Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Infertilitas adalah suatu keadaan, yang mana pasangan suami istri tidak
dapat menghasilkan keturunan dalam 1 tahun dengan aktivitas seksual aktif tanpa
menggunakan alat kontrasepsi. Infertilitas masih menjadi permasalahan bagi 15%
dari pasangan suami istri. Faktor infertilitas pria memegang peranan 50% dari
keseluruhan kasus infertilitas.
(1)

WHO melaporkan terjadi penurunan angka fertilitas di negara berkembang,
dari 6,1% pada tahun 1970, menjadi 3,1% pada tahun 1990. WHO juga
memperkirakan terdapat 50-80 juta pasangan di dunia yang mengalami infertilitas.
Di Indonesia insiden pasangan infertil sekitar 12,1% pada tahun 1970 dan 15,07%
pada tahun 1980.
(2)
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan suatu keadaan
infertilitas pada pria, antara lain kelainan genetik, umur, infeksi, autoantibodi,
defesiensi testosteron, hipogonadisme, kanker, faktor lingkungan, efek samping
dari pengobatan, torsio testis, rertograde ejaculation, vasectomy, varicocele, dan
sebab-sebab lain yang belum diketahui.
(3)

Torsio testis merupakan salah satu kasus emergensi bedah yang terjadi pada
pria muda, yang dikalkulasikan kejadiannya terjadi 1 dari 4000 pria dengan umur
dibawah 25 tahun. Kejadian torsio testis paling banyak di derita oleh anak pada
masa pubertas yaitu sekitar 65% dari kejadian torsio testis, dan tidak jarang juga
banyak terjadi pada janin yang berada dalam uterus atau bayi yang baru lahir yang
tidak terdiagnosis sehingga menyebabkan kehilangan testis baik yang unilateral
ataupun yang bilateral.
(4)

Torsio testis menyebabkan berbagai dampak pada testis dan jaringan
disekitarnya. Mulai dari gangguan proses spermatogenesis, penurunan kualitas
sperma, hingga perubahan histopatologi jaringan yang terdapat didalam testis
khusunya tubulus seminiferus dan jaringan interstisial.
(5)
Berbagai sel dalam testis
seperti sel Sertoli, sel Leydig dan sel epitel germinal, akan mengalami hipoksia
dan anoksia, sehingga terjadi gangguan fungsi sampai kematian sel tersebut.
(6)

2

Selain itu unilatelar torsio testis dapat berdampak pada testis kontralateral,
dampaknya terjadi pada histologi testis kontralateralnya.
(7)
Torsio testis dapat
menyebabkan gangguan fungsi pada testis kontralateral tidak terpikirkan oleh
orang, sampai dilaporkan kejadian analisis sperma yang tidak normal pada 18
orang dari 19 orang yang mengalami torsio testis unilateral sebelumnya.
(8)
Pada
torsio testis kontralateral dapat ditemukan adanya proses abnormalitas seperti
terjadi atrofi dari sel Leydig, terjadi perubahan fisiologi pada sel Sertoli,
penurunan jumlah sperma, terajadi proses apoptosis yang cepat pada epitel
germinalnya.
(9)
Banyak teori yang menjelaskan bahwa kerusakan kontralateral
testis akibat unilateral torsio testis dapat dipicu oleh berbagai mekanisme yang
masih diperdebatkan sampai sekarang, diantaranya adalah akibat dari reaksi
radikal bebas oksigen yang dilepas setalah proses reperfusi
(10)
, dapat juga
diakibatkan oleh terajadinya peningkatan dari perfusi darah ke jaringan
(11)
, selain
itu dapat juga dipicu oleh proses auto-imun.
(12) (13)

Kerusakan pada kontralateral ini dapat terjadi oleh karena proses iskemik
sekuder yang dipicu oleh reflex vasokonstriksi pada pembuluh darah testis
kontralateral akibat respon saraf simpatis.

Penurunan blood flow dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia pada jaringan sehingga terjadi peningkatan
produksi ROS (Reactive Oxygen Species).

Hal tersebut dapat menyebabkan
gangguan dari perfusi jaringan, terjadi peningkatan dari ekspresi adhesi molekul,
migrasi dari leukosit, kerusakan pada epitel spermatogenik, respon autoimun,
kerusakan pada testis blood-barrier.
(14)

Dari semua efek yang terjadi pada testis kontralateral salah satunya berefek
terhadap penghambat fungsi Sel Leydig melalui produksi ROS yang merangsang
pengeluaran magrofak.
(15)

Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat perubahan yang diakibatkan
oleh torsio testis khususnya pada menurunan jumlah sel Leydig, karena sel
Leydig menghasilkan testosteron yang berfungsi untuk pertumbuhan dan
pembelahan sel-sel germinal testis, yang merupakan tahap pertama pembentukan
sperma.
(16)



3

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan suatu masalah, yaitu apakah torsio testis dan dapat berpengaruh
terhadap penurunan jumlah sel Leydig pada testis kontralateral pada tikus Rattus
Norvegicus ?

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menilai pengaruh torsio testis terhadap penurunan jumlah sel Leydig
pada testis kontralateral pada tikus Rattus Norvegicus.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan informasi tentang gambaran penurunan jumlah sel Leydig
testis kontralateral pada torsio testis.
2. Dapat dipakai sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya tentang perubahan
jumlah sel Leydig testis kontralateral pada torsio testis.
3. Dapat menjadi bahan rujukan untuk mempertimbangkan keberhasilan
tindakan medis pada kasus torsio testis.

