Anda di halaman 1dari 32

DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OUTSOURCING

BAGI PEKERJA SEBAGAI PROSES PEMBANGUNAN DI


INDONESIA
MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Ganjil Mata Kuliah


Teori-teori Pembangunan
Dosen Pengampu : Dr. Abdullah Said, M.SI

Oleh:
Wahyu Riyani
135030101111044

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

KATA PENGANTAR
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu ujian tengah
semester ganjil mata kuliah teori-teori pembangunan.
Dalam makalah ini diuraikan tentang DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
OUTSOURCING

BAGI

PEKERJA SEBAGAI

PROSES

PEMBANGUNAN

DI

INDONESIA, yang menjadi suatu permasalahan bagi pekerja/buruh yang mengalami


diskriminasi pada perusahaan dimana tempat mereka bekerja.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta
hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
rencana dan tepat pada waktunya tanpa halangan apapun. Dan tidak lupa penulis ingin
berterima kasih kepada Bapak Dr. Abdullah Said, M.SI selaku dosen mata kuliah Teoriteori Pembangunan yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan agar karya ini dapat tersusun dengan rapi. Namun, sebagai manusia biasa
tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan bagi dari segi teknik penulisan maupun tata
bahasa. Namun, demikian penulis sudah berusaha semaksimal mungkin agar karya ilmiah
ini dapat tersusun dengan baik. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang telah membaca makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan masyarakat pada umumnya.

Malang, 02 November 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan Makalah.................................................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................................. 3
A. Pengertian Dampak............................................................................................ 3
B. Implementasi Kebijakan ................................................................................... 4
C. Outsourcing ..........................................................................................................8
1. Definisi Outsourcing ........................................................................................8
2. Dasar Hukum Outsourcing ............................................................................ 8
3. Syarat-syarat Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain ............... 9
D. Pembangunan.................................................................................................... 11
1. Pengertian dan Pembangunan ................................................................... 11
2. Teori-teori Pembangunan ............................................................................ 12
3. Pendekatan dan Indikator Pembangunan ................................................. 15
4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan ................................ 16
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 21
A. Dampak Kebijakan Outsourcing bagi Pekerja di Indonesia ....................... 21
B. Kelebihan dan Kekurangan Implementasi Kebijakan
Outsourcing di Indonesia................................................................................. 22
C. Hubungan antara Kebijakan Outsourcing dengan Proses Pembangunan
di Indonesia ...................................................................................................... 24
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 27
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 27
B. Saran ................................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 29

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa
timbulnya dampak persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini. Persaingan
bisnis global yang semakin ketat ini, menentukan ketangguhan sebuah perusahaan dalam
melaksanakan efisiensi agar dapat bersaing dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Perusahaan yang dapat bertahan dan berkembang di era globalisasi adalah perusahaan yang
menerapkan dua hal, yaitu : cost effective management dan mendayagunakan teknologi
informasi.
Untuk meningkatkan daya saingnya, perusahaan-perusahaan berusaha mencari strategi
baru agar apa yang dilakukannya efektif dan efisien. Dengan melakukan efisiensi tanpa
mengurangi kualitas, perusahaan akan mampu meberikan nilai pelanggan (cutomer value)
yang lebih baik daripada yang diberikan oleh pesaingnya, sehingga dapat memberikan
kepuasan pelanggan dan mampu meningkatkan kesetiaan pelanggan.
Dalam mengembangkan usahanya, perusahaan memerlukan penambahan kapasitas
produksi, diantaranya melalui penambahan fasilitas produksi dan atau tenaga kerja. Untuk
melakukan penambahan tenaga kerja tersebut, diperlukan perencanaan dan analisis yang
tepat, karena akan berdampak terhadap adanya investasi atas bertambahnya biaya produksi
dan beban operasional. Kebijakan penambahan tenaga kerja akan dihadapkan dengan
masalah rekruitmen, pelatihan, jaminan sosial, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kesehatan, tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan pemutusan hubungan kerja.
Seiring dengan perkembangan masalah penyediaan tenaga kerja tersebut, sampai
sekarang banyak perusahaan beralih menggunakan metode alternatif dalam perkrutan
tenaga kerja. Dari yang menggunakan sistem perekrutan yang dikelola perusahaan sendiri
(insourcing), kemudian berubah dengan strategi mengalihkan salah satu fungsi
manajemennya dalam penyediaan tenaga kerja kepada tim profesional di luar perusahaan
(eksternal). Sehingga pemilik perusahaan yang tidak mempunyai banyak waktu untuk
kegiatan pengembangan manajemen SDM perusahaan (khususnya perekrutan tenaga kerja)
dapat lebih memfokuskan diri pada kompetensi intinya, yaitu perluasan jaringan bisnis atau
ide bisnisnya.

Kebijakan perusahaan model tersebut, dikenal dengan nama outsourcing. Kebijakan


outsourcing di Indonesia didasari dengan adanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, yang pada pasal 64 menyebutkan bahwa outsourcing adalah suatu
perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan
tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pada prakteknya
outsourcing dapat diartikan juga sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi perusahaan
dengan memanfaatkan sumber daya dari luar menggantikan sumber daya dari dalam
perusahaan untuk menyelesaikan tugas tertentu yang selama ini dianggap kurang efisien.
Namun, meski outsourcing tersebut dibolehkan, UU Ketenagakerjaan mengaturnya
secara terbatas. Misalnya, pelaksanaan outsourcing harus dituangkan dalam sebuah
perjanjian tertulis dan harus didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja. Hal ini diatur dalam Pasal
64 UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 101 Tahun 2004
(Kepmen 101/2004). Berdasarkan pemaparan di atas, dalam menulis makalah ini penulis
tertarik untuk menyajikan dan membahas tentang Dampak Implementasi Kebijakan
Outsourcing bagi Pekerja sebagai Proses Pembangunan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan tersebut di atas, maka kami dapat merumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana dampak implementasi kebijakan outsourcing bagi pekerja di
Indonesia?
2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari pengimplementasian kebijakan
outsourcing di Indonesia?
3. Bagaimana

