Anda di halaman 1dari 19

PENGGUNAAN METODE TERAPI SEDOT LINTAH SEBAGAI METODE

PENGOBATAN ALTERNATIF
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. M. Jandra Bin Mohd. Janan

Oleh :
MAHENDRA WIDYA NUGRAHA
NIM. 1300023197
Kelas IC

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2013

ABSTRACT
Lintah adalah hewan kelas invertebrata tersegmentasi, yng dikenal sebagai
hewan penghisap darah. Sejak jaman dahulu mereka digunakan dalam proses
mengeluarkan darah untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Lintah yang sering
digunakan untuk pengobatan adalah lintah obat eropa, atau Hirudo medicinalis.
Lintah begitu populer dalam ilmu pengobatan kuno maupun modern, karena
dikenal potensinya dalam menyembuhkan berbagai penyakit dan tidak adanya efek
samping yang ditimbulkan dalam penggunaanya. Kini, di Indonesia sendiri sudah
terdapat banyak sekali klinik pengobatan dengan terapi lintah. Tetapi, masyarakat
juga perlu mengetahui bagaimana tinjauan secara medis dan agama tentang
pengobatan tersebut, dan apakah didalamnya terdapat efek yang merugikan atau
tidak.

Leeches are a class of segmented invertebrates, known for their blood-feeding


habits and used in phlebotomy to treat various ailments since antiquity. Since
ancient times they were used in phlebotomy to treat various types of diseases.
Leeches that commonly used for the treatment is European medicinal leeches, or
known as Hirudo medicinalis. Leeches are so popular in ancient medicine and
modern, as is known its potential in curing various diseases and the absence of side
effects in its use. Today, Indonesia have been a lot of clinical treatment with leech
therapy. However, people also need to know how to review medical and religious
beliefs about the treatment, and whether there are adverse effects in it or not.
Keywords: leech, medicinal, therapy, treatment, hirudo medicinalis, side effect.

BAB I
Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang
Lintah (leech, hirodo) adalah hewan yang selama ini dikenal sebagai parasit.

Hewan ini termasuk hewan hemaphrodit (berkelamin ganda). Semua spesies


lintah adalah karnivora. Beberapa merupakan predator, mendapat makanan
dari berbagai jenis invertebrata seperti cacing, siput, atau larva. Hewan ini
mempunyai 34 semen pada tubuhnya. 6 segmen di depan bertindak sebagai
penyedot dan digunakan untuk melekat dengan mangsa, untuk menghisap
darah. Gabungan lendir dan sedotan akan membuat lintah melekat pada
mangsanya.dan pada saat yang bersamaan juga lintah melepaskan antikoagulan
hirudin melalui air liurnya, agar darah yang dihisap tidak menggumpal dan
mudah dicerna. Lintah parasit menghisap darah dalam dua cara, mereka
menggunakan belalainya untuk mencucuk ke dalam kulit mangsa. Hewan ini
mempunyai tiga rahang yang terdapat ribuan gigi kecil di dalamnya. Lintah bisa
hidup dimana saja selama tempat hidupnya terdapat air. Lintah biasanya tidak
akan berhenti menggigit sampai mereka kenyang. Setelah kenyang, lintah akan
melepaskan diri dengan sendirinya.
Selain dikenal sebagai parasit, lintah dikenal juga sebagai hewan pengobatan
yang sering digunakan sebagai terapi lintah. Lintah yang digunakan sebagai
terapi adalah lintah obat eropa, Hirudo medicinalis. Lintah ini sudah dikenal
sejak jaman dahulu mempunyai banyak manfaat yang bermanfaat bagi manusia.
Dalam sebuah riset yang dilakukan di eropa menunjukan bahwa terapi lintah
yang dilakukan bersama pengobatan medis atau herbal mampu meningkatkan
efektivitas obat. Berikut adalah beberapa indikasi umum yang dapat dilakukan
pada terapi sedot lintah, antara lain:

Reaksi Inflamasi

Penyakit jantung

Rematik

Tendovaginitis dan tendinitis

Vena dan varises vena.

Arthtosis

Radang sendi dan tegang otot.