1.5 Hipotesis
Torsio testis dapat menurunkan jumlah sel Leydig testis kontralateral pada
tikus Rattus Norvegicus.









4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Testis
2.1.1 Anatomi Testis
Struktur reproduksi laki-laki terdiri dari penis, testis dalam kantong
skrotum, sistem duktus yang terdiri dari epididimis, vasdeferen, duktus
ejakulatorius, uretra dan glandula asesoria yang terdiri dari vesikula seminalis,
elenjer prostat dan kelenjer bulbouretralis.
(17) (16)
Struktur anatomi reproduksi laki-
laki disajikan pada Gambar 2.1










Gambar 2.1 : Sistem Reproduksi Laki-laki.
(17)


Testis merupakan kelenjer ganda, karena secara fungsional bersifat eksokrin
dan juga endokrin. Disebut bersifat eksokrin, karena testis menghasilakan sel
kelamin, sehingga dianggap sebagai kelenjer sitogenik. Dan disebut bersifat
endokrin, karena testis menghasilkan sekret internal yang dilepaskan oleh sel-sel
khusus.
(5)

Testis berada didalam skrotum dan dibungkus oleh simpai testis, yang
terdiri dari 3 lapisan, yaitu: (1) Lapisan terluar tunika vaginalis, merupakan
selapis sel mesotel gepeng, dan merupakan bagian dari sebuah kantung serosa
yang tertutup, berasal dari peritonium yang membungkus permukaan lateral dan
anterior testis. (2) Lapisan tengah yang disebut tunika albuginea, dimana dulu
5

digambarkan sebagai lapisan yang tebal, terdiri atas jaringan ikat padat
fibroelastis, tetapi sekarang telah diperlihatkan adanya sejumlah sel otot polos
juga. Pada manusia, unsur-unsur otot polos tersebar luas, tetapi pada umumnya
paling banyak terdapat di bagian posterior testis dekat epididimis. (3) Lapisan
terdalam yang disebut tunika vaskulosa, terdiri atas jalan kapiler darah yang
terbenam didalam jaringan ikat.
(5)

Testis bagian dalam terbagi atas lobulus yang terdiri dari tubulus
seminiferus, sel-sel Sertoli, dan sel-sel Leydig.
(17)
Struktur anatomi testis
disajikan pada Gambar 2.2















Gambar 2.2 : Struktur anatomi testis.
(17)


Produksi sperma, atau spermatogenesis, terjadi pada tubulus seminiferus.
Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makan pada protozoa sedangkan sel-sel Leydig
menghasilkan testosteron. Pada bagian posterior tiap-tiap testis, terdapat duktus
melingkar yang disebut epididimis. Bagian kepalanya berhubungan dengan duktus
seminiferus (duktus untuk aliran keluar) dari testis, dan bagian ekornya harus
berlajut ke vas deferens. Vas deferens adalah duktus ekskretorius testis yang
6

membentang hingga ke duktus vesikula seminalis, kemudian bergabung
membentuk duktus ejakulatorius.
(16)
Untuk vaskularisasi, testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri,
yaitu (1) arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri
deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremasterika yang
merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis
berkumpul membentuk pleksus pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang
mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.
(4)


2.1.2 Fisiologi Testis
Testis merupakan kelenjar ganda, karena mempunyai fungsi yang bersifat
endokrin dan juga eksokrin. Testis bersifat endokrin karena testis menghasilkan
sel kelamin (sperma dengan proses spermatogenesis) sehingga dianggap sebagai
kelenjar sitogenik. Sedangkan testis bersifat eksokrin karena testis menghasilkan
sekret internal yang dilepaskan oleh sel-sel khusus.
(5)
Testis mempunyai dua
fungsi yaitu spermatogenesis yang terjadi didalam tubulus seminiferous dan
sekresi dari hormon steroid (testosteron) yang dilakukan oleh sel Leydig yang
berada pada jaringan interstitial testis. Kedua fungsi ini saling berhubungan
karena testoteron disintesis untuk membantu dalam proses pembentukan sperna
dan juga untuk perkembangan seks sekunder dari seorang pria serta untuk fungsi
seks pria.
(18)

Spermatogenesis terjadi pada tubulus seminiferus selama masa seksual aktif
akibat stimulasi oleh hormone gonadotropik hipofisis anterior. yaitu Folicle-
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). FSH berfungasi
untuk menjaga proliferasi sel Sertoli yang akan berperan dalam proses perubahan
spematid menjadi sperma dan berparan dalam nenjaga kualitas spermatozoa
sedangkan LH berfungsi untuk merangsang sel Leydig untuk mensekresikan
hormon testosteron. FSH dan LH memasuki sirkulasi untuk merangsang sel target
yaitu sel Sertoli dan sel Leydig.
(16)

Selain disekresikan oleh sel Leydig testosteron dibentuk juga dari
androstenendion yang disekresi oleh korteks adrenal.
(16)
Adrogen dibutuhkan
dalam proses spermatogenesis dan pematangan spermatozoa saat melakukan
7

perjalanan di epididimis dan vas deferens. Selain itu androgen juga mengotrol
pertumbuhan dan fungsi vesikula seminalis serta kelenjar prostat.
(19)
Proses
spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus, tubulus seminiferus memiliki
sel-sel epitelgerminal atau spermatogonia yang tersusun dalam 2 hinggan 3
lapisan terluardari epithelium tubulus. Pada tahab awal spermatogenesis,
primordial spermatogonia yang terletak berdekatan dengan memberan epitel basal
epitel germinal membelah sebanyak empat kali dan membentuk spermatogonia.
Pada tahab tersebut spermatogonia bermigrasi kea rah sentral dan melakukan
penetrasi ke sitoplasma sel sertoli. Spermatogonia berkembangan menjadi
spermatid primer selama 24-25 hari. Spermatid primer mengalami mitosis
membentuk dua spermatid sekunder, selanjutnya spermatid sekunder membelah
menjadi spermatid yang akhirnya berkembang menjadi spermatozoa. Biasanya
pada proses ini manusia membutuhkan waktu sekitar 74 hari.
(16)


2.2 Sel Leydig
Sel-sel interstisial Leydig merupakan sel yang memberikan gambaran
mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya berkelompok memadat
pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus.
Sel-sel tersebut besar dengan sel sitoplasma sering bervakuol pada sajian
mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butiran kromatin kasar dan anak
inti yang jelas. Umumnya pula dijumpai sel yang memiliki dua inti. Sitoplasma
sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik lipid, dan pada manusia juga
mengandung kristaloid berbentuk batang.
(5)










