Anda di halaman 1dari 43

UNIVERSITAS INDONESIA

DELAYERING: ANALISIS PERSEPSI DAN KESIAPAN PARA


PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI KASUS PADA BADAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA)

PROPOSAL TESIS

2106803156

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
KEKHUSUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
JAKARTA
2022
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Proposal Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama :
NPM : 2106803156
Tanda Tangan :

Tanggal : 02 September 2022

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................ v

1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 9
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 10
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 10
1.5. Batasan Penelitian ........................................................................... 10
1.6. Sistematika Penulisan ..................................................................... 11

2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 12


2.1. Perubahan Organisasi (Organizational Change).............................. 12
2.2. Kesiapan untuk Berubah ................................................................. 14
2.3. Delayering ...................................................................................... 17
2.4. Jabatan Fungsional.......................................................................... 18
2.5. Penelitian Sebelumnya .................................................................... 19
2.6. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 24

3. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 25


3.1. Metode Penelitian ........................................................................... 25
3.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 26
3.3. Pengujian Keabsahan Data .............................................................. 29
3.4. Rencana Durasi Pelaksanaan Penelitian .......................................... 31
3.5. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 31
3.6. Teknik Analisis Data....................................................................... 32
3.7. Instrumen Penelitian ....................................................................... 33

DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 35

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Komposisi Pegawai Inspektorat Jenderal Kemenkeu


Berdasarkan Jenis Jabatan per Juni 2022................................... 3
Gambar 1.2. Komposisi Pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Berdasarkan Jenis Jabatan per Mei 2022 .................. 4
Gambar 1.3. Struktur Organisasi Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Sebelum Restrukturisasi ........................................... 5
Gambar 1.4. Struktur Organisasi Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Setelah Restrukturisasi ............................................. 6
Gambar 1.5. Struktur Organisasi Balai Diklat Keuangan dan Balai
Diklat Kepemimpinan Setelah Restrukturisasi .......................... 7
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian................................................. 24

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 19


Tabel 3.1. Kategori dan Jumlah Responden Penelitian ................................... 27
Tabel 3.2. Pertanyaan Wawancara ................................................................. 27

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rancangan dari struktur hirarki suatu organisasi akan sangat mempengaruhi
alur informasi, insentif karyawan dan juga kinerja dari organisasi tersebut (Li, Lu
& Wang, 2016). Hal paling mendasar yang digunakan untuk menjelaskan bentuk
organisasi adalah kedalaman (depth) dan kelebaran (breadth) dari struktur
organisasi itu sendiri (Colombo & Maestro, 2002, 2008; Rajan & Wulf, 2006;
Wang, 2007 dalam Kuhn, 2011). Kedalaman organisasi berarti jumlah lapisan
hirarki atau jumlah level manajerial yang berada di antara level manajemen puncak
dan pegawai operasional, sementara kelebaran organisasi dilihat dari jumlah
pegawai yang menjadi bawahan langsung dari satu level manajerial (Kuhn, 2011).
Organisasi sektor publik biasanya terikat secara berbeda dengan organisasi
sektor swasta, mulai dari aturan yang mengikat, permasalahan anggaran dan tujuan
organisasi pun diatur sesuai dengan keputusan-keputusan politik yang cukup
mengikat. Hal ini terkadang menyebabkan organisasi sektor publik memiliki
ketentuan tersendiri terkait pengelolaan keuangan, audit/pemeriksaan dan
manajemen kinerja (Bejerot & Hasselbladh, 2013). Masalah birokrasi juga
merupakan masalah yang sering muncul jika membahas terkait organisasi sektor
publik khususnya instansi pemerintahan. Menurut Weber (1947) dalam Li, Lu &
Wang (2016), birokrasi pemerintah adalah organisasi hirarkis dengan fungsi resmi
dan seperangkat aturan formal yang berkedudukan kuat. Dahlia (2020)
menyebutkan bahwa birokrasi Indonesia masih jauh dari praktik tata kelola yang
bersih dan baik. Lebih lanjut Dahlia (2020) juga menyebutkan bahwa sistem eselon
yang menjadi akar pelaksanaan birokrasi Indonesia juga menciptakan kondisi yang
menguntungkan untuk maraknya praktik korupsi.
Salah satu program prioritas kerja presiden tahun 2019 – 2024 sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
adalah Penyederhanaan Birokrasi, ditandai dengan kecepatan melayani dan
memberi izin; menghapus pola pikir linier, monoton dan terjebak di zona nyaman;

1
2

serta adaptif produktif, inovatif dan kompetitif (Kementerian Pendayagunaan


Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2019). Dilansir dari CNN Indonesia,
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di acara Aksi Nasional Pencegahan
Korupsi menyebutkan bahwa jumlah eselon yang terlalu banyak dalam struktur
pegawai negeri sipil menyebabkan birokrasi semakin panjang, dan karenanya
eselonisasi tersebut perlu disederhanakan. Bentuk penyederhanaan birokrasi inilah
yang kemudian dilakukan dalam bentuk delayering atau pengurangan layer
(lapisan) yang terdapat pada hirarki suatu organisasi (Bo, Wu & Zhong, 2020).
Delayering juga bisa diartikan sebagai pengurangan jumlah level manajerial dalam
sebuah organisasi atau “meratakan” hirarki organisasi (Kuhn, 2011). Ketentuan
terkait proses delayering ini kemudian diatur dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2019 yang lalu dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam
Jabatan Fungsional.
Berdasarkan Statistik ASN yang diterbitkan oleh Badan Kepegawaian
Negara (BKN), komposisi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia berdasarkan
jenis jabatan per Desember 2021 adalah 11% Struktural, 51% Fungsional dan 38%
Pelaksana, sedangkan komposisi jabatan struktural paling banyak diisi oleh Jabatan
Pengawas atau Eselon IV sebanyak 70% diikuti dengan Jabatan Administrator atau
Eselon III sebanyak 22%. Proses delayering yang akan dilakukan pada struktur
ASN di Indonesia adalah dengan memangkas jabatan Eselon III, Eselon IV dan
Eselon V secara selektif untuk kemudian diganti dengan jabatan fungsional.
Delayering akan berdampak pada seluruh Eselon III dan Eselon IV kecuali untuk
jabatan-jabatan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. memiliki tugas dan fungsi sebagai Kepala Satuan Kerja dengan kewenangan
dan tanggung jawab dalam penggunaan anggaran atau pengguna barang;
2. memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan kewenangan/otorisasi,
legalisasi, pengesahan, persetujuan dokumen, atau kewenangan kewilayahan;
atau

Universitas Indonesia
3

3. kriteria dan syarat lain yang bersifat khusus berdasarkan usulan masing-masing
K/L dan disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) (Kementerian Keuangan, 2020)
Kementerian Keuangan sebagai salah satu dari K/L dalam struktur
pemerintahan negara Indonesia juga turut terdampak dari kebijakan delayering.
Kementerian Keuangan dan unit-unit Eselon I di bawahnya sudah memulai
berbagai kajian untuk pemetaan jabatan-jabatan yang bisa dialihkan menjadi
jabatan fungsional. Sebelum adanya kebijakan delayering ini, Kementerian
Keuangan juga sudah memiliki unit Eselon I yang dalam strukturnya didominasi
oleh jabatan fungsional, yaitu Inspektorat Jenderal yang didominasi oleh jabatan
fungsional Auditor.

