sejenis
anjing pemburu), sebagai contoh, memiliki sekitar 4 milyar reseptor olfaktorius dibandingkan
kita yang 5 juta, yang menyebabkan anjing ini memiliki kemampuan mengendus bau yang
superior.
System olfaktorius cepat beradaptasi, dengan odoran cepat dibersihkan.
Walaupun sistem olfaktorius sensitive dan memiliki kamampuan diskriminasi yang tinggi namun
sistem ini juga cepat beradaptasi. Sensitivitas terhadap suatu bau baru cepat berkurang setelah
periode pajanan yang singkat terhadap bau tersebut, meskipun sumber bau masih ada.
Penurunan sensitivitas ini bukan disebabkan oleh adaptasi reseptor, seperti diperkirakan oleh
peneliti selama bertahun-tahun; sebanarnya, reseptor olfaktorius itu sendiri beradaptasi lambat.
Adaptasi ini tampaknya melibatkan proses adaptasi si SSP. Adaptasi bersifat spesifik untuk bau
tertentu, dan responsivitass terhadap bau lain tidak berubah. Apa yang membersihkan odoran
dari tempat pengikatan di reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus menerus ada
setelah sumber bau hilang? Di mukosa penciuman baru-baru ini dideteksi adanya beberapa
enzim pemakan bau yang berfungsi sebagai pembersih molecular, membersihkan molekul-
molekul oddoriferus sehingga mereka tidak terus menerus merangsang reseptor olfaktorius.
Yang menarik, enzim-enzim pembersih odoran ini secara kimiawi sangat mirip dengan enzim
detoksifikasi yang ditemukan di hati. (Enzim-enzim hati ini menginaktifkan bahan yang
berpotensi toksik dari saluran cerna; lihat hal.28). Kemiripan ini mungkin bukan kebetulan. Para
peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai
pembersih mukosa olfaktorius dari odoran lama dan mengubah bahan-bahan kimia yang
berpotensi toksik menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan
memiliki fingsi yang sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa olfaktorius dan
otak.
Organ vemeronasal mendeteksi feromon.
Selain mukosa olfaktorius, hidung mengandung organ endera lain, organ vemeronasal (OVN),
yang umum terdapat pada mamalia tetapi selama ini dianggap tidak ada pada manusia. OVN
terletak sekitar setengah inci di dalam hidung manusia di samping tulang vomer (karenanya
dinamai demikian). Organ ini mendeteksi feromon, suatu sinyal kimiawi bukan uap yang
berjalan di bawah sadar sari satu orang lain. Pada hewan, pengikatan suatu feromon ke
reseptornya di permukaan suatu neuron di OVN memicu potensial aksi yang berjalan melalui
jalur-jalur non-olfaktorius ke sistem limbik, bagian otak yang mengatur respons emosional dan
perilaku sosioseksual. Sinyal ini tidak pernah mencapai tingkat kesadaran. Pada hewaqn, OVN
dikenal sebagai hidung seksual karena perannya dalam mengatur perilaku reproduktif dan
sosial, misalnya mengidentifikasi dan menarik lawan jenis dan mengkomunikasikan status sosial.
Sebagian ilmuwan kini mengklaim peberadaan feromon pada manusia, meskipun banyak yang
skeptis terhdap temuan ini. Meskipun peran OVN pada perilaku manusia belum dipastikan
namun sebagian peneliti mencurigai bahwa OVN berperan menimbulkan perasaan spontan
antara orang-orang, baik good chemistry (nyambung), misalnya cinta pada pandangan
pertama, atau bad chemistry, seperti mendapat sinyal buruk dari seseorang yang baru
anda kenal. Mereka berspekulasi bahwa feromon pada manusia secara samar mempengaruhi
aktivitas seksual, kecocokan dengan orang lain, atau perilaku kelompok, serupa dengan peran
yang simainkan pada mamalia lain, meskipun sistem pembawa pesan ini kurang penting atau
kuat pada manusia dibandingkan dengan pada hewan. Karena pesan yang disampaikan oleh
OVN tampaknya memintas tingkat kesadaran di korteks, maka respons terhadap feromon yang
umumnya tidak berbau tersebut bukanlah suatu persepsi yang jelas dan tersendiri, seperti bau
parfum kesenangan, tetapi lebih berupa kesan yang tidak dapat dijelaskan.

