Ekosistem Karst
Ekosistem Karst
Karst berawal dari nama kawasan batu gamping di wilayah Yugoslavia. Nama
ini kemudian dipakai secara umum oleh masyarakat ilmiah untuk seluruh kawasan
batu gamping yang terdapat di dunia. Kawasan karst yang terdapat di Indonesia
antara lain Karst Gunung Sewu, Karst Gombong Selatan, Karst Maros, Karst
Tuban dan beberapa tempat di daerah Kalimantan. Tipe karst di Indonesia
merupakan karst tropik basah dan hal ini yang membedakan dengan kawasan karst
di tempat lain di dunia.
Kawasan karst di Indonesia rata-rata mempunyai ciri-ciri yang hampir sama
yaitu, tanahnya yang kurang subur untuk pertanian, sensitif terhadap erosi, mudah
longsor, bersifat rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah, gaya permeabilitas
yang lamban dan didominasi oleh pori-pori mikro. Ekosistem karst mengalami
keunikan tersendiri, dengan keragaman aspek biotis yang tidak dijumpai di
ekosistem lain.
Habitat dalam gua merupakan suatu habitat yang gelap total, tidak ada sinar
matahari yang masuk sehingga tidak terdapat organisme heterotrofik. Peran
organisme khas gua seperti kelelawar yang setiap malam hari mencari makan ke
luar gua dan pada siang hari kembali lagi, akan membawa energi dari luar gua
untuk kehidupan berbagai organisme gua (Arthropoda) terutama kotoran (guano)
dan bangkai kelelawar tersebut. Disamping itu energi dibawa oleh akar tumbuhan
yang berada di atas gua yang menembus dinding atas gua. Sungai di dalam gua
yang semula mengalir di permukaan luar gua juga berperan terhadap transfer
energi ke dalam lingkungan gua dengan membawa bahan organik.
Di dalam gua sendiri mengalami jaring-jaring makanan yang rumit.
Perubahan-perubahan lingkungan di luar gua sangat mempengaruhi kehidupan di
dalam gua. Dalam kondisi gua yang sangat ekstrem, tanpa adanya cahaya,
kelembaban yang sangat tinggi dan suhu yang konstan sepanjang tahun,
mengakibatkan organisme penghuni gua beradaptasi terhadap lingkungannya.
digambarkan
kumpulan
sebagai
organismenya
Dalam klasifikasi
klasik,
pulau
dengan
masing-masing.
organisme
gua
2. Zona senja atau zona remang-remang ( twilight zone ) atau zona peralihan
adalah zona dengan cahaya matahari tidak langsung, berupa pantulan
Temperatur
dan
kelembaban
masih
dipengaruhi
oleh
penglihatan
menggantikan
indra
menyebabkan
penglihatan.
perkembangan
Di
dalam
indera
kelompok
lain
untuk
Arthropoda,
trogloxenes
merupakan
kelompok
dari
fauna
gua
yang
Flora
Flora di kawasan karst mempunyai keunikan dalam segala hal.
Keanekaragaman
dan
komposisi
jenisnya
sangat
berbeda
Fauna
Fauna di permukaan karst belum banyak diteliti, namun diyakini
bahwa tebing-tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis
burung yang khas, seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebing tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebing-tebing karst
juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di
dahan-dahan yang tumbuh di tebing karst. Berbagai jenis mamalia
Kondisi lingkungan gua yang telah kehilangan cahaya dan relatif stabil dengan
suhu rendah dan kelembaban yang tinggi, berbeda dengan kondisi lingkungan di
luar gua dimana semua kehidupan didapatkan dari sinar matahari, sehingga
dianggap sebagai ekosistem tersendiri walaupun hanya seluas sistem perguaan
tersebut. Kondisi lingkungan gua yang telah kehilangan cahaya dan relatif stabil
dengan suhu rendah dan kelembaban yang tinggi, berbeda dengan kondisi
lingkungan di luar gua dimana semua kehidupan didapatkan dari sinar matahari,
sehingga dianggap sebagai ekosistem tersendiri walaupun hanya seluas sistem
perguaan tersebut. Berikut ini ciri-ciri organisme gua :
1. Tubuh tidak berpigmen.
2. Waktu reproduksinya tertentu.
3. Mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang (Jangkrik gua
mempunyai antena 20-21 mm).
4. Mempunyai alat indera (alat penggetar) yang sudah berkembang.
5. Mata tereduksi atau hilang sama sekali.
6. Metabolismenya lamabat karena kurangnya suplai makanan.
7. Dapat beradaptasi dengan lingkungan kelembaban yang tinggi.
Gua merupakan salah satu habitat yang paling ekstrim di bumi ini. Kegelapan
yang menyelimutinya merupakan sebuah misteri yang layak dikenali. Gua sendiri
terbentuk dengan proses yang rumit dengan berbagai proses fisik maupun kimia
yang tak terhitung berapa lama mereka berproses. Lingkungan gelap, lembab dan
sangat minim makanan ini menyumbang kehidupan berbagai jenis fauna yang
sangat bernilai ditinjau dari segi ilmu pengetahuan.