Antidyscratic terapi dari racun dan penyakit mental

Trombosis dan emboli

Stagnasi darah dan kondisi kejang

Vertebrogenic Pain Syndrome

Transudates dan eksudat


Selama proses penyedotan darah dari terapi sedot lintah, lintah tersebut

mengeluarkan semacam campuran kompleks yang berbeda secara biologis dan


zat aktif kadalam luka gigitan lintah. Dari hasil kajian-kajian dan penelitian
ilmiah yang dilakukan para pakar, menyebutkan bahwa lintah mengandung zatzat yang sarat manfaat untuk tubuh manusia, diantaranya adalah.
1. Nitric Oxide.
Dalam satu kajian ilmiah di Universitas Purdue, dijelaskan bahwa jenis lintah
yang

dapat

dimanfaatkan

mengeluarkan Nitric

untuk

Okside secara

Hirudo

alami. Nitric

Medicinalis dapat
Okside bermanfaat

untuk menyelesaikan 90% dari masalah kegagalan ereksi alat kelamin bagi
kaum pria. Vagina dan Klitoris kaum wanita bila tersentuh dengan unsur
Nitric Okside ini dapat mengakibatkan rangsangan seksual karena Nitric
Okside tersebut dapat memberi stimulus ke syaraf-syaraf yang memacu
gairah seksual kaum wanita.
2. Hirudin.
Hirudin adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah agar darah tetap
mengalir. Unsur Hirudo medicinalis dimanfaatkan dalam operasi syarafsyaraf yang kecil seperti pada telapak tangan untuk mengembalikan aliran
darah yang tersumbat. Hirudin itu sendiri terdiri dari 65 asam amino yang
bermanfaat untuk menghambat pembekuan darah.Hirudin akan mengurangi

gumpalan darah yang terbentuk dan meningkatkan aliran darah pada


bagian-bagian tertentu di dalam tubuh.
3. Histamin.
Histamin merupakan zat yang bermanfaat yang dapat dimanfaatkan sebagai
zat pengembang, zat ini ditemukan pada air liur dari lintah tersebut.
4. Hyaluronidase.
Hyaluronidase tidak lain adalah zat yang berasal dari air liur lintah yang
termasuk dalam jenis obat bius.
5. Thrombin.
Thrombin adalah zat yang bermanfaat untuk mengaktifkan konversi dari
fibrin dan fibrinogen.
6. Anti Kolagen.
Zat yang dikeluarkan oleh air liur lintah dan spesies yang sejenis ternyata
dapat dimanfaatkan untuk perawatan dan pengendalian trombosit. Zat anti
kolagen ini bermanfaat untuk mencegah penuaan dini. Zat anti kolagen ini
terutama dimanfaatkan untuk bahan dasar pembuatan kosmetik.
1.2.

Rumusan Masalah
1. Kapankah terapi ini mulai digunakan?
2. Bagaimana tinjauan secara medis dan agama tentang terapi lintah?
3. Adakah kontraindikasi ataupun efek samping pada pengguna/pasien
yag diterapi?

1.3.

Tujuan penelitian

Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang sejarah penggunaan lintah sebagai
terapi, tinjauan secara medis, tinjauan secara agama, dan efek samping yang
mungkin ditimbulkan. Dengan ini diharapkan masyarakat lebih mengetahui
menfaat ataupun kerugian yang bisa ditimbulkan dari terapi ini.

1.4.

Metode penelitian

Metode pengumpulan data pada makalah berikut dengan cara mengambil


referensi dari jurnal-jurnal resmi dari internet, makalah-makalah pembanding
dari web tertentu, dan dengan metode wawancara dengan narasumber yang
sudah berpengalaman.

BAB 2
Pembahasan
2.1. Isi
Sejarah Pengobatan Terapi Sedot Lintah
Penggunaan lintah sebagai obat sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu.
Sebuah catatan menunjukkan bahwa bangsa Mesir menggunakan terapi ini lebih
dari 3.500 tahun yang lalu, dan lintah ini sering keliru dikreditkan (diartikan)
sebagai kobra dalam hieroglif yang dipahat di dinding bahkan pada makam
Friaun pun terdapat gambar lintah. Dan penjelasan tentang perawatan medis
menggunakan lintah ini muncul dalam teks Yunani dan Romawi kuno.
Herophilos (335-280 SM), seorang dokter dari Yunani adalah ilmuwan yang
pertama kali secara sistematis melakukan pembedahan ilmiah mayat manusia
dan dianggap ahli anatomi pertama, dan Hippocrates (460-370 SM), yang juga
seorang dokter dari Yunani, menggunakan lintah obat (dengan metode lain)
untuk menghilangkan darah dari pasien, dengan tujuan menyeimbangkan
humor. Humor disini ialah empat cairan medis kuno yaitu darah, dahak,
empedu hitam, dan empedu kuning (Victor J. Davila, MD et al, 2009). Saat itu
diyakini bahwa setiap penyakit dianggap karena ketidakseimbangan humor itu.
Namun