hubungan

antara

kebijakan

outsourcing

dengan

proses

pembangunan di Indonesia?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui, memahami dan
menjelaskan dampak dari Implementasi kebijakan outsourcing bagi pekerja sebagai proses
pembangunan di Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Dampak
Dampak menurut Dunn (1984, h. 280) adalah perubahan kondisi fisik maupun
sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Sedangkan menurut Peter H. Rossi dkk dalam
Evaluation a Systemic Approach, (1982), membedakan dua jenis dampak yaitu:
a. Dampak (impact)
Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, dimana
akibat tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh intervensi program, dan akibat
tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran.
b. Dampak/pengaruh (effects)
Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik
akibat tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh intervensi ataupun tidak, dan akibat
tersebut tidak mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran. (Peter
H. Rossi dkk, 1982, h. 106).
Pengamatan terhadap dampak dari suatu kebijakan selain harus dilakukan dengan
kerangka berpikir kausalitas yang kritis dan wawasan yang komprehensif juga harus
dilakukan secara cermat. Ketiga keharusan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sekedar untuk menuntun kecermatan evaluasi, dapat dipilihkan adanya empat macam
dimensi dampak yang penting untuk diperhatikan, yaitu:
a.

Waktu
Suatu kebijakan dapat menimbulkan dampak segera maupun jangka panjang,
seorang analis kebijakan atau evaluator harus menyadari hal ini, terutama untuk
analisis yang dilakukan setelah kebijakan berjalan. Studi evaluai sebaiknya tidak
dilakukan lama setelah dampak terjadi, karena ada kemungkinan dampak yang dikira
akan muncul pada jangka panjang ternyata muncul segera setelah program berakhir.
Jika penelitian terlambat dilakukan, maka elevator akan kesulitan mencari data dan
meneliti pengaruh program yang diamatinya.

b.

Selisih antara dampak aktual dan yang diharapkan elevator tidak saja dianjurkan untuk
melihat efektifitas program, melainkan juga melihat berbagai dampak yang tidak
6

diinginkan, dampak yang hanya sebagian saja diinginkan, dan dampak yang sama
sekali bertentangan dengan dampak yang dinginkan.
c.

Tingkat agregasi dampak


Dampak juga bersifat agregatif, dalam arti yang dirasakan secara individual mungkin
akan merembes pada perubahan masyarakat disuatu tempat.

d.

Jenis dampak
Dampak dapat menyentuh aspek ekonomi maupun politik dari suatu unit sosial. Suatu
kebijakan tidak hanya mensejahterakan sekelompok mayoritas masyarakat dan
menyengsarakan kelompok minoritas, melainkan dapat berpengaruh terhadap sistem
nilai masyarakat yang pada akhirnya, meskipun tidak radikal mengubah proses politik
secara keseluruhan (Wibawa, 1994, h. 38-39).

B. Implementasi Kebijakan
Dalam hal ini di kemukakan mengenai model pelakasanaan kebijakan yang
dikemukakan oleh George C. Edwards. Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan
adalah krusial bagi public adminstration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah
tahap pembuatan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan tersebut akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik. Sementara itu, suatu kebijakan
ynag cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang
diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai menggunakan dua buah
pertanyaan mengenai Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu
implementasi kebijakan berhasil dan hambatan apa yang mengakibatkan suatu implemtasi
gagal. Dalam menjawab kedua pertanyaan itu, Edwards menggunakan empat faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut adalah
komunikasi, sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan atau tingkah laku dan struktur
birokrasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk
membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah
6

dengan cara mereflesikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut
sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu meyederhanakan dan
untuk meyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam
komponen-komponen utama. Implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses
yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak
ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterikatan
antara satu variabel dengan variabel lainnya dan bagaimana variabel-variabel ini
mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Edwards III sebagai berikut :
1. Komunikasi
Dalam variabel komunikasi ini, secara umum Edwards membahas tiga hal penting
dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi, dan kejelasan.
Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang
harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintahperintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat, dalam proses transmisi akan
banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi pelaksanaan
dan akan menghalangi pelaksanaan kebijakan. Aspek lain dari komunikasi
menyangkut

petunjuk-petunjuk

pelaksanaan

adalah

persoalan

konsistensi.

Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan menghalangi


staf adminstrasi dan menghambat kemampuan untuk melaksanakan kebijakankebijakan secara efektif.
2. Sumber-sumber
Sumber-sumber disini dimaksudkan sebagai sumber untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan sehingga implemenatsi kebijakan berjalan secara efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi staf yang memadai disertai dengan
keahliannya, informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
melaksanakan

pelayanan-peayanan

publik.

Tanpa

adanya

sumber-sumber,

kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan di atas kertas hanya akan jadi rencana
saja dan tidak pernah ada realisasinya.

3. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif.
Mengingat pentingnya kecendrungan-kecendrungan bagi implementasi kebijakan
yang efektif, maka akan timbul dampak dari kecenderungan-kecenderungan
tersebut dalam implementasi kebijakan. Menurut Edwards dampak dari
kecenderungan-kecenderungan yaitu terdapat kebijakan yang dilaksanakan secara
efektif karena mendapat dukungan dari pelaksana kebijakan, namun kebijakankebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandanganpandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau
organisasi dari para pelaksana. Kecenderungan-kecenderungan yang menghalangi
implementasi biasanya para pelaksana tidak sepakat dengan substansi suatu
kebijakan. Implementasi tersebut di hambat oleh keadaan-keadaan yang sangat
kompleks.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana kebijakan. Pada
dasarnya, para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang dilakukan dan
mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, tetapi
dalam pelaksanaannya masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dalam
menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari
birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut
Standard Operating System (SOP) dan fargmentasi.
Struktur organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh
penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu
organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (SOP). Sedangkan sifat kedua
dari struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan yaitu fragmentasi
organisasi. Fragmentasi organisasi ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
implementasi kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit
dari banyak lembaga birokrasi.

Gambar Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi

Komunikasi
Sumber-sumber
Kecenderungan-kecenderungan
Struktur Birokrasi

Implementasi

Gambar diatas menjelaskan adanya interaksi mengenai beberapa hubungan dari


faktor-faktor yang akan menjelaskan peranan masing-masing dalam proses implementasi.
Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap faktor-faktor komunikasi, sumber-sumber,
kecendrungan-kecendrungan dan struktur birokrasi pada pelaksanaan kebijakan. Akan
tetapi, disamping itu secara langsung dapat mempengaruhi implementasi. Jika dilihat dari
gambar diatas, komunikasi-komunikasi mempengaruhi sumber-sumber, kecendrungankecendrungan, dan struktur-struktur birokrasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
implementasi.
Menurut literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu
proses yang berkesinambunagan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui
peningkatan produktifitas sumberdaya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat
ditelussuri setidaknya sejak abad ke-18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan
dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (devision of labor).
Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang ada pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala ekonomi.
Setelah Adam Smith muncul pemikiran pemikiran yang berusaha mengkaji batas batas
pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).
Salah satu metode yang umun digunakan dalam menilai pengaruh dari
pembangunan terhadap kesejahtraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi
pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size
distribisiont of income) dapat di ukur dengan menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini.
Selain ditribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat di ukur dengan
melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara atau wilayah.
C. Outsourcing
1. Definisi Outsourcing

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (alih daya) diartikan sebagai


contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary,
sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut Contract to enter
into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to
draw together, bring about or enter into an agreement. (Websters English
Dictionary). Mengandung pengertian kegiatan menerima perjanjian atau membuat
perjanjian. Pada masa lalu kegiatan perjanjian membuat rancangan bersama,
menghasilkan sesuatu yang menjadi dasar persetujuan (dikutip oleh Nurcahyo: 2006).
Pengertian outsourcing secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver pada
bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing : Decisions and
Initiatives, dijabarkan sebagai berikut: Strategic use of outside parties to perform
activities, traditionally handled by internal staff and respurces. Yang mengandung
pengertian bahwa outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa
aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside
provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama (Nurcahyo :
2006).
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing dari Indonesia juga memberikan
definisi mengenai outsourcing, antara lain, Suwondo (2003), menyebutkan bahwa
outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian
operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan
jasa outsourcing). Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat
persamaan dalam memandang outsourcing yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan
perusahaan pada pihak lain.
2. Dasar Hukum Outsorcing
Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, dan pengaturan hukum
outsourcing di Indonesia diatur dalam:
a. Undang-undang

Nomor

13

Tahun

2003

tanggal

25

Maret

tentang

Ketenagakerjaan
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
Kep-100/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:


Kep-101/Men/VI/2004 tanggal 21 juni 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
Kep-220/Men/X/2004

tanggal

19

Oktober

2004

tentang

Syarat-syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain


Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan
bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius
dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut
dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
3. Syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain
Syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain terdapat dalam Pasal
65 dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
1)

Ayat 1: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.


2)

Ayat 2: Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam

ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


a)

dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

b)

dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c)

merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

d)

tidak menghambat proses produksi secara langsung.

3)

Ayat 3 : Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan

hukum
4) Ayat 4 : Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4).
6

5)

Ayat 5 : Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih

lanjut dalam keputusan menteri.


6) Ayat 6 : Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya.
7)

Ayat 7 : Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat

didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
8) Ayat 8 : Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai
pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa
perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain:
a.

Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja.

b.

Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak.

c.

Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang


timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

d.

Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan


penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

D. Pembangunan
1. Pengertian Pembangunan

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk


diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat
mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang
pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim,
Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme
bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial, hingga
pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di
dalamnya.
Berikut pengertian pembangunan menurut para ahli, yaitu:
a) Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi
untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga
negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi
(Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
b) Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih
sederhana, yaitu sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik
melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
c) Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai Suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
d) Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh
system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan
dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994).
e) Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi,
sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan
untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
f) Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula
diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja
melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi
dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau
pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga
kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar.

g) Berger (1987), memandang modernisasi sebagai suatu rangkaian fenomena


historis yang jauh lebih spesifik, yang diasosiasikan dengan tumbuhnya
masyarakat-masyarakat industrial.
h) Rogers dan Shoemaker (1971), mendefinisikan pembangunan sebagai suatu
jenis perubahan sosial, dimana ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem
sosial untuk menghasilkan pendapatan per kapita dan tingkat kehidupan yang
lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial
yang lebih baik. Pembangunan adalah modernisasi pada tingkat sistem sosial.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah
sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan
terencana dan perubahan yang direncanakan oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh
pemerintah bersama masyarakat sebagai cita-cita nasional suatu Negara. Sedangkan
perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak
dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan
adalah perubahan menuju pola-pola masyarakat yang lebih baik meliputi nilai-nilai
kemanusiaan dimana ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk
menghasilkan pendapatan per kapita dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi
melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik
yang

diasosiasikan

dengan

tumbuhnya

masyarakat-masyarakat

industrial.