Gambar 1.1. Komposisi Pegawai Inspektorat Jenderal Kemenkeu


Berdasarkan Jenis Jabatan per Juni 2022

Komposisi Pegawai Inspektorat Jenderal


Kemenkeu Berdasarkan Jenis Jabatan
per Juni 2022
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Struktural Fungsional Teknis Fungsional Umum CPNS
PNS

Sumber: Inspektorat Jenderal, 2022 (telah diolah kembali)

Kementerian Keuangan sendiri sudah memiliki 30 jabatan fungsional yang


terdiri dari jabatan fungsional core business Kementerian Keuangan dan jabatan
fungsional penggunaan dari K/L lain. Salah satu implementasi kebijakan delayering
yang sudah diterapkan oleh Kementerian Keuangan adalah dengan melakukan
pemangkasan layer jabatan di unit Badan Kebijakan Fiskal (BKF), salah satu unit
yang memang sejak awal lebih banyak diisi oleh jabatan fungsional. Pada tahun
2020, Kementerian Keuangan telah memangkas jabatan Eselon III di BKF dari 36
jabatan menjadi 19 jabatan, dan jabatan Eselon IV di BKF dari 124 jabatan menjadi

Universitas Indonesia
4

74 jabatan. Sebagian besar jabatan yang dipangkas tersebut digantikan dengan


Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (Kementerian Keuangan, 2020).
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan ( BPPK) sebagai salah satu unit
Eselon I di Kementerian Keuangan juga turut serta mengimplementasikan
kebijakan delayering. Sebelum adanya kebijakan ini, BPPK sudah memiliki
beberapa jabatan fungsional. Jabatan fungsional yang cukup banyak dan menjadi
jabatan fungsional utama di lingkungan BPPK adalah Widyaiswara, dengan tugas
dan fungsi sebagai pengajar pelatihan. Selain Widyaiswara, BPPK juga memiliki
9 jabatan fungsional lain yaitu Dosen, Pengembang Teknologi Pembelajaran (PTP),
Pranata Komputer, Analis Pengelolaan Keuangan APBN, Pranata Keuangan
APBN, Arsiparis, Pustakawan, Asesor SDM Aparatur, dan Tenaga Kesehatan-
Dokter Gigi.

Gambar 1.2. Komposisi Pegawai BPPK Berdasarkan Jenis Jabatan


per Agustus 2022

Sumber: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2022 (telah diolah kembali)

Pada tahun 2021, BPPK mengalami transformasi organisasi untuk unit pusat
berupa restrukturisasi dengan perubahan nomenklatur beberapa jabatan struktural
dan penghapusan satu jabatan administrator yaitu Kepala Bagian Tata Usaha.

Universitas Indonesia
5

Adanya restukturisasi ini berdampak pada komposisi pegawai khususnya pejabat


administrator (eselon III) yang sebelumnya menjabat Kepala Bagian Tata Usaha.
Beberapa pejabat tersebut akhirnya mengikuti inpassing dan menjadi pejabat
fungsional Analis Keuangan APBN, namun masih ada beberapa pejabat yang
belum mendapatkan formasi jabatan fungsional sehingga restrukturisasi belum bisa
100% diimplementasikan.

Gambar 1.3. Struktur Organisasi BPPK Sebelum Restrukturisasi

Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 229/PMK.01/2019 tentang


Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

Universitas Indonesia
6

Gambar 1.4. Struktur Organisasi BPPK Setelah Restrukturisasi

Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118/PMK.01/2021 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

Pada bulan April 2022, kembali terdapat perubahan untuk unit pelaksana
teknis atau yang biasa disebut dengan Balai Pendidikan dan Pelatihan (Balai Diklat)
di lingkungan BPPK. Perubahan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 79/PMK.01/2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Universitas Indonesia
7

Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.


Berikut merupakan struktur terbaru Balai Diklat berdasarkan peraturan tersebut.

Gambar 1.5. Struktur Organisasi Balai Diklat Keuangan dan Balai Diklat
Kepemimpinan Setelah Restrukturisasi

Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.01/2022 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan

Selain menghambat proses restrukturisasi, ketiadaan formasi jabatan


fungsional untuk jenjang jabatan administrator ini juga berpotensi menimbulkan
beberapa dampak negatif lainnya antara lain:
1. job insecurity;
2. kesempatan promosi yang semakin kecil;

Universitas Indonesia
8

3. menimbulkan konsekuensi yang menyeluruh terhadap budaya dan lingkungan


kerja, serta sistem manajemen karir untuk para PNS;
4. resistensi terhadap perubahan yang timbul dari pegawai dalam organisasi;
5. perbedaan pendapatan antara jenjang jabatan struktural yang ditinggalkan
dengan jabatan fungsional yang diampu;
6. adanya tugas besar organisasi untuk memperbarui berbagai dokumen kerja
seperti uraian jabatan dan Standar Operasional dan Prosedur (Hassard &
Morris, 2020; Dahlia, 2020; Hameed et al., 2019; Irfan, 2013)
Sebelum adanya restrukturisasi, BPPK juga secara perlahan telah membuka
kesempatan kepada pegawai untuk beralih ke jabatan fungsional yang belum lama
ini dibuka untuk BPPK. Salah satunya adalah pembukaan jabatan fungsional baru
yaitu Pengembang Teknologi Pembelajaran (PTP) yang penawarannya dibuka pada
bulan Juli-Agustus 2020, seleksi di bulan September-Oktober 2020 dan pelantikan
pada bulan April 2021. Dari 40 pegawai yang lulus ujian kompetensi PTP yang
dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
(Kemendikbudristek), 20 pegawai akhirnya dilantik menjadi PTP angkatan pertama
di lingkungan BPPK. Namun, pelantikan ini belum disertai dengan kelengkapan
dokumen kerja seperti uraian jabatan, ketentuan peringkat jabatan dan pedoman
kerja untuk PTP. Sampai dengan saat ini, hanya dokumen uraian jabatan yang sudah
selesai disusun untuk PTP. Hal ini menyebabkan masih terdapat ketidakjelasan atas
tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan oleh para PTP dan sebagian pekerjaan
yang dilakukan akhirnya overlapping dengan pekerjaan pelaksana dan fungsional
Widyaiswara.
Selain permasalahan yang telah diuraikan di atas, di BPPK juga masih
terdapat perbedaan pendapat antar pegawai terkait kebijakan delayering ini.
Sebagian pegawai menganggap bahwa delayering dapat diterapkan di BPPK
sepanjang tugas dan fungsi yang menjadi core business BPPK yakni melaksanakan
pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara sudah dibuatkan wadah
jabatan fungsionalnya. Namun, terdapat pegawai yang berpandangan bahwa core
business tersebut bukan termasuk pekerjaan yang teknis dan secara jenis pekerjaan
terlalu umum untuk dijadikan jabatan fungsional. Sementara jabatan fungsional
yang saat ini sudah ada di BPPK mayoritas merupakan jabatan yang sifatnya

Universitas Indonesia
9

pendukung (supporting), karena pekerjaan-pekerjaan di bagian supporting ini


sifatnya justru dianggap lebih teknis dibandingkan dengan pekerjaan yang menjadi
core business BPPK sendiri.
Masalah kemandirian fungsional juga hal yang menjadi perhatian terkait
implementasi kebijkan delayering di BPPK, beberapa pegawai berpendapat bahwa
pejabat fungsional utama di BPPK saat ini yaitu Widyaiswara dianggap belum
memiliki kemandirian sebagaimana pejabat fungsional seharusnya, sehingga
penambahan jumlah fungsional lain dikhawatirkan akan menambah beban kerja
struktural yang jumlahnya akan dikurangi. Mayoritas pegawai yang menjadi
responden untuk studi pendahuluan menyebutkan bahwa BPPK secara organisasi
belum bisa dikatakan siap untuk mengimplementasikan kebijakan delayering.
Pelaksanaan delayering perlu mempertimbangkan kembali sifat pekerjaan. Porsi
jabatan fungsional juga harus disusun dengan lebih selektif sehingga tidak ada
jabatan-jabatan yang seolah dipaksakan jadi jabatan fungsional dan membuat
jenjang dari jabatan fungsional tersebut tidak bisa maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menganggap perlu untuk mendalami
dan melakukan analisis terkait persepsi dan kesiapan organisasi maupun pegawai
dalam menyikapi implementasi kebijakan delayering ini. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini peneliti bermaksud mendalami kedua hal tersebut khususnya di
lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, dengan mengambil judul
penelitian “DELAYERING: ANALISIS PERSEPSI DAN KESIAPAN PARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI KASUS PADA BADAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA)”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pokok
permasalahan yang akan dirumuskan pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana persepsi para pegawai di lingkungan Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan terhadap kebijakan delayering?
2. Bagaimana tingkat kesiapan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dalam
mengimplementasikan kebijakan delayering?

Universitas Indonesia
10

3. Bagaimana tingkat kesiapan para pegawai di lingkungan Badan Pendidikan dan


Pelatihan Keuangan dalam mengimplementasikan kebijakan delayering?