begitu,

Aelinus

Galeinus

(129-200

M)

adalah

orang

yang

memperkenalkan terapi sedot darah ini ke Roma.


Setelah jatuhnya kekaisaran romawi, terapi ini tetap populer sepanjang abad
pertengahan. Dan selama berabad-abad terapi ini merupakan suatu bagian
integral dari ilmu pengobatan.
Pada tahun 1923, Sir William Osler dalam bukunya The Principles and
Practice of Medicine merekomendasikan penggunaan lintah obat sebagai
pengobatan dengan cara sedot darah. Dengan munculnya antibiotik pada abad
ke-20, popularitas lintah pun menurun. Namun, pada paruh kedua abad yang
sama, lintah kembali populer dengan penggunaannya dalam operasi plastik dan
rekonstruktif. Dalam operasi seperti ini, salah satu masalh terbesar yang
dihadapi adalah munculnya kongesti vena akibat saluran vena tidak lancar. Jika
hal ini tidak ditangani dengan cepat, darah akan menggumpal dan arteri yang

membawa jaringan asupan yang diperlukan akan menggabung, dan jaringannya


akan mati. Pada situasi inilah lintah digunakan, setelah dilekatkan pada daerah
yang terkena, lintah akan menghisap darah yang berlebih, mengurangi
pembengkakan dalam jaringan, dan mempromosikan oksigen dalam darah agar
bisa mencapai daerah sirkulasi, sehingga sirkulasi kembali normal.
Pada tahun 2004, Asosiasi Obat dan Makanan (FDA) memberikan
persetujuan untuk pemasaran komersial lintah obat dan menetapkan bahwa
lintah

memenuhi

definisi

untuk

menjadi

perangkat

medis.

(http://arizonaleechtherapy.com/history-of-leech-therapy/ ; 20-12-13).
Di Indonesia sendiri, tidak ada catatan pasti kapan masuknya pengobatan
terapi lintah ini masuk ke Indonesia. Diduga kuat, pengobatan ini dikenalkan
oleh bangsa China saat melakukan perdagangan dan melalui pengobatan kuno
(http://www.terapilintah.org/category/sejarah ; 21-12-13)
Tinjauan Secara Medis
Dalam pendahuluan di depan, telah dipaparkan sebagian zat-zat yang
terkandung dalam lintah, serta khasiatnya dalam mengobati bermacam-macam
penyakit. Kemudian disini, akan dijelaskan bagaimana terapi lintah ini jika
ditinjau secara medis, apakah benar lintah ini mampu mengobati penyakit yang
berhubungan dengan kardiovaskuler, peredaran darah, dll?
Sebelum membuat makalah ini, penulis telah melakukan riset/kunjungan ke
sebuah klinik terapi sedot lintah milik Bapak Muhyidin yang ada di desa Plered,
Bantul. Dalam kunjungan ini, kami mewawancarai Bapak Muhyidin, selaku
pemilik dari klinik ini. Dalam wawancara ini Bapak Muhyidin menjelaskan,
bahwa terapi lintah ini bisa mengobati penyakit yang berhubungan dengan
peredaran darah, seperti misalnya diabetes. Selain itu, selama Bapak Muhyidin
ini menerima pasien, dikatakannya bahwa ada juga penyakit seperti jantung
koroner, asma, bahkan mandul, sudah bisa disembuhkan dengan terapi berikut.
Bapak Muhyidin ini mendirikan kliniknya setelah sebelumnya beliau menderita
diabetes akut sampai kakinya hampir diamputasi. Kemudian beliau mencoba
terapi lintah ini, dan kemudian menunjukkan hasil yang positif, sampai akhirnya
setelah beberapa kali terapi, kakinya bisa sembuh dan bisa digunakan seperti
sedia kala. Kemudian, beliau mempelajari cara pengobatan ini, dan akhirnya

