Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KLIPING IPS

Nama: Annisa Eka Nurwahyuni


Kelas : 6a
SDN SUKAGALIH 5

Penggunaan trawl (pukat harimau) sudah hampir menjadi kelaziman baru di laut Aceh. Pelakunya ada tiga pihak,
yakni nelayan luar negeri, nelayan luar daerah, dan nelayan Aceh sendiri. Masalah pelanggaran terjadi berlapislapis. Di samping penggunaan trawl memang jelas dilarang melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1980, sebagian kapal
yang ditangkap juga tidak memiliki izin dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Dalam UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, diatur tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang tak
ramah lingkungan dan merusak. Ancamannya mencapai Rp2 miliar. Selain itu, dalam konteks Aceh, pengelolaan
perikanan dengan prinsip berkelanjutan juga diatur dalam UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006.

Inilah gambar pukat harimau (trawl) yang kerap digunakan nelayan-nelayan serakah untuk mencari keuntungan
tanpa menjaga keseimbangan ekosistem laut. Kehadiran pukat monster ini cukup membuat gerah nelayan
tradisionil yang kadang-kadang hasil tangkapanya cuma secuil. Pukat trawl ini bisa mengancam ikan dari
kepunahan

Intinya, penggunaan trawl adalah merusak. Namun demikian, penggunaan trawl marak. Ada apa? Pelaku
menyadari bahwa itu melanggar hukum (baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis), namun ada dalih
ekonomi. Sebagian nelayan kita yang juga mengklaim sebagai nelayan tradisional, menggunakan trawl sebagai
jalan
terakhir
karena
tak
ada
pilihan
lain.
Di kawasan Aceh Barat, ada sekitar 200 unit trawl yang digunakan nelayan sebagai alat tangkap yang mulai
marak digunakan pascamusibah tsunami. Mereka sangat menyadari bahwa penggunaan trawl akan berdampak
pada kerusakan flora dan fauna laut. (Serambi Indonesia, 06/01/2009).
Masalah trawl tak hanya di Aceh Barat. Pukat trawl beroperasi pada jarak 100 meter dari pantai di perairan
Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Akhirnya ribuan nelayan dari 16 gampong memilih tak melaut karena
maraknya operasional boat yang menggunakan pukat harimau (masyarakat menyebut pukat katrol) di daerah
tangkapan nelayan tradisional. Jika nelayan tradisional memaksakan melaut, bukan hanya tak mendapatkan
rezeki, tetapi jaring pun ikut tersapu oleh pukat katrol. Pengelola pukat katrol, nelayan punya jaringan yang kuat
dengan berbagai kalangan sehingga mereka leluasa beroperasi. Selama ini dinas sering mengeluarkan pernyataan
pukat katrol haram, tapi tindakannya tidak ada. (Serambi Indonesia, 16/02/2009).
Aktivitas pukat trawl juga mengganggu nelayan tradisional di Kecamatan Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan
Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Mereka mengeluh karena pukat harimau beroperasi di wilayah nelayan
tradisional.
(Serambi
Indonesia,
22/02/2008).
Berkali-kali organisasi masyarakat Hukom Adat Laot telah menyatakan perang terhadap pukat trawl. Ada lima
alasan Panglima Laot Aceh menolak trawl, yakni: Pertama, trawl merusak ekosistem laut. Hal ini diklaim
berkaitan dengan pendapatan nelayan tradisional yang berkurang, karena ikan-ikan dikuras dengan cara
membabi-buta. Kedua, aktivitas trawl melanggar hukum di Indonesia. Ketiga, aktivitas trawl juga merusak
rumpon-rumpon nelayan tradisional Aceh yang dipasang di laut. Keempat, nelayan tradisional Aceh takut
mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. Kelima, pengawasan terhadap trawl seperti
tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal ini penting dalam hal menghindari sengketa antara trawl dengan
nelayan
tradisional.
(Waspada,
25/06/07;
Sulaiman
Tripa,
2008).
Penolakan terhadap trawl ternyata sudah muncul sejak tahun 1982. Menurut Sanusi M. Syaref (2003), waktu
itu, nelayan diorganisir oleh Panglima Laot Pasie Teunom Aceh Jaya, Pawang Syahrul Husin dan berhasil
menangkap satu kapal trawl dari Thailand yang awaknya membawa pistol LE. Mereka dibawa ke Polres Meulaboh
dan ditahan. Sepanjang 1982-1984 sudah mulai ada perhatian terhadap beroperasinya kapal trawl. Kemudian
pada tahun 1992, perlawanan kemudian dilakukan dengan melempari bom Molotov oleh nelayan tradisional. Pada
1998, gelombang trawl semakin menjadi-jadi dan nelayan yang menyerbu berhasil menangkap satu kapal trawl.
Dalam pertemuan Dewan Meusapat Lembaga Hukum Adat Laot (Panglima Laot Se-Aceh) pada 8-10 Juni 2002 di
Banda Aceh, Panglima Laot se-Aceh menyatakan penolakan terhadap rencana pencabutan Keppres Nomor 39
Tahun 1980 karena dinilai dapat membahayakan kehidupan biota laut dan terumbu karang. Mereka mendesak
DPRD dan Pemda Nanggroe Aceh Darussalam menyusun peraturan daerah pelarangan trawl di Aceh. Panglima
Laot juga mendesak Pemda Aceh untuk menjaga laut dan potensi sumberdaya kelautan dari penjarahan kapal
asing di Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Aceh Singkil. (Koran Tempo, 11/06/02).
Sekitar bulan Mei 2002, nelayan tradisional di Teunom Aceh Barat mengancam akan memerangi nelayan luar
yang melakukan penjarahan di daerah tangkapan nelayan tradisional. Mereka menganggap aksi yang dilakukan
kapal-kapal luar tersebut tidak bisa ditolerir lagi. Nelayan asing kerap mengkasari nelayan tradisional. Pada 29
April 2002, kapal ikan Thailand menabrak kapal nelayan di Suak Ulee, Kecamatan Samatiga. Tragedi itu
berlangsung sekitar delapan mil dari pantai. Pada Maret 2002, Panglima Laot Aceh Barat juga melaporkan bahwa