8


Gambar 2.3 : Gambaran histologi sel Leydig.
(16)


Aktivasi dari sel Leydig dipengaruhi oleh hormon yaitu Lutenizing Hormon
(LH) dan Follicle Stimulating Hormon (FSH). LH mempengaruhi sel Leydig
secara langsung karena sel ini mempunyai reseptor LH pada membran sel dan
berfungsi dalam proses terbentuknya testosteron dengan bahan kolesterol. Apabila
LH berpengaruh langsung terhadap sel Leydig tidak demikian dengan FSH,
hormon ini mempengaruhi sel Leydig secara tidak langsung dan berperan dalam
diferensisi sel Leydig.
(20)

Sel Leydig berfungsi sebagai penghasil dan penyekresi hormon testosteron
dan kira-kira merupakan 20% massa testis dewasa. Sel-sel leydig hampir tidak
ditemukan di testis pada masa kanak-kanak, sewaktu testis hampir tidak
menyekresi testosteron, tetapi hormon tersebut terdapat dalam jumlah yang
banyak pada bayi pria yang baru lahir dan juga pada pria dewasa setelah
puberitas, pada kedua masa tersebut, testis menyekresi sejumlah besar testosteron.

(16)

Pada umunya, testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat
maskulinisasi tubuh. Bahkan selama kehidupan janin, testis sudah distimulasi oleh
gonadotropin korionik (HGC) dari plasenta untuk membentuk sejumlah
testosteron sepanjang periode perkembangan janin dan selama 10 minggu atau
lebih setelah kelahiran, kemudian setelah itu, pada dasarnya tidak ada testosteron
yang dihasilkan selama masa kanak-kanak sampai si anak kira-kira berusia 10-13
tahun. Kemudian produksi testosteron meningkat cepat akibat rangsangan
hormon-hormon gonadotropin hipofisis anterior pada awal puberitas dan
berlangsung sepanjang masa kehidupan. Dan menurun dengan cepat di atas usia
50 tahun menjadi 20-50 persen dari nilai puncak pada usia 80 tahun.
(16)

Testosteron yang disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstinum
testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis, yang
merupakan tahap pertama pembentukan sperma.
(16)



9

2.3 Torsio Testis
2.3.1 Defenisi
Torsio dari funikulus spermatikus yang lebih dikenal sebagai torsio testis,
adalah terputarnya furnikulus spermatikus yang menimbulkan kontriksi dari suplai
darah. Jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan nekrosis testis.
(21)
Testis
akan emgalami kerusakan permanen jika torsio tidak terselamatkan dalam waktu
hingga 6 jam. Torsio testis dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering pada
remaja dan dewasa muda.
(22)

2.3.2 Etiologi
Penyebab dari torsio testis ini sendiri masih sedikit diketahui.
Ketidaknormalan anatomi dan trauma menjadi faktor predisposisi terjadinya
torsio testis, dan dari beberapa kasus sering terjadi paada saat tidur.
(23)
Faktor
predisposisi yang lainnya yang menyebabkan terjadinya torsio meliputi
peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan puberitas), tumor testis,
testis yang terletak horizontal, riwayat kriptokismus, dan pada keadaan dimana
sprematic cord intrascrotal yang panjang.
(24)

Dalam salah satu literatur disebutkan bahwa torsio testis lebih sering terjadi
pada musim dingin, terutama pada temperature dibawah 2
o
C. Selain karena
trauma, 50% kasus terjadi pada saat tidur.
(25)


2.3.3 Epidemiologi
Di surabaya, berdasarkan data rekam medik dari Intalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Umum (RSU) dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga selama 2 tahun, yaitu periode januari 1989 Desember 1990, telah
dirawat sebanyak 75 orang pasien yang terindikasi mengalami torsio testis. Usia
yang rentan mengalami torsio testis adalah 12 18 tahun.
(6)
Selain itu, tidak
jarang juga banyak terjadi pada janin yang berada dalam uterus atau bayi yang
baru lahir yang tidak terdiagnosis sehingga menyebabkan kehilangan testis baik
yang unilateral ataupun yang bilateral.
(4)



10

2.3.4 Patofisiologi
Faktor yang berpengaruh dalam hal kerusakan testis akibat torsio testis
adalah derajat perputaran dan lamanya waktu torsio testis. Derajat torsio sangat
bervariasi antara 180 sampai lebih dari 1440.
(14)
Menurut Mansbach et.al derajat
torsio rata-rata pasien yang membutuhkan tindakan orchiectomy adalah 540 dan
derajat rata-rata pasien yang testisnya masih dapat diselamatkan adalah kurang
dari 360. Golden period dari penanganan torsio testis adalah antara 4- 8 jam,
dalam waktu tersebut testis masih dapat diselamatkan jika terjadi penundaan
penanganan testi lebih dari waktu tersebut maka kemungkinan untuk dilakukan
orchiectomy sangat tinggi.
(26)
Sekitar 90 % testis dapat diselamatkan jika kita
melakukan detorsio < 6 jam setelah timbulnya gejala, menurun jadi 50% jika
dilakukan detorsio setelah 12 jam timbul gejala dan kurang dari 10% testis yang
dapat diselamatkan jika melakukan detorsio setelah 24 jam timbul gejala.
(14)

Patofisiologi utama dari torsio testis adalah terjadinya kerusakan iskemik-
reperfusi pada testis yang mengalami torsio testis, kerusakan tersebut dipicu oleh
reaksi radikal bebas.
(27)
Testis yang mengalami torsio dapat mengakibatkan
berbagai sel didalam testis seperti sel Sertoli, sel Leydig dan sel epitel germinal,
mengalami hipoksia dan anoksia, sehingga terjadi gangguan fungsi sampai
kematian sel tersebut.
(6)


2.3.5 Klasifikasi
Berdasarkan anatomi dan usia, torsio testis dibagi menjadi dua tipe :
ekstravaginal torsio dan intravaginal torsio.
(14)
Pada masa janin dan neonatus,
lapisan yang menempel pada muskulus dartos masih belum banyak jaringan
penyangganya sehingga testis, epididimis dan tunika vaginalis mudah sekali
bergerak dan memungkinkan untuk terpelintir pada sumbu funikulus spermatikus.
Terpelintirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.
(4)

