Pengolahan terdahulu.
Limbah cair yang dihasilkan pabrik kelapa sawit tidak langsung dibuang ke badan air
karena akan menimbulkan pencemaran. Secara konvensional pengolahan limbah di
pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan secara biologis dengan menggunakan sistem
kolam, yaitu limbah cair diproses di dalam satu kolam anaerobik dan aerobik dengan
memanfaatkan mikroba sebagai perombakan BOD dan menetralisir keasaman cairan
limbah. Hal ini dilakukan karena pengolahan limbah dengan menggunakan teknik
tersebut cukup sederhana dan dianggap murah. Namun demikian lahan yang
diperlukan untuk pengolahan limbah sangat luas, yaitu sekitar 7 ha untuk PKS yang
mempunyai kapasitas 30 ton TBS/jam. Kebutuhan lahan yang cukup luas pada teknik
pengolahan limbah dengan menggunakan sistem kolam dapat mengurangi
ketersediaan lahan untuk kebun kelapa sawit. Waktu retensi yang diperlukan untuk
me-rombak bahan organik yang terdapat dalam limbah cair ialah 120 140 hari.
Efisiensi perombakan limbah cair PKS dengan sistem kolam hanya sebesar 60 70
%. Disamping itu pengolahan limbah PKS dengan menggunakan sistem kolam sering
mengalami pendangkalan sehingga masa retensi menjadi lebih singkat dan baku mutu
limbah tidak dapat tercapai. Proses ini kurang baik dalam penurunan kualitas air
limbah, terutama pada panen puncak dan dalam kondisi fluktuatif. Pengolahan yang
menggunakan kolam terbuka pada temperatur ambient yang tinggi menghasilkan
produksi gas metana dan karbondioksida yang tidak terkendali, yang mana keduanya
merupakan gas rumah kaca. Luas areal yang dibutuhkan untuk tempat pengolahan
sangat besar sehingga hanya diprioritaskan untuk industri pengolahan kelapa sawit
yang kecil.
Namun proses ini mempunyai banyak kelemahan, diantaranya yaitu:
- memerlukan areal yang datar yang cukup luas (300 Ha untuk pabrik kapasitas 60
ton/dalam satu areal).
- sifatnya yang sementara (tidak selamanya ) karena flatbed suatu saat akan jenuh dan
bila itu terjadi berarti harus membuat flatbed baru.
- Jika pengaliran dan pendistribusian menggunakan pipa maka dalam waktu 2-3 tahun
harus menggantinya, karena dalam pipa sudah terbentuk kristal yang akan
menyumbat pipa.
Untuk itu, konversi limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) menjadi biogas
menggunakan digester anaerobik sudah banyak diteliti bahkan telah diaplikasikan
secara komersial dibeberapa PKS di Indonesia dan Malaysia [1, 11]. Hal ini
disebabkan pengolahan konvensioanal LCPKS yang menggunakan kolam terbuka
(lagoon) ternyata melepaskan biogas (CH4 dan CO2) ke atmosfir sebagai emisi gas
rumah kaca (GRK).
Karakteristik Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit
Limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit adalah limbah padat
dan limbah cair Limbah padat terdiri dari janjangan, serat-serat dan cangkang.
Limbah padat yang berupa janjangan dibakar dan abu hasil pembakaran janjangan
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Serat-serat dan sebagian kulit juga
dibakar dan panas yang dihasilkan dari pembakaran tersebut dapat digunakan
sebagai sumber energi untuk menghasilkan uap yang banyak diperlukan selama
berlangsung. Sisa dapat cangkang digunakan sebagai bahan baku industri yang
aktif maupun industri hard board.
Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit yang akan ditinjau lebih
lanjut mempunyai potensi untuk mencemarkan lingkungan karena mengandung
parameter bermakna yang cukup tinggi. Eckenfelder (1980) menyatakan bahwa
golongan parameter yang dapat digunakan sebagai tolok ukur penilaian kualitas air
adalah sebagai berikut :
1.
banyak tidaknya padatan yang terdapat terdapat dalam limbah terutama padatan
tersuspensi mempengaruhi tinggi rendahnya BOD
Karakteristik dari limbah cair industri pengolahan kelapa sawit dipaparkan
pada label di bawah ini :
Parameter
Rentang
4,0 4,6
Rata - rata
4.3
60-80
70
30.000-60.000
50.000
15.000 40.000
30.000
15.000 30.000
20.000
Minyak
4.000- 11.000
8.000
20.000-40.000
25.000
40.000-70.000
55.000
Nitrogen
500-900
700
Fosfat
90-140
120
Kalium
1.000-2.000
1.500
Magnesium
250-300
270
Kalium
260-400
325
Besi
80-200
110
PH
Suhu , C
Total Solid (mg/l)
Sebenarnya
penguraian
bahan
organik
dengan
proses
anaerobik
mempunyai reaksi yang begitu kompleks dan mungkin terdiri dari ratusan
reaksi yang masing- masing mempunyai mikroorganisme dan enzim aktif yang
berbeda.
Penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan
menjadi
2 tahap:
Tahap pembentukan asam
Tahap pembentukan metana
dilihat
pada
tabel
di
bawah
ini:
Enzim
Substrat
Produk
Esterase:
Lipase
Gliserida (fat)
Lecitin
Choline + H3PO4
+ fat
Pektin metil
Metanol
asam
Ester
poligalakturonat
Maltase
Sucrosa
Frukosa + Glukosa
Cellobiose
Maltosa
Glukosa
Lactase
Cellobiosa
Glukosa
Amilase
Laktosa
Galaktos + glukosa
Cellulase
Starch
Maltosa/glukosa
Phosphatase:
Lecithinase
Pectin esterase
Carohydrase
Fructosidase
Cytase
Poligalakturonase
Nitrogen-Carrying
maltooligo-saccarida
Sellulosa
Sellobiosa
Gula sederhana
Compound
Asam
Poligalakturonat organikAsam
galakturonat
Pembentukan asam dari
senyawa-senyawa
sederhana
(monmer)
Proteanase
dilakukan
oleh bakteri-bakteri penghasil asam yang terdiri dari sub divisi
Polipeptidase
Protein
Polipeptidadan butirat
acids/farming
bacteria dan acetogenic
bacteria. Asam propionat
Deaminase:
Protein
Asam amino
diuraikan
oleh acetogenic bacteria
menjadi asam asetat.
UreasePembentukan metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri
CO2 + NHasam
dariAsparaginase
sub divisi acetocalstic Urea
methane bacteria yang menguraikan
asetat
3
menaji metana dan karbon Asparagine
dioksida. Karbon dioksida Asam
dan aspartat
hidrogen+ NH
yang
3
terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana
menjadi metana dan air.
Proses pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa
organik sederhana melibatkan banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang
karbon
tlioksida
sebagai
berikut
a. C6H12O6 + 2H2O
2CH3COOH + 2CO2
+ 4H2
(as. asetat)
b. C6H12O6
CH3CH2CH2COOH + 2CO2
(as. butirat)
c. C6H12O6 + 2H2
2CH3CH2COOH + 2H2O
(as. propionat)
d. CH3CH2COOH
CH3COOH + CO2
+ 3H2
(as.asetat)
e. CH3CH2CH2COOH
2CH3COOH + 2H2
(as. asetat)
f. CH3COOH
CH4
+ CO2
(metana)
g. 2H2 + CO2
CH4
(metana)
2H2O
+ 2H2
1. Temperatur
Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 - 60C dan suhu dijaga konstan.
Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum.
Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan
semakin berkurang. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur
tertentu
dapat
dillihat
pada
table
berikut
Rentang temperatur
Temperatur Optimum
a. Cryophilic
o
2 C30
o
12 C18
b. Mesophilic
20 45
25 40
c. Thermophilic
45 75
55 65
Proses pembentukan metana bekerja pada rentang temperatur 30-40C, tapi
dapat juga terjadi pada temperatur rendah, 4C. Laju produksi gas akan naik 100400% untuk setiap kenaikan temperatur 12C pada rentang temperatur 4-65C.
Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap
perubahan temparatur daripada jenis mesophilic. Pada temperatur 38C, jenis
mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur 2,8C.
Untuk jenis thermophilic pada suhu 49C, perubahan suhu yang dizinkan
0,8C
dan pada temperatur 52C perubahan temperatur yang dizinkan O,3C.
2. pH (keasaman)
Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang
pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang
tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan
dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5.
Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan
asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat
penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan
ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil
metana. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur.
3. Konsentrasi Substrat
Sel mikroorganisme mengandung Carbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur
dengan perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk pertumbuhan mikroorganisme, unsurunsur di atas harus ada pada sumber makanannya (substart). Konsentrasi substrat
dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum
dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat.
Kandungan air dalam substart dan homogenitas sistem juga mempengaruhi
proses kerja mikroorganisme. Karena kandungan air yang tinggi akan memudahkan
proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat kontak antar
mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih intim.
4. Zat Baracun
Zat organik maupun anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat
menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika
terdapat
pada
konsentrasi
yang
tinggi.
Senyawa
Konsentrasi
1. Formaldehis
50 200
2. Chloroform
0,5
3. Ethyl benzene
200 1.000
4. Etylene
Tabel5.diKerosene
bawah ini akan menunjukkan500
batas konsentarsi beberapa
logam sebagai penghambat dan sebagai racun bagi pertumbuhan
6. Detergen
1% dari berat kering
mikroorganisme.
Komponen
1. Na+
2. K+
Konsentrasi
Sedang
3.500 5.500
8.00
Kuat
2.500 4.500
12.000
2.500 4.500
8.000
3. ca+2
1.000 1.500
3.000
4. Mg+2
1.500 3.000
3.000
5. NH+
6. S27. Cu
(Manurung, 2004)
8. Cr (VI)
9. Cr (III)
10.Pustaka
Ni
Daftar
200
5 (larut)
50 70 (total)
3.0 (larut)
180 420 (total)
2 (larut)
30 (total)
1 (larut)
Anwar, Ahmad, Rumana Ghufran, dan Zularisam Abd. Wahid. Bioenergy From
11. Zn
Anaerobic Degradation Of Lipids In Palm Oil Mill Effluen. Rev Environ Sci
Biotechnol (2011) 10:353376. 2011
Bitton B (2005) Wastewater microbiology, 3rd Ed. Wiley, Hoboken, New Jersey,
Chap 13, 2005 pp 345369
Nwuche CO, Ugoji EO (2008) Effects of heavy metal pollution on the soil
microbial activity. Int J Environ Sci Technol 5(3):409414
Demirel B, Scherer P (2008) The roles of acetotrophic and hydrogenotrophic
methanogens during anaerobic conversion of biomass to methane a review. Rev
Environ Sci Biotechnol 7:173190
[6] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor: KEP 51/MEN KLH/10/1995 Tentang: Baku Mutu
Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, 1995.
[10] Tomiuchi, Y., Bambang Trisakti, Irvan, Development of Palm Oil Mill
Effluent (POME) Methane Fermentation System. The 4th IWA-ASPIRE,
Conference & Exhibition, Tokyo. Japan. 2011.
[9] Rupani, P.F., R.P. Singh, M.H. Ibrahim, & N. Esa, Review of Current Palm
Oil Mill Effluent (POME) Treatment Methods: Vermicompost-ing as a
Sustainable Practice, World Applied Sciences Journal. 11:1(2010). p. 70-81
[2] Departemen Pertanian, Pedoman Pengelola-an Limbah Industri Kelapa
Sawit, Ditjen PPHP, Jakarta, 2006, p. 15-18.
Trisakti, Bambang, Jhon Almer S. Pasaribu, Tri Afrianty, T. Husaini, Irvan.
Perancangan Prototipe Bioreaktor Untuk Pengolahan Lanjut Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit (LCPKS) Secara Aerobik. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 2, No. 4.
2013
Mudhoo, Ackmez. Biogas Production. John Wiley & Sons, Inc. Mauritius. 2012.