pada tahun 2000 mendirikan klinik terapi lintah tersebut. Menurutnya, terapi
ini tidak memiliki efek samping kecuali belang/bekas yang ditimbulkan akibat
gigitan hewan tersebut.
Sudah banyak klinik-klinik terapi lintah seperti Bapak Muhyidin ini yang
tersebar di seluruh daerah. Tetapi, sebagian dari klinik tersebut hanya
memaparkan

penyakit-penyakit

yang

bisa disembuhkan,

tetapi

tidak

menjelaskan zat, senyawa atau enzim yang terkandung di dalamnya. Berikut ini
hasil dari penelitian para ilmuwan tentang lintah.
1. Hirudin
Pada tahun 1950, Fritz Marquardt (Jerman) mengisolasi protein daari
Hirudo Medicinalis (lintah obat eropa), yang disebut juga hirudin. Ia juga
menunjukkan efek inhibitornya. Sebagai zat seperti heparin, ini adalah
inhibitor alami yang dikenal paling ampuh dalam trombin. Karena afinitas
tinggi untuk trombin, hirudin menghambat hampir semua tindakan
fisiologis trombin. Hal ini tidak bereaksi silang dengan antibodi in vitro dari
pasien. Bahkan, dalam administrasinya menunjukkan tidak ada efek
samping, termasuk eek pada platelet. Sebuah inhibitor trombin mirip
dengan hirudin, yang dikenal sebagai bufrudin telah diisolasi dari lintah
Hirudo Manillensis, yang berbeda dalam sifat struktural dan imunologinya.
Hirudin milik spesies yang berbeda, Hirudo dan Hirudinaria, memiliki
molekul yang serupa dan mungkin berevolusi daari gen nenek moyang yang
sama. Penggunaan hirudin atau turunannya dapat diindikasikan untuk
profilaksis dan pengobatan trobosis vena pasca operasi, terutama dalam
operasi jantung, terapi fibrinolitik dan/atau angioplasti untuk mencegah
reoklusi, dan operasi plastik. Hirudin juga menjadi antikoagulan alternatif
yang berguna, khusnya padapasien yang peka terhadap heparin, atau pada
pasien yang mempunyai penyakit bawaan, atau pada pasien yang
kekurangan antitrombin III (S.M. Abbas Zaidi, MD et al, 2011)
2. Hyalurodinase
Hyalurodinase adalah zat penyebaran atau yang mengubah permeabilitas
jaringan ikat melalui hidrolisis hubungan endoglucoronidik asam hyaluronic
- polisakarida yang ditemukan dalam substansi dasar hubungan ikat. Enzim

pada lintah,meskipun P-glukuronidase tidak bertindak atas koronidin sulfat


atau chondroitin A dan C, yang mengandung asam glukuronat, namun
berbeda dalam gula amino dari hyaluronate. Hyalurodinase pada lintah
adalah enzim yang dikenal paling spesifik untuk identifikasi asam
hyaluronic. Hal ini mengurangi viskositas dan membuat jaringan lebih
mudah ditembus oleh cairan yang disuntikkan, dan meningkatkan
kecepatan penyerapan. Saat ini, air liur dari lintah sedang diperiksa palam
penelitian secara ex-vivo untuk penggunaan obat melalui kulit manusia. Hal
ini juga telah diteliti sebagai aditif untuk obat-obatan kemoterapi, untuk
augmentasi dari efek antikanker (S.M. Abbas Zaidi, MD et al, 2011).
3. Calin
Calin memiliki kecepatan 1-10 menit dalam memberi efek pada kolagen
yang direfleksikan dalam kemampuannya untuk menekan kolagen yang
diinduksi agregasi pletelet serta adhesi trombosit untuk kolagen yang
dilapisi sekumpulan mikro-carrier. Selain penghambatan interaksi kolagen
dengan platelet, calin juga mengganggu faktor pengikatan kolagen, yang
diyakini menjadi salah satu peristiwa inisiatif untuk pembentukan trombus
di situs yang terdapat kerusakan endotelium. Interfensi dengan mekanisme
ini

dapat

memberikan

potensi

antitrombotik.