nelayan tradisional berpapasan dengan sekawanan kapal ikan Thailand. Jaraknya sekitar enam mil dari pantai.
(Waspada, 04/07/02).
Pada pertengahan 2007, Panglima Laot Aceh kembali menyatakan perang terhadap trawl. Nelayan tradisional
Aceh sangat dirugikan dengan adanya operasional pukat trawl di perairan Aceh, karena nelayan tradisional Aceh
takut mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. ( Waspada, 25/06/07).
Sejumlah nelayan di Aceh Singkil, juga mengeluh karena mengganasnya operasi trawl telah merusak alat tangkap
mereka, sekaligus diklaim merusak daerah tangkapan mereka yang akan mempengaruhi tingkat pendapatan
nelayan tradisional. Aktivitas pukat trawl, beroperasi di zona tangkap nelayan tradisional. Mengenai hal ini,
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Aceh Singkil telah membuat pengaduan kepada Pemerintah, tapi
belum ada tanggapan. Bahkan terkesan operasi trawl tanpa ada larangan dari pihak manapun (Serambi Indonesia,
22/02/2008). Sebelumnya, nelayan Aceh Singkil melihat sekawanan (sekitar 25) kapal pukat trawl yang diduga
dari Sibolga Sumatera Utara dioperasikan di perairan Singkil. (Harian Aceh, 16/07/07).
Di perairan Aceh Timur, trawl juga menjadi salah satu yang menggelisahkan nelayan di sana. Hal yang sama
dialami nelayan di kawasan Aceh Barat Daya. Nelayan luar daerah dan negara asing, khususnya dari Sibolga dan
Thailand, dilaporkan telah menguras ikan di kawasan perairan Aceh Barat Daya. Sementara nelayan setempat
hanya bisa pasrah lantaran peralatan tangkap yang digunakan kalah bersaing dengan nelayan luar. Kapal luar
tersebut tidak mengalami hambatan siang malam beroperasi kurang dari empat mil dari garis pantai. ( Serambi
Indonesia, 02/07/07).
Pada tanggal 14 Juli 2007 dini hari, wartawan Harian Aceh bersama seorang nelayan memantau langsung
sejumlah pukat harimau dari jarak sekitar 200 meter di lepas pantai di pantai selatan. Ada empat pukat harimau
yang dipantau secara sembunyi-sembunyi ketika alat itu sedang dioperasikan. (Harian Aceh, 16/07/07). Di Aceh
Barat, nelayan tradisional di Meulaboh menjelaskan aksi penangkapan besar-besaran dilakukan di perairan Aceh
Barat oleh kapal luar Aceh. Boat luar sangat meresahkan, sementara penertiban sangat jarang dilakukan.
(Serambi Indonesia, 18/07/07).
Pukat harimau mengganas di perairan Kabupaten Aceh Singkil. Akibatnya, nelayan tradisional di Kecamatan
Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan Pulau Banyak mengeluh karena pukat harimau telah merusak alat tangkap
yang mereka miliki. Aktivitas pukat harimau, bukan hanya di lautan dalam, tapi pukat juga beroperasi di zona
tangkap nelayan tradisional, sehingga hal ini betul-betul sangat merugikan masyarakat nelayan. Menurut Rosmah
Hasmy, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Aceh Singkil yang juga seorang anggota
DPRD Aceh Singkil, menyebutkan bebasnya pukat harimau beroperasi di perairan Aceh Singkil diduga ada
keterlibatan oknum aparat, karena sampai saat ini pukat harimau tersebut terus bebas beroperasi di perairan
Aceh Singkil tanpa ada larangan dari pihak manapun. (Serambi Indonesia, 22/02/2008).
Pada pertemuan seluruh Panglima Laot pantai barat (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan
Simeulue), April 2008, Lembaga Adat Laot menegaskan kembali penolakannya terhadap trawl. Pukat trawl bisa
merusak ekosistem sumberdaya kelautan, juga dikaitkan dengan kondisi di Aceh, di mana pukat trawl sangat
berperan dalam menghancurkan ekosistem sumberdaya laut Aceh. (Serambi Indonesia, 18 Maret 2008).
Sebenarnya Pemkab Nagan Raya pernah meminta seluruh nelayan di wilayah itu segera menghapus penggunaan
alat tangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl atau cara lain yang bisa merusak ekosistem di laut.
Pengelolaan secara baik harus dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sehingga
ekosistem laut akan selalu terpelihara dengan baik. Jika menggunakan alat tangkapan ikan yang tak ramah
lingkungan atau alat tangkap yang dilarang, maka hal itu akan merusak segala apek kehidupan yang ada dilautan
luas. Selain itu, lingkungan juga akan rusak sehingga akan berakibat fatal bagi manusia dan akan terjadinya
bencana karena dampak dari penggunaan alat tangkap itu akan merusak lingkungan. ( Serambi Indonesia,
31/12/2008).

Kenyataan tersebut, menggambarkan betapa kegelisahan nelayan tradisional di Aceh karena beroperasi trawl.
Namun ada pertanyaan, siapa sebenarnya nelayan tradisional?
Siapa Nelayan Tradisional
Dalam penelitian tentang Perlindungan Nelayan Tradisional Aceh dari Kepungan Trawl (Sulaiman Tripa, 2008),
saya menelusuri dari berbagai ketentuan perundang-undangan tentang nelayan tradisional.
Istilah nelayan tradisional ditemukan dalam Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan. Dalam Pasal 1 ayat (24), disebutkan bahwa Nelayan tradisional adalah nelayan yang
menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun-temurun dengan
menggunakan
alat
tangkap
yang
sederhana.
Dari pengertian ini jelas, bahwa nelayan tradisional diukur dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
penangkapan ikan, serta aktivitas penangkapan ikan itu dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang
sederhana. Dalam melakukan aktivitasnya, nelayan tradisional tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha
perikanan
(Pasal
10
ayat
(2)).
Nelayan tradisional di Aceh merupakan salah satu komponen penting dalam usaha pengelolaan perikanan di Aceh.
Sumberdaya perikanan dilakukan pengelolaan dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat, terutama nelayan (Pasal 12 ayat (1)). Hal ini juga dimaksudkan sebagai usaha percepatan
pembangunan di daerah.

Harapan tersebut, senada dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut secara tegas diinginkan bahwa pelaksanaan
penguasaan negara atas sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan pada tercapainya manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang
hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan tersebut harus mampu diwujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki
kehidupan nelayan tradisional (kecil) dan petani ikan kecil serta pemajuan desa-desa pantai.
Pasal 16 Qanun Nomor 16 Tahun 2002, menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi mendorong, menggerakkan,
membantu, memberdayakan dan melindungi usaha perikanan tradisional dan melindungi pembudidaya ikan
berskala kecil, terutama melalui koperasi, lembaga adat, dan bentuk pemberdayaan ekonomi dan nelayan
lainnya.
Berbeda dengan Qanun Nomor 16 Tahun 2002 yang dengan tegas menggunakan istilah nelayan tradisional, UU
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menggunakan istilah nelayan kecil. Dalam Pasal 1 ayat (11) disebutkan
bahwa Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam Pasal 61 ayat (1) disebutkan Nelayan kecil bebas menangkap ikan
di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Kegiatan pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (Pasal 2). Salah satu tujuan penting
dari pengelolaan perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil (Pasal 3).

Dalam UU Perikanan juga ditekankan tentang pengelolaan perikanan yang optimal, berkelanjutan, dan terjamin
kelestarian sumberdaya ikan, dengan mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal, dan
memperhatikan
peran
serta
masyarakat
(Pasal
6).
Dalam konteks pengelolaan, sebagaimana Pasal 7 UU Perikanan, Menteri menetapkan jenis, jumlah, ukuran alat
penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; dan daerah, jalur, dan
waktu atau musim penangkapan ikan; di mana setiap orang wajib memenuhi ketentuan tersebut.
Di Indonesia dengan tegas dilarang penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang (Pasal 9 huruf (c)). Menurut
Penjelasan Pasal 9 UU Perikanan, disebutkan: Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang
dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang
sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Sejak Tahun 1980, Pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl.
Keluarnya Keppres ini dengan sendirinya mengharamkan penggunaan pukat trawl di Indonesia. Dalam Keppres
tersebut diatur mengenai penghapusan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl secara
bertahap, yakni terhitung 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981, kapal perikanan yang mempergunakan jaring trawl
dikurangi jumlahnya. Dalam Keppres juga diatur bahwa ketentuan mengenai perincian jaring trawl dan
penghapusan/pengurangan
kapal
trawl
diatur
dengan
Keputusan
Menteri
Pertanian.
Istilah menggunakan pukat trawl ini, oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1988, dimaksudkan
sebagai tindak pidana yang mencakup perbuatan membawa, menguasai (membawa, menyimpan, menggunakan),
serta memperdagangkan jaring trawl.
Sebagaimana disebutkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 bahwa pengaturan tentang jalur penangkapan ikan
diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian. Ada dua Keputusan Menteri Pertanian dalam hal ini, yakni
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694 Tahun 1980, dan Keputusan Menteri Nomor 392 Tahun 1999 sebagai
pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980.
Dalam SK Menteri Pertanian Nomor 503/KPTS/UM/7/1980 mendefinisikan trawl sebagai jenis jaring yang
berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan sebuah alat pembuka mulut jaring
yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua kapal
bermotor. Jenis jaring trawl dikenal dengan nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring
tarik ikan, pukat Apollo, serta pukat langgai.