Testis dapat berputar dalam kantong skrotum (torsio) akibat perkembangan
abnormal dari tunika vaginalis dan funikulum spermatikus dalam masa
perkembangan janin. Insersi abnormal yang tinggi dari tunika vaginalis pada
struktur funikulus akan mengakibatkan testis dapat bergerak seperti anak genta
didalam genta, sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis.
11

Testis yang demikian mudah memutir dan memutar funikulus spermatikus (torsio
funikulus spermatikus intravaginalis).
(17)








Gambar 2.4 : Klasifikasi tipe torsio testis A) Torsio intravaginal, B) Torsio
ekstravaginal, C) Torsio karena mesorkium yang panjang.
(17)

Torsio testis merupakan anomali yang dihasilkan dari perubahan dalam
penanaman tunika vaginalis atau disfungsi epididimis. Biasanya, testis disatukan
dengan tunika vaginalis, dan jika tunika yang ditanamkan terlalu tinggi, testis
dapat menghasilkan mobilitas yang berlebihan (genta lonceng testis). Mesorkium
adalah ligamentum yang menyatukan testis ke epidimis. Dalam kasus disjungsi
epididimis atau epididimis yang panjang, kondisi yang sangat sering terjadi di
kriptokismus, mesokium menjadi panjang dan dapat berkontribusi pada tersio
testis.
(22)
2.3.6 Manifestasi Klinis
Pada torsio testis, pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang
sifatnya mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu disebut
akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah
sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Gejala
lain yang juga dapat muncul adalah mual dan muntah, kadang-kadang disertai
demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas
dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-
epididimitis.
(28)

12

Membedakan torsio dari epididimitis mungkin agak sulit. Keduamya
menimbulkan nyeri bengkak dan demam. Gejala-gejal torsio biasanya timbul
lebih mendadak, sering pada waktu tidur atau sesudah melakukan latihan.
Epididimitis agak sering menimbulkan demam, piuria dan eritema skrotum.
(21)

2.3.7 Terapi
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus
dapat mengembalikan aliran darah. Detorsi manual adalah mengembalikan posisi
testis ke asalnya, yaitu dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah
torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke
arah lateral terlebih dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi
ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah
berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu
menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur
pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan.
(4)

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya
untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari
lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang
untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang
mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan.
(4)

Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada
arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang
mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis.
(4)

2.3.8 Komplikasi
Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat
daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas
terlihat setelah 2 jam dari torsi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara onset
gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual akan menurunkan
angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%. Putusnya suplai darah ke testis
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Atrofi testikular
dapat terjadi dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia. Insiden terjadinya atrofi
13

testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi klinis dari
torsio testis adalah kesuburan yang menurun dan hilangnya testikular apabila torsi
tersebut tidak diperbaiki dengan cukup cepat. Tingkat yang lebih ekstrim dari torsi
testis mempengaruhi tingkat iskemia testikular dan kemungkinan penyelamatan.

(29)

Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian
ini bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Analisis air mani abnormal dan
apoptosis testikular kontralateral juga merupakan sekuele yang diketahui
mengikuti ketegangan testis. Oleh karena itu, resiko subfertilitas harus
dibicarakan dengan pasien. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap
dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi
antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari.
Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya
testis, infeksi, infertilitas sekunder, deformitas kosmetik.
(30)


2.3.9 Hubungan Torsio Testis dengan Testis Kontralateral
Patofisiologi utama dari torsio testis adalah terjadinya proses iskemi yang
diikuti proses reperfusi jaringan. Proses iskemik maupun reperfusi jaringan dapat
memicu terjadinya perubahan morfologi dan biochemical, perubahan tesebut
dapat memucu terjadinya proses apoptosis testis, atropi, nekrosis, perubahan
produksi hormone, penurunan spermatogenesis, dan dapat menyababkan
subfertilitas bahkan infertilitas pada pria. Infrak pada testis mulai terjadi 2 jam
setelah testis mengalami iskemik dan mulai irreversible setelah 6 jam mengalami
iskemik serta setelah 24 jam keadaan infrak sudah komplit.
(14)

Unilateral torsio testis dapat menyebabkan kerusakan pada testis
kontralateral walaupun sampai sekarang mekanisme hal tersebut bisa terjadi
masih belum jelas. Hal tersebut bisa disebabkan oleh gangguan dari perfusi
jaringan, terjadi peningkatan dari ekspresi adhesi molekul, migrasi dari leukosit,
kerusakan pada epitel spermatogenik, respon autoimiun, kerusakan pada testis
blood-barrier. kerusakan pada kontralateral ini terjadi karena oleh karena proses
iskemik sekuder yang dipicu oleh reflex vasokonstriksi pada pembuluh darah
testis kontralateral akibat respon saraf simpatis.
(14)
Pada unilateral torsio testis
14

dapat menyababkan terjadinya pengurangan perfusi ke jaringan testis
kontralateralnya yang disebabkan oleh stimulus dari reflex aferen.
(31)

Penurunan blood flow dapat menyebabkan terjadinya hipoksia pada jaringan
sehingga terjadi peningkatan produksi lipid peroksida yang terdiri dari asam
laktat, hypoxanthine, dan asam thiobarbituric. Peningkatan blood flow setelah
terjadinya peningkatan produksi lipid peeroksida dapat memicu terjadinya proses
radikal bebas. Reperfusi setelah terjadinya iskemik dapat memicu kejadian stress
oksidatif, dimana terjadinya ketidak seimbangan antara ROS (Reactive Oxygen
Species) dan sistem pertahanan antioksidan yang terdiri dari superoxide dismutase
(SOD), catalase (CAT), dan glutathione peroxidase (GSH-Px). Walaupun
reperfusi sangat penting untuk menyelamatkan testis yang telah hipoksia namun
reperfusi juga dapat menyebabkan kerusakan setelah terjadinya iskemik pada
jaringan.
(14)