Sebuah

pengujian

farmakologis calin dengan model trombosis pada hamster menunjukkan


Calin khusus dan dosis ketergantungan (IC50 6,5-13 g/mL) menghambat
agregasi platelet yang diinduksi oleh kolagen (S.M. Abbas Zaidi, MD et al,
2011).
4. Destabilase
Destabilase memiliki aktivitas glikosidase. Lisozim destabilase adalah lisozim
invertebrata pertama dengan kombinasi enzim dan non-enzim antibakteri,
dan juga melarutkan bekuan darah. Trombolisis terbentuk oleh hidrolisis
selektif obligasi isopeptide dari fibrin stabil. Pada injeksi intravena, preparat
pemurrnian sebagian destabilase menunjukkan sifat trombolitik, dan
trombus yang terbentuk pada tikus dilisiskan dengan 75 dan 100 persen
pada 67 dan 137 jam setelah injeksi dilakukan. Terapi trombolitik dengan
streptokinase dan jaringan aktivator plasminogen sering dipersulit oleh

trombus berulang, yang tidak terlihat dengan terapi lintah yang diberikan
untuk tromboflebitis.
5. Apyrase
Apyrase (adenosin 5-phosphat diphosphohydrolase) adalah inhibitor
spesifik dari agregasi platelet berdasarkan pengaruhnya pada adenosin 5diphosphat, asam arakidonat, platelet-activating factor (PAF), dan epinefrin.
6. Eglin
Eglin (elastace-cathepsin inhibitor G lintah) adalah protein kecil yang ada
dalam Hirudo Medicinalis yang memiliki aktivitas penghambatan yang kuat
terhadap kimotripsin dan proteinase serin substilisin seperti pada substrat
non-kationik. Satu lintah mengandung sekitar 20 mg dari Eglin. Eglin seperti
inhibitor proteinase serin telah diisolasi dari Hirudo Medicinalis dan
Hirudinaria Manillensis. Hal ini merupakan inhibitor -chymotrypsin,
subtilisin, chymosin, proteinase granulosit, elastase, dan cathepsin G. Eglin c
adalah terapi dari yang potensial untuk pengobatan penyakit yang
berhubungan dengan peradangan dan telah terbukti efektif untuk
pengobatan syok dan emfisema model eksperimental. Eglin c ditoleransi
dengan baik, dengan tidak ada efek yang signifikan pada sistem saraf
kardiovaskular dan pusat, metabolisme dasar, pembekuan, fibrinolis, dan
atau pelengkap. Faktor utama keamanan yang perlu diperhatikan adalah
berkaitan dengan potensi alergi inhibitor.
7. Bdellin
Bdellin, atau inhibitor tripsin, plasmin, dan sperma akrosin, pertama kali
ditemukan pada tahun 1969. Sebuah inhibitor proteinase yang sama,
bdellin B-3m diisolasi dari ekstrak Hirudo medicinalis. Bdellin, terutama
bgellin A, dapat digunakan sebagai inhibitor plasmin untuk mengontrol
perdarahan. Dengan penggunaan secara sistemik, mereka dapat dengan
cepat diekskresikan ke dalam urin.
8. Decorsin
Adalah protein yang diisolasi dari lintah obat Amerika, Macrobdella decora.
Protein ini bertindak sebagai antagonis dari platelet glikoprotein II b-III a
dan merupakan inhibitor poten agregasi platelet.