Pembangunan Nasional haruslah diikuti oleh semua aspek dalam kehidupan, baik
dalam bidang sosial, bidang ekonomi, bidang politik, pertahanan dan keamanan
nasional serta diikuti oleh kesiapan semua daerah dalam suatu Negara.
2. Teori-teori Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma
besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995
dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai
individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup
teori-teori

keterbelakangan

(under-development)

ketergantungan

(dependent

development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klasifikasi

Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klasifikasi


teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan
Sesuai

perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi,

teori-teori

pembangunan dikelompokkan atas tiga, yaitu; kelompok Teori Modernisasi,


kelompok Teori Ketergantungan, dan kelompok Teori Pasca-Ketergantungan.
Dalam Teori Modernisasi, teori Harrod-Domar melihat masalah pembangunan
pada dasarnya adalah masalah kekurangan modal. Berbeda dengan teori Rostow,
yang melihat pembangunan sebagai proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus,
yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju. Rostow membagi proses
pembangunan menjadi lima tahap, yaitu;
a.) Masyarakat tradisional: Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum
banyak dikuasai. Masyarakat masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan
tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demkian tunduk
kepada alam dan belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat
terbatas. Masyarakat kini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan
berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak ada
investasi.
b.) Prakondisi untuk lepas landas: Masyarakat tradisional yang terus bergerak
secara evolusi. Keadaan ini terjadi karena adanya faktor eksternal (lingkungan
luar) karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk
mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar ini menggoncangkan
masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.
c.) Lepas landas: Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat
dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih. Demikian juga
industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Sektor modern
dari perekonomian dengan demikian jadi berkembang.
d.) Bergerak ke kedewasaan: Terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke
depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut antara 10% sampai 20%
dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi
persoalan pertambahan penduduk.

e.) Zaman konsumsi massal yang tinggi: pendapatan masyarakat mengalami


kenaikan, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup,
tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri juga
berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan
lama. Pada periode ini, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi
menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus
ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan
sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini, pembangunan sudah
merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang
kemajuan secara terus menerus. Seperti halnya teori-teori modernisasilainnya,
didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern.

Teori Modernisasi mendapat kritikan dari Teori Ketergantungan. Andre


Gunder Frank melihat hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat
negatif bagi negara satelit. Berbeda dengan pandangan Dos Santos, yang
melihat ketergantungan negara satelit hanya merupakan bayangan dari negara
metropolis.

Artinya,

perkembangan

negara

perkembangan
metropolis

negara

yang

satelit

menjadi

tergantung

induknya.

dari

Demikian

sebaliknya, krisis negara metropolis, negara satelitnya pun kejangkitan krisis.


Adapun bentuk ketergantungan terdiri atas tiga; ketergantungan kolonial,
ketergantungan finasial-industrial, dan ketergantungan teknologis-industrial.
Selanjutnya, Teori ketergantungan mendapat kritik, misalnya dari Teori
Artikulasi dan Teori Sistem Dunia. Kedua teori ini merupakan dua teori baru
dalam kelompok teori-teori pembangunan, khususnya dalam kelompok Teori
Pasca-Ketergantungan. Teori Artikulasi menekankan pada konsep formasi sosial
yang dikaitkan dengan konsep cara produksi. Adapun Teori Sistem Dunia
melihat bahwa dinamika perkembangan dari suatu negara sangat ditentukan
oleh sistem dunia.
Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo memperkenalkan aliran teori
ekonomi klasik, kemudian berkembang menjadi pertumbuhan ekonomi modern
dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi dua, yaitu

menekankan pentingnya akumulasi modal (Physical capital formation) dan


meningkatkan kualistas sumberdaya manusia (human capital). Setelah itu
muncul perkembangan model yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan
neoklasik

mulai

memasukkan

unsur

teknologi

yang

diyakini

akan

mempengaruhi pertumbuhan pemberdayaan masyarakat dalam negara ataupun


wilayah (Solow, 1957).
Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain
diluar modal dan tenaga kerja yang mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia
berpengaruh yang besar dalam meningkatkan produktivitas. Menurut Becker
(1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat mendorong melalui
pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan derajat kesehatan. Disisi lain
berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap
paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka
berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai pradigma pembanguna
sosial yang bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih
berkeadialaan, serta memberi angin segar dalam perubahan sosial yang lebih
dinamis dan elegan.
3. Pendekatan dan Indikator Pembangunan
Terdapat berbagai pendekatan dan upaya untuk mengukur hasil
pembangunan. Salah satu yang paling luas digunakan adalah pendekatan
pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan PNB atau PDB sebagai kriteria
ukuran keberhasilan pembangunan. Namun, muncul pendekatan pemerataan
sebagai reaksi terhadap pendekatan pertumbuhan ekonomi, karena pendapatan
tidak merata pada seluruh penduduk. Secara sederhana pemerataan diukur
dengan berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok bawah,
berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok menengah, dan
berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 20% kelompok atas. Indeks
Gini merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk mengukur
ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat.
Terakhir, pendekatan pembangunan sumber daya manusia adalah suatu
model pembangunan yang mencoba meletakkan diri manusia sebagai unsur
6

