Anda di halaman 1dari 3

Hal Nahnu Muttaqun

Abu Hurairah RA pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. Wahai


Rasulullah
beritahukanlah kepadaku sebuah amalan yang jika aku lakukan, maka aku akan
masuk
surga. Rasulullah menjawab, " Sebarlah salam, berilah makanan, dan
sambunglah
tali silaturahmi dan dirikanlah shalat malam tatkala orang-orang terlelap tidur. "
(HR. Ahmad).

Adapun saling meminta maaf dan memaafkan serta menahan marah adalah
perbuatan
yang harus dilakukan di saat kita mengalaminya, tidak perlu menunggu
Ramadhan
maupun Syawal. Dari Ubay bin Ka'ab, Rasulullah SAW bersabda, " Barangsiapa
yang ingin memiliki kepribadian mulia dan derajat yang tinggi, maka hendaklah
dia memaafkan orang yang mendzaliminya, memberi kepada orang yang tidak
suka memberi kepadanya, dan menghubungkan tali silaturahmi kepada orang
yang memutuskan hubungan dengannya. " (HR. Al-Hakim).

Rasulullah SAW yang juga pernah bersabda, " Orang yang kuat bukanlah yang
dapat
mengalahkan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan
nafsunya
ketika dia marah. Barangsiapa yang menahan marah sedang ia kuasa untuk
menumpahkannya, maka Allah akan memenuhi dirinya dengan keselamatan dan
keimanan. " (HR. Ahmad).

Idul Fitri selalu kita rayakan setiap tahun, tetapi hampir tidak ada perubahan
yang terjadi baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun dalam
kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mungkin kesalahan berpuasa kita dan paradigma
keliru
yang secara sadar atau tidak, yang ditanamkan hanya menawarkan Fadhilah
Ramadhan, tetapi kurang tegas menjelaskan kewajiban Shaimun menjadi salah
satu faktor penyebabnya.

Imam Hasan Al-Banna menjelaskan, tarbiyyah yang sukses akan membentuk


pribadi yang memiliki muashafat (karakter) sebagai berikut:

1. Salimul 'aqidah, akidahnya bersih. Yaitu, " Setiap hamba yang selalu kembali
kepada Allah dan memelihara semua peraturan-Nya. Dia takut kepada Tuhan
Yang
Maha Pemurah walaupun tidak melihat-Nya dan dia datang (di hari kiamat)
dengan
hati yang bertobat (QS. Qaf, ayat 31-32). Rasa takutnya kepada Allah
menghalanginya untuk berbuat kesyirikan walaupun sebesar biji sawi.
Pemahaman
yang benar akan ketauhidan Allah membuatnya ringan untuk meninggalkan adat
dan
tradisi yang tidak sesuai dengan syari'at, tanpa takut celaan dan cemoohan
orang-orang jahil.
2. Shahihul Ibadah, ibadahnya benar. Ia benar-benar memahami wasiat
Rasulullah
SAW, "Sesungguhnya sebaik-baik keterangan adalah Kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk ialah petunjuk Muhammad SAW. Seburuk-buruk perkara adalah hal
baru
(dalam agama) yang tidak ada dasarnya. Dan setiap bid'ah itu sesat. " (HR.
Muslim).

3. Matinul Khuluk, akhlaknya kokoh. Nilai-nilai kebaikan Islam telah merasak ke


dalam hatinya dan menghujam kokoh di jiwanya sehingga menggerakkan dirinya
menjadi pribadi muslim seutuhnya, yang tidak malu untuk menampilkan akhlak
Islami. "Yaitu orang-orang yang menginfaqkan hartanya baik pada waktu lapang
maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan marahnya dan
memaafkan
kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.
"
(QS. Ali Imran, ayat 131-132). Ketika ditanya oleh Heraklius mengenai dakwah
Nabi Muhammad SAW, Abu Sofyan menjelaskan, " Ia menyuruh kami untuk
menyembah
Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun, meninggalkan ajaran nenek
moyang
kami dan memerintahkan kami untuk mendirikan shalat, berkata benar, sopan,
dan
menyambung tali silaturahmi. " (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Mutsaqaful Fikri, berwawasan luas. Pribadi Rabbani yang memiliki


hikmah, ilmu, dan wawasan yang sangat luas, dan tidak gaptek (gagap
teknologi).
Sebagai hasil pemahaman dan pengamalan Kitabullah yang ia baca. " Jadilah
kalian
pribadi Rabbani karena kalian senantiasa mengajarkan Al-Qur'an dan selalu
mempelajarinya. " (QS. Ali Imran, ayat 79).

5. Qawiyyul Jismi, berbadan kuat. Perintah shiyam menunjukkan bahwa kekuatan


sangat dianjurkan dalam Islam. Yang lemah pastilah tidak akan mampu
berpuasa,
apalagi berperang di jalan Allah. Karenanya Rasulullah SAW bersabda, "Mukmin
yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. "
(HR. Muslim).

6. Qadirun 'alal Kasbi, mampu berpenghasilan. Makan sahur, berbuka, ber'itikaf,


bersedekah membayar zakat fitrah, zakat mal, haji, membiayai keluarga, dan
memberi sanak saudara, tetangga, anak yatim dan fakir miskin membutuhkan
uang.
Seorang muttaqun tahu betul bahwa dirinya harus berpenghasilan, kalau pun
tidak
mampu memberi minimal bisa memelihara diri dan keluarganya dari meminta-
minta.
Allah SWT memerintahkan kita dalam firmannya, " Maka apabila telah
menunaikan
shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi untuk mencari karunia Allah dan
ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. " (QS. Al Jumu'ah, ayat 10).
Rasulullah bersabda, " Salah seorang dari kamu pergi ke bukit untuk mencari
kayu
kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dan dengan itu dapat memenuhi
kebutuhannya. Maka yang demikian itu lebih baik daripada meminta-minta pada
orang lain, baik mereka memberi atau menolak. " (HR. Bukhari).

7. Mujahidun li nafsihi, mampu menahan jiwanya, untuk senantiasa melakukan


pekerjaan yang mendatangkan manfaat dunia dan akhirat, serta menjauhi
perbuatan
sia-sia. " Di antara kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan perkara
yang
tak berguna baginya. " (HR. Muslim).

8. Munazhamun fi su'unihi, teratur dalam setiap urusannya. Perencanaan yang


baik, keteraturan amal selalu mewarnai kehidupannya.

9. Haritsun 'ala waqtihi, menjaga waktunya. Ia tak akan menyia-nyiakan


waktunya
tanpa amal. Umar bin Khathab berkata, "Saya benci melihat salah seorang di
antara kamu duduk-duduk saja, tanpa beramal baik untuk dunia maupun
akhiratnya. "

10. Nafi'un li ghairihi, bermanfaat bagi orang lain. Ia adalah pribadi yang
berkarakter laksana air yang suci dan mensucikan. "Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi orang lain. " (Muttafaqun 'alaih).

Tinggallah kita bertanya pada diri sendiri, Hal nahnu muttaqun?

Sumber: DT

Anda mungkin juga menyukai