9. Hirustatin
Hirustatin (Hirudo antistasin) merujuk pada kelas inhibitor serin protease
yang ditandai dengan pola yang melindungi residu sistin. Pertama kali
diisolasi dari kelenjar ludah lintah meksiko, Haementara officinalis, tetapi
baru-baru ini ada yang diisolasi dari Hirudo medicinalis. Sebuah protein
yang mirip dengan antistatin telah diisolasi dari lintah raksasa Amazon,
Haementeria ghilianii, dan diberi nama ghilanten. Antistatin dan ghilanten
adalah suatu inhibitor yang berpotensi untuk pembekuan darah.
10. Guamerin
Sebuah inhibitor estalase leukosit baru dari manusia telah diekstrak dari
lintah asli korea, Hirudo Nipponia. Urutan asam amino lengkap dari
guamerin menunjukkan polipeptida kaya sistein dari 57 residu asam amino
yang tidak menunjukan kesamaan untuk setiap estalase inhibitor yang
diketahui, namun emiliki 51% rangkaian homologi dengan hirustatin.
Poin-poin diatas menunjukkan banyaknya spektrum aktivitas farmakologi pada
air liur lintah. Dengan menggunakan teknologi rekombinan DNA, para ilmuwan
mengeksplorasi senyawa aktif lainnya. Perusahaan-perusahan farmasi sedang
memperluas penelitian tentang komponen saliva sebagai antikoagulan.
Identifikasi aktivitas rangsangan neurite pada komponen liur saliva memberikan
agen terapi baru untuk pengobatan penyakit neurodegenerative. Peneltian
lebih lanjut untuk senyawa biologis aktif dari air liur dari spesies lintah lainnya,
termasuk Hirudinaria granulosa (lintah obat India) atau Hirudinaria manillensis
telah dibenarkan. Lebih banyak senyawa obat pasti akan ditemukan di masa
yang akan datang. (S.M. Abbas Zaidi, MD et al, 2011)

Tinjauan Secara Agama


Dalam sub ini, hal yang akan dibahas adalah mengenai pengobatan lintah
dalam tinjauan secara islam. Dalam bahasan ini lintah akan dihubungkan
dengan janin sebagai pembanding. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

Jika mempelajari fakta-fakta yang diberitakan dalam Al Quran mengenai


pembentukan manusia, sekali lagi akan dijumpai keajaiban ilmiah yang sungguh
penting. Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, intisari
bayi yang akan lahir terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai zigot dalam
ilmu biologi ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga
akhirnya menjadi segumpal daging. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh
manusia dengan bantuan mikroskop. Namun, zigot tersebut tidak melewatkan
tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar
yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui hubungan semacam
ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi
pertumbuhannya. (Moore, Keith L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud,
Gerald C. Goeringer, Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992,
Human Development as Described in the Quran and Sunnah, Makkah,
Commission on Scientific Signs of the Quran and Sunnah, s. 36)

Di sini, pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Quran terungkap. Saat
merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan
kata alaq dalam Al Quran:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari alaq (segumpal darah). Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah. (Al Quran, 96:1-3)

Arti kata alaq dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang menempel pada
suatu tempat. Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah
yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah. Supaya lebih yakin
silahkan buka Google terjemah, lalu disetting translate dari Bahasa Indonesia ke
Arab, kemudian ketiklah lintah maka kata yang keluar di Bahasa Arabnya
adalah Alaqoh. Kalau diperhatikan memang ada persamaan antara melekatnya
plasenta (ari-ari) di rahim seorang ibu dengan melekatnya mulut lintah yang
sedang menyedot darah. Perlekatan yang terjadi pada keduanya begitu erat
dan kokoh. Disitulah terjadi proses transfer oksigen dan nutrisi yang dibawa

oleh darah untuk kebaikan masing-masing pihak. Bayi yang masih dalam
kandungan tidak perlu repot-repot mengambil oksigen dengan paru-parunya
dan mengambil nutrisi makanan dengan percernaannya, karena semua sudah
disediakan dalam bentuk jadi oleh darah ibu lewat mekanisme Al-Alaq yaitu
melewati plasenta dan masuk ke tubuh bayi di pembuluh darah tali pusar.
Maka ketika bayi itu telah dilahirkan ke dunia tali pusar akan dipotong dan bayi
harus bisa memenuhi kebutuhannya akan oksigen dan nutrisi secara mandiri
lewat proses bernapas dan menyusu. Sementara yang terjadi pada proses
penyedotan darah oleh lintah hampir sama dengan itu.Lintah yang telah
memasukkan gigi kitinnya dan menembus lapisan kulit yang berpembuluh
darah akan menyuntikkan hirudin (zat aktif pengencer darah) yang terkandung
dalam air liurnya. Setelah itu darah akan menjadi encer dan cenderung akan
keluar melalui lubang yang dibuat oleh lintah tersebut. Disinilah terjadi proses
yang sama, yaitu transfer darah dari orang yang digigit kepada lintah. Dan
setelah diteliti, ini merupakan simbiosis mutualisme dimana masing-masing
pihak diuntungkan. Yang digigit akan mendapatkan manfaat yaitu darah
kotornya akan terbuang dan akan tergantikan oleh darah baru, pembuluh
darahnya