1.3. Tujuan Penelitian


Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui:
1. Persepsi para pegawai di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan terhadap delayering.
2. Tingkat kesiapan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dalam
mengimplementasikan delayering.
3. Tingkat kesiapan para pegawai di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan dalam mengimplementasikan delayering.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini dapat ditinjau dari segi
penggunaan secara akademis maupun praktis bagi organisasi sampel penelitian,
yaitu:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan
literatur penelitian yang akan datang di bidang manajemen sumber daya
manusia dan pengembangan organisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan hasil yang dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan organisasi atau unit yang
menangani pengelolaan sumber daya manusia untuk membangun keunggulan
kompetitif di lingkungan Kementerian Keuangan.

1.5. Batasan Penelitian


Batasan penelitian ini digunakan agar penelitian bisa lebih mengarah kepada
maksud dan tujuan dari peneliti. Dalam penelitian ini, responden yang terlibat
menjadi objek penelitian adalah para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, khususnya pihak yang berpotensi terdampak
kebijakan delayering yaitu para Pejabat Pengawas (Eselon IV) dan Pejabat
Administrator (Eselon III). Selain itu, responden juga diambil dari sisi penyusun
kebijakan di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan yang terkait

Universitas Indonesia
11

dengan implementasi delayering yaitu pejabat/pegawai yang memiliki tugas dan


fungsi terkait Organisasi dan Tata Laksana dan pejabat/pegawai yang memiliki
tugas dan fungsi terkait pengelolaan Sumber Daya Manusia. Peneliti juga berencana
mengambil responden dari para pegawai yang menjadi pejabat fungsional angkatan
pertama pasca implementasi kebijakan delayering, seperti Pengembang Teknologi
Pembelajaran dan Analis Keuangan APBN. Penelitian ini direncanakan akan
dilakukan dengan pengumpulan data dan analisis yang dilakukan pada rentang
bulan September 2022 – Maret 2023.

1.6. Sistematika Penulisan


Penelitian ini direncanakan akan terbagi ke dalam lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang yang mendasari penelitian,
rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menjelaskan beberapa teori ahli yang menjadi landasan dari penelitian
ini, teori penunjang, dan penelitian-penelitian sejenis yang sebelumnya pernah
dilakukan. Teori-teori yang dibahas antara lain terkait dengan Perubahan
Organisasi, Kesiapan untuk Berubah, Delayering dan Jabatan Fungsional pada
Struktur Hirarki Pegawai Negeri Sipil di Indonesia.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini akan menguraikan desain penelitian, objek penelitian, jenis dan sumber
data, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan berisi terkait elaborasi hasil dari pengolahan data yang dilakukan
dengan latar belakang masalah dan teori ahli yang menjadi rujukan.
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan berisi beberapa kesimpulan dari hasil analisis data yang telah
dilakukan, keterbatasan dalam melakukan penelitian, rekomendasi atau saran dalam
praktik manajemen ke depan, dan saran untuk penelitian selanjutnya.

Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Organisasi (Organizational Change)


Perubahan organisasi biasanya melibatkan perubahan pada peran-peran
yang ada dalam organisasi, menimbulkan overload pada pekerjaan, dan menggeser
keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan menghadapi situasi
yang ada (Nery, Franco & Neiva, 2019). Perubahan organisasi dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik yang bersumber dari dalam maupun luar organisasi.
Beberapa faktor pendorong perubahan organisasi yang berasal dari luar di
antaranya karakteristik demografi; kemajuan teknologi; perubahan pada
shareholder, konsumen dan pasar; serta tekanan sosial dan politik. Sementara
faktor pendorong yang berasal dari internal organisasi antara lain permasalahan
atau prospek dalam bidang Sumber Daya Manusia dan keputusan atau perilaku dari
manajer dalam organisasi (Kreitner & Kinicki, 2010, p. 535 – 538). Bordia et al
(2004) dan Kiefer (2005) dalam Hemme, Bowers & Todd (2018) menyebutkan
bahwa perubahan organisasi seringkali mengarah kepada konfigurasi, ekspektasi
dan tekanan yang baru bagi organisasi. Nery, Franco & Neiva (2019) berpendapat
bahwa perubahan organisasi merupakan sebuah peristiwa bersifat disruptif yang
memicu para pegawai untuk menanyakan dan menginterpretasikan petunjuk terkait
keuntungan dan kerugian yang akan mereka dapat dengan adanya perubahan
tersebut.
Baran, Filipkowski & Stockwell (2018) menyampaikan bahwa perubahan
organisasi dapat memiliki berbagai bentuk, yaitu:
1. continuous – convergent change, adalah perubahan berupa penyesuaian-
penyesuaian kecil yang secara bertahap membelokkan proses atau perilaku;
2. continuous – radical change, adalah penyesuaian-penyesuaian kecil yang
memiliki pengaruh substansial pada organisasi di seluruh tingkatan seiring
berjalannya waktu;
3. episodic – convergent change, adalah perubahan dengan titik balik yang
berbeda yang secara metodis akan membelokkan organisasi ke arah yang baru;
dan

12 Universitas Indonesia
13

4. episodic – radical change, adalah perubahan dengan titik balik berbeda yang
secara dramatis menggeser nilai-nilai, misi, atau makna utama dari organisasi.
Kreitner & Kinicki (2010) juga menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis
perubahan dalam organisasi, yaitu perubahan yang sifatnya adaptif, perubahan yang
sifatnya inovatif, dan perubahan inovatif radikal (p. 539). Perubahan yang sifatnya
adaptif merupakan perubahan yang memiliki biaya, tingkat kompleksitas dan
tingkat ketidakpastian yang paling rendah. Perubahan adaptif juga tidak
menimbulkan ancaman untuk pegawai karena sifatnya familiar. Sedangkan
perubahan yang bersifat inovatif berada di tengah-tengah untuk level biaya,
kompleksitas dan ketidakpastian. Suatu perubahan disebut inovatif ketika
perubahan tersebut merupakan bentuk penerapan dari cara-cara yang sebelumnya
sudah dilakukan oleh organisasi lain. Rasa asing dan ketidakpastian yang cukup
besar membuat ketakutan untuk berubah menjadi masalah yang biasa muncul dalam
perubahan inovatif. Jenis perubahan yang terakhir adalah perubahan inovatif
radikal. Perubahan semacam ini merupakan perubahan yang paling mengancam
bagi kepercayaan diri manajer dan keamanan kerja pegawai. Perubahan yang
radikal harus didukung oleh budaya organisasi. Perubahan organisasi memiliki
kemungkinan lebih besar untuk gagal apabila perubahan tersebut tidak konsisten
dengan tiga tingkatan budaya organisasi.
Terdapat beberapa teori yang membahas terkait langkah-langkah perubahan
organisasi. Yang paling dikenal adalah Lewin’s Change Model. Dalam teori Lewin,
disebutkan bahwa terdapat tiga langkah dalam proses perubahan, yaitu unfreezing,
changing, dan refreezing. Unfreezing adalah tahapan yang berfokus untuk
menciptakan motivasi untuk berubah. Changing adalah tahapan di mana perubahan
tersebut terjadi, dan tahapan terakhir yaitu refreezing yang bertujuan untuk
mendukung dan memperkuat perubahan tersebut.
Selain Teori Lewin, teori lain yang sering dijadikan acuan adalah Kotter’s
Eight Steps for Leading Organizational Change atau teori Kotter. Dalam teori
Kotter, disebutkan bahwa terdapat delapan langkah yang harus dilakukan untuk
memimpin perubahan organisasi. Delapan langkah tersebut adalah:
1. membentuk rasa urgensi;
2. menciptakan koalisi pemandu;

Universitas Indonesia
14

3. mengembangkan visi dan strategi;


4. mengomunikasikan visi perubahan;
5. memberdayakan aksi berbasis luas;
6. menghasilkan kemenangan-kemenangan jangka pendek;
7. mengonsolidasikan keuntungan dan membuat lebih banyak perubahan; dan
8. menanamkan pendekatan baru dalam budaya organisasi.