ROS (Reactive Oxygen Species) merupakan bagian dari radikal bebas yang
merupakan produk dari metebolisme sel normal, termasuk di dalam kelompok
radikal bebas seperti hydroxyl radical (OH
-
), superoxide anion (O
2
-
), dan peroxyl
radical (RO
2
) dan kelompok non-radikal seperti hydrogen peroxide (H
2
O
2
)
organic peroxide (ROOH) dan nitric oxide (NO), yang dapat menyebabkan
peroksidasi lipid dan oksidasi spesifik enzim.
(32)

Yildiz et al menyatakan setelah unilateral torsio testis terjadinya perubahan
yang signifikan pada enzim antioksidan, lipid peroxidan, dan histopatologi pada
testis kontralateral. Pada testis kontralateral terjadi penurunan aktifitas catalase
(CAT) dan glutathione peroxidase (GHS-Px) , glutathione (GSH), mean values of
seminiferous tubule diameter (MSTD) dan germinal cell layer thicknesses
(GCLT), serta paningkatan dari nitric oxide (NO). Pada histopatologi ditemukan
adanya degenarasi, deskuamasi dan disorganisasi dari epitel germinal, terjadi
edema, kongesti kapilar dan hemoragik pada jaringan intertisial testis kontralateral
serta berkurangnya diameter dari tubulus seminiferus.
(10)

Jumlah NO yang tinggi dapat menyebabkan terjdinya ganguan pada DNA
dan kematian pada sel. NO juga dapat meningkatkan produksi dari cyclic
guanosine monophosphate yang mana dapat menyebabkan ralaksasi dari otot
polos sehinggan terjadi peningkatan perfusi jaringan.
(10)
NO juga berperan untuk
15

meregulasi ekspresi dari cell adhesion molecules (CAMs) pada permukaan
endotel vascular yang merupakan modulator dari rekriutment leukosit.
(33)

Pada laki-laki dewasa jumlah makrofag pada jaringan intertisial testis
mencakup 25% dari jumlah semual jumlah intertisial sel (sel leydig). Marfologi
dari makrofag testis hampir sama dengan makrofag pada jaringan lain. Sitokin
yang dikeluarkan oleh makrofag sedikit berbeda dari makrofag pada jaringan lain,
makrofag testis telah mengurangi pengeluaran dari beberapa sitokin seperti IL-1
(interleukin) dan TNF (tumor necrosis factor). IL-1 dan TNF yang merupakan
sitokin proinflamatori. Makrofag memiliki peranan dalam proses proliferasi,
deferensiasi dan produksi hormon steroid pada sel leydig melalui pengerluaran
sitokin oleh makrofag. Makrofag mengeluarkan stimulator dan inhibitor dari
stroidogenesis. Sitokin proinflamtori, Nitric oxide dan prostaglandin dapat
menjadi penghambat fungsi sel leydig.
(15)




















16

2.4 Kerangka Teori
























Gambar 2.6 : Kerangka Teori




Torsio testis adalah terputarnya furnikulus spermatikus
yang menimbulkan kontriksi dari suplai darah. Jika
tidak segera ditangani dapat menyebabkan nekrosis
testis.
(21)

Penyebab terjadinya torsio testis adalah ketidak
normalan anatomi tesis, trauma pada testis, peningktan
volume testis (sering dihubungkan dengan puberitas),
tumor testis, testis yang terletak horizontal, riwayat
kriptokismus.
(23) (24)

Efek pada testis yang terkena torsio testis adalah
gangguan proses spermatogenesis, penurunan
kualitas sperma, hingga perubahan histopatologi
jaringan yang terdapat didalam testis khusunya
tubulus seminiferus dan jaringan interstisial.
(5)

Berbagai sel dalam testis seperti sel Sertoli, sel
Leydig dan sel epitel germinal, akan mengalami
hipoksia dan anoksia, sehingga terjadi gangguan
fungsi sampai kematian sel tersebut.
(6)

Efek pada testis kontralateral dapat ditemukan
adanya proses abnormalitas seperti terjadi atrofi
dari sel Leydig, terjadi perubahan fisiologi pada
sel Sertoli, penurunan jumlah sperma, terajadi
proses apoptosis yang cepat pada epitel
germinalnya.
(9)
Banyak teori yang menjelaskan
bahwa kerusakan kontralateral testis akibat
unilateral torsio testis dapat dipiju oleh berbagai
mekanisme yang diantranya adalah akibat dari
reaksi radikal bebas oksigen yang dilepas
setalah proses reperfusi
(10)
, dapat juga
diakibatkan oleh terajadinya peningkatan dari
perfusi darah ke jaringan
(11)
, selain itu dapat
juga dipicu oleh proses auto-imun.
(12)


17

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratorik dengan
pendekatan post test only control dan menggunakan teknik pengelompokan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 3 kelompok perlakuan.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Penentuan besar
sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Federer
(34)
:


(n-1) x (3-1) > 15
(n-1) x 2 > 15
n - 1 > 7.5
n > 8.5 = 9
Keterangan :
n = Besar sampel tiap kelompok
t = Banyaknya kelompok
Untuk mengantisipasi hilangnya unit eksperimen, dilakukan koreksi dengan
rumus
(35)
:
n = n/1-f
n= 9/1-0.1
n= 10
Keterangan :
n= besar sample setelah dikoreksi
n = besar sample berdasarkan estimasi sebelumnya
f = prediksi presentase drop out dimana nilai f antara 0.05-0.1
(n-1) x (t-1) > 15
18

Dengan demikian, jumlah yang dipakai adalah 10 ekor tikus jadi seluruh
subjek penelitian adalah 30 ekor tikus.
Penelitian menggunakan 30 ekor hewan coba tikus Ratus norvegicus strain
Wistar berjenis kelamin jantan dan berumur 3-4 bulan dengan berat 150-200 gram
yang terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama yang merupakan kelompok
kontrol (KO), terdiri dari 10 ekor tikus dan tidak dilakukan perlakuan berupa
torsio testis. Kelompok perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus Wistar jantan. Kelompok perlakuan
yang pertama dilakukan torsio testis selama 4 jam, kemudian direposisi kembali
dan langsung dilihat gambaran sel Leydignya (efek cepat). Kelompok perlakuan
yang kedua dilakukan torsio testis selama 4 jam, kemudian direposisi kembali dan
dilihat gambaran sel Leydignya setelah dibiarkan selama 30 hari (efek lambat).