Berkeliaran dalam gelap untuk mencari makan adalah satu hal yang sulit
dibayangkan oleh kita. Namun bagi para penghuni kegelapan gua, mencari makan
dan mencari pasangan untuk bereproduksi adalah satu hal yang biasa. Mereka
mampu mendeteksi keberadaan makanan dengan organ perasanya yang sangat
sensitif seperti antena yang sangat panjang dan rambut-rambut yang berperan
sebagai sensor kondisi lingkungan. Dengan kondisi gua yang sangat minim
sumber makanan, mereka mempunyai strategi dengan menurunkan laju
metabolisme sampai batas yang sulit dipahami. Kecepatan dan kemampuan
reproduksinya pun turun drastis. Rendahnya kemampuan reproduksi ini
menyebabkan para penghuni gua mempunyai populasi yang sngat kecil. Dalam
satu gua mungkin jumlah individunya tidak lebih dari dua puluh individu.
kepiting dari famili Hymenosomatidae yang merupakan catatan baru bagi Borneo
telah merubah pemahaman tentang famili ini di gua. Temuan jenis-jenis akuatik
dari Amphipoda, Isopoda, Natantia, Brachyura telah memberikan kontribusi yang
signifikan bagi perkembangan pengetahuan troglobite di Indonesia. Di Jawa pun,
sampai saat ini beberapa jenis telah menunggu untuk dideskripsi seperti temuan
Isopoda akuatik dari marga Stenasellus di gua Sukabumi. Jenis udang dari
kelompok Macrobrachium dengan mata kecil pun berhasil ditemukan di gua Karst
Grobogan. Kelompok laba-laba dari ordo Amblypygi dengan nama marga
Stygophrynus pun diyakini tercatat dua jenis yang layak menjadi kandidat jenis
baru. Dua jenis ini berasal dari gua di Grobogan (Jawa Tengah) dan gua di Tuban
(Jawa Timur). Temuan-temuan ini tentu saja akan menambah daftar panjang
troglobite di Indonesia yang sudah selayaknya mulai sekarang diungkap sebelum
perubahan dan kehancuran ekosistem gua dan karst terjadi.
VI. Potensi Keanekaragaman Hayati Karst
Keanekaragaman hayati karst mempunyai potensi yang sangat tinggi,
antara lain potensi ekologi, ilmiah, dan ekonomi. Keanekaragaman yang
berpotensi ekologi antara lain jenis-jenis kelelawar, baik kelelawar pemakan
serangga maupun pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga mempunyai
peran untuk mengendalikan serangga hama yang berpotensi merugikan
pertanian. Sedangkan kelelawar pemakan buah mempunyai peran penyebaran
biji maupun membantu dalam penyerbukan berbagai jenis tanaman yang
bernilai ekonomi tinggi. Kelelawar di Gunung Sewu yang mempunyai
kemelimpahan populasi sangat tinggi ditemukan di Gua Ngeleng di daerah
Paliyan. Namun, kemelimpahannya sangat ditentukan oleh musim. Potensi
ilmiah keanekaragaman hayati karst dan gua adalah tempat di mana berbagai
jenis fauna yang mempunyai nilai ilmiah tinggi ditemukan. Nilai ilmiah
fauna gua dapat ditinjau dari keunikan dan kekhasannya karena adaptasi
terhadap lingkungan gua yang gelap. Bentukan adaptasi morfologi ini
menjadikan bentuk-bentuk fauna gua menjadi unik dan khas. Beberapa jenis
sangat tergantung pada satu habitat dan bahkan hanya ditemukan di satu gua
atau kawasannya saja. Selain itu, fauna gua atau karst juga mempunyai
biogeografi yang menarik untuk dipelajari dan memerlukan kajian lebih
mendalam. Jenis-jenis yang ditemukan pun kebanyakan merupakan jenis
baru bagi ilmu pengetahuan. Potensi ekonomi merupakan potensi yang dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti manfaat sarang walet yang
mempunyai nilai jual tinggi. Namun, dua potensi lainnya juga dapat
memberikan kontribusi pada ekonomi, meskipun perannya tidak secara
langsung.
VII. Ancaman
Seiring laju pembangunan, kawasan karst menghadapi satu ancaman
yang sangat besar terutama meningkatnya aktivitas manusia di kawasan karst
dan gua. Beberapa ancaman yang nyata adalah meningkatnya intensitas
penambangan batu kapur yang terjadi di daerah Bedoyo (Ponjong).
Penambangan fosfat dan guano merupakan ancaman tersendiri untuk
kelestarian
ekosistem
gua.
Sebab,
dengan
hilangnya
guano
akan
menghilangkan sumber bahan organik utama bagi ekosistem gua yang akan
mempengaruhi keseluruhan kehidupan fauna di dalam gua. Seperti yang
telah bertahun-tahun terjadi, penambangan fosfat di Gua Lawa (Ponjong)
telah menghancurkan lorong-lorong gua.
Penangkapan
kelelawar
juga
suatu
ancaman
serius
bagi
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadi, C., Y.R. Suhardjono, dan J. Subagja. 2002. Komunitas Collembo
Guano Kelelawar di Gua Lawa Nusakambangan, Jawa Tengah
dalam Biologi 2(14): 861-875
http://www.wisatamelayu.com/id/article.php?a=N0pGL3c%3D=
http://kanopiindonesia.org/nilai%20penting%20biota%20gua%20di%20kawawab
%20karst%20gunung%20sewu.html
http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=188&fname=all.htm
http://mafesripala.sakuntalaku.com/2007/12/17/para-penghuni-kegelapan-gua
indonesia/
EKOSISTEM KARST
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ekologi
Dosen Pengampu : Drs. Sarwono, M.Pd
Di susun oleh:
DWI PARTINI
K5407017