mutlak dalam proses pembangunan. Tujuan utama pembangunan manusia


adalah memperluas

pilihan-pilihan dan membuat

pembangunan

lebih

demokratis dan partisipatoris. Salah satu indikator yang digunakan adalah


Indeks Pembangunan Manusia. Indeks ini menggabungkan pendapatan nasional
dan dua indikator sosial, yakni melek huruf dan harapan hidup. Jadi bedanya
dengan indeks mutu manusia adalah dimasukkannya pendapatan nasional.
Contoh pembangunan yang sangat diperlukan dalam pembangunan di
indonesia adalah salah satu contohnya pembangunan masyarakat. Pembangunan
masyarakat adalah perubahan secara berencana dan dilakukan secara berencana
pula dari keadaan yang kurang baik, menuju pada keadaan yang lebih baik.
Pembangunan masyarakat ini, meliputi dua dimensi utama, yakni dimensi
struktural vertikal, dan dimensi horizontal. Model pembangunan ini
bertujuan untuk membatasi kesenjangan dalam masyarakat, agar lebih
memungkinkan

terjadinya

proses

partisipasi

(empowerment).

Hal

ini

diharapkan terjadi agar tercipta peluang kepada anggota masyarakat untuk


mengaktualisasikan potensi, prakarsa maupun kreativitasnya untuk memperkuat
solidaritas dan persatuan nasional. Ciri-ciri model pembangunan, antara lain;
bertolak dari konsep komunitas; menganut prinsip distribusi kekuasaan yang
merata; mengutamakan distribusi pelayanan yang merata kepada segenap
anggota komunitas; pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan berdasarkan
pada pendekatan program; peranan pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan, lebih berperan sebagai fasilitator; penekanan kegiatan pada
aspek dapat lebih untuk memandirikan masyarakat (mengutamakan aspek
pendidikan dalam arti luas); program kegiatannya

berkesinambungan

(berkelanjutan) antara satu periode ke periode berikutnya.


4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indikator dan variabel pembangunan bisa berbeda untuk
setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan
pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik
masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang
rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, indikator pembangunan akan bergeser kepada faktor-faktor sekunder
dan tersier (Tikson, 2005).
6

Sejumlah indikator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembagalembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB),
struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat
pula dua indikator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial
ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau
PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan
ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indikator tersebut:
a.) Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB
merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan
untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makro ekonomi,
indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur,
sehingga

dapat

menggambarkan

kesejahteraan

dan

kemakmuran

masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator


makro ekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa
kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah
dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah
ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara
otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional
(pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap
penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional.
Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan
kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
b.) Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita
akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan
kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan
per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap
pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri
dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barangbarang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan

perluasan tenaga kerja. Di lain pihak, kontribusi sektor pertanian terhadap


pendapatan nasional akan semakin menurun.
c.) Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk
yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan.
Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di
wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi
di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di
wilayah urban berbanding lurus dengan proporsi industrialisasi. Ini berarti
bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya
proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagian besar penduduk
tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang
berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan
fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indikator
pembangunan.
d.) Angka Tabungan
Perkembangan

sektor

manufaktur/industri

selama

tahap

industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital


merupakan faktor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah
masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada
awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam
masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat
dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
e.) Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk
mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat
indikator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang
kesejahteraan

masyarakat

dalam

mengukur

keberhasilan

ekonomi.

Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi


tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung
berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun,
6

(2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini,
angka

rata-rata

harapan

hidup

dan

kematian

bayi

akan

dapat

menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan
keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga.
Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan
jumlah

orang

yang

memperoleh

akses

pendidikan

sebagai

hasil

pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat,


karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status
pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap
sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil
dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran
kuantitas manusia.
f.) Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat
indikator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa
indikator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini
adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut
UNDP, pembangunan

hendaknya

ditujukan

kepada

pengembangan

sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan


sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk mengembangkan pilihanpilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi
bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh
terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia
secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai faktor penting dalam
kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi
peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga
komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur
panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan
peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini
dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan
hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP,
dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing
6

Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan


kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge,
attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga
dan lingkungannya.
Dalam penangannya tentu tidak berdiri sendiri melainkan dikolaborasikan dengan
sistem lain diantaranya dengan peningkatan pendapatan (ekonomi), memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup, dengan peningkatan derajat kesehatan, serta membuka diri
dengan sistem kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dikarenakan ketiga aspek
tersebut di atas, memiliki interrelasi dan interdependensi, maka dalam perkembangannya
harus seiring dan sejalan. Agar kondisi tersebut dapat dicapai maka perlu suatu kreativitas
(melalui nalar, wawasan, pengetahuan, nurani, keyakinan-keimanan) sehingga melahirkan
budaya baru dalam masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai dan falsapah kehidupan.
Oleh karena itu dalam implementasi (pelaksanaan) pembangunan akan banyak
dipengaruhi oleh local community and environment, dalam arti pola dan bentuknya akan
tergantung kepada masyarakat dan lingkungan lokal.

BAB III
PEMBAHASAN
A.