Tabel 3.1 : Perlakuan Penelitian

Keterangan :
P1
1-10
: Kelompok kontrol yang tidak dilakuakn torsio
P2
1-10
: Kelompok perlakuan yang diinduksi dengan 360
0
torsio selama 4 jam
dan diamati setelah dilakukan detorsi
P3
1-10
: Kelompok perlakuan yang diinduksi dengan 360
0
torsio selama 4 jam
dan diamati setelah 30 hari dilakukan detorsi











Perlakuan Pengulangan

P1 P1
1
P1
2
P1
3
P1
4
P1
5
P1
6
P1
7
P1
8
P1
9
P1
10

P2 P2
1
P2
2
P2
3
P2
4
P2
5
P2
6
P2
7
P2
8
P2
9
P2
10

P3 P3
1
P3
2
P3
3
P3
4
P3
5
P3
6
P3
7
P3
8
P3
9
P3
10

19

3.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini adalah:



Gambar 3.1 : Kerangka konsep
3.3 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Variasi durasi waktu torsio testis
2. Variabel terikat : Gambaran jumlah sel Leydig testis kontralateral
tikus Rattus norvegicus
3. Variabel terkendali : Jenis kelamin, umur, berat badan, lingkungan,
makanan dan kesehatan tikus Rattus norvegicus

3.4 Defenisi Operasional variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variasi durasi waktu torsio testis
Variasi durasi waktu adalah jenis lamanya waktu setelah terjadi torsio testis,
yang dipilih yaitu efek cepat setelah ditorsio selama 4 jam dan efek lambat setelah
ditunggu selama 30 hari setelah torsio testis direposisi. Variabel diukur
menggunakan preparat testis dengan pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (H&E).
Hasil ukur berupa jumlah sel Leydig. Hasil ukur berdasarkan skala nominal.
2. Gangguan jumlah sel Leydig
Sel-sel interstisial Leydig merupakan sel yang memberikan gambaran
mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya berkelompok memadat
pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus.
Sel-sel tersebut besar dengan sel sitoplasma sering bervakuol pada sajian
mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butiran kromatin kasar dan anak
inti yang jelas.
(1)
Variabel dapat diukur dengan menggunakan mikroskop foto DP
12 dengan hasil ukuran berupa jumlah sel nominal.

Variabel durasi waktu
torsio testis
Gambaran jumlah sel Leydig
pada testis kontralateral
Variabel Dependen Variabel Independen
20

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Waktu yang dibutuhkan mulai dari persiapan proposal hingga
seminar hasil penelitian dimulai dari bulan Mei 2013 hingga Desember 2013.
Jadwal pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan hingga pelaksanaan
penelitian disajikan dalam lampiran 1.

3.6 Subjek Penelitian
Materi penelitian ini adalah tikus Rattus norvegicus strain Wistar berjenis
kelamin jantan dan berumur 3-4 bulan dengan berat 150-200 gram.

3.7 Alat daan Bahan Penelitian
3.7.1 Alat
1. Kandang hewan coba
2. Timbangan
3. Spuit
4. Alat bedah minor
5. Object glass
6. Cover glass
7. Alat pembuatan preparat histologi
8. Alat tulis
9. Kamera
10. Mikroskop foto DP12

3.7.2 Bahan
1. Tikus Rattus norvegicus jantan strain Wistar
2. Makanan tikus
3. Anestesi
4. Sejumlah bahan untuk pembuatan preparat histologi



21

3.8 Prosedur Kerja Penelitian
3.8.2 Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Coba
Tiga puluh ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang berumur 3-4
bulan dengan berat badan 150-200 gram dibiarkan selama seminggu untuk proses
aklimatisasi. Selama masa penelitian, hewan coba dikandangkan dalam wadah
yang diberi alas sekam dan deberikan pakan standar berupa pellets dan air ad
libitum.

3.8.3 Induksi Torsio Testis
Ketiga puluh hewan coba dirandomisasi menjadi 3 kelompok, masing-
masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus. Kelompok kontrol tidak dilakukan
perlakuan berupa torsio testis. Sementara kedua kelompok perlakuan di anaestesi
dengan cara memasukkan hewan coba ke wadah tertutup yang diberi nafas dan
telah dibasahi dengan kloroform. Setelah hewan coba teranastesi, dikeluarkan dari
wadah, kemudian skrotum diinsisi dan diberi perlakuan berupa torsio 360
o
ke arah
medial pada unilateral testis. Kemudian luka insisi dijahit dan torsio dibiarkan
selama 4 jam. Setelah 4 jam, skrotum diinsisi kembali kemudian dilakukan
reposisi 360
o
ke arah lateral. Pada 10 ekor tikus dari keempat kelompok perlakuan
dilakukan pengangkatan dan pembuatan preparat histologi sebelum diamati di
bawah mikroskop (efek cepat) pada testis kontralateralnya. Sedangkan 10 ekor
tikus lain pada tiap kelompok perlakuan dilakukan fiksasi dengan benang
absorbable, lalu luka insisi ditutup dan dibiarkan selama 30 hari. Setelah 30 hari,
dilakukan kembali insisi skrotal kemudian testis kontralateral diangkat, dilkukan
pembuatan preparat, kemudian diamati dibawah mikroskop (efek lambat).