Dalam Keputusan Nomor 694 Tahun 1980, diatur tiga hal penting, yakni: Pertama, Semua usaha perikanan yang
kapal perikanannya menggunakan jaring trawl dilarang melakukan penangkapan ikan: (a) terhitung mulai tanggal 1
Oktober 1980 di perairan laut yang mengelilingi pulau Jawa dan Bali dengan batas titik-titik koordinat sebelah
Timur (garis bujur 11630' BT), sebelah Utara (garis lintang 5 LS sampai garis bujur 106 BT), sebelah Barat
(garis lurus yang menghubungkan 2 titik: 530' LS dan 16020' BT 640' LS sampai dengan garis bujur 10620'
BT; 105 BT. (b). terhitung mulai tanggal 1 Januari 1981 di perairan laut yang mengelilingi pulau Sumatera dengan
batas titik-titik koordinat garis bujur 10940' BT sampai dengan garis lintang 2 LU; garis lintang 2 LU; garis
bujur 108 BT dari 2 LU s/d 2 LS; garis lintang 2 LS; garis bujur 109 BT dari 2 LS s/d 5 LS; garis lintang
5 LS; garis bujur 11630' BT.

Kedua, Semua usaha perikanan dilarang melakukan pengangkutan ikan dengan kapal-kapal perikanan yang

menggunakan jaring trawl: (a) ke pulau Jawa dan Bali terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1980; dan (b) ke pulau
Sumatera
terhitung
sejak
tanggal
1
Januari
1983.

Ketiga, Kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas

dipersamakan dengan kapal perikanan yang tidak memiliki SIUP/SKIP dan dapat dikenakan ketentuan pasal 8
Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980. Dikecualikan dari ketentuan-ketentuan di atas, ialah kapal-kapal latih
dan
kapal-kapal
penelitian
milik
Pemerintah.
Dalam Keputusan Menteri Nomor 392 Tahun 1999 sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980,
disebutkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut terbagi atas tiga jalur penangkapan, yakni: Pertama, jalur
penangkapan ikan yang meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap
pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. Kedua, jalur penangkapan ikan yang meliputi perairan di luar
Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut. Ketiga, jalur penangkapan ikan meliputi perairan di
luar Jalur Penangkapan ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI.
Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 GT, Jalur
Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal
bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT.
Sebelum lahirnya Keppres No. 39/1980, pengaturan jalur penangkapan ikan juga sudah diatur dengan SK
Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976. Pertimbangan dikeluarkan SK ini adalah untuk melindungi
pelestarian dan daerah perairan dari kegiatan penangkaran yang menggunakan jenis peralatan tertentu, serta
melindungi nelayan kecil yang tingkat kemampuan operasional unit penangkapannya masih terbatas.
Dalam SK No. 607/KPTS/UM/9/1976, ditentukan sejumlah ketentuan, antara lain: (a) Jalur Penangkapan I,
adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut; (b) Jalur
Penangkapan II, adalah perairan selebar 4 mil laut yang diatur dari garis luar jalur penangkapan I; (c) Jalur
Penangkapan III, adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II; (d) Jalur
Penangkapan IV, adalah perairan diluar jalur penangkapan III. Kedua, Penangkapan kapal dan alat penangkapan
pada masing-masing Jalur Penangkapan diatur sebagai berikut: (I) Jalur Penangkapan I tertutup bagi: (1) Kapal
Penangkapan ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam
yang berkekuatan di atas 10 Daya Kuda (DK); (2) Semua jenis jaring trawl (beam trawl, otter trawl dan pair
(bull) trawl); (3) Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya (purse seine); (4) Jaring (pukat) lingkar
(encircling gill net) dan jaring (pukat) hanyut tongkol (drift gill net); (5) Jaring (pukat)
payang/dogol/cantrang/lampara/banting di atas 120 meter panjang rentangan dari ujung sayap/kaki yang satu
keujung yang lain. (II) Jalur Penangkapan II tertutup bagi: (1) Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard)
berukuran di atas 25 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berkekuatan di atas 50 DK; (2) Jaring
trawl dasar berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 12 meter; (3) Jaring trawl
melayang (mid-water trawl atau pelagio trawl) dan pair (bull) trawl (jaring trawl yang ditarik dengan dua kapal);
(4) Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 300 meter. (III) Jalur
Penangkapan III tertutup bagi: (1) Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 100 GT
atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berukuran di atas 200 DK; (2) Jaring trawl dasar dan melayang
berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 20 meter; (3) Pair (bull) trawl; (4) Jaring
(pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 600 meter. (IV) Jalur Penangkapan IV
terbuka bagi: Semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah, terkecuali pair (bull) trawl hanya boleh
beroperasi di perairan Samudra Indonesia. Ketiga, Semua jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan
purse seine cakalang (tuna) yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang untuk dipergunakan disemua Jalur
Penangkapan. Sementara, di perairan Selat Madura dan Selat Bali tertutup bagi penggunaan beam trawl, otter
trawl, bull (pair) trawl untuk penangkapan ikan dasar atau pelagis. Keempat, Dikecualikan dari ketentuan
termaksud pada amar Kedua dan Keempat di atas ialah: "Kapal-kapal bermotor penangkap ikan yang melakukan
kegiatan dalam rangka tugas-tugas Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas-dinas Perikanan Daerah dan Badan-

badan Ilmiah lainnya dengan persetujuan Direktorat Jenderal Perikanan dalam melaksanakan latihan
penangkapan, penelitian/eksploitasi khusus untuk menunjang pembangunan perikanan".

Pengaturan tentang jalur penangkapan ikan, pada dasarnya adalah cermin dari keberpihakan terhadap nelayan
tradisional. Hal ini kemudian bertambah dengan larangan trawl. Bila menelusuri sejarah pengaturan trawl, maka
jelas ada dua alasan utama yang menyebabkan trawl dilarang: (1) mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan
tradisional; (2) menghindari sengketa-sengketa dalam pengelolaan perikanan.
Dalam hal ini, pelarangan pukat trawl adalah landasan filosofis tertinggi dalam rangka mewujudkan keadilan
sebenarnya bagi nelayan. Konsep kesejahteraan di sini adalah mencakup materil dan immateril. Konsep
kesejahteraan dalam makna luas, sesuai konsep negara kesejahteraan sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.

Geliat perlawanan
Penolakan terhadap trawl sudah dilakukan sejak lama. Setiap ada pertemuan Panglima Laot, selalu saja
melahirkan
salah
satu
rekomendasi
tentang
penolakan
terhadap
trawl.
Sekitar bulan Mei 2002, nelayan tradisional di Teunom Aceh Barat mengancam akan memerangi nelayan luar
yang melakukan penjarahan di daerah tangkapan nelayan tradisional. Mereka menganggap aksi yang dilakukan
kapal-kapal luar tersebut tidak bisa ditolerir lagi.
Penolakan kapal trawl juga pernah disampaikan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Aceh, serta
menolak usaha mendatangkan kapal Thailand ke Aceh. Bila Pemerintah ingin membantu nelayan tradisional,
adalah dengan cara memberdayakan masyarakat. Kehadiran trawl akan memunculkan konflik baru (Waspada,
04/07/02).
Kasus-kasus yang disebutkan menampakkan bahwa ada peningkatan konflik antara masyarakat lokal dengan
nelayan luar, juga antara nelayan trawl dan non trawl.
Sudah beberapa kali nelayan tradisional Aceh melakukan unjuk rasa terhadap keberadaan trawl di Aceh. Hal ini
berpotensi menjadi konflik di laut, antara nelayan non trawl dengan nelayan trawl. Gejala konflik sudah mulai
terasa akhir-akhir ini. Setidaknya terlihat dari geliat nelayan tradisional Aceh tersebut.

Pertama, sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl atau yang sering disebut pukat harimau

ditangkap paksa oleh puluhan nelayan tradisional di perairan Suak Seumaseh, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat,
Sabtu (27/12/08). Sebelumnya sudah diperingatkan agar mereka tidak menggunakan pukat harimau dalam
beroperasi mencari ikan di wilayah nelayan tradisional. Penangkapan yang dilakukan itu dalam upaya
memberantas pukat harimau yang kini semakin marak digunakan oleh sebagian pengusaha (nelayan). Sebelumnya
sudah dilakukan pertemuan di Kantor Bupati Aceh Barat disepakati pukat harimau tidak diperbolehkan
digunakan sebagai alat tangkap ikan karena sejumlah faktor dan memang dilarang. (Serambi Indonesia,
28/12/08).