2.2. Kesiapan untuk Berubah


Armenakis et al (1993, p. 681) dalam Hameed et al (2019) mendefinisikan
kesiapan untuk berubah sebagai kepercayaan, sikap dan instensi anggota organisasi
terkait sejauh mana perubahan dibutuhkan dan bagaimana kapasitas organisasi
untuk berhasil membuat perubahan tersebut. Kesiapan untuk berubah juga
merupakan sesuatu yang bisa memprediksi perilaku mendukung perubahan dari
pegawai (Rafferty & Minbashian, 2019). Banyak hal yang dapat mempengaruhi
keberhasilan perubahan terutama di sektor publik, salah satunya adalah resistensi
yang berasal dari para pegawai negeri itu sendiri (Kuipers et al., 2014 dalam
Hameed et al., 2019). Resistensi terhadap perubahan biasanya muncul akibat dari
permasalahan job security dan perlindungan hukum yang dinikmati oleh para
pegawai negeri sebelumnya (Devos & Bouckenooghe, 2006 dalam Hameed et al.,
2019). Hameed et al (2019) menyatakan bahwa ketidakpastian yang ada di sekitar
perubahan cenderung menyulitkan manajemen untuk mengantisipasi segala hal
yang dibutuhkan oleh pegawai untuk menerima perubahan. Armenakis et al. (1999)
dalam Hameed et al (2019) menyebutkan bahwa terdapat lima area kunci untuk
keberhasilan suatu perubahan, yaitu:
1. komponen ketidaksesuaian (discrepancy component), merupakan sesuatu
menunjukkan kesenjangan antara kondisi organisasi saat ini dan kondisi yang
diinginkan;
2. komponen kelayakan (appropriateness component), merupakan sesuatu
menyatakan bahwa poin-poin yang diajukan dalam perubahan memang sesuai
untuk mengisi kesenjangan yang ada dalam organisasi;
3. komponen efikasi (efficacy component) atau sesuatu yang merepresentasikan
kepercayaan diri pegawai atas kemampuan organisasi maupun pegawai itu
sendiri untuk menjalankan perubahan;

Universitas Indonesia
15

4. komponen dukungan pimpinan (principal support component), yakni sesuatu


yang menunjukkan kepada para pegawai bahwa para pemimpin di dalam dan
di luar organisasi memberikan dukungan penuh atas segala usaha dalam rangka
perubahan; dan
5. valensi pribadi (personal valence), yakni komponen yang menunjukkan
keuntungan yang akan diperoleh dari perubahan dan harus bisa terlihat oleh
seluruh pihak yang terdampak perubahan.
Kelima komponen ini disebut juga kepercayaan atas perubahan (change
beliefs) yang menjadi dasar bagi seseorang untuk mendukung terjadinya suatu
perubahan dalam organisasi (Armenakis & Harris, 2009 dalam Hameed et al, 2019).
Hal ini juga dikonfirmasi oleh studi yang dilakukan oleh Rafferty & Minbashian
(2019) yang mendukung hipotesis bahwa change beliefs dan emosi positif terkait
perubahan merupakan pendahulu dari kesiapan untuk berubah. Lebih rinci,
penelitian tersebut membuktikan bahwa ketidaksesuaian (discrepancy), change
self-efficacy, dukungan pimpinan (principal support) dan emosi positif terkait
perubahan berpengaruh secara signifikan terhadap kesiapan untuk berubah.
Sementara untuk komponen valensi (valence) dan kelayakan (appropriateness),
masih terdapat inkonsistensi antara hasil penelitian satu dengan penelitian lainnya
(Rafferty & Minbashian, 2019)
Armenakis & Harris (2002) dalam Sawitri & Wahyuni (2018) juga
menjelaskan tentang tiga tahapan atas integrasi Teori Lewin dengan konsep
kesiapan untuk berubah. Tahap pertama, para anggota organisasi memberikan
respon yang positif atas program perubahan karena mereka sudah siap untuk
perubahan tersebut dan untuk membuat perubahan tersebut terjadi secara ideal,
mereka akan mendukung perubahan tersebut. Tahap kedua adalah tahap adopsi atas
perubahan. Dalam tahap ini, para anggota organisasi secara individu akan
memprakarsai implementasi atas program perubahan yang ada. Tahap terakhir
adalah tahap institusionalisasi yang memiliki preferensi utama untuk menstabilkan
dan menjaga proses adopsi atas perubahan berjalan dengan mulus.
Dalam organisasi sektor publik, karakteristik organisasinya yang istimewa
menjadikan aplikasi atas kesiapan untuk berubah sebagai kerangka teoritis untuk
memetakan reaksi dari para penerima perubahan sesuai secara intuitif (Hemme,

Universitas Indonesia
16

Bowers & Todd, 2018). Caldwell (2013, p.33) dalam Hemme, Bowers & Todd
(2018) menyebutkan bahwa kesiapan untuk berubah bisa jadi sangat cocok untuk,
dan pada kenyataannya terbatas untuk konteks perubahan di bawah ini:
1. dorongan untuk berubah datang dalam bentuk permintaan dari pihak lain;
2. para penerima perubahan mengatribusikan perubahan tersebut untuk dipaksa
dilakukan dalam organisasi;
3. perubahan bersifat transaksional;
4. para penerima perubahan terdampak secara langsung;
5. kepemimpinan bersifat transaksional; dan
6. karakteristik individu membuat para penerima perubahan berkemungkinan
kecil untuk berubah sendiri.
Rowden (2001) dalam Hemme, Bowers & Todd (2018) berargumen bahwa
karena organisasi harus berada dalam kondisi selalu siap untuk berubah kapanpun,
maka pertimbangan atas level kesiapan individu maupun kolektif dalam organisasi
juga akan mempengaruhi tahap adopsi atas perubahan dan mempengaruhi apakah
para penerima perubahan akan berkomitmen dalam mendukung proses perubahan.
Selanjutnya Hemme, Bowers & Todd (2018) menyebutkan bahwa sentimen
kesiapan memainkan peran yang sangat krusial dalam memastikan keberhasilan
yang berkelanjutan atas upaya perubahan organisasi dan tanpa kesiapan, semua
percobaan yang dilakukan untuk berubah sudah ditakdirkan untuk gagal. Hal ini
sejalan pula dengan apa yang disampaikan oleh Eby, Adams et al (2000) dalam
Sawitri & Wahyuni (2018), bahwa persepsi pegawai menjadi dasar yang sangat
penting untuk membangun momentum perubahan.
Berneth (2004) dalam Sawitri & Wahyuni (2018) menyebutkan bahwa
kesiapan untuk berubah akan membutuhkan investasi dalam hal waktu karena
organisasi perlu menyampaikan sebuah pesan terkait perubahan yang mengandung
lima komponen: kesenjangan, presisi, dukungan pimpinan, kepercayaan diri untuk
menjalankan perubahan, dan keuntungan yang akan diperoleh dari perubahan.
Kesiapan untuk berubah juga dianggap sebagai faktor yang mendorong inisiasi atas
perubahan (Sawitri & Wahyuni, 2018)

Universitas Indonesia
17

2.3. Delayering
Bo, Wu & Zhong (2020) menyebutkan bahwa delayering merupakan
pengurangan atas lapisan-lapisan (layers) pada hirarki sebuah organisasi.
Delayering atau perataan hirarki (flattening hierarchy) biasanya diartikan sebagai
pemadatan vertikal yang direncanakan atas tingkatan hirarki manajerial, yang
melibatkan pemindahan atau penghapusan besar-besaran atas satu atau lebih
tingkatan manajerial atau supervisor dari organisasi (Littler, et. Al, 2003 dalam
Dahlia, 2020).
Wulf (2012) dalam Dahlia (2020) menemukan bahwa mayoritas perusahaan
sudah melakukan penghapusan secara sistematis atas struktur hirarki manajemen
senior pada perusahaan. Bagian dari delayering semacam ini dapat diatribusikan
pada penghapusan posisi manajemen senior kunci yang bertindak sebagai perantara
(intermediaries). Delayering juga memungkinkan pimpinan tinggi untuk
memperluas rentang kendali mereka dan meningkatkan jumlah dari manajer
fungsional yang melapor langsung kepada mereka (Dahlia, 2020). Qian (1994)
dalam Li, Lu & Wang (2016) menunjukkan bahwa terdapat keuntungan dari
memiliki tingkatan yang lebih sedikit dalam organisasi, yaitu penurunan kerugian
kumulatif yang ada di setiap level hirarki, sedangkan kerugian dari memiliki
tingkatan organisasi yang lebih sedikit adalah menurunnya efektivitas pengawasan
yang disebabkan adanya peningkatan rentang kendali. Li, Lu & Wang (2016)
sendiri menemukan bahwa bertambahnya rentang kendali akibat proses delayering
menyebabkan sulitnya pemerintahan yang berada di hirarki puncak untuk
berkoordinasi dan memantau pemerintah daerah.
Studi yang dilakukan oleh Bo, Wu & Zhong (2020) menyebutkan bahwa
perataan hirarki organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap
jumlah anggaran yang disalahgunakan. Penelitian yang sama juga menyebutkan
bahwa penyalahgunaan anggaran merupakan tanda turunnya efisiensi internal pada
struktur pemerintahan dan perataan hirarki memiliki efek yang merugikan pada
operasional organisasi pemerintah (Bo, Wu & Zhong, 2020). Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Li, Lu & Wang (2016) yang
menemukan bahwa perataan hirarki dalam struktur pemerintahaan memiliki
dampak yang negatif terhadap kinerja ekonomi.