akan

melebar,

gumpalan-gumpalan

darah

yang

berpotensi

menyumbat akan dipecah sehingga secara umum aliran darah akan menjadi
lancar, badan menjadi segar, nyeri dan kaku otot akan mereda. Sedangkan
lintah juga akan mendapatkan manfaat yaitu berupa makanan (darah) yang
cukup untuk bertahan hidup dan berkembang biak selama 3-6 bulan ke depan.
Persamaan yang lain adalah saat plasenta terlepas dari rahim (setelah bayi
dilahirkan) secara fisiologis akan terus mengeluarkan darah dan nanti akan
berhenti dengan sendirinya setelah 5-6 minggu (darah nifas). Sedangkan pada
gigitan lintah juga mengalami hal yang sama, tempat bekas gigitan lintah akan
terus mengeluarkan darah dalam jangka waktu bervariasi mulai 8 jam sampai
paling lama 324 jam sesuai dengan derajat keparahan penyakit (berdasarkan
pengalaman yang ditemui pada pasien), dan ini merupakan suatu hal yang
normal terjadi. (dr. Jaka Suganda, 2013)

Terapi lintah, menurut Ust. Abu Zakariya Al-Makassari tidak apa-apa jika
dilakukan, karena tidak ada satupun perkara syariat yang dilanggar di
dalamnya.

(http://al-atsariyyah.com/hukum-terapi-sengat-lebah-dan-sedot-

lintah.html ; 22-12-2013)

Kontraindikasi dan Efek Samping pada Terapi Sedot Lintah

Kontraindikasi

Pada penderita berikut tidak dianjurkan bahkan tidak diperbolehkan untuk


menggunakan terapi lintah, antara lain:

Absolute hemofilia

Anemia

Leukemia

Hypotonia

Kehamilan

Pengidap atau pasien dengan ketentuan diatas tidak bisa menggunakan terapi
lintah karena bisa menyebabkan kekurangan darah atau terjadi pendarahan
yang susah dihentikan karena efek antikoagulan yang terdapat pada lintah. (B.
S., Saha, S., et al, 2011)
Efek Samping
Kebanyakan para terapis menyatakan bahwa dalam terapi lintah ini tidak
terdapat efek samping dalam penggunaannya. Tetapi pada kenyataanya, ada
beberapa efek yang ditimbulkan saat atau pasca terapi tersebut. Misalnya pada
efek jangka pendek, adalah sebagai berikut:

Rasa sakit/ nyeri akibat gigitan lintah (berlangsung 1-5 menit awal ketika
lintah mulai menggigit), hal ini disebabkan gigitan lintah untuk membuka
lapisan kulit agar bisa menghisap darah

Kekurangan darah. Penerapan lintah pada pasien oleh terapis yang


bukan ahlinya bisa menimbulkan efek kehilangan banyak darah pada
pasien, yang bisa menimbulkan efek kehilangan kesadaran/ pingsan.

Pendarahan yang berlangsung 1-48 jam setelah terapi (ini adalah hal
wajar diakibatkan efek enzim yang mengencerkan darah).

Rasa gatal pada sekitar bekas luka gigitan, hindari menggaruk dalam
kondisi tangan / kuku kotor karena akan mengakibatkan infeksi

Bekas luka. Gigitan Lintah akan menimbulkan bekas gigitan (luka parut)
yang akan hilang tergantung kondisi kulit pasien.

Alergi berupa bengkak pada area sekitar gigitan lintah. Enzim yang
disuntikkan lintah ke dalam tubuh bisa jadi menimbulkan efek alergi
pada tubuh, walaupn jarang sekali bahkan tidak pernah hal ini terjadi