Kedua, ratusan nelayan tradisional dari Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, dilengkapi 40 unit boat, Minggu

(04/01/09) pagi melakukan razia besar-besaran di perairan laut Kecamatan Johan Pahlawan. Mereka berhasil
menangkap 15 boat milik nelayan lokal yang mengunakan alat tangkap trawl (pukat harimau). Akibat aksi
penangkapan itu, nyaris terjadi bentrokan antara dua kubu nelayan yang anti dengan pro-trawl, namun cepat
dilerai dan ditangani oleh aparat keamanan dari polres setempat dan TNI-AL. Penangkapan tersebut tidak
diterima oleh nelayan yang trawlnya ditangkap. Dengan dibantu ratusan nelayan dari Kecamatan Johan Pahlawan,
terutama nelayan dari Padang Seurahet, Panggong, Pasir, dan Ujong Kalak, mereka melakukan aksi balasan
dengan menghadang nelayan Meureubo di muara Padang Seurahet. Muara itu merupakan jalur nelayan setempat

melintas dari sungai menuju laut lepas. Karena aksi balasan itu cepat diantisipasi oleh aparat keamanan dari
Polres Aceh Barat dan TNI-AL Pos Meulaboh, sehingga bentrok antardua kubu itu berhasil dicegah. (Serambi
Indonesia, 05/01/09).

Ketiga, puluhan nelayan tradisional Lhok Meulaboh hampir bentrok dengan awak pukat harimau yang datang dari

Lhok Tapak Tuan karena diduga mereka mengunakan pukat harimau. Dalam dakwa-dakwi, awak trawl mengaku
menggunakan pukat tersebut sejauh 7 mil. Sedangkan saat itu mereka hanya singgah di TPI saja. Namun suasana
seperti itu, dapat dikendalikan oleh Satpol Air Polres Aceh Barat dan Pos AL yang datang ke lokasi. (Harian
Waspada, 02/02/09)

Keempat, sebanyak 50 nelayan tradisional dengan enam perahu melakukan operasi dengan cara sendiri. Mereka

mengamuk dan membakar satu unit kapal trawl bernama Camar Pu dengan nomor selar 1100PPA dari Belawan dan
menangkap 10 awaknya, Jumat (19/12/08). Menurut laporan, sebanyak delapan unit kapal trawl beroperasi sejak
8 Desember 2008 di perairan Kuala Peunaga, Kecamatan Sungaiyu, Aceh Tamiang. (Serambi Indonesia,
0/12/08).

Kelima, pada tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal

pukat langge. Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci.
Pukat ini sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan
Perairan Kuala Langsa. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Langsa, Cut Yusminar mengatakan pukat langge
melanggar Keppres Nomor 39 Tahun 1980. Salah seorang yang menggunakan pukat langge mengatakan selama ini
mereka beroperasi di luar perairan Langsa, namun selama ini banyak masuk kapal katrol dari Belawan ke Kuala
Langsa, hingga mereka harus bergeser (Serambi Indonesia, 23/01/08).
Dengan gambaran tersebut, paling tidak sudah terlihat sebuah kenyataan tentang fenomena trawl di Aceh.
Pukat yang dibenci ini tak hanya dipakai oleh kapal asing. Trawl juga dipakai oleh sebagian kecil nelayan Aceh
sendiri. Masalahnya adalah mengapa penggunaan trawl bisa berlangsung terus-menerus, padahal jelas
penggunaan
trawl
itu
melanggar
peraturan
perundang-undangan?
Dalam satu pertemuan Panglima Laot Aceh (9 Desember 2007), Dinas Kelautan dan Perikanan mengatakan,
pihaknya tidak bisa menghindari masalah illegal fishing, karena itu terjadi di Aceh dan membutuhkan kerjasama
lintas dinas atau badan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan dalam Fisheris Forum yang
dilaksanakan Panglima Laot Aceh (13 Februari 2006), Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, menyebutkan adanya
praktek illegal fishing akibat rendahnya tingkat pengawasan serta belum tersedianya data dan informasi
sumberdaya kelautan dan perikanan pascagempa bumi dan tsunami (Sulaiman Tripa, dkk, 2007; Sulaiman Tripa,
2008).
Pasca mengemka konflik nelayan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dan Panglima Laot Aceh mengadakan
pertemuan membahas persoalan tersebut. Menghindari bentrok yang akhir-akhir ini kerap terjadi antar nelayan
di sejumlah daerah, ditawarkan bahwa Pemerintah Aceh perlu mengeluarkan peraturan gubernur (Pergub).
Mengingat hingga kini belum ada qanun tentang kelautan dan perikanan Aceh untuk menjabarkan isi UU
Pemerintah Aceh sesuai dengan adat dan istiadat laut Aceh. Konflik laut yang terjadi akhir-akhir ini, disebabkan
berbagai faktor. Salah satu yang sangat tajam dan sering melibatkan nelayan luar Aceh dan asing - karena masih
ada pro dan kontra mengenai boleh atau tidaknya menggunakan pukat trawl. Padahal sangat jelas undang-undang
melarang keras nelayan menggunakan pukat harimau, karena bisa merusak lingkungan dan mematikan bibit ikan.
Lalu kenapa masih ada nelayan lokal menggunakan pukat trawl? (Serambi Indonesia, 06/01/2009). Namun
demikian, bila Pergub dimaksudkan hanya untuk menerangkan bahwa pukat trawl dilarang, maka akan kurang
manfaatnya.
Masalah ini sudah demikian jelas. Nasib nelayan tradisional di Aceh belakangan ini sangat memprihatinkan.

Beroperasinya pukat trawl harimau di wilayah yang seharusnya untuk nelayan tradisional sangat potensi menjadi
konflik yang terus membesar.
Dalam ruang Salam Serambi (Serambi Indonesia, 06/01/2009), secara khusus disorot hal ini. Berkali-kali
nelayan tradisional mengeluh gangguan itu kepada pemerintah, namun pukat trawl tetap saja tak terusik, bahkan
semakin merajalela. Karena tak tahan atas gangguan itu, pekan lalu ratusan nelayan tradisional dari Kecamatan
Meureubo, Aceh Barat, melakukan razia besar-besaran di perairan laut Kecamatan Johan Pahlawan. Mereka
berhasil menangkap 15 boat milik nelayan lokal yang mengunakan alat tangkap trawl. Dalam aksi penangkapan itu,
nyaris terjadi bentrokan antara dua kubu nelayan yang anti dengan pro-trawl, namun cepat dilerai dan ditangani
aparat
keamanan
dari
polres
setempat
dan
TNI-AL.
Kehadiran trawl sejak awal memang telah melahirkan konflik, terutama dengan nelayan tradisional. Dengan
ukurannya yang panjang dan besar, pukat ini menguras semua isi laut sehingga nelayan tradisional yang
menggunakan alat tangkap sederhana tidak lagi kebagian jatah. Lalu, pengoperasian pukat harimau juga diprotes
para aktivis lingkungan hidup karena merusak terumbu karang dan kerusakan habitat ikan. Bahkan, dengan
memberikan izin trawl, yang kian merajalela di laut kita bukan hanya trawl lokal, tapi kapal-kapal asing yang
menyaru sebagai nelayan domestik atau lokal. (Serambi Indonesia, 06/01/2009).
Panglima Laot Aceh juga meminta kepada pihak keamanan untuk menertibkan alat tangkap trawl yang beroperasi
di Aceh tanpa pandang bulu guna menghindari tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Selama ini terkesan
kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap trawl bebas beroperasi di perairan Aceh, seperti tidak terjangkau
oleh aparat penegak hukum. (Serambi Indonesia, 21/12/2008).
Murizal Hamzah (Serambi Indonesia, 06/09/2008) menyebut kondisi ini dengan Damai di darat, perang di
laut. Menurutnya penggunaan trawl seperti di Aceh Jaya dan Aceh Barat sangat krusial. Nelayan mengetahui
pelaku trawl, tapi tidak melarang karena bisa memantik konflik horizontal. Indonesia sudah melarang trawl,
namun prakteknya tak semudah membalik telapak tangan.
Coordinator International Collective in Support of Fishworkers, John Kurien, dalam Damai di Laut dan Trawl
(Serambi Indonesia, 15/10/2008) mengungkapkan bahwa ia melihat penggunaan trawl mini sangat marak di Aceh
Barat dan Nagan Raya. Secara ekonomi menguntungkan, tetapi akibat yang ditimbulkan cukup serius.
Menurutnya, masalah ini tak bisa didiamkan. Perlu koordinasi dan penegakan hukum. Jika aparatur hukum lemah,
dan tidak bisa menjerat para pemilik dan pelaku kejahatan di laut ini, maka dapat dipastikan implikasi ekonomi
juga
akan
dirasakan
oleh
nelayan
Aceh
kecil
secara
keseluruhan.
Pola penyelesaian
Walaupun sudah jelas melanggar UU, pada kenyataannya penyelesaian kasus juga sulit. Dalam kasus penangkapan
20 unit trawl asal Kuala Bubon dan Suak Timah di perairan Suak Seumaseh Kecamatan Samatiga, Aceh Barat,
misalnya, Polres Aceh Barat dan Satpol Air harus meminta petunjuk dari pimpinan untuk proses penyelesaiannya
(Serambi Indonesia, 28/12/2008). Sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl yang biasa
disebut pukat harimau ditangkap pada (27/2), kemudian diserahkan pada pihak penegak hukum. Masyarakat
berharap dengan adanya penangkapan ini ke depan tidak ada nelayan yang menggunakan trawl di Aceh Barat,
sebab selama ini penggunaan trawl sangat marak dan melanggar UU. (Serambi Indonesia, 30/12/2008).
Di samping itu, jalan penyelesaian lain pun dilakukan. Berulangkali digelar pertemuan namun tidak ada titik temu.
Hal ini menyangkut dengan tuntutan denda. Kedua pihak masih bersitegang dengan komitmen masing-masing.
Yakni, pihak yang menangkap meminta supaya dibayar denda, dan alat tangkap trawl diserahkan kepada polisi
karena penggunaan trawl sebagaimana pengakuan nelayan tidak dibenarkan. Sebaliknya, pihak pemilik boat warga
Suak Timah dan Kuala Bubon menginginkan dibebaskan dan membayar denda sekedarnya, sebab setelah
penahanan boat itu tidak bisa mengais rezeki. Dia mengatakan langkah itu diserahkan ke Muspida guna
menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebab, dikhawatirkan dapat menimbulkan saling pukul, apalagi mengingat