PERSPEKTIF BABA INI: FOKUS PADA HOMEOSTASIS
Untuk mempertahankan lingkungan internal stabil bagi kehidupan, tubuh harus secara terus-
menerus melakukan penyesuaian untuk mengopensasi berbagai faktor eksternal dan internal
yang secara terus-menerus mengancam homeostasis, misalnya pajanan ke udara dingin
eksternal atau produksi asam internal. Banyak dari penyesuaian ini diarahkan oleh sistem saraf,
satu dari dua sistem regulatorik utama tubuh. Susunan saraf pusat (SSP), komponen sistem saraf
yang berfungsi melakukan integrasi dan membuat keputusan, harus secara terus menerus diberi
tahu apa yang sedang terjadi di lingkungan internal dan eksternal sehingga komponen dapat
memerintahkan viabilitas tubuh. Dengan kata lain, SSP harus tahu perubahan apa yang sedang
terjadi sebelum berespons terhadap perubahan tersebut.
Divis aferen susunan saraf tepi adalah jalur penghubung untuk meberi tahu SSP mengenai
lingkungan internal dan eksternal. Divisi aferen mendeteksi, menyandi, dan menyalurkan sinyal
perifer ke SSP untuk diproses. Untuk keterjagaan, persepsi, dan penentuan respons eferen
diperlukan masukan dari divisi aferen.
Informasi aferen mengenai lingkungan internanal, misalnya kadar CO
2
dalam darah, tidak
pernah mencapai tingkat kesadaran, tetapi masukan ini ke pusat-pusat pengontrol di SSP
penting untuk mempertahankan homeostasis. Masukan aferen yang mencapai tingkat
kesadaran, yang disebut informasi sensorik, mencakup sensasi somestetik dan propriosepsi
(sensai/indera tubuh) dan indera khusus (penglihatan, pendengaran, pengecapan, dan
penciuman).
Reseptor sensasi tubuh tersebar di seluruh permukaan tubuh serta sandi dan otot. Sinyal aferen
dan reseptor-reseptor ini member informasi tentang apa yang sedang terjadi langsung pada
bagian tubuh tertentu dalam kaitannya dengan lingkungan eksternal (yaitu, aspek apa, di
mana, dan seberapa besar dari masukan stimulatorik ke permukaan tubuh dan posisi sesaat
tubuh dalam ruang). Sebaliknya, setiap organ indera khusus hanya terdapat di bagian tertentu
tubuh. Organ indera khusus tidak member informasi tentang bagian tubuh tertentu, tetapi
menghasilkan jenis informasi spesifik tentang linkgungan eksternal yang bermanfaat bagi tubuh
secara keseluruhan. Sebagai contoh, melalui kemampuannya mendeteksi, menganalisis secara
ekstensisf, dan mengintergrasikanpola-pola pencahayaan di lingkungan eksternal, mata dan
sistem pemrosesan visual memungkinkan anda melihat sekitar anda. Efek integratif serupa
tidak akan dapat dicapai jika fotoreseptor tersebar di seluruh permukaan tubuh, seperti
reseptor sentuh.
Masukan sensorik (baik indra tubuh maupun indera khusus) memungkinkan organism multisel
kompleks seperti manusia berinteraksi dengan lingkungan eksternal untuk hal-hal yang
bermanfaat dalam mencari makan, mempertahankan diri dari bahaya, dan melakukan tindakan
lain yang ditujukan untuk mepertahankan homeostasis. Selain member informasi yang esensial
untuk interaksi dengan lingkungan eksternal untuk mempertahankan hidup, pemrosesan
perceptual masukan sensorik tersebut sangat memperkaya kehidupan itu sendiri, misalnya
kemampuan untuk menikmati buku bagus, konser, atau makan.

Anda mungkin juga menyukai