Selain efek samping diatas, efek samping yang paling serius adalah infeksi.
Sistem pencernaan lintah mengandung Aeromonas hydrophila, basil Gramnegatif yang memungkinkan pemecahan darah (Steven M. Levine, MD, et al,
2009). Meskipun sebagian besar infeksi yang melibatkan terapi lintah
disebabkan oleh A. Hydrophila, infeksi dengan Serratia marcescens, A.
Sobria, dan Vibrio fluvalis juga telah dilaporkan. Infeksi dapat timbul 2-11
hari setelah terapi dimulai, dan dapat mengakibatkan abses dan selulitis,
yang dapat berkembang pada beberapa kasus yaitu sepsis. Dalam lima tahun
retrospektif studi, Sartor dan rekan menemukan bahwa infeksi muncul pada
4,1 % dari pasien terapi lintah. Antibiotik profilaksis biasanya dianjurkan
cakupan ganda (dua anibiotik) selama terapi dan cakupan tunggal (satu
antibiotik) selama dua minggu sesudahnya. Infeksi diobati dengan antibiotik
seperti generasi ketiga sefalosporin bersama dengan aminoglikosida,
fluoroquinolones, tetracycline, atau trimetoprim. Karena efek samping ini
berakibat serius, pasien dan keluarga juga harus diinstruksikan/diberi
penjelasan lebih dahulu agar bisa mengamati dan melaporkan jika terdapat
tanda dan gejala awal.

BAB 3
Kesimpulan
1. Terapi sedot lintah / Hirudotherapy, telah digunakan sejak ribuan tahun lalu.
Pertama kali digunakan oleh bangsa Mesir kuno, dan penjelasan ilmiahnya
muncul beberapa generasi kemudian dalam teks Yunani dan Romawi kuno.
Terapi ini disebarluaskan oleh bangsa romawi. Sampai pada abad ke 20, para
ilmuwan membuat penelitian tentang terapi tersebut yang ternyata sangat
potensial untuk pengobatan. Kemudian di Indonesia, tidak ada catatan yang
jelas dan pasti mengenai kapan dan bagaimana terapi ini bisa dikenalkan di
nusantara. Tetapi teori paling kuat mengatakan bahwa terapi ini dikenalkan
oleh bangsa china saat mereka mulai berdagang di Indonesia.
2. Berdasarkan tinjauan secara medis, lintah memang memiliki senyawasenyawa yang berguna bagi pengobatan. Seperti misalnya pada liurnya
mengandung mengandung senyawa hirudin yang bisa membuat darah tetap
mengalir dan tidak membeku (antikoagulan), dan senyawa lainnya sehingga
secara medis, lintah memang terbukti bisa digunakan dalam pengobatan.
Kemudian berdasarkan tinjauan secara agama, terapi lintah ini tidak apa-apa
jika dilakukan, karena memang tidak ada satupun perkara syariat yang
dilanggar di dalamnya.
3. Dalam terapi ini ada beberapa jenis pasien yang tidak boleh menggunakan
terapi sedot lintah berikut, karena bisa menyebabkan kekurangan darah,
atau terjadi pendarahan serius. Antara lain orang yang mengalami:

Absolute hemofilia

Anemia

Leukemia

Hypotonia

Kehamilan
Terapi ini juga mengindikasikan adanya efek samping pada jangka pendek,
seperti misalnya nyeri akibat gigitan, kekurangan darah, pendarahan singkat,
rasa gatal pada area gigitan, menimbulkan bekas luka, dan alergi pada
sekitar area gigitan. Pada efek samping yang lebih serius adalah terjadinya

infeksi oleh bakteri Aeromonas hydrophila yang terdapat pada sistem


pencernaan lintah.

Daftar Pustaka

http://arizonaleechtherapy.com/history-of-leech-therapy/

http://www.terapilintah.org/category/sejarah/

http://al-atsariyyah.com/hukum-terapi-sengat-lebah-dan-sedot-lintah.html

http://dokterlintah.wordpress.com/2013/01/16/lintah-hewan-pertamayang-disebut-dalam-al-quran/

S.M. Abbas Zaidi, MD et al, 2011, A Systematic Overview of the Medicinal


Importance of Sanguivorous Leeches, Alternative Medicine Review, LLC. All
Rights Reserved.

Steven M. Levine, MD, et al, 2009, Aeromonas Septicemia After Medicinal


Leech Use Following Replantation Of Severed Digits.

Porshinsky, B. S., Saha, S., Grossman, M. D., Beery Ii, P. R., & Stawicki, S. P.,
2011, Clinical uses of the medicinal leech: a practical review.

Anda mungkin juga menyukai