boat-boat itu masih ditahan nelayan di Suak Seumaseh. (Serambi Indonesia, 04/01/2009). Akhirnya
kesepakatan dicapai dengan penyelesaian secara damai. Boat yang ditangkap itu dilepas dengan denda Rp 500
ribu. Uang denda tersebut disumbangkan untuk membangun Masjid Suak Seumaseh. Sedangkan trawl diamankan
Muspika Samatiga sebagai barang bukti. Boat sudah dilepaskan dan mereka sepakat bahwa ke depan tidak
dibenarkan lagi menggunakan trawl dalam menangkap ikan. (Serambi Indonesia, 05/01/2009).
Pertemuan terakhir tersebut juga melahirkan tujuh kesepakatan. Di antaranya, perselisihan antarkedua
kelompok nelayan diselesaikan secara damai. Selain itu, nelayan dan kepala DKP setempat mendesak DPRK untuk
memroses dan memfasilitasi pengantian alat tangkap dari trawl ke jenis lain yang dibenarkan. Disepakati pula
bahwa sejak 5 Januari 2009 tidak dibenarkan lagi penggunaan pukat trawl di perairan Aceh Barat. ( Serambi
Indonesia,
05/01/2009).
Sehari berselang, sejumlah perwakilan nelayan mendatangi DPRK setempat. Mereka menuntut Pemkab dan
dewan membantu alat tangkap untuk mereka sebagai penganti trawl. Sebab, pascapenangkapan trawl pada
Minggu (4/1) telah disepakati bahwa alat tangkap akan dibantu sebagai penganti trawl. Mereka mengaku alat
tangkap yang mereka gunakan tidak dibenarkan lagi. Dan pascatidak dibenarkan gunakan lagi, nelayan sangat
mengeluh dan berharap alat tangkap penganti dapat segera dibantu. Polres sendiri segera akan membentuk tim
terpadu guna menertibkan semua pukat harimau (trawl) pada nelayan (Serambi Indonesia, 06/01/2009). Hal ini
sudah pernah dinyatakan juga oleh Pemkab Aceh Barat, bahwa akan dibentuk Tim Terpadu untuk melakukan
razia terhadap penggunaan trawl (pukat harimau). Tim ini merupakan gabungan dari sejumlah instasi terkait baik
dari Pemkab, polisi, TNI serta lembaga lain akan melakukan menyita trawl. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh
Barat dalam proses persiapan pengadaan/lelang 350 alat tangkap yang ramah lingkungan untuk nelayan yang
selama ini menggunakan trawl. Dalam proses penyaluran akan dilakukan sistem tukar. Pukat trawl ditarik untuk
dimusnakan dan langsung diberikan alat tangkap ramah lingkungan. (Serambi Indonesia, 15/01/2009).
Dalam kasus di Langsa, penyelesaian kasus yang terjadi dalam hal penggunaan alat tangkap, adalah mendudukkan
pihak-pihak yang berwenang seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar, Airud, Panglima Laot, dan
nelayan membicarakan solusinya. Berbagai pihak yang bersangkutan kemudian turun ke lapangan untuk
membuktikan laporan itu secara langsung yang disampaikan dengan pengakuan. Kasus tersebut terjadi pada
tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal pukat langge.
Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci. Pukat ini
sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan Perairan Kuala
Langsa. (Serambi Indonesia, 23/01/2008).
Masalah yang didapati antar nelayan cenderung mudah diselesaikan. Akan tetapi mengenai masalah nelayan dari
luar, mengalami masalah tersendiri. Ada dua kelompok yang selama ini dirasakan nelayan, yakni kelompok kapal
yang legal, merea memiliki surat izin dari lembaga terkait untuk mengambil ikan di perairan Aceh, namun
kelompok ini tidak memperhatikan batasan-batasan otonomi adat laot. Kelompok lainnya adalah yang selama ini
menjarah ikan secara illegal, baik yang menggunakan trawl maupun yang masuk dengan illegal. Ada kapal juga
yang memperoleh izin menggunakan kapal trawl.
Khusus kasus di Aceh Tamiang, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Tamiang, Drh Sofyan mengimbau agar
nelayan di daerah itu tidak melakukan tindak kekerasan dalam menangani persoalan boat katrol (pukat harimau)
milik nelayan Sumtera Utara yang beroperasi di daerah itu. Menurutnya, kalau memang ada boat katrol yang
mengganggu perairan Aceh Tamiang, segera melaporkan kepada pihak terkait. Namun seorang warga nelayan
menyampaikan bahwa keberadaan boat katrol sudah sangat mengganas di perairan Aceh Tamiang. Akibatnya
nelayan tradisional kehabisan akal memperoleh ikan di laut. Kondisi itu mendorong para nelayan setempat
melakukan pembakaran boat katrol yang kedapatan sedang menangkap ikan di perairan laut Aceh Tamiang.
(Serambi
Indonesia,
05/01/2009).
Ditpolair NAD terus meningkatkan kewaspadaan dengan mendirikan sejumlah pos pengaman di sepanjang pantai

Aceh. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pelanggaran laut seperti penggunaan pukat trawl yang terjadi belum
lama ini di Meulaboh. Mereka telah mendirikan pos-pos pengaman di sejumlah tempat strategis seperti di Ulee
Lheu, Krueng Cut, termasuk di tempat-tempat setrategis di seluruh perairan Aceh, yakni Pantai Utara, Timur,
Barat dan Selatan. Setiap pos ditempati oleh sepuluh personel polair yang bekerjasama dengan personel polres
setempat. (Serambi Indonesia, 14/01/2009).
Kendala penegakan hokum
Ada beberapa kendala penegakan hukum dalam konteks trawl ini, yakni: Pertama, dalam lingkup kebijakan.
Pemerintah tidak menindak tegas para pengguna trawl bila tidak ada tekanan. Di Aceh sudah lama berlangsung
trawl, namun penangkapan terhadap trawl masih bisa dihitung dengan jari. Beberapa kali penangkapan juga masih
menyentuh yang kelas teri.
Faktor kebijakan yang tidak sinergis juga menjadi penyebab. Di Indonesia, di kawasan tertentu, terutama
perbatasan, pernah diizinkan menggunakan trawl. Hal ini tentu menimbulkan efek negatif ke wilayah sekitarnya.
Di samping itu, pemberian izin juga melawan undang-undang, yang berarti pengambil kebijakan sendiri dengan
kebijakannya melakukan kebijakan yang melanggar.