Dampak Kebijakan Outsourcing bagi Pekerja di Indonesia


Bagi buruh sendiri, realita praktek Outsourcing saat ini meluas dengan banyaknya

praktek outsourcing manusia, yaitu penyaluran tenaga kerja dari perusahaan penyalur
kepada perusahaan pengguna untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam model
kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan kerja,
berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya.
Buruh yang bekerja dalam sistem kerja outsourcing dipaksa bekerja dalam kondisi
jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang dengan beban kerja karena upahnya
dipotong oleh perusahaan pengerah tenaga kerja, diskriminasi hak dibanding pekerja
dengan status kontrak dan tetap (misalnya, buruh outsourcing tidak mendapat jatah makan,
transport tidak ada, perhitungan lembur yang tidak sesuai UU, dll), serta tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh karena masa kontrak yang relatif
singkat serta tidak terima oleh organisasi buruh yang ada dengan alasan bukan merupakan
karyawan perusahaan dimana organisasi itu berada tapi merupakan karyawan perusahaan
pengerah tenaga kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada
pemberhentian secara langsung oleh managemen perusahaan outsourcing dan digantikan
oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai "tentara-tentara" cadangan yang siap
menggantikan kapan saja.
Sistem outsourcing mengakibatkan buruh benar-benar berada pada titik kulminasi,
tidak mampu berbuat apapun demikian juga untuk membela hak-haknya. Dalam sistem
outsourcing, buruh outsourcing sangat rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran oleh
pemilik modal atau kapitalis bahkan oleh sesama buruh sendiri yang berstatus kontrak dan
tetap. Dengan sistem tersebut, di satu sisi tenaga kerja (buruh) terpaksa harus tunduk
dengan perusahaan penyalur, disisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia
bekerja. Kesepakatan mengenai upah pun ditentukan oleh perusahaan penyalur, bukan
perusahaan pengguna jasa tenaga kerja. Oleh sebab itu, buruh tidak dapat menuntut pada
perusahaan tempat dia bekerja. Sementara itu, di perusahaan pengguna, buruh dipaksa
untuk mengikuti ketentuan yang terdapat di perusahaan tersebut, seperti ketentuan jam
kerja, target produksi, peraturan kerja dan lain-lain. Sistem outsourcing menghasilkan
hubungan sebab akibat antara pekerja dan perusahaan tempat ia bekerja tidak mempunyai
hubungan kerja secara langsung, hal ini dapat dilihat dari para pihak dalam perjanjian kerja
6

pada sistem outsourcing adalah buruh dan perusahaan penyalur (kebanyakan tidak ada
perjanjian kerja), bukan dengan perusahaan pengguna. Seandainya perusahaan tersebut
menghasilkan keuntungan besar, maka buruh outsourcing tersebut tidak akan mendapatkan
bagian atas keuntungan perusahaan tersebut, sedangkan di sisi lain, tenaga, keringat
serta waktunya telah dihisap oleh perusahaan pengguna dan perusahaan penyalur tersebut.
Bahkan juga tidak sedikit buruh outsourcing yang mendapatkan THR tidak sebagaimana
mestinya karena jatah THR dari perusahaan pengguna dipotong atau bahkan tidak
diberikan oleh perusahaan penyalur tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya sistem outsourcing akan berdampak pada pelanggaran terhadap Konstitusi
Negara Republik Indonesia khususnya pasal 28D ayat (2), yang menyatakan: "Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja." Semakin menjamurnya praktek sistem kerja outsourcing menunjukkan
bahwa telah munculnya SISTEM PERBUDAKAN JAMAN MODERN yang habis
menyerap tenaga buruh namun tidak memberikan imbalan yang setimpal.
B.

Kelebihan dan Kekurangan implementasi kebijakan Outsourcing di Indonesia


Sehubungan dengan kebijakan outsourcing pastinya ada kelebihan dan kekurangan

dalam pelaksanaannya. Kelebihan tersebut merupakan dampak positif bagi pekerja maupun
perusahaan. Begitu pula sebaliknya, kelemahan merupakan dampak negatif. Berikut uraian
dari kelebihan dan kekurangan diterapkannya kebijakan outsourcing baik dilihat dari
pekerja/buruh dan perusahaan yang menyelenggarakannya.
1.

Kelebihan Menjadi Pekerja Outsourcing:

Memudahkan calon pekerja/buruh/karyawan fresh graduate untuk mendapatkan


pekerjaan. Dengan sistem outsourcing mereka tidak perlu bersusah payah
memasukkan lamaran pekerjaan ke banyak perusahaan karena justru
perusahaan outsourcing yang akan menyalurkan mereka.

Mendapat pelatihan memadai dari perusahaan penyedia jasa pekerja


outsourcing. Sebelum ditempatkan di perusahaan para pencari kerja tentunya
harus mendapat pelatihan sehingga pengalaman tentang dunia kerja menjadi
bertambah.

Memudahkan pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih perusahaan


yang akan mempekerjakan mereka nanti sekaligus menentukan gaji yang akan

mereka dapatkan karena para pencari kerja dengan keahlian khusus seperti ini
tentunya jarang sehingga menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar.
2.

Kekurangan Menjadi Pekerja Outsourcing:

Masa kerja yang tidak jelas karena sistem kontrak. Sebagian besar pekerja
outsourcing khawatir jika ada PHK maka tidak mudah mendapatkan pekerjaan
kembali.

Tidak ada jenjang karir. Karena sistem outsourcing memberlakukan kontrak


mengakibatkan pekerja susah memegang jabatan tinggi.

Tidak mendapat tunjangan. Sebagian besar perusahaan outsourcing tidak


memberikan tunjangan seperti THR, asuransi dan jaminan hari tua untuk pekerja
outsourcing.

Pemotongan penghasilan pekerja outsourcing yang tidak jelas. Rata-rata gaji


yang dipotong untuk karyawan outsourcing berkisar dia angka 30 persen dari
seharusnya yang mereka terima seandainya menjadi pekerja tetap (karyawan) di
perusahaan mereka saat ini bekerja.

3.