3.8.4 Pembuatan Preparat dan Penilaian Gambaran Jumlah Sel Leydig
Kontralateral testis hewan coba yang telah diberikan perlakuan berupa torsio
testis diobservasi sesuai dengan waktu pengamatan baik efek cepat maupun
lambat. Kemudian testis melalui serangkaian tahapan pembuatan preparat yang
dilaukan dengan proses pewaranaan Haematoxylin dan Eosin (H&E). Dalam
pembuatan mikroteknik preparat histologi, langkah pertama yang harus dilakukan
ialah fiksasi. Pada tahap ini, testis yang telah dipotong seukuran 2 cm diletakkan
22

di kaca film, lalu direndam dalam larutan formalin selama 24 jam. Kemudian
dilanjutkan dengan langkah kedua yang dikenal dengan istilah dehidrasi. Pada
tahap ini, potongantestis direndam dalam larutan alkohol 80% selam 2 jam.
Selanjutnya direndam lagi dalam alkohol dengan konsentrasi 90%, 95%, 100%I
dan 100%II seacara berurutan masing-masing selama 2 jam. Kemudian dilakukan
tahapan ketiga yang disebut clearing, yaitu peendaman sebanyak 3 kali dalam
larutan xylol masing-masing selama 30 menit dalaam botol yang berbeda.
Selanjutnya dilakuan proses infiltrasi yang dikerjakan dalam inkubator dengan
suhu 56-58
o
C. Potong testis direndam dalam parafin sebanyak 3 kali masing-
masing selama 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan embedding dengan
mencelupkan potongan testis dalam parafin cair yang telah dituang dalam wadah
yang berbentuk kubus ukuran 3x3 cm yang terbuat dari karton jeruk. Selanjutnya
wadah tersebut dimasukkan ke dalam air, lalu dimasukkan kedalam lemari es,
dansetelah beberapa saat, parafin akan memadat dan testis berada dalam blok
parafin.
Testis dalam blok parafin ditempelkan pada lempeng mikrotom. Ketebalan
irisan yang diinginkan adalah 4-6 um. Irisan diambil dengan pinset dan
dimasukkan kedalam air hangat (38-40
o
C) untuk meluruskan kerutan halus yand
ada dan untuk membuka lipatan irisan yang mungkin terjadi pada preparat. Irisan
yang terentang sempurna diambil dengan gelas obyek. Potongan terpilih
dikeringkan dan diletakkan diatas hotplate (38-40
o
C) sampai preparat menjadi
kering.
Kemudian preparat tersebut diwarnai dengan hematoxylin dan Eosin (H&E)
yang terdiri dari beberapa rangkaian tahapan dengan menggunakan berbagai
larutan seperti xylol, alkohol, alkohol absolut, air mengalir, dan berakhir diberi
balsem Canada agar preparat merekat kuat pada gelas obyek dan cover (Lampiran
3). Lalu preparat diamati di bawah mikroskop foto DP 12 menggunakan skala 20
um dan 30 um dan selanjutnya di foto. Perhitungan dilakukan pada 1 penampang
potongan testis yang dibagi menjadi 4 bagian (kanan atas, kanan bawah, kiri atas,
kiri bawah). Setiap bagian diambil 3 tubulus untuk dihitung jumlah selnya dengan
pembesaran 400X.

23

3.8.5 Alur Penelitian
Alur penelitian disajikan dalam lampiran 2.

3.8.6 Pengumpulan Data
Setiap data yang diperoleh merupakan data primer dari hasil pengukuran
sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan.

3.8.7 Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan jumlah sel leydig akan
diuji dengan metode analisis ANOVA multifaktorial dan akan dilanjutkan dengan
metode Tukeys HSD test. Hasil pengolahan data akan ditampilkan dalam bentuk
gambar, garfik dan tabel.



















24

DAFTAR PUSTAKA

1. Agarwal, A and Said, T. (2005). Oxidative stress, DNA damage and apoptosis
in male infertility: a clinical approach, BJUI. pp. 503-7.
2. Pontoh, F, Hinawan, S, Marwanto, W, and Raharjo, J. (1990). Penilaian
histopatologik biopsi testis untuk prediksi nilai prognostik pada infertilitas.
Jakarta, Medika no.7 tahun XXVI.
3. Sikka, S. (1996). Oxidative stress and role of antioxidant in normal and
abnormal sperm function. Frountiers in Bioscience. pp. 78-86.
4. Purnomo, B.B. (2007). Dasar-dasar urologi. Edisi Kedua. Jakarta, CV
Sagung Seto.
5. Leeson, C.R, Leeson, T.S, and Paparo, A.A. (1996). Textbook of histology.
Jakarta, EGC.
6. Ongkorahardjo, E, Hardjowijoto, S, Soetojo, Sudiana, K, and Widodo, J.P.
(2008). Hubungan orkidektomi dan detorsi dengan respon imun testis
kontralateral pada torsio testis. jurnal urologi indonesia. pp. 1-6.
7. Vigueras, R.M, Reyes, G, Rojas-castaneda, J, Rojas, P, and Hernandez, R.
(2004). Testicular torsion and its effects on the spermatogenic cycle in the
contralateral testis of the rat. Laboratory Animals. pp. 313-8.
8. Krarup, T. (1978). The testes after torsion. Br J.Urol. pp. 43-6.
9. Visser, A.J, and Heyns, C.F. (2003). Testicular function after tersion of
spermatic cord. BJU Internasional. pp. 200-4.
10. Yildiz, H, Durmus, A.S, Simsek, H, and Yaman, M. (2011). Protective effect
of sildenafil citrate on contralateral testis injury after unilateral testicular
torsio/detorsion. CLINICS. 66(1). pp. 137-6.
11. Koc, A, Akaydin, Y, Narci, A, Duru, M, Gergerlioglu, H.S, and Sogut, S.
(2005). The protective role of erdosteine on testicular tissue after testicular
torsion and detorsion. Molecular and Cellular Biochemistry. pp. 193-8.