Kedua, sarana. Dalam sebuah penelitian Pelaksanaan Hukom Adat Laot dalam Pengelolaan Perikanan di Aceh

(Lemlit Unsyiah, 2008), saya menemukan kendala yang dihadapi aparat penegak hukum adalah kapal patroli yang
sangat sedikit. Misalnya Lan Tamal Lhokseumawe hanya memiliki lima kapal patroli untuk mengamankan wilayah
dari
Pidie
hingga
ke
Pangkalan
Susu.

Ketiga, faktor koordinasi. Koordinator Persatuan Masyarakat Pesisir Dunia, John Kurien, menawarkan konsep ko
manajemen untuk melakukan koordinasi tersebut. (Serambi Indonesia, 23/05/2007).

Pada kenyataannya, sebagaimana telah dijelaskan bagian sebelumnya, kasus trawl di Aceh antara lain disebabkan
oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Hal antara lain diukur dengan sedikitnya kasus ini yang sampai
ke pengadilan.
Perkembangan meluasnya operasi trawl di Aceh merupakan rangkaian oleh tidak ketatnya Pemerintah melakukan
pengawasan dan penegakan hukum. Keadaan ini sangat berdampak pada nelayan tradisional. Upaya patroli pun
terkesan kurang. Dalam Pertemuan Panglima Laot se-Aceh Juni 2001, dengan tegas meminta Pemerintah
mengencarkan patroli untuk memberi perlindungan kepada nelayan tradisional (Dokumen Pertemuan Panglima
Laot Aceh, 19-20 Juni 2001).
Dalam pertemuan tersebut, Panglima Laot se-Aceh juga dengan tegas menolak trawl, agar sumberdaya perikanan
bisa berkelanjutan. Pernah ada kejadian Perusahaan Daerah Pembangunan Sabang menandatangani perjanjian
dengan beberapa investor asing untuk mengoperasikan kapal trawl di kawasan tersebut, Panglima Laot Aceh
dengan tegas menolak.
Pengaturan tepatnya perlindungan terhadap pukat trawl di Indonesia, menjadi salah satu hal yang sangat
penting dilakukan. Namun dalam pelaksanaannya, hal ini kemudian dihantui oleh kebijakan perikanan yang
berorientasi pada pembangunan ekonomi.
Sasaran pembangunan ekonomi dalam dua dekade ini, diarahkan untuk meningkatkan pendapatan perkapital
mencapai US$ 6.000. Pengembangan industri berbasis sumberdaya alam adalah hal penting, dengan
memperhatikan efisiensi, rasionalitas, dan memperhatikan daya dukung. Pengembangan industri tersebut,
diarahkan salah satunya kepada industri berbasis pertanian dan kelautan.
Dalam hal ini, modernisasi adalah salah satu faktor penting. Proses ini terkait dengan konsep perdagangan dan
investasi, yang berujung kepada perkuatan daya saing global.

Pada masa depan, benturan kebijakan antara kepentingan nelayan kecil di satu pihak dengan kepentingan
pembangunan ekonomi, haruslah dihindari. Kepentingan ekonomi harus mengedepankan kepentingan nelayan kecil,
dan tidak mengenyampingkan kepentingan aturan hukum pelarangan trawl.
Dalam hal ini, tujuan pengentasan kemiskinan sebagaimana yang dimaksudkan dalam peluang menarik investor
dan kebijakan ekonomi, sebenarnya akan terselesaikan bila benar-benar nelayan kecil dilindungi. Kemiskinan
paling besar terdapat pada komunitas nelayan, maka mengentaskan kemiskinan, logikanya adalah dengan
melindungi kawasan tangkapan mereka untuk mendapatkan pendapatan mereka yang baik dalam kehidupan
keseharian.[]

Kondisi terumbu karang di perairan laut di berbagai lokasi di nusantara dilaporkan sudah
mengalami kerusakan akibat pencarian ikan yang ilegal dan melanggar hokum
seperti bom ikan dan penggunaan pukat. Dimana cara pencarian ikan ini sangat merusak terumbu
karang yang notabene habitat ikan di dasar laut. Jenis ikan konsumsi yang memiliki habitat di
karang yakni ikan kakap dan kerapu menjadi berkurang jumlahnya secara signifikan. Pembuatan
rumpon sebagai rumah tinggal buatan dapat dijadikan salah satu usaha untuk mengembalikan
kelestarian hayati di dasar laut.
Rumpon dalam bahasa kelautan adalah karang buatan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan
sebagai tempat tinggal ikan. Rumpon merupakan rumah buatan bagi ikan di dasar laut yang
dibuat secara sengaja dengan menaruh berbagai jenis barang di dasar laut secara kontinyu.
Pembuatan rumpon ikan sebenarnya adalah salah satu cara untuk mengumpulkan ikan, dengan
membentuk kondisi dasar laut menjadi mirip dengan kondisi karang karang alami, rumpon
membuat ikan merasa seperti mendapatkan rumah baru. Meski untuk mengetahui keberhasilanya
dibutuhkan waktu yang tidak sedikit sekitar 3- 6 bulan namun usaha pembuatan rumpon ini
merupakan solusi terbaik meningkatkan hasil perikanan di laut. Kalau anda ingat beberapa tahun
yang lalu pemerintah DKI Jakarta mencemplungkan becak yang dirazia ke laut utara Jakarta,
tujuan salah satunya adalah untuk membuat terumbu karang di dasar laut sebagai rumah tinggal
ikan.
Rumpon ikan diberbagai lokasi dibuat dengan memasukkan barang barang seperti ban, dahan
dan ranting dengan pohonnya sekaligus kedalam laut. Barang barang tersebut dimasukkan
dengan diberikan pemberat berupa beton, batu batuan dan lain lain sehingga posisi dari
rumpon tidak bergerak karena arus laut. Barang barang yang dimasukkan kedalam laut dapat
terus ditambah secara kontinyu untuk menambah massa rumpon.
Pembuatan rumpon selain untuk diambil hasil ikannya untuk keperluan sendiri, dapat juga
disewakan kepada para pemancing laut yang memang mencari kesenangan mencari ikan di

lokasi yang banyak ikannya. Para pemancing yang memang membutuhkan hot spot memancing
yang bagus dapat menyewa pemilik rumpon ini sebagai alternatif memancing yang cukup
gampang, ikan yang dapat dicari adalah jenis ikan kerapu, ikan kakap merah, talang talang dan
lain lain. Meski bukan ikan monster namun lumayan sebagai pemuas dahaga mancing..salam
strike.
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat Indonesia memiliki luas terumbu karang
sekitar 51.000 km2 atau 18% dari total luas terumbu karang dunia. Namun sayangnya Indonesia
juga salah satu negara dengan status terumbu karang yang paling terancam di dunia. Selama 50
tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10%
menjadi 50% berdasarkan laporan Reef at Risk pada 2002.
Adapun hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga akhir 2012
menyebutkan hanya 30% terumbu karang Indonesia dalam kondisi baik, 37% dalam kondisi
sedang, dan 33% sisanya rusak parah. Pemantauan terumbu karang tersebut dilakukan LIPI di 77
daerah yang tersebar dari Sabang hingga Kepulauan Raja Ampat.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang yang telah dikembangkan
sejak beberapa tahun ini adalah melalui teknologi terumbu karang buatan dan transplantasi
karang. Yang disebut terumbu karang buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan
maksud memperbaiki ekosistem yang rusak, sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut
untuk hidup dan menetap; biasanya terbuat dari timbunan bahan-bahan, seperti bekas ban mobil,
cor-coran semen/beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil dan sebagainya. Dalam jangka
waktu tertentu, struktur yang dibuat dengan berbagai bahan seperti struktur beton berbentuk
kubah dan piramida, selanjutnya membantu tumbuhnya terumbu karang alami di lokasi tersebut.
Dengan demikian, fungsinya sebagai tempat ikan mencari makan, tempat memijah serta tempat
berkembang biak berbagai biota laut dapat kembali terwujud.
Berikut ini adalah contohlokasi di Indonesia yang sudah mengembangkan budidaya terumbu
karang buatan:

Desa Pemuteran, Bali.