Kelebihan dan Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan


a) Kelebihan Outsourcing bai perusahaan

Mempercepat proses adaptasi terhadap perubahan bisnis

Manajemen SI yang lebih baik, SI dikelola oleh pihak luar yang telah
berpengalaman dalam bidangnya

Dapat mengeksploitasi skill dan kepandaian yang berasal dari perusahaan


lain dalam mengembangkan produk yang diinginkan

Bagian dari modenisasi dunia usaha

Meningkatkan daya saing perusahaan dengan efisiensi penggunaan fasilitas


dan teknologi

Memfasilitasi downsizing, sehingga perusahaan tak perlu memikirkan


pengurangan pegawai

b) Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan

ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja

Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal


dengan karyawan outsource

Pengawasan dan kontrol langsung sulit dilakukan

Informasi merupakan aset berharga bagi perusahaan, jika salah pengelolaan


bisa berbalik menjadi bumeran

Loss of flexibility (kontrak diatas 3 tahun), perubahan teknologi baru tidak


bisa diadaptasi dengan cepat oleh perusahaan

Adanya hidden cost (biaya pencarian vendor, biaya transisi, dan biaya post
outsourcing)

Timbulnya ketergantungan terhadap perusahaan penyedia jasa outsourcing

C. Hubungan antara kebijakan Outsourcing dengan Proses Pembangunan di


Indonesia
Sesuai dengan definisi pembangunan yaitu serangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara, dan
pemerintah menuju modernitas (kemajuan) dalam rangka pembinaan bangsa (SP.Siagian,
Adm.Pembangunan, 1983: 3). Outsourcing merupakan salah satu bidang ketenagakerjaan
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Selain mempertimbangkan jumlah pengangguran yang besar di Indonesia,
pemerintah berpandangan bahwa sektor informal sebagai sektor ekonomi yang kurang
produktif, dan menghasilkan pendapatan yang rendah. Karenanya diperlukan dukungan
agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan
dengan produktivitas lebih tinggi.
Pendapat dari beberapa ahli seperti Lewwellen, Larrin, Kiely yang menyebutkan
bahwa dalam sebuah teori pembangunan ada dua paradigma besar yaitu modernisasi dan
ketergantungan. Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan
ekonomi dan perubahan sosial sedangkan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang
menunjang proses perubahan. Kondisi Outsourcing sesuai perspektif teori ekonomi makro
tidak menguntungkan karena dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tingkat GNP (Gross
National Product) atau PDB (Product Domestic Bruto) Indonesia masih rendah. Kenaikan
GNP dan PDB dapat muncul melalui yang pertama, kenaikan penawaran tenaga kerja.
Kenaikan permintaan tenaga kerja di Indonesia masih kurang dan tidak sebanding dengan
banyaknya penawaran tenaga kerja. Dengan demikian pemerintah menerapkan sistem

outsourcing ini, namun dalam prakteknya outsourcing masih tidak dapat mengatasi
pengangguran di Indonesia. Kedua, Kenaikan modal fisik atau sumber daya manusia
terlebih Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat
besar. Keadaan supply (penawaran) yang lebih besar daripada demand (permintaan) pada faktor
produksi berupa SDM, memungkinkan berbagai perusahaan mendapatkan SDM yang besar dalam jumlah
yang tidak besar. SDM tersebut biasanya dipekerjakan untuk beberapa jenis pekerjaan yang
sifatnya pendukung dan tidak memerlukan keterampilan khusus dalam mengerjakannya,
misalnya operator perakit onderdil di produsen kendaraan bermotor, penyedia katering di
sebuah perusahaan besar, pengolah tanaman sawit untuk perusahaan produsen minyak
goreng, dsb. Dalam prakteknya, sistem outsourcing di Indonesia merupakan suatu hal yang
sebenarnya tidak bisa dihindari dalam kehidupan ekonomi modern. Sebuah perusahaan yang besar bahkan
tidak akan bisa menangani semua pekerjaan sampai pekerjaan yang paling ringan seperti
layanan

kebersihan.

Pemerintah

Indonesia

pun

telah

melegalkan

praktek

outsourcing dengan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk memberikan kebaikan baik pada
pihak buruh, perusahaan penyalur, juga pengusaha pengguna buruh itu sendiri. Pemerintah
menganggap Kebijakan outsourcing ini dapat mengarahkan konsep pembangunan
Indonesia menuju Pasar kerja fleksibel (fleksibillity Labour Market) Pasar kerja fleksibel
sendiri menurut Meulders & Wilkin merupakan, sebuah situasi dimana pengguna tenaga
kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu
dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk
bekerjasama tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan bentuk strategi
adaptasi

masing-masing

terhadap

perubahan-perubahan

yang

terjadi

di

dalam

lingkungannya.
Masalah timbul saat pihak pengusaha melakukan pelanggaran atas multitafsir dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Status tenaga outsourcing yang diberikan untuk petugas
tersebut memungkinkan pengusaha memberikan upah yang lebih kecil dari pada gaji yang
sebenarnya jika pegawai tersebut berstatus sebagai pegawai tetap. Ketiga, Kenaikan
produktivitas ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor termasuk perubahan teknologi,
kemajuan pengetahuan lain, dan ekonomisnya skala produksi. Sesuai dengan pengertian
outsourcing yaitu pelimpahan pekerjaan penunjang saja pada tenaga kerja, dan tenaga kerja
tersebut tidak perlu memiliki ketrampilan khusus dalam bekerja. Namun, beberapa
pengusaha telah berbuat menyimpang dari aturan/undang-undang yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Banyak perusahaan memperkerjakan tenaga kerjanya secara outsourcing
dibagian pekerjaan inti yang merupakan bisnis dari perusahaan penyelenggara tersebut.
6

Tenaga kerja di pekerjaan inti tersebut pastinya telah melalui proses seleksi pekerja yang
memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi. Perubahan sosial dalam individu
terkait dengan kebijakan outsourcing ini berdampak buruk. Karena pekerja dipandang
sebelah mata oleh pengusaha atau perusahaan. Pekerja outsourcing ini mendapatkan
perlakuan diskriminatif mulai dari penggajian yang lebih rendah dibandingkan tenaga kerja
tetap, pemakaian seragam, ketidak pastian sistem kontrak dan pekerja outsourcing dapat di
PHK sewaktu-waktu. Akibatnya terjadilah perubahan sosial dalam masyarakat dengan
adanya perserikatan buruh yang menuntut upah yang lebih besar dari yang telah diberikan
oleh perusahaan sampai dengan penghapusan sistem outsourcing di Indonesia.
Sedangkan teori ekonomi mikro berkaitan tentang nilai-nilai individu yang menunjang
proses perubahan. Dalam outsourcing timbul rasa iri atau tidak suka antara pekerja
outsourcing dengan pekerja tetap. Hal ini dikarenakan pekerja outsourcing mendapatkan
perlakuan diskriminatif oleh pengusaha sehingga dapat berakibat munculnya suatu
kriminilatas dalam suatu perusahaan. Apabila sudah terjadi kriminalitas dalam suatu
perusahaan akibatnya proses menuju perubahan masyarakat yang modern terhambat dan
dapat membuat pembangunan suatu Negara atau wilayah gagal.
Kebijakan terkait outsourcing ini dianggap dapat memberikan suatu kontribusi berupa
pertumbuhan

pendapatan

nasional

untuk

pembangunan

nasional

di

Indonesia.

Pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini telah dijadikan tujuan pembangunan di


negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional
(pertumbuhan ekonomi).

BAB IV
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas, kebijakan outsourcing sesuai dengan teori pertumbuhan

Rostow khususnya pada tahap lepas landas, hal ini dikarenakan terjadinya pembangunan
industri-industri baru berupa perusahaan atau pabrik-pabrik. Asumsi bahwa semakin
banyak dan terbukanya pasar-pasar baru di Indonesia dapat membuat investasi suatu
Negara akan semakin meningkat, serta mempercepat pertumbuhan perkonomian suatu
negara. Selain itu

outsourcing pada akhir-akhir ini mengarah pada pendekatan teori

kapitalis, hal ini dibuktikan dengan arah dimana para perusahaan tersebut dalam kebijakan
outsourcing diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para
pengusaha tanpa memperhatikan kesejahteraan para pekerja terutama dibidang ekonomi.
Kebijakan outsourcing kurang maksimal diterapkan di Indonesia, hal ini
dikarenakan

Pemerintah

memang

memandang

kebijakan

outsourcing

ini

dapat

meningkatkan pendapatan nasional Negara dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat


dengan berkurangnya pengangguran. Namun faktanya pengangguran dan masyarakat
miskin masih banyak di Indonesia. Dalam sebuah desa yang dekat dengan sektor
perindustrian di perkotaan dipastikan pengangguran berkurang walaupun masih ada,
sedangkan tingkat produktivitas SDM di desa yang sangat jauh dari pusat perindustrian di
perkotaan dan penduduknya masih belum melek huruf atau terbelakang pengangguran
didaerah tersebut masih banyak. Belum meratanya proses modernisasi dalam perindustrian
pada desa atau daerah terbelakang di Indonesia. Outsourcing dipraktekkan oleh para
pengusaha atau perusahaan menyimpang dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pekerja outsourcing ditempatkan bukan dalam pekerjaan borongan yang
tidak memiliki ketrampilan khusus tetapi juga ditempatkan pada pekerjaan inti yang
merupakan bisnis dari perusahaan penyelenggara.
Outsourcing berdampak buruk yaitu pekerja mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif oleh perusahaan penyelenggara. Dampak ini dapat mengubah perilaku
individu yang menimbulkan kriminalitas serta dapat menghambat perubahan sosial.
Praktek kerja outsourcing ini termasuk kedalam tipe pambangunan yang menghasilkan
6

perubahan dalam jangka pendek saja karena direncanakan oleh pemerintah secara baik,
namun hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi di sebagian daerah (tidak secara
nasional) dan perubahan sosial yang dihasilkan belum tampak seperti berkurangnya tingkat
kesejahteraan dan pengangguran secara merata di masyarakat.
B.

Saran
Pemerintah seharusnya menindaklanjuti dengan memberikan sanksi kepada

perusahaan yang telah berbuat penyimpangan outsourcing dari regulasi yang ditetapkan.
Jika kebijakan outsourcing tetap diberlakukan seharusnya pemerintah memberikan kontrol
pengawasan terhadap perusahaan dan jika sudah tidak diberlakukan, sebaiknya pemerintah
menghapus kebijakan ini diikuti dengan dihapusnya regulasi yang mengaturnya (UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), serta memberikan alternatif kebijakan lain untuk
membuat masyarakat lebih sejahtera dan pembangunan nasional Indonesia meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

http://firiijb.wordpress.com/2014/03/26/teori-ekonomi-kesejahteraan/
http://siboykasaci.wordpress.com/teori-kesejahteraan/
http://jayaadministrasi.blogspot.com/2013/12/makalah-teoripembangunan.html
http://suara-buruh.blogspot.com/2012/11/dampak-sistem-outsourcingbagi-buruh.html

Anda mungkin juga menyukai