Anda di halaman 1dari 11

HASIL HASIL YANG TELAH DICAPAI SEBELUM

DAN SETELAH PELITA


Ekonomi di bawah Orde Baru

Kebjiakan ekonomi pada awal pemerintahan Suharto berhasil menekan inflasi


yang sangat tinggi
Suharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden akibat fondasi ekonomi
Indonesia ambruk diterjang krisis dan gelombang politik yang menghendaki perubahan.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi pada awal kepemimpinan jenderal
purnawirawan ini pada tahun 1968.
Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama.
"Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah
keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun," kata Emil Salim, mantan
menteri pada pemerintahan Suharto.
Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu
membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal.
Emil Salim orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang penasehat ekonomi
presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan
berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu
hanya dua tahun.

Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang
berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya.
Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan,
mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negaranegara barat untuk menarik modal.

'Terikat modal asing'


Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah
ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.
Presiden Suharto menandatangi kesepakatan IMF beberapa bulan sebelum
mundur di tahun 1998.
Suharto menamai programnya 'Pembangunan Lima Tahun' atau PELITA, yang
dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh
pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang
sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto
membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
"Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh
dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah
Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang," kata mantan menteri
koordinator perekonomian Indonesia antar tahun 1999-2000.
Namun menurut Emil Salim, untuk menggerakkan pembangunan, Suharto sejak
tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga

pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6
miliar pada tahun 1980.

Kemajuan sektor migas


Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80%
ekspor Indonesia.
"Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai
kasus sukses pembangunan ekonomi," kata pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak.
Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh
dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah
Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang.
Kwik Kian Gie, tentang kebijakan ekonomi Suharto

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu


berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan
pembenahan di bidang politik.
Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah
Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan
energi terkuras untuk bertikai.
Lebih lanjut, Emil Salim menilai, pendekatan seperti yang dilakukan Suharto pada
awal pemerintahannya lazim dipraktekkan oleh para pemimpin di kawasan Asia Timur
dan Tenggara.

"Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu


membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal,"
kata Emil Salim.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru
oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian
Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat
dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan
dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Titik balik
Masa keemasan ekonomi Orde Baru, kata Emil salim, mengalami titik balik
ketika memasuki tahun 1990-an, saat BJ Habibie dengan visi teknololgi masuk
merambah bidang ekonomi.
Suharto melepaskan jabatan setelah unjuk rasa besar-besaran tahun 1998.

Tetapi, Kwik Kian Gie tidak sependapat dan dia menilai Habibie bukan faktor
penting dalam titik balik ekonomi Orde Baru.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru terkesan begitu memukau,"
kata Kwik, namun menurutnya di sisi lain kesenjangan dan kemiskinan adalah akibat
kebijakan ekonomi liberal.

Krisis moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan tuntutan reformasi total, dia
anggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut yang diperburuk oleh situasi
politik.
Namun, pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak mempunyai analisa berbeda
tengan jatuhnya Suharto.
"Krisis ekonomi untuk sebagian orang memang bisa ditelusuri ke praktek
kebijakan, bukan desain kebijakan di atas kertasnya," kata Djisman.
Pengamat ekonomi ini menilai pada prakteknya kebijakan pemerintahan Suharto
sarat dengan berbagai penyelewengan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme pada kroni
Suharto.
Pada saat yang bersamaan, rakyat menuntut suksesi politik. Dan krisis ekonomi
yang melanda Indonesia menjadi pemicu krisis politik yang sudah dipendam oleh rakyat,
tambah Djisman Simandjuntak.
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan
yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia.
Repelita di kelompokan menjadi 6 bagian, yaitu :

Repelita I (1969 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur


dengan penekanan pada bidang pertanian.

Repelita II (1974 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau


selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.

Repelita III (1979 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.

Repelita IV (1984 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan


industri.

Repelita V (1989 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan


pendidikan.

Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan
kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman
pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat
dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai
berikut :
1.

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


2.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

3.

Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu,

Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun


Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun),

merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita
akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.

Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :


1.

Pelita I

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan
awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I

: Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan

dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.


Sasaran Pelita I

: Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan

lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.


Titik Berat Pelita I

: Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk

mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,


karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 1516 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang
agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu
banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang
buatan Jepang.
2.

Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974

hingga 31 Maret 1979. Sasaran

utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana,


mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup
berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan
Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi
47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3.

Pelita III

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III
pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih
menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan

perumahan.

Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Pemerataan pembagian pendapatan

Pemerataan kesempatan kerja

Pemerataan kesempatan berusaha

Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi

generasi muda dan kaum perempuan

Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air

Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

4.

Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya

adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang
berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.

5.

Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya

pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik
dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.
6.

Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya

masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada
periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Hasil yang masih bisa dilihat setelah adanya pelita pada masa Orde Baru dalam
pandangan kereziman adalah :
Adanya pertumbuhan ekonomi justru menjadikan orang yang kaya makin kaya
seiring dengan kebutuhan akan modal yang kian pesat dan sebaliknya, orang yang miskin
makin miskin karena faktor produksinya diserap secara tidak seimbang. Hal demikianlah
yang bisa menerangkan kenapa setelah 10 tahun pembangunan ekonomi Indonesia di era
Orde Baru melalui serangkaian Pelita I dan II (1969 1979) telah membukakan mata
bahwa kemiskinan di Indonesia sebagai dampak ketimpangan sosial dan ketidakmerataan
hasil pembangunan masih terlihat.

Adanya pemerataan hasil pembangunan ekonomi di Indonesia yang mana


pembangunan ekonomi merupakan salah satu pilar tumbuhnya rezim Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru bukannya tidak berusaha mengatasi ketidaksesuaian rencana dan
hasil pembangunan ekonomi berupa ketimpangan dan belum meratanya hasil
pembangunan. Sejak Pelita III (1979 1984) terjadi perubahan pokok. Trilogi
Pembangunan yang pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan, dan
stabilitas. Kemudian sejak Pelita tersebut diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas. Disusul pula dengan pencanangan dua pokok kebijaksanaan pembangunan,
yaitu: (1) mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; dan (2)
melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian
pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan.

TUGAS SEJARAH
HASIL HASIL YANG TELAH DICAPAI SEBELUM
DAN SETELAH PELAKSANAAN PELITA

Anggota

Di susun oleh :
KELOMPOK VI
: 1. Ifan Shofarudin Jaohari
2. Angga Pratama
3. Anreis F
4. Sri Haryati
5. Dita Angga P
6. Melia Puspitasari

SMA NEGERI I CIAMIS


Jl. Gunung Galuh no. 37 Telp. (0265) 771069 CIAMIS 46211

Anda mungkin juga menyukai