Disini dapat dilihat aktivitas konservasi yang dilakukan masyarakat dengan
menempatkan terumbu karang buatan di sepanjang pantai, serta sebuah terumbu karang
buatan (artificial reef) berupa kurungan sepanjang 222 meter yang terbuat dan besi baja
yang dialiri listrik DC, untuk mempercepat proses melekatnya polip-polip karang.

Probolinggo, Situbondo, Sidoarjo, Bangkalan, Sampang dan Pamekasan, Jawa


Timur
Pembuatan terumbu karang buatan yang dikembangkan menggunakan beton berukuran
60 x 10 meter dan ban bekas yang ditenggelamkan di laut. Saat ini daerah yang paling
banyak menggunakan beton sebagai terumbu karang buatan adalah di daerah
Probolinggo, dengan 600 unit beton ditenggelamkan di Pulau Gili Ketapang dan 600 unit

di PPU Paiton. Dan yang banyak menggunakan ban bekas adalah di daerah Situbondo di
Desa Kembang Sambi Kec. Mlandingan sebanyak 38 unit.

Kep. Seribu
Pada 6 Juli 1979, ratusan ban bekas, truk, dan bis piton dari Departemen Pekerjaan
Umum dibenamkan sebagai terumbu karang buatan atau rumpon di sekitar Pulau Kotok
Kecil untuk menandai pulau itu sebagai base camp Persatuan Olahraga Selam Seluruh
Indonesia (POSSI). Dua puluh tahun kemudian, giliran Bubbles Divers dan rekan
penyelam lain membenamkan gentong karang (Tahun 2000), kapal kayu (Tahun 2001) di
kedalaman 20 m di bawah dermaga Pulau Kotok Besar yang letaknya berhadapan dengan
Pulau Kotok Kecil. Tahun 2002 ditenggelamkan juga gentong karang dan rangka VW
Combi yang sudah dibersihkan dari unsur oli, bensin dan cat di Karang Halimah, antara
Pulau Kotok Besar dan Kotok Kecil.

Berikut, tips sederhana untuk bisa membantu mengkonservasi terumbu karang dengan
sederhana:

Terapkan prinsip 3 R (reduce-reuse-recycle) dan hemat energi. Terumbu karang adalah


ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan iklim. Kenaikan suhu sedikit saja dapat
memicu pemutihan karang (coral bleaching). Mass coral bleaching dapat diikuti oleh
kematian massal terumbu karang, seperti yang terjadi di hampir seluruh kawasan tropis
97-98, di Australia, 2002, dan di Karibia, 2006. Kejadian coral bleaching terbaru tahun
2010 melanda banyak sekali lokasi di Indonesia ( laporan kejadian coral bleaching 2010)
Jadi apapun yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak global warming, akan
sangat membantu terumbu karang.
Buang sampah pada tempatnya. Hewan laut sering terkait pada sampah-sampah sehingga
mengganggu gerakannya. Sampah plastik yang transparan banyak dibuktikan termakan
oleh penyu karena tampak seperti ubur-ubur. Sampah plastik ini akan mengganggu
pencernaanya. Dibanyak lokasi terumbu juga dijumpai karang dan biota laut lainnya yang
bersifat bentik, sessile (tidak dapat berpindah) yang mati akibat tertutup lembaranlembaran plastik. Ingat,plastik tidak hancur dalam satu malam saja!

Apabila Anda berlibur, pilih dan pastikan operator/agen/tour Anda menerapkan prinsip
ramah lingkungan.
Bergabung dengan jejaring informasi , milist-milist lingkungan, berbagi ilmu, informasi,
pendapat, dan saling berdiskusi, ajak orang lain untuk terlibat, membangun trend dan
gerakan, GAYA HIDUP yang ramah lingkungan.
Bergabung dengan gerakan-gerakan sukarelawan, atau terlibat aktif dalam kegiatan
pelestarian lingkungan. Ada berbagai kegiatan yang bisa rekan-rekan ikuti, seperti
jaringan sukarelawan survei terumbu karang (JKRI), trip-trip penelitian, reboisasi,
magang di lembaga pelestarian lingkungan dan lain-lainnya (volunteer Reef Check).

Budidaya laut merupakan salah satu subsektor perikanan budidaya yang pengembangan
berada dalam area terbatas. Biasanya letaknya di daerah yang memiliki ketenangan arus.
Budidaya laut seperti halnya pada budidaya air tawar dan air payau juga harus didukung
dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung pembudidayaan ikan di laut. Pembudidayaan
ikan di laut selain memiliki ketenangan arus tertentu, juga memperhatikan tingkat
salinitas, kejernihan air , pencahayaan dan kedalaman air lautnya.

Budidaya laut merupakan salah satu subsektor yang sampai dengan saat ini merupakan
unggulan perikanan budidaya dalam meningkatkan volume produksinya. Volume
produksi baik menurut komoditasnya ataupun menurut daerah penghasilnya secara
nasional didominasi oleh produksi komoditas budidaya laut seperti rumput laut yang
produksi mencapai hampir 2/3 dari total produksi nasional.

Walaupun masih kalah dibandingkan subsektor budidaya air tawar namun produksi
budidaya laut tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Apalagi jika melihat data
produksinya yang hampir didominasi oleh rumput laut dari budidaya laut. Umumnya
komoditas budidaya laut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di pasaran baik
dalam negeri maupun luar negeri. Pasar untuk komoditas budidaya laut pun masih sangat
terbuka dan sebagian besar komoditas budidaya laut di ekspor keluar negeri dengan nilai
jual yang cukup tingggi. Ada beberapa komoditas yang sudah dapat dibudidayakan dan
dikembangakan oleh daerah-daerah yang ada di Indonesia, antara lain yaitu :

1. RUMPUT LAUT
Rumput laut adalah komoditas unggulan di perikanan budidaya subsektor budidaya laut.
Rumput laut selain dapat di budidaya di laut juga dapat dibudidayakan di air payau,
namun jenisnya berbeda. Rumput laut yang sering dibudidayakan dan dikembangkan
diperairan laut selama ini memiliki nama ilmiah euchema cottonii. Sedangkan untuk jenis
yang dibudidayakan di air payau adalah Gracilari sp. Rumput E. cottonii ini
dikembangkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir
perkembangan rumput laut begitu cepatnya. Bahkan data tahun 2009 rumput laut E.
cottonii hampir menembus tiga juta ton. Sentra budidaya rumput laut cottonii terdapat di
pulau sulawesi terutama di provinsi sulawesi selatan, sulawesi tengah dan sulawesi
tenggara. Diluar pulau sulawesi sentra budidaya rumput laut jenis ini terdapat di provinsi

nusa tenggara timur dan provinsi jawa timur. Geliat pengembangan budidaya rumput laut
jenis ini sudah berkembang di luar pulau sulawesi. Bahkan beberapa provinsi
menunjukan peningkatan volume produksi yang cukup tinggi.