25

12. Lorenzini, F, Filho, R.T, Gomes, R.P.X, Andreda, A.J.M, Erdmann, T.R, and
Matias, J.E.F. (2012). Long-term effect of the testicular torsion on the
spermatogenesis of the colateral testis and the preventive valie of the twisted
testis orchiepidymectomy. Acta Cir Bras. 27(6). pp. 388-8.
13. Subowo. (1993). Imuno biologi. Bandung, Angkasa. pp. 17-20, 53-7.
14. Dokmeci, D. (2012). Oxidative stress and testicular torsion. Springer Science.
pp. 355-44.
15. Weinbauer, G.F, Luetjens, C.M, Simoni, M, Behre, H, and Neischaig, E (eds).
(2010). Andrology : male reproductive health and dysfunction. 3rd edition.
Berlin, Spinger.
16. Guyton, C, and Hall, J.E. (2007) Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta, EGC.
17. Price, S.A, and Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta, EGC.
18. Machluf, M, Atala, A (eds), and Lanza, R.P (eds). (2002). Methods of tissue
engineering. London, Academic Press.
19. Marks, D.B, Allan, D.M, and Colleen, M.S. (2000). Biokimia kedokteran
dasar. Jakarta, EGC.
20. O'Shanghnessy, P. (1992). Effects of FSH on Leydig cell morphology and
function in the hipogonadal mouse. J Endocrinol. pp. 135:517.
21. Eliastam, M, Sternbach, GL, and Bresler, M.J. (1998). Penuntun kedaruratan
medis. Jakarta, EGC.
22. Favorito, L.A, Andre, G.C, and Waldemar, S.C. (2004). Anatomic aspects of
epididymis and tunica vaginalis in patients with testicular tention.
International Brazil Jurnal Urology. 30. pp. 420-4.
23. Gibson, O. (1978). Torsion of the testis. Lanset. pp. 1149.
24. Ringdahl, E, and Teague, L. (2006). Testicular torsion. American Family
Physician J. 74. pp. 214-9.
25. Siroky, M.D. (2004). Torsion of the testis. Hanbook of Urology: Diagnosis
and Therapy. pp. 369-72.

26

26. Mansbach, J.M, Forbes, P, and Peters, C. (2005). Testicular torsion and risk
factors for orchiectomy. Arch Pediatr Adolesc Med. 159. pp. 1167-5.
27. Sahinkanat, T, Ozkan, K.U, Tolun, F.I, Ciralik, H, and Imrek, S.S. (2007). The
protective effect of ischemic preconditioning on rat testis. Reproductive
Biology and Endocrinology. 47(5).
28. Wilson, L.M, and Hillegas, K.B. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta, EGC.
29. Greenberg, M. (2005). Testicular torsion. In Greenbergs Text Atlas of
Emergency Medicine. Philadelphia, Lippicott Williams Willkins. pp. 329.
30. Graham, N.T. (2010). Testicular torsion. British Medical Journal (Overseas &
Retired Doctors). 341(7767). pp. 249.
31. Pampal, A, Ozen, I.O, Ekingen, G, Demirogullari, B, Helvacioglu, F, and
Take, G. (2010). The morphological evaluation of ipsilateral and
contralateral vasa deferentia in a rat model of unilateral spermatic cord
torsion. Pediatr Surg Int. pp. 287292.
32. Halliwell, B, and Whiteman, M. (2004). Measuring reactive species and
oxidative damage in vivo and in cell cultural : hoe should you do it and what
do the result mean?. Br J Pharmacol. 142. pp. 231-255.
33. Turner, T.T, and Jeffrey, J.L. (2008). Oxidative stress a common factor in
testicular dysfunction. Journal of Andrology. 5(29). pp. 488-498.
34. Supranto, J. (2000). Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta,
PT Rineka Cipta.
35. Usman, H, and Akbar, P.S. (2008). Metodologi penelitian sosial. 2nd edition.
Jakarta, Bumi Aksara.






27

Lampiran 1. Jadwal Rencana Kegiatan Penelitian


No Kegiatan
Bulan
4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Studi Kepustakaan

2. Pembuatan Proposal

3. Uji Pendahuluan

4. Seminar Proposal

5. Persiapan Penelitian

6. Penelitian

7. Pengolahan Data

8. Pembuatan Skripsi

9. Sidang Skripsi


















28

Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian































Pengadaan 30 ekor tikus putih strain Wistar jantan
berumur 3-4 bulan dengan berat badan 150-200 gram.
Aklimatisasi
Randomisasi
10 ekor tikus tidak
diberikan perlakuan
( kelompok kontrol (P1) )
20 ekor ditorsi selama 4 jam
( kelompok P2 dan P3 )
10 ekor masing-masing kelompok
langsung diamati setelah perlakuan
( efek cepat (P2) )
10 ekor masing-masing kelompok
diamati 30 hari setelah perlakuan
( efek lambat (P3) )
Pembuatan preparat
Pengamatan sel leydig di
bawah mikroskop
Pencatatan hasil dan
analisa
29

Lampiran 3. Pembuatan Mikroteknik Preparat Histopatologi
I. Fiksasi
Formalin 24 jam

II. Dehidrasi
Alkohol 80% 2 jam
Alkohol 90% 2 jam
Alkohol 95% 2 jam
Absolut 100% I 2 jam
Absolut 100% II 2 jam

III. Clearing
Xylol I 30 menit
Xylol II 30 menit
Xylol III 30 menit

IV. Infiltrasi
Parafin I 30 menit
Parafin II 30 menit
Parafin III 30 menit

V. Embedding

Dimasukkan dalam air

Dimasukkan dalam lemari es

Lakukan pemotongan

Dilakukan pewarnaan








30

Lamiran 4. Proses Pewarnaan Haemotoxylin dan Eosin
Xylol I 2 menit
Xylol II 2 menit
Alkohol Absolut I 2 menit
Alkohol Absolut II 2 menit
Alkohol 96% I 2 menit
Alkohol 96% II 2 menit
Alkohol 90% 2 menit
Air Mengalir sampai bersih
Haematoxylin 5 menit
Air Mengalir sampai bersih
Acid Alkohol 1 x celup
Air 1 x celup
Eosin 5 menit
Alkohol 96% I 2 x celup
Alkohol 96% II 2 x celup
Absolut I 1 menit
Absolut II 1 menit
Xylon I 2 menit
Xylon II 2 menit
Balsem Canada tutup dengan cover glass

Anda mungkin juga menyukai