Universitas Indonesia
18

Kementerian Keuangan (2022) mendefinisikan delayering sebagai


penyederhanaan birokrasi dengan rasionalisasi eselon menjadi 2 level. Lebih lanjut
disebutkan bahwa delayering bertujuan untuk menyederhanakan proses dan
mempercepat pengambilan keputusan dan/atau perizinan. Output yang diharapkan
dari dilakukannya delayering adalah terciptanya birokrasi yang efisien yang akan
meningkatkan investasi sehingga penciptaan lapangan kerja bisa semakin
berkembang.

2.4. Jabatan Fungsional


Kreitner & Kinicki (2010) mendefinisikan struktur fungsional dalam
organisasi sebagai sebuah struktur yang mengelompokkan orang berdasarkan
fungsi bisnis yang dilakukan (p. 508). Seorang manajer bertanggung jawab atas
kinerja dari masing-masing fungsi. Pengaturan struktur semacam ini akan
menyatukan orang-orang yang ahli pada satu bidang ke dalam satu aktivitas yang
sama atau serupa. Masih menurut Kreitner & Kinicki (2010), beberapa keuntungan
dari struktur fungsional dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut:
1. dapat menghemat biaya karena mengelompokkan orang-orang yang
membutuhkan material dan peralatan yang serupa;
2. standar kualitas dapat dibangun karena para supervisor memahami apa yang
dapat dilakukan orang-orang dalam satu fungsi dan orang-orang tersebut akan
menumbuhkan rasa bangga atas spesialisasi mereka; dan
3. pekerja dapat mencurahkan waktu mereka untuk hal yang paling mereka kuasai
(p. 515).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), yang dimaksud dengan
jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas
berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan
keterampilan tertentu. ASN yang menduduki jabatan fungsional dikenal dengan
istilah Pejabat Fungsional. Pasal 18 UU ASN menyebutkan bahwa jabatan
fungsional ASN terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional
keterampilan, yang masing-masing terdiri atas empat jenjang yaitu ahli utama, ahli
madya, ahli muda dan ahli pertama untuk jabatan fungsional keahlian serta
penyelia, mahir, terampil dan pemula untuk jabatan fungsional keterampilan.

Universitas Indonesia
19

Kementerian Keuangan saat ini memiliki lebih dari 20 jabatan fungsional


yang tersebar di seluruh Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, termasuk
di antaranya Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Data per bulan Juni 2022
menunjukkan bahwa Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan memiliki
10 jabatan fungsional yang terdiri dari Widyaiswara, Dosen, Pengembang
Teknologi Pembelajaran, Pranata Komputer, Analis Pengelolaan Keuangan APBN,
Pranata Keuangan APBN, Arsiparis, Pustakawan, Asesor SDM Aparatur, dan
Tenaga Kesehatan – Dokter Gigi dan saat ini sedang dalam proses pengkajian untuk
6 jabatan fungsional baru yaitu Pranata Hubungan Masyarakat, Analis Data Ilmiah,
Analis dan Pranata SDM Aparatur, Analis Pengembangan Kompetensi,
Pengembang Kurikulum, dan Analis Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.

2.5. Penelitian Sebelumnya


Penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang terkait dengan
delayering, perubahan organisasi, downsizing dan flattening organization.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

Peneliti Fokus Penelitian Temuan Penelitian


Dahlia Mengidentifikasi urgensi 1. Kasus korupsi, rendahnya
(2020) dan konsekuensi dari national competitiveness
pelaksanaan delayering index dan kualitas SDM
dengan pemangkasan menjadi trigger bagi struktur
sistem eselon pada struktur birokrasi untuk
pemerintahan Indonesia. bertransformasi menjadi lebih
datar (flat)
2. Transformasi struktur melalui
delayering akan
menimbulkan konsekuensi
yang menyeluruh terhadap
budaya dan lingkungan kerja,
serta sistem manajemen karir

Universitas Indonesia
20

untuk para Aparatur Sipil


Negara (ASN)
Bo, Wu & Menyelidiki apakah 1. Terdapat hubungan yang
Zhong dilakukannya perataan positif dan signifikan antara
(2020) struktur hirarki pada pengenalan reformasi di
organisasi pemerintahan pemerintah daerah di China
menyebabkan pemerintah terhadap jumlah anggaran
daerah menggunakan yang disalahgunakan.
anggaran dengan cara yang 2. Penyalahgunaan anggaran
buruk. merupakan tanda turunnya
efisiensi internal pada
struktur pemerintahan dan
perataan hirarki memiliki
efek yang merugikan pada
operasional organisasi
pemerintah
Hameed et 1. Mengeksplor faktor- 1. Kepercayaan penerima
al. (2019) faktor yang perubahan, organizational
mempengaruhi identification, dan
kesiapan untuk komunikasi terlibat (involved
berubah. communication) berpengaruh
2. Menyelidiki terhadap kesiapan pegawai
mekanisme yang untuk berubah.
mendasari pegawai 2. Manajer sektor publik harus
untuk bergerak menuju lebih berfokus pada para
kondisi siap untuk pegawai jika mereka ingin
berubah. memitigasi resistensi untuk
berubah.
3. Penting bagi para pegawai
untuk memiliki pandangan
yang positif terhadap
perubahan organisasi.

Universitas Indonesia
21

4. Mindset siap untuk berubah


dapat dicapai melalui
komunikasi terlibat (involved
communication) yang
menciptakan rasa memiliki di
antara pegawai yang
mempengaruhi
organizational identification
mereka.
Hemme, 1. Memberikan sebuah 1. Terdapat hirarki yang jelas atas
Bowers & perspektif dari metode dimensi-dimensi dari kesiapan
Todd (2018) campuran yang untuk berubah.
komprehensif terhadap 2. Semakin kompleks inisiatif
terungkapnya sebuah perubahan yang diberikan,
inisiatif perubahan semakin sulit pula untuk
organisasi yang besar membuat formulasi yang jelas
yang melibatkan terkait apa yang mendorong
aplikasi yang simultan persepsi kesiapan dari para
dari berbagai jenis partisipan.
perubahan. 3. Kepentingan yang lebih besar
2. Memajukan dari sentimen kesesuaian yang
pengetahuan terkait positif memfasilitasi sebuah
kesiapan untuk berubah pengujian yang bernuansa atas
dengan menantang konten perubahan, dengan
kemampuan penerapan sebuah pergeseran yang cukuo
dari kelima dimensi kuat menuju kepercayaan dan
perubahan di setiap isu yang terkait dengan efikasi.
waktu dan dalam 4. Keyakinan kesesuaian yang
kondisi apapun. negatif dibuat untuk
3. Meneliti sejauh mana mengurangi pertimbangan
fitur organisasi sektor selanjutnya dari keempat
publik yang “khas”

Universitas Indonesia
22

menjelaskan persepsi komponen kesiapan berubah


dan upaya manajemen yang lain.
untuk mengelola 5. Dukungan pimpinan
perubahan tersebut. memainkan peran yang sangat
besar selama tahap-tahap awal
dari proyek perubahan.
6. Jika penilaian valensi pribadi di
awan sudah negatif, para
pegawai hampir tidak akan
mempertimbangkan sama
sekali isu lainnya, bahkan isu
yang tampaknya positif.
7. Masalah terkait efikasi terbukti
merupakan masalah yang
paling adaptif dan terbuka
untuk mempengaruhi upaya
yang dilakukan oleh
kepemimpinan organisasi.
Sawitri & Menguji pengaruh 1. Kepemimpinan
Wahyuni kepemimpinan transformasional berkontribusi
(2018) transformasional dan sikap dalam peningkatan persepsi
terhadap perubahan pegawai menjadi lebih positif
terhadap kesiapan untuk sehingga motivasi, kepuasan,
berubah. efikasi, moral dan kinerja bisa
terharmonisasi dengan
program perubahan.
2. Sikap terhadap perubahan
dipengaruhi oleh adanya
asimetri informasi yang
dimiliki oleh pegawai.
Kesiapan untuk berubah berada
di tingkat yang tinggi ketika

Universitas Indonesia
23

sikap atas perubahan rendah


dan tinggi, sedangkan tingkat
kesiapan berada dalam tingkat
terendah ketika sikap pegawai
atas perubahan berada dalam
level moderat.
Irfan (2013) Melihat keterkaitan 1. Terdapat perbedaan
penghapusan jabatan eselon penghasilan antara jabatan
III dan IV dengan struktural eselon III dan IV
kompensasi atau dengan jabatan fungsional yang
penghasilan yang diterima setara. Penghasilan pejabat
PNS di lingkungan Badan struktural eselon III memiliki
Kepegawaian Negara perbedaan yang cukup besar
(BKN). dengan penghasilan jabatan
fungsional di BKN (lebih
banyak). Sementara
penghasilan pejabat fungsional
eselon IV relatif sama atau
lebih kecil dari penghasilan
pejabat fungsional di BKN.
2. Eselon III dan Eselon IV
memiliki padanan kelas jabatan
yang tidak jauh berbeda dengan
jabatan fungsional. Terdapat
jabatan fungsional tertentu
yang memiliki kelas jabatan
yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jabatan eselon III.
Sumber: Dahlia (2020); Bo, Wu & Zhong (2020); Hameed et al. (2019); Hemme, Bowers & Todd
(2018); Sawitri & Wahyuni (2018) dan Irfan (2013)

Universitas Indonesia
24

2.6. Kerangka Pemikiran


Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini peneliti memiliki kerangka
pemikiran sebagai berikut.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumber: Olahan peneliti

Universitas Indonesia
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus
yang dilakukan di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan,
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ritchie & Lewis (2003) menyebutkan
bahwa metode kualitatif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
membutuhkan penjelasan atau pemahaman terkait fenomena sosial dan konteksnya
(p. 5). Maxwell (1996) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk
memahami makna bagi para partisipan dalam studi terkait peristiwa, situasi dan
tindakan yang melibatkan mereka dan terkait kisah kehidupan dan pengalaman
partisipan, juga untuk memahami konteks tertentu di mana para partisipan bertindak
dan pengaruh konteks tersebut terhadap tindakan partisipan (p. 17). Berikut
merupakan elemen kunci yang terdapat dalam metode penelitian kualitatif menurut
Ritchie & Lewis (2003).
1. Bertujuan untuk menyediakan pemahaman yang mendalam atas dunia sosial
dari para partisipan penelitian dengan mempelajari tentang lingkungan sosial,
pengalaman, perspektif dan latar belakang partisipan.
2. Sampel yang digunakan dalam penelitian jumlahnya sedikit dan dipilih dengan
tujuan tertentu berdasarkan kriteria-kriteria yang menonjol.
3. Pengumpulan data penelitian biasanya melibatkan kontak dekat antara peneliti
dan partisipan penelitian, yang sifatnya interaktif dan memungkinkan isu-isu
penting untuk dieksplorasi.
4. Data dalam penelitian kualitatif bersifat rinci, kaya akan informasi dan
cakupannya luas.
5. Analisis yang dilakukan bersifat terbuka terhadap ide-ide dan konsep yang
muncul, dan dapat menghasilkan deskripsi dan klasifikasi yang rinci,
identifikasi pola dan keterkaitan, atau pengembangan tipologi dan penjelasan.
6. Hasil penelitian cenderung berfokus pada interpretasi makna sosial melalui
pemetaan dan menyajikan kembali dunia sosial dari partisipan penelitian (p. 3).

25
26

Pendekatan studi kasus digunakan untuk menggali banyak perspektif yang


berakar pada satu konteks tertentu (Ritchie & Lewis, 2003, p. 76). Studi kasus
digunakan ketika penelitian ingin menguji terkait peristiwa-peristiwa terkini dan
perilaku yang relevan terhadap peristiwa tersebut tidak dapat dimanipulasi. Studi
kasus biasanya memiliki dua sumber data utama yaitu observasi atas peristiwa yang
diteliti dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut
(Yin, 2009, p. 62). Jackson II, Drummond & Camara (2007) menyebutkan bahwa
pendekatan studi kasus lebih cocok digunakan dalam situasi penelitian sebagai
berikut:
1. penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan
“mengapa”;
2. peneliti memiliki sedikit kendali atas konteks yang akan diteliti; dan
3. batasan antara konteks dan fenomena tidak jelas.

3.2. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber yang
merupakan para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, khususnya para pegawai yang
menempati jabatan Eselon IV dan Eselon III, serta para pegawai yang baru saja
diangkat dalam jabatan fungsional baru di lingkungan Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan. Data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur yang
berkaitan dengan objek penelitian.
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non
probability sampling. Dalam non-probability sampling, sampel dipilih secara
sengaja untuk dapat mencerminkan karakteristik atau kelompok tertentu yang ada
dalam populasi (Ritchie & Lewis, 2003, p. 78). Sampel dipilih secara purposive
supaya mampu memberikan pemahaman terbaik terkait pertanyaan-pertanyaan
yang digunakan dalam penelitian. Terdapat dua prinsip yang harus diperhatikan
dalam melakukan purposive sampling, yang pertama adalah pemilihan sampel
harus mampu meyakinkan bahwa bagian-bagian penting yang relevan dengan objek
penelitian bisa tercover, sementara prinsip lainnya adalah pemilihan sampel harus
mampu meyakinkan bahwa dalam setiap kriteria kunci, unsur keberagaman sudah

Universitas Indonesia
27

dimasukkan sehingga dampak dari karakteristik yang bersangkutan bisa


dieksplorasi (Ritchie & Lewis, 2003, p. 79)
Dalam penelitian ini, peneliti berencana untuk mengambil narasumber yang
berasal dari beberapa kategori yaitu Penyusun Kebijakan, Pihak yang Berpotensi
Terdampak oleh Delayering, dan Pemangku Jabatan Fungsional Baru Dampak
Implementasi Delayering. Jumlah sampel yang digunakan adalah sampai diperoleh
saturasi data yang memadai. Sampel dibagi ke dalam beberapa kelompok
berdasarkan kategori sebagai berikut.

Tabel 3.1. Kategori dan Jumlah Responden Penelitian

Kategori Kriteria
Penyusun Kebijakan 1. Pejabat atau pegawai yang memiliki tugas dan fungsi
terkait pengelolaan Sumber Daya Manusia
2. Pejabat atau pegawai yang memiliki tugas dan
fungsi terkait pengelolaan Organisasi dan Tata
Laksana
Pihak yang Berpotensi 1. Pejabat Eselon III
Terdampak oleh 2. Pejabat Eselon IV
Delayering 3. Pelaksana
Pemangku Jabatan 1. Pejabat Fungsional Pengembang Teknologi
Fungsional Baru Pembelajaran
Dampak Implementasi 2. Pejabat Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan
Delayering APBN

Sumber: Olahan peneliti

Pertanyaan yang akan digunakan dalam proses wawancara diperoleh dari


berbagai penelitian sebelumnya yang dimodifikasi, dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 3.2. Pertanyaan Wawancara


Hal Pertanyaan Referensi
Persepsi 1. Hal apa yang pertama kali muncul di Rafferty &
Pegawai benak Bapak/Ibu ketika mengetahui Minbashian (2019)
bahwa Kementerian Keuangan

Universitas Indonesia
28

khususnya BPPK akan mulai


mengimplementasikan kebijakan
delayering?
2. Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa
delayering ini diperlukan untuk
meningkatkan performa organisasi?
Mengapa?
3. Saat Bapak/Ibu mendapatkan informasi
terkait delayering, apakah Bapak/Ibu
menganggap kebijakan tersebut cocok
untuk diterapkan di BPPK? Mengapa?
Kesiapan 1. Bagaimanakah menurut Bapak/Ibu 1. Hameed et al
Organisasi kesiapan organisasi untuk (2019)
mengimplementasikan delayering dan 2. Peraturan
pengalihan Jabatan Struktural ke Jabatan Menteri
Fungsional? Pendayagunaan
2. Menurut Bapak/Ibu, apakah pelaksanaan Aparatur
delayering akan meningkatkan Negara dan
efektivitas pelaksanaan proses bisnis Reformasi
yang selama ini dilakukan? Mengapa? Birokrasi
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah delayering Republik
cocok dengan situasi organisasi saat ini? Indonesia
Mengapa? Nomor 17
4. Menurut Bapak/Ibu apakah organisasi Tahun 2021
akan bisa berhasil
mengimplementasikan delayering?
Mengapa?
5. Hal-hal apa saja yang sudah dilakukan
oleh organisasi untuk mempersiapkan
implementasi delayering?
6. Jabatan fungsional apa saja yang
disediakan oleh organisasi untuk

Universitas Indonesia
29

memfasilitasi perpindahan jabatan


struktural ke jabatan fungsional?
Kesiapan 1. Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa Rafferty &
Pegawai Bapak/Ibu akan bisa Minbashian (2019)
mengimplementasikan atau beradaptasi
dengan kebijakan delayering ini dengan
baik? Mengapa?
2. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu
terhadap attitude rekan kerja Bapak/Ibu
dalam menyikapi implementasi
delayering ini? Apakah cenderung
mendukung atau tidak mendukung?
3. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana nantinya
implementasi kebijakan ini akan
mempengaruhi organisasi ataupun karir
Bapak/Ibu sendiri? Seperti apa potensi
keuntungan atau kerugian yang bisa
timbul?
Sumber: Rafferty & Minbashian (2019); Hameed et al (2019); Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021

3.3. Pengujian Keabsahan Data


Menurut Sugiyono (2017, p. 383), uji keabsahan data pada penelitian
kualitatif meliputi uji kredibilitas (validitas internal), uji dependabilitas
(reliabilitas), uji transferabilitas data (validitas eksternal/generalisasi) dan uji
konfirmabilitas data (objektivitas). Dalam penelitian kualitatif, uji yang paling
utama adalah uji kredibilitas data.
1. Uji kredibilitas
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif disebut juga uji validitas.
Validitas internal dalam penelitian kualitatif merupakan upaya pemeriksaan
terhadap ketepatan hasil penelitian dengan menggunakan prosedur tertentu
(Gibbs, 2007 dalam Creswell, 2017, p. 269). Uji kredibilitas data dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.

Universitas Indonesia
30

a. Perpanjangan pengamatan, dilakukan dengan memanfaatkan waktu yang


relatif lama di lokasi penelitian. Dengan perpanjangan pengamatan, peneliti
diharapkan dapat memahami lebih dalam terkait fenomena yang sedang
diteliti dan dapat menambah akurasi dan validitas hasil penelitian.
b. Menambah ketekunan, dilakukan dengan melakukan penggalian lebih
dalam terkait informasi terkait penelitian.
c. Triangulasi. Peneliti melakukan triangulasi sumber dalam penelitian ini
dengan mengambil narasumber dari tiga kategori berbeda. Peneliti juga
melakukan triangulasi teknik dengan melakukan wawancara dan studi
literatur.
d. Analisis kasus negatif, dilakukan dengan menyajikan informasi yang
berbeda dengan perspektif tema penelitian.
e. Member checking, dilakukan dengan mengonfirmasi kembali hasil analisis
kepada para partisipan atau sumber data.
2. Uji dependabilitas
Dalam penelitian kualitatif, dependabilitas disebut juga dengan
reliabilitas. Penelitian dikatakan reliabel apabila proses penelitian tersebut
dapat diulangi atau direfleksikan oleh orang lain. Sugiyono (2017)
menyebutkan bahwa uji dependabilitas dilakukan dengan melakukan audit
terhadap keseluruhan proses penelitian (p. 374). Proses ini dilakukan dengan
penilaian proposal tesis di tahap seminar proposal tesis dan kegiatan
pemeriksaan dan pembimbingan selama waktu penyusunan tesis oleh dosen
pembimbing tesis.
3. Uji transferabilitas
Menurut Sugiyono (2017), peneliti kualitatif dalam membuat laporannya
harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis dan dapat dipercaya (p.
372). Hal ini diperlukan agar orang lain dapat memahami hasil penelitian dan
menimbulkan kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data model Miles and
Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan
verifikasi.

Universitas Indonesia
31

4. Uji konfirmabilitas
Uji konfirmabilitas dalam penelitian kualitatif mirip dengan uji
dependabilitas. Menguji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian dan
dikaitkan dengan proses yang dilakukan (Sugiyono, 2017, p. 374)

3.4. Rencana Durasi Pelaksanaan Penelitian


Durasi pelaksanaan penelitian direncanakan sesuai dengan jangka waktu
penulisan tesis pada Kalender Akademik Universitas Indonesia Tahun Akademik
2022 - 2023 yaitu September 2022 – Maret 2023. Penelitian akan dilaksanakan di
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik
Indonesia.

3.5. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan wawancara (interview) dan studi literatur. Wawancara perorangan
merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak digunakan dalam
penelitian kualitatif (Ritchie & Lewis, 2003, p. 36). Kvale & Brinkmann dalam
Tracy (2013, p. 131) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wawancara
adalah percakapan tanya-jawab yang dipandu. Tracy (2013, p. 138) mengemukakan
bahwa wawancara merupakan kumpulan percakapan dengan sebuah tujuan tertentu,
dan tergantung dari tujuan tersebut, wawancara harus diorganisir dengan cara yang
berbeda-beda. Keuntungan dari wawancara adalah kemampuannya untuk
melakukan investigasi yang rinci dari perspektif pribadi masing-masing partisipan
(Ritchie & Lewis, 2003, p. 138)
Dawson (2007, p. 28) menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis wawancara
yang paling umum digunakan yaitu wawancara tidak terstruktur, semi terstruktur
dan terstruktur. Jenis wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur merupakan jenis
wawancara yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif (Dawson,
2007, p. 29). Dalam wawancara semi terstruktur, peneliti menggunakan pertanyaan
yang sama untuk setiap responden agar informasi yang diperoleh dari wawancara
satu responden dapat dibandingkan dan disandingkan dengan informasi dari
wawancara responden yang lain. Survey pendahuluan untuk memastikan validitas

Universitas Indonesia
32

dan pemahaman atas pertanyaan wawancara akan dilakukan melalui wording test
kepada salah satu calon responden yang memenuhi kriteria.
Studi literatur dilakukan dengan menelaah literatur yang terkait dengan
objek penelitian. Dalam penelitian ini, literatur yang akan digunakan adalah artikel
jurnal, buku, peraturan terkait dan sumber lain seperti artikel berita.

3.6. Teknik Analisis Data


Menurut Maxwell (1996, p. 78), teknik analisis data merupakan aspek dari
penelitian kualitatif yang paling jelas membedakannya dari penelitian kuantitatif.
Selanjutnya Dey (1993), Smith (1979) dan Tesch (1990, p. 90) dalam Maxwell
(1996, p. 78) menyebutkan bahwa langkah paling awal dari analisis kualitatif adalah
membaca transkrip wawancara, catatan hasil observasi atau dokumen lain yang
dapat dianalisis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan coding dan triangulasi data. Strauss (1987, p. 29) dalam Maxwell (1996, p.
78) menyebutkan bahwa tujuan dilakukannya coding dalam penelitian kualitatif
adalah untuk memecah data dan menyusunnya dalam kategori-kategori yang
memungkinkan untuk melakukan komparasi antara data dan mengembangkan
sebuah tema. Miles, Huberman & Saldana (2014, p. 7) menyebutkan bahwa coding
merupakan sebuah metode penemuan. Peneliti dapat menentukan kode untuk
sekumpulan data dengan membaca secara hati-hati dan melihat refleksi dari data
tersebut pada konten atau makna inti dari data tersebut.
Saldana (2009, p. 45) menjelaskan bahwa terdapat dua siklus dalam coding
yaitu Siklus Pertama dan Siklus Kedua. Menurut Miles, Huberman & Saldana
(2014, p. 7), coding Siklus Pertama berarti memberi kode-kode untuk kumpulan
data, yang oleh Saldana (2009, p. 45) dibagi menjadi tujuh subkategori yaitu
Grammatical, Elemental, Affective, Literary and Language, Exploratory,
Procedural, dan Themeing the Data. Sementara Siklus Kedua menurut Miles,
Huberman & Saldana (2014, p.7) secara umum adalah pengolahan yang dilakukan
terhadap hasil dari coding Siklus Pertama. Saldana (2009, p. 45) menyebutkan
bahwa coding Siklus Kedua sedikit lebih menantang daripada Siklus Pertama
karena membutuhkan keahlian analisis seperti mengklasifikasi, menentukan
prioritas, mengintegrasikan, menyintesa, melakukan abstraksi, konseptualisasi dan
membangun teori.

Universitas Indonesia
33

Triangulasi dilakukan dengan pengumpulan data melalui beberapa strategi


pemilihan sampel, menggunakan lebih dari satu investigator di lapangan,
melibatkan beberapa posisi teoritis dalam analisis data atau menggunakan metode
yang berlawanan untuk pengumpulan data (Tracy, 2013, p. 236). Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber yaitu mendapatkan data dari sumber
yang berbeda dengan menggunakan teknik yang sama. Selain itu, triangulasi teknik
juga dilakukan dengan melakukan wawancara dan studi literatur untuk memperoleh
data penelitian.

3.7. Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti
merupakan instrumen utama dalam penelitian kualitatif (Ritche & Lewis, 2003 p.
4).
Lincoln & Guba (1986) dalam Sugiyono (2017) menyatakan: “The instrument
of choice in naturalistic inquiry is the human. We shall see that other forms of
instrumentation may be used in later phases of the inquiry, but the human is the
initial and extensively in earlier stages of inquiry, so that an instrument can be
constructed that is grounded in the data that the human instrument has produce”
Nasution (1988) dalam Sugiyono (2017) menyatakan bahwa peneliti sesuai
untuk menjadi instrumen dalam penelitian kualitatif karena memiliki ciri sebagai
berikut.

1. Peneliti memiliki kepekaan dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakan apakah bermakna atau tidak bagi
penelitian.
2. Peneliti dapat menyesuaikan diri terhadap semua keadaan dan dapat
mengumpulkan beragam data sekaligus.
3. Angket atau tes tidak mampu menangkap keseluruhan situasi, manusia bisa.
4. Sebuah situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami hanya
dengan pengetahuan, namun perlu untuk sering dirasakan dan diselami
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti.
5. Peneliti dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
6. Hanya instrumen berupa manusia yang dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan di satu waktu tertentu dan menggunakan

Universitas Indonesia
34

segera menggunakan data tersebut sebagai umpan balik untuk memperoleh


penegasan, perubahan dan perbaikan atas data.
7. Penelitian kuantitatif yang menggunakan tes atau angket mengutamakan
respon yang dapat dikuantifikasi agar data dapat diolah secara statistik,
sedangkan data yang menyimpang tidak dihiraukan. Penelitian kualitatif yang
menggunakan manusia sebagai instrumen justru akan memberikan perhatian
pada respon yang aneh dan menyimpang. Respon yang lain daripada yang lain
bahkan bertentangan akan digunakan untuk meningkatkan kepercayaan dan
pemahaman terkait aspek yang sedang diteliti.

Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI

Badan Kepegawaian Negara. (2022). Buku Statistik ASN Desember 2021. Jakarta:
Penyusun.

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. (2022). Bahan Paparan Dialog


Bersama Bagian SDMKI (DIKSI). Jakarta: Penyusun.

Baran, B.E., Filipkowski, J.N., & Stockwell, R.A. (2018). Organizational Change:
Perspective from Human Resource Management. Journal of Change
Management, 1479-1811.

Bejerot, E., Hasselbladh, H. (2013). Forms of Intervention in Public Sector


Organizations: Generic Traits in Public Sector Reforms. Organization Studies,
34(9), 1357 – 1380.

Bo, S., Wu, Y., & Zhong, L. (2020). Flattening of Government Hierarchies and
Misuse of Public Funds: Evidence from Audit Programs in China. Journal of
Economic Behavior and Organization, 179, 141 – 151.

CNN Indonesia. (2020). Pemangkasan Eselon, Penyederhanaan Birokrasi ala


Jokowi. 19 Juni 2022.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200826163138-32-
539605/pemangkasan-eselon-penyederhanaan-birokrasi-ala-jokowi.

Creswell, J.W. (2017). Research Design (Pendekatan Metode Kualitatif,


Kuantitatif dan Campuran). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Dahlia. (2020). Flattening Indonesia’s Bureaucratic Structure: A Literature Review


on the Urgencies and Consequences. Jurnal Transformasi Administrasi, 10 (1),
1 – 17.

Dawson, C. (2007). A Practical Guide to Research Methods (3rd Edition). Oxford:


How To Books Ltd.

Hameed, I., Khan, A.K., Sabharwal, M., Arain., Hameed, I. (2019). Managing
Successful Change Efforts in the Public Sector: An Employee’s Readiness for

35 Universitas Indonesia
36

Change Perspective. Review of Public Personnel Administration, 39(3), 398 –


421.

Hassard, J. Morris, J. (2020). Corporate Restructuring, Work Intensification and


Perceptual Politics: Exploring the Ambiguity of Managerial Job Insecurity.
Economic and Industrial Democracy, 41(2), 323 – 350.

Hemme, F. Bowers, M.T., & Todd. S.T. (2018). Change Readiness as Fluid
Trajectories: A Longitudinal Multiple-Case Study. Journal of Organizational
Change Management, 31(5), 1153-1175.

Irfan, M. (2013). Pengalihan Jabatan Struktural ke Jabatan Fungsional: Suatu


Telaahan Penghapusan Jabatan Eselon III dan IV di Badan Kepegawaian
Negara. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, 7(1), 40 – 55.

Jackson II, R.L., Drummond, D.K., & Camara, S. (2007). What is Qualitative
Research?. Qualitative Research Reports in Communication, 8(1), 21 – 28.

Kreitner, R., & Kinicki, A. (2010). Organizational Behavior (9th Edition). New
York: McGraw-Hill/Irwin.

Kuhn, D. (2011). Delayering and Firm Performance: Evidence from Swiss Firm-
Level Data. WWZ Discussion Paper, 2011/02.

Li, P., Lu, Y., & Wang, J. (2016). Does Flattening Government Improve Economic
Performance? Evidence From China. Journal of Development Economics, 123,
18 – 37.

Maxwell, J.A. (1996). Qualitative Research Design: An Interactive Approach.


California: SAGE Publications, Inc.

Miles, M.B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014), Qualitative Data Analysis
(3rd Edition). California: SAGE Publications, Inc.

Nery, V.B., Franco, K. S., & Neiva, E. R. (2019), Attributes of the Organizational
Change and Its Influence on Attitudes Toward Organizational Change and
Well-Being at Work: A Longitudinal Study. The Journal of Applied Behavioral
Science, 55(4), 477-496.

Universitas Indonesia
37

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2021 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.01/2022 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan
Adminstrasi ke dalam Jabatan Fungsional.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan
Adminstrasi ke dalam Jabatan Fungsional.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024.

Rafferty, A.E., & Minbashian, A. (2019). Cognitive Beliefs and Positive Emotions
About Change: Relationships with Employee Change Readiness and Change-
Supportive Behaviors. Human Relations, 72(10), 1623 – 1650.

Ritchie, J., & Lewis, J. (2013). Qualitative Research Practice – A Guide for Social
Science Students and Researchers. London: SAGE Publications Ltd.

Saldana, J. (2009). The Coding manual for Qualitative Researchers. London:


SAGE Publications Ltd.

Sawitri, H.S.R. & Wahyuni, S. (2018). Readiness to Change in the Public Sector.
International Journal of Business and Society, 19(1), 259-267.

Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Delayering. 20 Juni 2022.


https://setjen.kemenkeu.go.id/in/page/delayering.

Universitas Indonesia
38

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:


Penerbit Alfabeta.

Tracy, S.J. (2013). Qualitative Research Method: Collecting Evidence, Crafting


Analysis, Communicating Impact. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil


Negara.

Yin, R.K. (2009). Case Study Research Design and Methods. California: SAGE
Inc.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai