Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH STRATEGIC LEADERSHIP

“Kepemimpinan Birokratis-Kolaboratif Dalam Sektor


Pemerintahan Untuk Menyelesaikan Masalah Publik”

Disusun oleh:
Furqon Sandiva Utomo Putra (092124253032)

Sekolah Pascasarjana Jurusan Pengembangan Sumber Daya


Manusia

UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Kepemimpinan Birokratis-Kolaboratif Dalam Sektor
Pemerintahan Untuk Menyelesaikan Masalah Publik” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Utamanya
Bapak Andie Megantara, Ph. D, sebagai Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan
Sosial, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, sekaligus narasumber. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman penulis yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
Surabaya, 10 April 2022

Furqon Sandiva Utomo Putra

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3
2.1 Analisis Model Kepemimpinan – Studi Kasus.............................................................. 3
2.2 Identifikasi Permasalahan............................................................................................ 4
2.3 Research Question dari Studi Kasus ............................................................................. 4
2.4 Ide Penelitian dari Studi Kasus .................................................................................... 4
2.4.1 Konsep Penelitian ................................................................................................... 4
2.4.2 Metode Penelitian ................................................................................................... 4
BAB III PENUTUP..................................................................................................................... 5
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 5
3.1 Saran ........................................................................................................................... 5
Referensi..................................................................................................................................... 6

ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran kepemimpinan strategis dalam koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat
Dalam memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat,
Indonesia memiliki program perlindungan sosial. Idealnya, program perlindungan sosial ini
mencakup seluruh warga negara dan melindungi sepanjang hayat, adaptif terhadap bencana,
dam berkelanjutan. Perlindungan sosial ini hadir dalam bentuk skema bantuan sosial dan skema
jaminan sosial. Program tersebut pada dasarnya dibuat dalam upaya untuk memberantas
kemiskinan ekstrem sampai 0% pada tahun 2024. Saat ini, tingkat kemiskinan di Indonesia
adalah 3%. Meski angka tersebut relatif rendah di tingkat dunia, Indonesia masih tertinggal
dari Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai angka 0%
Upaya tersebut dilakukan menggunakan beberapa strategi, yaitu: mengurangi beban
pengeluaran lewat program perlindungan sosial, meningkatkan pendapatan lewat program
pemberdayaan masyarakat, dan mengurangi kantong kemiskinan lewat penanganan daerah
kumuh. Pada tahun 2021, pemerintah juga sudah membuat roadmap untuk menyelesaikan
kemiskinan ekstrem. Dimana prioritas difokuskan pada kabupaten/kota dengan tingkat
kemiskinan ekstrem paling parah.
Namun, proses ini memiliki berbagai tantangan. Masalah terbesarnya adalah ketidak-
tepatan sasaran dan pendataan. Dari alokasi APBN, banyak warga miskin tidak mendapat
program, dan justru warga mampu yang mendapat program kemiskinan. Diantara-nya karena
mereka tidak memiliki NIK atau tidak tahu bahwa program ini ada. Selain itu, eror pada data
kemiskinan masih besar, sehingga proses validasi data menjadi penting sampai tingkat RT yang
paling bawah.
Tantangan lainnya adalah fakta bahwa masing-masing kementerian dan lembaga memiliki
program untuk melawan kemiskinan. Contohnya, Kementerian Sosial memiliki program
Bantuan Sosial, Kementerian Perikanan memiliki program Perumahan Nelayan, Kementerian
Pertanian memiliki program Jalan Usaha Yani, dan lain-lain. Namun, upaya-upaya yang ada
tidak saling terorganisir satu sama lain.
Penjabaran di atas menimbulkan suatu masalah kepemimpinan dalam sektor publik. Yang
mana kompleksitas menuntut adanya kepemimpinan yang tidak hanya dapat mengelola
organisasinya sendiri, namun juga dapat berkolaborasi dengan badan dan sektor lainnya untuk
mencapai tujuan kenegaraan yang sama. Dalam makalah ini, dilakukan analisis mengani model
kepemimpinan yang diterapkan pada kasus koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Berdasarkan analisis tersebut, kemudian disusun
pertanyaan riset yang dapat diteliti lebih lanjut beserta metodenya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Model kepemimpinan apa yang diterapkan dalam studi kasus?
2. Permasalahan kepemimpinan apa yang dapat terjadi?
3. Research question apa yang bisa disusun berdasarkan masalah kepemimpinan yang
ada?

1
4. Konsep dan metode penelitian seperti apa yang dapat dilakukan untuk melakukan riset
mengenai masalah kepemimpinan yang ada?

1.3 Tujuan
1. Untuk menganalisis model kepemimpinan yang diterapkan dalam studi kasus
2. Untuk mengidentifikasi permasalahan kepemimpinan apa yang dapat terjadi
3. Untuk merumuskan research question yang dapat diperdalam berdasarkan
permasalahan yang teridentifikasi
4. Untuk merumuskan konsep dan metode penelitian yang dapat dilakukan berdasarkan
research question

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Analisis Model Kepemimpinan – Studi Kasus
Model kepemimpinan yang diterapkan dalam kasus ini adalah model kepemimpinan
birokratis. Kepemimpinan birokratis adalah kepemimpinan dengan sistem yang hierarkis
(Gurung, 2022), dimana pekerja harus mengikuti suatu peraturan dan alur perintah spesifik
yang dibuat atasannya (Kukreja, n.d.). Dalam studi kasus, pola birokratis dapat dilihat dari
adanya sistem yang menitikberatkan pada peraturan, pemberkasan, dan pendataan.
Kemampuan pemimpin dalam sektor pemerintahan seperti dalam kasus ini akan
memberikan tuntutan yang berbeda berdasarkan jenjang. Misal, pemimpin daerah perlu
kemampuan supervisi langsung dari kepala departemen dan pendekatan ke masyarakat.
Sementara di tingkat nasional, perlu sudut pandang yang lebih luas terkait kebutuhan sumber
daya dan pendekatan yang dibutuhkan pada area geografis yang berbeda-beda (Callahan,
2017).
Implementasi kepemimpinan birokratis yang efektif membutuhkan kesadaran akan
kompleksitas dari mengoperasikan sektor publik (Callahan, 2017). Dalam kasus ini, Bidang
Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial menggaris bawahi pentingnya pendataan yang
akurat untuk memastikan program sosial dapat diterima masyarakat yang tepat. Kebutuhan ini
termanifestasi dalam inisiatif. Yang pertama, adalah kebutuhan untuk berkoordinasi dengan
pemerintah daerah untuk dapat memvalidasi data yang dimiliki. Dan yang kedua, adalah
tuntutan untuk masyarakat memenuhi prosedur administratif yang ada, agar dapat
mendapatkan bantuan yang mereka butuh. Sebagai contoh, jika ternyata ada masyarakat yang
memenuhi kriteria untuk mendapat bantuan, tapi belum memiliki Nomor Induk Kependudukan
(NIK), maka pemerintah perlu membuatkan NIK dulu. Tuntutan akan kepatuhan administratif
ini adalah karakteristik kepimpinan birokratis, utamanya pada sektor publik dan pemerintahan.
Namun, dalam upaya untuk memberantas kemiskinan, Badan Koordinasi Peningkatan
Kesejahteraan Sosial memiliki tantangan lebih. Hal ini karena adanya badan lain, baik di sektor
pemerintahan maupun swasta, yang juga memiliki inisiatif serupa. Untuk memaksimalkan
inisiatif yang ada, perlu dilakukan konvergensi dan integrasi agar tepat sasaran ke masyarakat
miskin ekstrem.
Hal ini sejalan dengan adanya peningkatan kebutuhan pemerintahan untuk berkolaborasi
antar sektor dalam pemerintahan tersebut, dengan sektor swasta dan nonprofit dalam berbagai
konteks (O’Leary & Vij, 2012). Kolaborasi itu sendiri didefinisikan sebagai aktivitas gabungan
dari dua atau lebih pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai publik dibandingkan
dengan bekerja secara terpisah (Bardach, 1998).
Konsep kolaborasi manajemen publik berarti saling memfasilitasi dan beroperasi dalam
upaya multi-organisasi untuk menyelesaikan masalah yang tidak dapat dengan mudah
diselesaikan satu organisasi (O’Leary & Vij, 2012). Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal,
diantara-nya adalah karena tantangan publik yang jauh lebih besar daripada kapasitas satu
organisasi, dan kebutuhan untuk membuat alokasi dana publik lebih efektif (O’Leary & Vij,
2012).
Aspek kepemimpinan kolaboratif dalam manajemen publik ini membutuhkan adanya
pertukaran informasi, dialog, dan resolusi konflik antar organisasi (Amsler & O'Leary, 2006).
Dalam kasus ini, pemerintah melakukan koordinasi antar kementerian yang memiliki inisiatif

3
dalam memberantas kemiskinan, dan juga perusahaan swasta yang memiliki company social
responsibility (CSR), agar semua inisiatif dari entitas yang berbeda tersebut dapat disalurkan
secara akurat, dengan tujuan yang sama. Yakni, mencapai kemiskinan ekstrem 0%. Selain itu,
kolaborasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah juga penting untuk memastikan validasi
data yang akurat dan penyaluran program yang tepat sasaran.

2.2 Identifikasi Permasalahan


Manajemen publik yang kolaboratif ini memiliki beberapa tantangan. Salah satunya adalah
fakta bahwa adanya perbedaan dalam jaringan kolaborasi. Perbedaan ini bisa datang dari
kualitas manajemen internal organisasi tersebut. Selain itu, perbedaan juga datang motivasi
organisasi dalam bergabung ke jaringan kolaborasi. Misal, Ketika entitas dalam jaringan
berisikan badan-badan pemerintahan, maka secara umum dapat dipastikan bahwa jaringan
memiliki kesamaan untuk melayani publik dengan lebih baik. Namun, Ketika digabungkan
dengan entitas swasta, bisa jadi tujuan entitas tersebut berjaring adalah agar proses CSR mereka
dapat berjalan dengan lebih mudah.
Perlu disadari bahwa dalam upaya kolaborasi, tiap entitas membawa suatu kesamaan,
namun juga perbedaan. Perbedaan budaya organisasi, tingkat hierarkis, dan tujuan dapat
menimbulkan konflik (O’Leary & Vij, 2012). Ketika suatu Langkah atau keputusan perlu
diambil. Hal ini menjadi tantangan untuk pemimpin mengkonsolidasikan tujuan-tujuan yang
beririsan dalam jaringan, sembari mengelola perbedaan yang ada. Karena pada dasarnya
manajemen publik yang kolaboratif ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terlalu
kompleks untuk diselesaikan satu organisasi, jangan sampai kolaborasi justru membuat
masalah menjadi lebih kompleks karena kegagalan pemimpin dalam mengelola konflik yang
dapat timbul.

2.3 Research Question dari Studi Kasus


Berdasarkan masalah yang ada, timbul suatu research question: “Bagaimana manajemen
konflik dan kepentingan pada jaringan sektor publik yang kolaboratif?”

2.4 Ide Penelitian dari Studi Kasus


2.4.1 Konsep Penelitian
Penelitian dilakukan untuk menyusun teori mengenai manajemen konflik dan
kepentingan pada jaringan sektor publik yang kolaboratif.

2.4.2 Metode Penelitian


Penelitian dilakukan lewat studi pendahuluan terhadap kondisi existing objek amatan.
Hal ini mencakup aspek jaringan kolaborasi yang dilakukan organisasi tersebut. Studi terkait
teori dan implementasi manajemen konflik, kepentingan, dan pemerintahan juga dilakukan.
Setelah itu, dilakukan desain wawancara untuk mencari tahu persepsi stakeholder terkait aspek
dalam manajemen perubahan yang diteliti. Dari hasil kuesioner dan studi pendahuluan, dibuat
analisis yang menghasilkan kesimpulan yang menjawab tujuan penelitian.

4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kepemimpinan birokratis dengan manajemen publik kolaboratif diterapkan dalam studi
kasus yang dipaparkan
2. Permasalahan kepemimpinan yang terjadi adalah adanya potensi konflik pada jaringan
kolaboratif yang perlu dikelola agar tujuan umum dapat dicapai
3. Research question yang dapat disusun adalah mengenai bagaimana manajemen konflik
dan kepentingan dapat dilakukan dengan efektif pada jaringan sektor publik yang
kolaboratif
4. Penelitian dilakukan lewat studi pendahuluan terhadap kondisi objek amatan,
pembuatan dan pelaksanaan wawancara, dan analisis

3.1 Saran
Perlu dilakukan studi lebih dalam terkait kondisi organisasi untuk memverifikasi
permasalahan yang diidentifikasi dan memastikan penelitian relevan terhadap kebutuhan.

5
Referensi
Abun, D. et al., 2021. Bureaucratic and humanistic management styles and organizational
citizenship behavior: A study of divine word college of Laoag. INTERNATIONAL JOURNAL
OF BUSINESS ECOSYSTEM & STRATEGY, 3(2), pp. 73-84.
Amsler, L. B. & O'Leary, R., 2006. Conclusion: Parallel Play, Not Collaboration: Missing
Questions, Missing Connections. Public Administration Review, 66(1), pp. 161-167.
Arshad, U., Ullah, O. & Malik, U., 2021. Bureaucratic Leadership Style and Teachers’
Professionalism: A Case Study of Public Sector Universities. Global Regional Review ,
VI(1), pp. 211-222.
Bardach, E., 1998. Getting Agencies to Work Together : The Practice and Theory of
Managerial Craftsmanship. Washington DC: Brookings Institution Press.
Callahan, R. F., 2017. Bureaucracy and Leadership. Dalam: A. Farazmand, penyunt. Global
Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance. s.l.:Springer
International Publishing.
Gurung, P., 2022. What do you mean by bureaucratic leadership? Definition, qualities, pros
& examples. [Online]
Available at: https://www.mygreatlearning.com/blog/what-is-bureaucratic-
leadership/#What%20is%20bureaucratic%20leadership?
[Diakses 20 Maret 2022].
Kukreja, S., t.thn. Bureaucratic Leadership Guide: Definition, Pros & Cons, Examples.
[Online]
Available at: https://www.managementstudyhq.com/bureaucratic-leadership-guide-definition-
pros-cons-
examples.html#:~:text=Bureaucratic%20leadership%20is%20one%20of,authority%20created
%20by%20the%20superiors.
[Diakses 20 Maret 2022].
O’Leary, R. & Vij, N., 2012. Collaborative Public Management: Where Have We Been and
Where Are We Going?. The American Review of Public Administration, 42(5), pp. 507-522.
Sapre, P. M., 2000. Realizing the potential of management and leadership: toward a synthesis
of Western and indigenous perspectives in the modernization of non-Western societies.
International Journal of Leadership in Education, 3(3), pp. 293-305.

Anda mungkin juga menyukai