2. BANDENG
Bandeng adalah komoditas budidaya laut yang dapat juga dibudidayakan di tambak. Ikan
ini memiliki nilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki rasa yang enak. Pada beberapa
daerah ikan ini menjadi makanan khas daerah tersebut. Tidak banyak daerah yang
membudidayakan bandeng di laut. Berdasarkan laporan dari daerah-daerah yang sampai
ke pusat melalui buku statistik provinsi hanya provinsi Bali dan Provinsi DKI Jakarta saja
yang mengembangkan budidaya ikan bandeng di laut. Memang jika melihat sejarahnya
ikan bandeng lebih dikenal sebagai ikonnya ikan budidaya tambak. Padahal ikan bandeng
yang dibudidaya di karamba jaring apung di laut memiliki keunggulan yaitu tidak bau
lumpur. Sementara bandeng yang ada di tambak biasanya berbau lumpur .

3. KERAPU
Sama halnya dengan ikan bandeng, ikan kerapu juga dapat dibudidayakan di tambak.
Bedanya ikan kerapu lebih dikenal dan banyak di budidaya di laut daripada di tambak.
Kerapu memiliki tujuh genus yang dikenal di Indonesia, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola.
Dari ketujuh genus tersebut yang memiliki nilai komersial adalah genus Chromileptes
yang diwakili oleh jenis kerapu bebek, Plectropomus diwakili oleh jenis kerapu sunu, dan
Epinephelus yang diwakili oleh jenis kerapu macan. Ikan kerapu dibudidayakan hampir
di seluruh daerah di Inonesia. Sentra budidaya ikan kerapu du laut terletak di provinsi
Maluku, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan Lampung.

4. KAKAP
Ikan kakap juga dapat dibudidayakan di laut dan di tambak. Kakap yang dibudidayakan
ada dua jenis yaitu kakap putih dan kakap merah. Ikan kakap termasuk ikan yang
memiliki toleransi cukup besar terhadap kadar garam. Ikan kakap juga merupakan ikan
yang memiliki nilai ekonomis baika untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk pasar
internasional. Budidaya ikan kakap di laut terdapat di provinsi DKI Jakarta , Kepulauan
Riau dan beberapa daerah di Indonesia timur. Pada tahun 2009 produksi tertinggi kakap
dihasilkan oleh provinsi kepulauan riau.

5. BERONANG
Ikan beronang memiliki nama ilmiah Siganus sp. Ikan ini sebenarnya cukup potensial
untuk dikembangkan. Ikan ini termasuk ikan yang memiliki daging yang gurih dan
disukai banyak orang. Sifatnya primary herbivor, suka memakan plankton dan makanan
buatan. Ikan ini termasuk komoditas yang mudah dibudidayakan karena mempunyai
toleransi yang tinggi terhadap kadar garam dan tingkat suhu. Ikan ini di alam tersebar di

berbagai daerah di Indonesia. Sementara lokasi budidayanya terletak di provinsi


kepulauan riau, papua dan maluku berdasarkan laporan data statistik dari setiap provinsi
yang ada di Indonesia.

6. TERIPANG
Teripang termasuk komoditas perairan laut yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi.
Nama latinnya Holothuroidea. Teripang biasa disebut juga sebagai timun laut. Komoditas
ini biasa ditemukan di daerah pasang surut air laut sampai dengan daerah laut dalam.
Teripang yang dalam bahasa inggrisnya disebut sea cucumber, memiliki manfaat antara
lain dapat dijadikan penyembuh luka, pencegah osteoporosis, anti kanker dan anti tumor
serta dapat mengendalikan kadar gula darah. Sentra budidaya komoditas teripang sendiri
terdapat di provinsi Maluku dan Papua.

7. KUWE
Ikan kuwe memiliki nama ilmiah Caranx sexfasciatus ini memiliki kebiasaan yang unik.
Ia dikenal sebagai ikan yang senang bercengkerama dengan teman sebayanya. Ikan ini
termasuk dalam golongan ikan predator yang hidup di daerah karang dangkal di perairan
terbuka. Ikan yang tergolong sebagai ikan buas ini hidup dengan membentuk
gerombolan. Ikan ini sudah dapat dibudidayakan. Daerah yang mengembangkan ikan
kuwe sebagai ikan budidaya adalah provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Nusa
Tenggara Timur dan sebagian provinsi yang ada di pulau Sulawesi.

8. KERANG
Kerang termasuk komoditas laut yang sudah dapat dibudidayakan. Kerang masuk dalam
kategori hewan bertubuh lunak atau mollusca walaupun ia memiliki cangkang yang
kerang. Ada berbagai macam jenis kerang yang ada di perairan Indonesia. Namun kerang
yang sering dibudidayakan antara lain adalah jenis kerang darah, kerang hijau dan
abalone. Kerang merupakan komoditas dengan pangsa pasar yang masih sangat terbuka.
Komoditas ini dikenal sebagai makanan dengan nilai eksklusif tinggi. Beberapa daerah
yang mengembangkan budidaya kerang antara lain provinsi Jawa Barat, Banten, Nusa
Tenggara Timur dan Maluku.

9. UDANG BARONG
Udang barong dikenal dengan nama lobster laut, mencari makanan pada malam hari dan
suka tinggal di dalam lubang-lubang. Udang yang memiliki nama ilmiah Panulirus sp ini
merupakan komoditas yang sangat potensial. Sama halnya dengan udang yang lain,
komoditas ini memiliki nilai jual yang cukup lumayan. Komoditas yang memiliki nama
inggris Spiny lobster ini, pembudidayaannya terdapat di provinsi Maluku Utara, Nusa
Tenggara Barat dan Kalimantan Timur.

Sampai dengan saat ini, komoditas budidaya laut yang pengembangan cukup baik adalah
seperti tersebut di atas. Budidaya laut selain budidaya air payau dan budidaya air tawar

sangat diandalkan oleh perikanan budidaya untuk terus berkembang dalam peningkatan
produksi baik dari sisi volume maupun dari sisi keberagaman jenis yang dibudidayakan

Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai agenda dalam hubungan
internasional pada tahun 1970-an. Hal itu ditandai dengan diselenggarakannya
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tahun
1972 di Stockholm, Swedia (Mansbach, 1997:14). Bersamaan dengan didirikannya
United Nation Environment Program (UNEP) sebuah badan PBB yang bertugas untuk
membicarakan sekaligus mencari jalan keluar yang baik terhadap pemecahan masalah
lingkungan hidup (Encarta, 2007).
Kerusakan lingkungan hidup menjadi perbincangan dalam hubungan internasional
dimana aktor-aktor non-negara memainkan peranan penting dalam merespon
permasalahan lingkungan hidup yang secara khusus lingkungan hidup itu sendiri
diartikan sebagai seluruh kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan peranan
organisme (Perwita,Yani, 2005: 144).
Salah satu penyebab kerusakan lingkungan terjadi dikarenakan perusahaan mutlinasional
hanya memperhatikan peningkatan sektor permintaan (demand) sebagai indikasi
peningkatan sektor produksi demi terciptanya akumulasi modal tanpa memperhatikan
degradasi lingkungan yang ada, degradasi atau kerusakan lingkungan hidup di Indonesia
telah berada didalam tahap yang mengkhawatirkan terutama dalam hal pencemaran air
akibat limbah industri dan pembangunan perkotaan (Forbes, 2007). Jumlah penduduk
diperkirakan masih bertambah, baik nasional maupun global. Sehingga tampillah
keharusan merubah pembangunan konvensional ke pola pembangunan berkelanjutan
(sustainable).
Terdapat berbagai macam cara dalam menjaga dan merawat lingkungan hidup di sekitar
kita. Pembudidayaan hutan mangrove salah satunya, hutan mangrove memiliki berbagai
macam fungsi seperti penjaga kualitas air, pencegah bencana alam, penjaga sistem dan
proses alami, pengatur fungsi hidrologis dsb.
Indonesia sendiri sebagai negara tropis memiliki hutan mangrove terbesar didunia,
luasnya mencapai antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar
(http://www.slideshare.net/elisa3da/hutan-bakau-kapuk).

Belakangan ini hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan luas wilayah,


terutama di kawasan Jakarta Utara. Pembangunan kawasan elite di atas lahan hutan
mangrove di wilayah Jakarta Utara ini menyebabkan meningkatnya intrusi air laut ke

darat yang menyebabkan makin parahnya banjir di Jakarta, meningkatnya abrasi,


hilangnya habitat flora dan fauna di daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai