Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG

Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap
individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Dengan adanya Globalisasi, kehidupan manusia
menjadi lebih mudah, efektif, dan hemat. Arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai
banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa
sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang
juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau
dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali
diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas
yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh,
internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone
digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan moral.
Seseorang dapat berperilaku buruk akibat penggunaan teknologi yang tidak pada tempatnya.
Efek dari Globalisasi tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya
norma dan nilai di masyarakat akibat Globalisasi membuat generasi muda tidak lagi
mengindahkan aturan. Tindakan dan perilaku masyarakat yang arogan, mengikuti mode/trend,
bergaya hidup mewah/boros, merupakan contoh nyata dari adanya globalisasi.
Permasalahan moral sebenarnya sudah ada sebelum Globalisasi muncul. Namun kemunculan
Globalisasi dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan moral. Dengan adanya
Globalisasi, perkembangan moral dapat menjadi lebih baik karena informasi dapat dilakukan
dengan cepat. Ajaran agama, motivasi, pendidikan, dan pengetahuan dapat diakses oleh siapa
saja dengan cepat. Sehingga dengan globalisasi dimungkinkan perkembangan moral dapat
ditingkatkan menjadi lebih baik.
Namun dengan Globalisasi pula dapat menjadi faktor rendahnya moral bangsa. Hal ini terutama
disebabkan oleh penggunaan produk globalisasi yang tidak diimbangi oleh norma sebagai
benteng diri. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji dampak Globalisasi terhadap
perkembangan moral.
B.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana
pengaruh Globalisasi terhadap perkembangan moral?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.

Untuk mengetahui globalisasi dan ciri-cirinya

2.

Untuk mengetahui Moral dan tahap-tahap perkembangan moral

3.

Untuk memaparkan pengaruh globalisasi terhadap perkembangan moral

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Globalisasi

Menurut asal katanya, kata globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu
(benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah.
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working
definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan
kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara
adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari
sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling
mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan
negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi
cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap
bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama
kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:

Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional.


Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing,
namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara,
misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.

Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material


maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi
pengalaman seluruh dunia.

Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin
menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.

Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat
definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih
mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki
status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.

B.

Ciri globalisasi

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di
dunia.

Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti


telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global
terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme
memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung
sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh
perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization
(WTO).

Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi,


film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat
mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang
melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan
makanan.

Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis


multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada
globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens
menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian
dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa
ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi.
Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.
1. C.

Pengertian Moral

Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya
dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut
amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.

Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah
hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa
melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena
banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.
Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika
ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan
bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat
setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan
manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di
masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka
orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari
budaya dan Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia
yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
D. Tahap perkembangan moral Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan
perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan
tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat
setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap
dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang
sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan
dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan
bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg
memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,
walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia
tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka
berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan
tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan
tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding
tahap/tingkat sebelumnya.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan:
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang
dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi
kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada
dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu

tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif,
beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang
dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam
tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara
moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap
semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain
berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan
apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.
Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan
diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat
relatif secara moral.
Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan
ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud
dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
mereka bermaksud baik
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial
karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat
lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk
mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara
moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan
enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah
dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat tingkatan pascakonvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilainilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang
anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai
kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi.
Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga

menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat
imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa
yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil
adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi
hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai
harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
1. E.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Moral

Arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa
sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang
juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau
dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali
diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas
yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh,
internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone
digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah para penikmat aksesoris-aksesoris era modernisasi
ini kebanyakan melakukan hal-hal yang sebagaimana diungkapkan di atas. Yang membuat hati
semua masyarakat Indonesia miris lagi, objeknya adalah para remaja, sang penerus bangsa
Indonesia di masa yang akan datang. Para remaja bukannya disibukkan untuk menuntut ilmu
dalam meneruskan pembangunan bangsa ke depan, melainkan disibukkan dengan menikmati
hiburan-hiburan yang tersaji pada era globalisasi sekarang ini, seperti handphone, televisi, dan
lain-lain. Bahkan, hiburan-hiburan yang bersifat negatif pun mereka terima dan nikmati.
Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan memorak-porandakan negara ini dalam waktu beberapa
saat lagi.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial
karena pola konsumsi seseorang itu terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga
sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros
dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki pasar remaja.
Jadi sering sekali kita lihat di televisi-televisi bahwa intensitas acara remaja itu lebih banyak
daripada acara kalangan usia lain. Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah
identifikasi (peniruan dan penyeragaman) dalam suatu kelompok. Untuk itu, mereka biasanya
membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh. Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa

kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh. Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat
membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi
panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain
sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan
lain-lain.
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap perilaku seseorang telah dibuktikan lewat penelitian
ilmiah. Seperti diungkapkan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 1995
bahwa tayangan yang bermutu akan memengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan
tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan,
penelitian itu menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah
hasil dari pelajaran yang mereka terima dari media semenjak usia anak-anak.
Sebuah penelitian tentang pergaulan remaja di kabupaten Bandung memberikan informasi
kepada kita bahwa sekitar 40 % remajanya sudah pernah berciuman dengan pasangannya.
Sedangkan 60 % remaja Bandung pernah bersentuhan dengan teman lawan jenisnya. Dalam hal
ini seperti berpegangan tangan, dan lain-lain. Kemudian sekitar 25 % dari data itu sudah pernah
melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hasil penelitian tersebut menjadi
keprihatinan tersendiri bagi kita semua, mengingat kabupaten Bandung belumlah menjadi daerah
yang
modern
seperti
halnya
kota
Bandung.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para
orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan
yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya.
Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat
dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang
diidolakannya.
Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat menanggulangi
permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral,
kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa globalisasi memiliki dampak positif maupun
negatif. Oleh karena itu, kita harus bisa mengambil manfaat yang positif dan menghindari
dampak negatif dari globalisasi. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi perkembangan moral. Seseorang dapat berperilaku buruk akibat penggunaan
teknologi yang tidak pada tempatnya. Efek dari Globalisasi tersebut dapat kita rasakan dalam
kehidupan sehari-hari. Meleburnya norma dan nilai di masyarakat akibat Globalisasi membuat
generasi muda tidak lagi mengindahkan aturan. Tindakan dan perilaku masyarakat yang arogan,
mengikuti mode/trend, bergaya hidup mewah/boros, merupakan contoh nyata dari adanya
globalisasi.

Semestinya, dengan adanya globalisasi akan mampu menjadikan hidup manusia lebih mudah,
cepat, efisien, dan hemat. Namun, penggunaan teknologi yang tidak diimbangi dengan Sumber
Daya Manusia yang berkualitas justru akan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, masayarakat
harus dididik dan dilatih agar benar-benar siap menghadapi arus Globalisasi yang memang tidak
dapat dihindari. Dalam hal pemanfaatan produk globalisasi, kesiapan mental dan moral manusia
merupakan modal yang sangat penting. Banyak kasus penyalahgunaan teknologi disebabkan
karena rendahnya moral dan mental manusia.
Untuk mencegah agar Globalisasi tidak berdampak buruk bagi manusia, perlu adanya aturanaturan norma yang dapat membentengi diri. Salah satunya adalah norma agama yang mampu
mengajarkan para pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi maksiat. Disamping
itu, norma kesusilaan dan kesopanan juga diperlukan untuk memberikan batasan prilaku
masyarakat sehingga dapat dikendalikan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menurut Widjaja (1985:154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sementara itu Wila Huky, sebagaimana yang dikutip
oleh Bambang Daroesono (1986:22) merumuskan pengertian moral secara kompeherensip
sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang
dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu, ajaran tentang tingkah laku
hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu, sebagai tingkah laku hidup
manusia, yang mendasarkan pada kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai
yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
a.

Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan

b.

Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.


Menurut Soejono Soekanto norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai

kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat

ikatannya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat pada tidak berani
melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara
sosiologis mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengetian,
yaitu : cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).
Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar
dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja
adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk
perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan
diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi
yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang
lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku
mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh
dikerjakan.
Namun, moral remaja pada era globalisasi ini telah menyimpang dari ajaran tentang
tingkah laku hidup atau ajaran agama tertentu yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat.
Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya Barat dibandingkan budaya asli Indonesia yang
sebenarnya sangat unik dan beragam. Bukan hanya mengagung-agungkan budaya Barat saja tapi
teknologi global pun juga ikut mempengaruhi krisis moral pada remaja. Kebudayaan sama
halnya dengan spesies-spesies, mengalami seleksi berdasarkan adaptasinya terhadap lingkungan,
yakni : sejauh mana kebudayaan itu membantu anggota-anggotanya untuk survive dan
memelihara kebudayaan itu sendiri.
Nilai merupakan sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap penting
oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut Green, sikap merupakan

kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal, sikap berkaitan dengan motif dan mendasari
tingkah laku seseorang. Tingkah laku adalah implementasi dari sikap yang diwujudkan dalam
perbuatan.
Dalam kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol
dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Dalam hal
ini aliran Psikonalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan nilai. Semua konsep itu
menurut Freud menyatu dalam konsepnya super ego. Super ego sendiri dalam teori Freud
merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego, sehingga
tidak bertentangan dengan masyarakat. Dari hasil penyelidikan kohlberg mengemukakan 6 tahap
(stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada 3
tingkat perkembangan moral menurut kohlberg, yaitu tingkat :
I Prakonvensional
II Konvensional
III Pasca-konvensional
Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6 tahapan yang
berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang dapat mencapai
tahap terakhir perkembangan moral. Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai
dengan permintaan dan keinginannya. Hingga sesudah stadium ini datanglah:
Tingkat I; prakonvensional, yang terdiri dari stadiun 1 dan 2.
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau
buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan
ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau
tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara
mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi
mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai berbagai segi. Jadi, ada Relativisme.
Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang. Misalnya
mencuri kambing karena kelaparan. Karena perbuatan mencuri untuk memenuhi kebutuhanya,
maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu
diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional.
Stadium 3, menyngkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang

dapat dinilai baik oleh orag lain, masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan
sesorang baik atau tidak. Menjadi anak yang manis masih sangat penting daam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada stdium
ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan
atau norma-norma soisal. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan
aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat III: Pasca-Konvensional.
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan
sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial,
dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan
tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan
memberikan perlindungan kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsisp universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma
pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada unsur subjektif ynag
menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan
apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Menurut Furter (1965), menjadi remaja
berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian
saja melainkan juga dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa
remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya sebagai nilainilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercemin dalam sikap dan
tingkah lakunya.
Sama halnya dengan sifat-sifat spesies dalam teori Darwin praktek-praktek budaya bisa
berubah atau bermutasi, tetapi praktek-praktek budaya tersebut tetap berlaku karena kebudayaan
memiliki nilai adaptasi. Kelangsungan budaya sama halnya dengan kelangsungan spesiesspesies, ditentukan oleh atau tergantung kepada kelangsungan an perkembangan praktek-praktek
yang memungkinkan kebudayaan itu bisa digunakan untuk menangani lingkunagn fisik, juga
tergabtung kepada kemampuannya untuk bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan lain.
Globalisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia terlebih lagi
remaja. Sebab remaja merupakan masa pertumbuhan menuju dewasa yang umumnya mereka
masih bersifat labil. Itu mereka lakukan agar tidak dianggap ketinggalan jaman atau di ejek

kalau nggak gini iya nggak gaul!. Hal itu semakin memperparah krisis moral di kalangan
remaja.
Sebagai generasi muda seharusnya kita dapat lebih menghargai budaya kita sendiri dan
menjadi remaja yang bermoral yang mampu melawan dampak negatif dari globalisasi dan
menganbil dampak positifnya. Tentunya denganmengkatkan keimanan dan ketekwaan kita
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jadi, kelompok kami mengadakan penelitian ini untuk mengidentifikasi moral remaja pada era
globalisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Dalam karya tulis ini kami akan mengemukakan beberapa hal diantaranya,
2. Apakah moral itu?
3. Apakah dampak globalisasi terhadap moral?
4. Bagaimana penerapan moral pada kehidupan remaja?
5. Perlukah moral diterapkan sejak dini?
6. Bagaimanakah moral remaja Indonesia?
7. Ilmu apa yang baik dan apa yang buruk tentang ajaran moral?
8. Bagaimana dampak dari kelemahan moral?
9. Bagaimana perbedaan pandangan tentang sifat moral?
10. Apakah moral itu bersifat objektivistik atau relativistik?
1.3 Alasan Pemlihan Judul
Alasan kami mengambil judul ini karena pada era globalisasi terjadi penurunan moral
pada remaja Indonesia mau membaca sehingga mereka akan sadar pentingnya moral bagi diri

remaja, dan agar remaja mendapat pengetahuan yang lebih luas perlu diberikan ulasan bahwa
substansi materiil dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku itu
sendiri. Moral itu sendiri belum berwujud tingkah laku tapi masih acuan dari tingkah laku.
1.4 Penegasan Judul
Krisis
: keadaan suram tentang ekonomi dan moral yang terjadi intensif dan dasyat
dalam waktu singkat.
Moral
: secara etimologis kata moral berasal dari kata most dalam bahasa lain, bentuk
jamaknya mores yang artinya tata cara atau adat istiadat. Jadi moral adalah
ajaran tentang baik buruk yang diterima secara umum meliputi akhlak, dan
mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, dan disiplin sebagai
perangi (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan
sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan
Remaja

tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.


: pertumbuhan anak menuju dewasa dan mulai terjadi pada masa puber atau

Etika

pubertas dari usia 17 tahun sampai 18 tahun.


: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan

Era

kewajiban moral (hak).


: sejumlah tahun dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa penting dalam

Globalisasi

sejarah atau masa.


: suatu proses atau tatanan yang menyebabkan seseorang, sekelompok orang,
atau suatu negara saling dihubungkan dengan masyarakat atau negara lain

akibat kemajuan teknologi komunikasi di seluruh penjuru dunia.


Jadi, krisis moral remaja pada era globalisasi adalah keadaan moral yang suram yang terjadi pada
masa pertumbuhan anak menuju dewasa dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa.
1.5 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengerti pengertian moral.
2. Untuk mengetahui dampak globalisasi terhadap moral remaja.
3. Untuk memahami lebih dalam tentang moral remaja.
4. Untuk mengetahui penerapan moral pada kehidupan remaja.
1.6 Lingkup Pembahasan

Pada pembahasan makalah ini kami menekankan pada lingkup moral kehidupan remaja.
Karena remaja pada saat ini masih sangat labil. Sehingga dalam hal ini ada penjelasan mengenai
sifat remaja yang berhubungan dengan moralitas remaja dalam era globalisasi baik positif
maupun negatif.
1.7 Metode Pembahasan
Macam-macam metode penelitian dapat dibedakan menjadi lima, yaitu metode kuisioner,
metode wawancara, metode observasi, metode eksprimen, dan metode kepustakaan.
Metode kuisioner adalah metode yang cara memperoleh informasinya dengan
memberikan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui pos perantara. Kuisioner atau angket dapat berupa pertanyaan atau
pernyataan yang dapat dijawab sesuai bentuk angket. Metode wawancara adalah metode yang
cara memperolehnya dengan proses komunikasi secara langsung maupun tidak langsung untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Metode observasi adalah metode yang cara memperoleh informasinya berasal dari
pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap objek yang diteliti dan dalam keadaan
yang sebenarnya tanpa melalui wawancara. Untuk pelaksanaan metode ini orang yang
melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap gejala atau fenomena yang diteliti haruslah
dilakukan secara sistematis. Sedangkan untuk teknik pelaksanaannya bisa dengan secara asli
maupun tidak asli.
Metode eksperimen adalah metode yang diperlukan untuk menguji kesimpulankesimpulan yang diperoleh dari penelitian. Dari hasil kesimpulan sementara ataupun usul
pemecahan masalah ini kemudian dapat dilanjutkan dengan mengadakan percobaan-percobaan
sehingga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan apakah peneltian sudah memberikan
jawaban yang sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya.
Metode kepustakaan adalah memanfaatkan fasilitas yang berada di dalam perpustakaan
sekoalah berupa buku-buku yang dapat memberi informasi dan kami juga mengambil sebagian
informasi dari internet. Dan dalam makalah ini kami mengambil metode kepustakaan dalam
pengerjaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti Definisi

Arti definisi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah kata, frasa, atau kalimat yang
mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses atau aktivitas.
Dengan demikian definisi bisa berupa gambaran singkat mengenai suatu hal yang
membedakannya dengan benda lain. Arti definisi juga bisa berupa rumusan tentang ruang
lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau study.
Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow
maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang
remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode. Papalia dan
Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara
implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun
dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga
20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13
hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa
remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah
mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanakkanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa
remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan
perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan
cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa
depan.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanakkanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990).
Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan
masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan

semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan
mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Dikatakan juga bahwa masa remaja disebut sturm und drang. Artinya suatu masa dimana
terdapat ketegangan emosi yang dipertinggi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
keadaan fisik dan bekerjanya kelenjar-kelenjar yang terjadi pada waktu remaja. Sebenarnya halhal tersebut hanya merupakan sebagian dari sebab-sebab yang menimbulkan ketegangan pada
waktu remaja.
Sebab yang utama adalah keadaan sosial. Artimya hubungan remaja dengan orang lain
atau masyarakat yang sekarang tentunya mengharapkan reaksi yang lain dari anak remaja dari
pada di waktu dia masih kanak-kanak. Bertambahnya ketegangan-ketegangan emosional itu
disebabkan karena anak-anak remaja harus membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap
harapan-harapan masyarakat yang baru dan berlainan dari dirinya.
Ada banyak bentuk-bentuk emosi yang nampak pada remaja, diantaranya adalah marah,
takut, malu, iri hati, kasih saying, kegembiraan, kesedihan, dan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu
inilah yang menyebabkan remaja menyelidiki hal-hal yang ingin diketahuinya, termasuk
menyelidiki hal-hal yang negatif.
Adapun karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa
sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yakni:
a. mulai mampu berfikir abstrak.
b. mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis, maka pemikiran remaja
terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi
juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
c. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai
suatu yang bernilai walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi.
d. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.

e. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.


f. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
g. Penilaian secara psikologis menjadi lebih mahal.
Dalam makalah ini arti definisi dari Krisis Moral Remaja pada Era Globalisasi adalah
semakin menurunnya perilaku masyarakat yang semakin menyimpang dan remaja tidak hentihentinya menjadi target utama yang perlu dibenahi. Ini sangat memalukan bagi masyarakat
Indonesia yang kental dengan adat ketimurannya. Sangat ironis memang, karena ini semua
menimpa generasi penerus yang seharusnya mengharumkan nama bangsa dimata dunia.
Penyebab terjadinya krisis moral yang menimpa remaja diantaranya adalah kurangnya
perhatian dari keluarga, pergaulan yang tidak baik, dan lingkungan tempat tinggal yang kurang
baik. Semua ini tidak terlepas dari peran orang tua yang seharusnya dapat mengontrol tingkah
perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2.2 Fungsi Moral
Salah satu tugas perkembangan yang penting dalam masa remaja adalah untuk mengerti
apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan untuk mau mengubah sikap-sikapnya
sesuai dengan harapan-harapan ini tanpa selalu dibimbing, diawasi, dan diancam oleh orangorang dewasa, seperti pada masa kanak-kanak. Jadi sekarang padanya harus ada pengawasan dari
dalam atau internal control.
Bilamana dalam masa kanak-kanak telah tertanam konsep-konsep kesusilaan, maka
konsep-konsep yang telah meresap dalam diri anak inilah yang kini menjadi pengawasan dari
tingkah laku anak remaja. Bilaman konsep-konsep ini tidak ada dalam diri anak, maka dia tidak
akan dapat memenuhi apa yang dihapakan oleh masyarakatdarinya dalam hal kesusilaan.
Pada remaja terjadi perubahan dalam konsep-konsep moral. Kini anak remaja tidak mau
lagi menerima konsep-konsep dari hal-hal yang mana yang benar dan yang tidak benar, yang
telah ditetapkan oleh orang tuanya atau teman-teman sebayanya dengan begitu saja seperti masa
kanak-kanak. Dia sekarang menentukan sendiri, berdasarkan atas konsep-konsep moral yang

dikembangkan dalam masa kanak-kanak. Akan tetapi telah dirubah sesuai dengan tingkat
perkembangannya yang telah lebih tinggi atau dengan perkataan lain sesuai dengan
perkembangan yang telah matang.
Pada umumnya anak remaja patuh terhadap pendiriannya sendiri mengenai apakah
sesuatu tindakan itu benar atau salah. Dia benar-benar tidak akan menindakkan apa yang
menurut pendapatnya salah dan benar-benar akan menindakkan apa yang dianggapnya benar.
Tapi terkadang ada anak remaja yang menindakkan tindakan-tindakan yang tidak dapat
diterimanya dalam masyarakat yang sangat serius. Para ahli yang telah mengadakan penyelidikan
megenai kenakalan remaja menarik kesimpulan, bahwa hal ini tidak disebabkan oleh karena
salah satu sebab saja, akan tetapi oleh beberapa sebab.
Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral, dan sikap,
tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa
aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan
yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg,1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih
tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.
Pada sebagian remaja dan orang dewa sa yang penalarannya terhambat,
pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua
sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus
memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar
belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak
mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral:
a. Hubungan harmonis dalam keluarga, yang merupakan tempat penerapan pertama sebagai
individu. Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan keluarga sangat
berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang mempunyai sanksisanksi buat pelanggarnya.
c. Lingkungan sosial, lingkungan sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang bisa sebagai
pendidik dan pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk tingkah laku yang sesuai.
d. Perkembangan nalar, makin tinggi penalaran seseorang , maka makin tinggi pula moral
seseorang.

e. peranan media massa dan perkembangan teknologi modern. Hal ini berpengaruh pada moral
remaja. Karena seorang remaja sangat cepat untuk terpengaruh terhadap hal-hal yang baru
yang belum diketahuinya.
Fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor yang merubah
kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini. Jaringan internet misalnya, merupakan sebuah
terobosan baru yang bisa menghubungkan antara mereka yang di timur dengan mereka yang ada
di barat atau di selatan. Sehingga penyebaran informasi merupakan hal yang tidak bisa
dipungkiri sehingga seluruh informasi baik membangun maupun yang merubuhkan akhlak akan
berkontaminasi dengan kepribadian kita sebagai orang timur ditambah dengan kurangnya nilai
iman untuk menyaring arus perjalanan informasi tersebut.
Sudah banyak sekali kasus yang bisa kita saksikan melalui media massa bahwa generasi
muda sebagai motor dan tulang punggung negara ini sudah rusak moral (akhlak) dan
perilakunya. Budaya Islam sebagai budaya yang seharus dikembangkan dan dijadikan sebagai
ukuran atau filter penyaring dilupakan bahkan dilecehkan. Generasi muda sudah kehilangan
takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya luar yang merusak kepribadian kita sebagai
bangsa. Generasi muda kita banyak kehilangan arah dan tersesat dalam area yang sangat
berbahaya dan cenderung hanya menggunakan nafsu sebagai takarannya.
Dengan rusaknya moral dan akhlak generasi muda, maka secara perlahan akan merusak
tatanan suatu bangsa dan tinggal menunggu kehancurannya. Allah jelas telah mengingatkan kita
bahwa hancurnya bangsa diakibatkan rusaknya moral dan akhlak pemudanya dan Quran dan
Hadits yang diabaikan akan memberikan dampak ketersesatan dan kehancuran manusia yang ada
dalam negara tersebut.
Fungsi dan peranan moral dalam pembelajaran menjadi sangat penting untuk diketahui.
Sebagaimana kita diketahui pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, proses pendidikan atau
pembelajaran dijalankan oleh dua unsur penting yaitu pembelajar dan pengajar yang akan
membawa pendidikan kearah positif sebagaimana yang diharapkan.
Pendidikan merupakan tempat latihan sebenarnya bagi fisik, mental, dan spiritual peserta
didik agar menjadi manusia yang berbudaya sesuai dengan yang diamanatkan kepada pemerintah
dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 untuk mrngusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.

Dari penjabaran diatas terlihat jelas moral memiliki posisi yang sangat penting dalam
pembelajaran ataupun dalam pendidikan nasional khususnya di Indonesia. Moral memilik
peranan sebagai pembentuk pribadi manusia yang berakhlak mulia seutuhnya dalam menghadapi
dimensi kehidupan.
Globalisasi yang melanda negeri menimbulkan banyak tuntutan peningkatan pendidikan
moral pada lembaga pendidikan, ini didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang.
Kenakalan remaja dalam masyarakat dan berbagai unsur dekagensi moral lainnya, terutamadi
kota-kota besaryang sudah sampai pada tahap yang sangat meresahkan. Oleh karena itu
pendidikan moral di sekolah dianggap sebagai wadah formal yang diyakini mampu berperan
aktif dalam membentuk pribadi generasi muda melalui intensitas pendidikan moral.
2.3 Perlunya Pendidikan Moral di Era Globalisasi
Adanya gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip
demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Menurut Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajarandan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyarakat.
Pada sisi lain disebutkan peranan pendidikan atau edukasi dalam mengadakan perubahan
atau transformasi di masyarakat ada tiga macam yaitu, menjaga generasi sejak masa kecil dari
berbagai tindak penyelewengan. Mengembangkan pola hidup, perasaan, dan memikiran mereka
yang sesuai dengan fitrah, agar mereka menjadi fondasi yang kokoh dan sempurna di
masyarakat.
Karena pendidikan berjalan seiring dengan perkembangan anak-anak, maka pendidikan
akan sangat mempengaruhi jiwa dan perkembangan anak serta akan menjadi bagian dari
keprbadiannya untuk kehidupannya kelak, kemudian hari. Pendidikan sebagai alat terpenting
untuk menjaga diri dan memelihara nilai-nilai yang positif.

Perlu kita ketahui bersama bahwa pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji
kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter
dibangkitkan kembali. Melalui pendidikan orang mampu menguasai teknologi, yang kemudian
dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya sesuai dengan kebutuhan manusia, namun sebaliknya
dengan pendidikan pula terkadang manusia menjadi takabur atau sombong.
Terjadinya krisis moral tersebut ternyata tidak hanya di Negara kita, namun di Negaranegara yang telah maju pun seperti Amerika Serikat terjangkit virus moral atau demonstrasi.
Bagaimanapun pendidikan memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan manusia.
Bila di setiap sekolah selalu diajarkan pendidikan moral siswa siswinya InsyaAllh Indonesia di
masa depan akan lebih sukses dan bertambah maju.
Pendidikan moral di era globalisasi disebabkan masa sekarang banyak sekali krisis moral
sehingga kita harus memupuknya.Karena sudah banyak sekali terjadi pelanggaran yang telah
dilakukan terutama di kalangan remaja.apalagi banyaknya budaya asing yang masuk
mengakibatkan terlahirnya budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya asli Indonesia.
Pengaruh pendidikan moral ini dapat diperoleh dari lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat maupun lingkungan keluarga. Di lingkungan sekolah merupakan kewajiban guru
untuk memberikan pendidikan moral pada siswanya. Begitu pila sebaliknya, lingkungan keluarga
merupakan tugas orag tua, dan lingkungan masyarakat tugas dari diri sendiri untuk membedakan
antara yang baik dan yang buruk.
Di era globalisasi ini, yang paling banyak terjadi krisis moral, sebagai contohnya adalah
pergaulan antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah terlewat bebas, sudah jad dari kata
normal. Itu disebabkan dari kurangnya pendidikan moral yang Ia dapat dan kurangnya keimanan
mereka. Sekarang kita harus menyadari bahwa pendidikan moral sangatlah penting. Tidak hanya
untuk anak remaja saja, tetapi namun juga berlaku untuk semua usia. Pendidikan moral harus
diajarkan sejak dini sehingga nantinya akan terbiasa untuk melakukannya, hal ini juga untuk
membentuk kepribadian seseorang.
Bersosialisasi dengan lingkungan bahkan warga asing pun menjadi lebih mudah bila kita
memiliki moral yang baik. Selain itu, dengan moral yang baik orang yang berinteraksi dengan

kita menjadi senang dan dengan sendirinya menghormati kita, pandangan orang lain atau negara
lain akan berubah apabila kita sebagai warga Indonesia atau remaja Indonesia memiliki moral
yang baik. Apalagi bila dapat menjadi panutan bagi Negara lain merupakan hal yang
membanggakan bagi semua warga Indonesia.
2.4 Dampak Krisis Moral Remaja
Diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan
dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Sedangkan di sisi
lain media merasa kaum remajalah yang tepat menjadi konsumen dari berbagai produk yang
ditawarkan. Seperti diketahui bersama bahwa media berperan besar dalam pembentukan budaya
masyarakat dan proses peniruan gaya hidup, tidak megherankan pada masa sekarang adanya
perubahan cepat dalam teknologi informasi menimbulkan pengaruh negatif meskipun pengaruh
positifnya masih terasa.
Hal ini terlihat jika dapat diumpamakan remaja perkotaan sudah tertular dengan gaya
hidup barat. Terlihat pada sikap remaja yang mengikuti perkembangan mode dunia, mulai dari
fashion, gaya rambut, casing hand phone, pakaian, cara makan, cara bertutur kata yang lebih
sering menggunakan loe gue dari pada aku atau saya, kamu. Bahkan itu pun mereka
ucapkan pada saat berbicara kepada orang yang lebih tua. Padahal menurut budaya timur,
harusnya kita harus sopan jika berbicara dengan orang yang lebih tua. Lebih jauh lagi, dampak
bagi remaja dapat dilihat khususnya perempuan cenderung tertanam dalam pandangan mereka.
Jika perempuan menarik adalah perempuan yang agresif dan seksi.
Selain itu, dengan semakin mudahnya remaja mendapatkan VCD porno dan internet yang
menampilkan gambar-gambar porno membuat para remaj penasaran untuk mencobanya melalui
kehidupan seks bebas atau bahkan jika hasrat seksualnya tinggi bisa nekat melakukan
pemerkosaan. Disamping itu, terdapat pula banyak pemilik warung kecil yang dengan bebas
menjual kondom bahkan obat perangsang berupa permen karet yang berdampak meningkatkan
libido pada wanita. Ini sangat memprihatinkan jika dilihat dari latar belakang Negara kita yang
merupakan Negara Timur bukanlah Negara barat.

Selain itu, terdapat fenomena kehidupan remaja di perkotaan sering terlihat terdapat
pasangan muda mudi yang belum resmi, melakukan sikap yang menyimpang dari moral dan
norma, ironisnya lagi terkadang terjadi penggeledahan di hotel-hotel maupun tempat-tempat
hiburan malam yang dilakukan oleh pihak yang berwenang karena terdapat praktek mesum dan
banyak diantara mereka adalah remaja usia sekolah yang melakukan praktik mesum. Selain itu
juga remaja putri yang berjilbab pun patut dipertanyakan meskipun tidak semuanya. Sungguh
pemandangan yang kiranya menandakan bahwa moral remaja bangsa ini sudah benar-benar
merosot.
Faktor keimanan dan niat untuk benr-benar menjauhi dikap buruk , peran keluarga dan
media masa sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral remaja. media masa harus benarbenar memberikan informasi untuk meningkatkan rasa percaya diri, bebas dari diskriminasi,
terlindung dari pelecahan, kekerasan, dan eksploitasi seks.
Dengan demikian bila melihat persoalan tersebut sudah saatnya kita bersama harus membentengi
diri dengan keimanan dan harus selektif dalam bentuk apapun agar agar tidak tertindas dari
perkembangan kemajuan yang berpengaruh pada rusaknya moral bangsa ini. Marilah kita ambil
nilai-nilai positif dari perkembangan zaman dan tetap selektif terhadap dampak-dampak negatif
dari kemajuan zaman. .
Sifat Moral : Perspektif Objektivistik vs Relativistik
Dalam kajian tentang moral terdapat perbedaan pandangan yang menyangkut
pertanyaan, apakah moral itu sifatnya objektivistik atau relativistik ? Pertanyaan yang
hampir sama, apakah moral itu bersifat absolut atau relatif, universal atau
kontekstual, kultural, situasional, dan bahkan individual ?
Menurut perspektif Objektivistik, baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah.
Suatu perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik.
Senada dengan pandangan Objektivistik adalah pandangan absolut yang menganggap

bahwa baik dan buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat. Menurut
pandangan ini perbuatan mencuri itu sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak
boleh mengatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, mencuri itu bukan perbuatan yang
jelek.
Demikian pula halnya dengan pandangan yang universal, prinsip-prinsip moral
itu berlaku di mana saja dan kapan saja. Prinsip-prinsip moral itu bebas dari batasan
ruang dan waktu. Sebaliknya pandangan yang menyatakan bahwa persoalan
moralitas itu sifatnya relatif, baik dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya
tergantung, dalam arti konteksnya, kulturalnya, situasinya, atau bahkan tergantung
pada masing-masing individu.
Dari dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat tertentu, belum
tentu dianggap baik oleh masyarakat yang lain. Dari dimensi waktu, apa yang dianggap baik
pada masa sekarang, belum tentu dianggap baik pada masa-masa yang lalu.
Salah satu kelemahan literatur tentang moral atau etika, terutama yang
bersumber dari literatur Barat, adalah kurang adanya klasifikasi moral, etika pada
umumnya tidak membedakan secara jelas antara kesusilaan dan kesopanan. Dua
pandangan yang saling dipertentangkan itu sesungguhnya dapat diterima semua,
dalam arti ada prinsip-prinsip etik atau moral yang bersifat Objektivistik-universal
dan ada pula prinsip-prinsip etik atau moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Prinsip-prinsip moral yang bersifat Objektivistik-universal yang dimaksudkan adalah

prinsip-prinsip moral secara obyektif dapat diterima oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun
juga. Sebagai contoh adalah sifat atau sikap kejujuran, kemanusiaan, kemerdekaan, tanggung
jawab, keihlasan, ketulusan, persaudaraan, keadilan dan lainlain.
Sedangkan prinsip-prinsip moral yang bersifat relativistik-kontekstual sifatnya
tergantung, sesuai dengan konteks, misalnya tergantung pada konteks
kebudayaan atau kultur, sehingga bersifat kultural. Demikian seterusnya, sifat
relativistik-kontekstual itu pengertiannya bisa berarti nasional, komunal, tradisional,
situasional, kondisional, atau bahkan individual. Sebagai contoh adalah sikap
kebangsaan, adab ketimuran, etika atau sopan santun orang Jawa atau
Minangkabau, serta berbagai etika terapan.
Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang macam-macam norma, dikenal
adanya empat macam norma, yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma
kesopanan, dan norma hukum. Norma kesusilaan itu lebih bersumber pada prinsip-prinsip
etis dan moral yang bersifat Objektivistik-universal. Sedangkan norma kesopanan itu bersumber
pada prinsip-prinsip etis dan moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985: 154) mengemukakan bahwa persoalan moral
dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata susila
mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya mengatakan baik, yang dalam hal ini
bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain. Tata sopan santun
mendorong untuk berbuat baik, terutama bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, untuk
sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian tata sopan santun lebih terkait
dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dan sebagainya

Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa remaja adalah masa yang sangat rawan dimana mereka belajar mencari jati diri
yang sebenarya. Di masa ini mereka memiliki rasa ini tahu yang tinggi bahkan menyelidki atau
mencoba hal-hal yang negative. Dalam hal ini pendidikan moral sangat penting sebagai
pembentuk pribadi yang berakhlak mulia dalam menghadapi berbagai dimensi kehidupan.
Sekarang kita harus menyadari bahwa pendidikan moral sangatlah penting, tidak hanya
untuk anak remaja saja namun berlaku untuk semua usia. Mengingat banyaknya pengaruh
budaya asing yang masuk di Negara kita ini, maka dari itu perlunya kerja keras untuk menghadai
masalah yang sampai saat ini juga masih perlu penanganan khusus.
Apalagi di era globalisasi perkembangan iptek banyak membawa dampak negative bagi
remaja. Terutama krisis moral seperti pergaulan bebas atau seks bebas. Dalam hal ini ada
beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: kurang pendidikan moral yang mereka dapatkan dan
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding
orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja
lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan
bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa
remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk
menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak
dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang
remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993;
Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa

kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan
sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi
misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus,
dan sebagainya (Conger, 1991).
Untuk itu perlu adanya pengawasan bagi mereka. Dan selain itu faktor keimanan dan niat
untuk benar-benar menjauhi sikap buruk, peran warga dan media masa sangat berpengaruh
terhadap perkembangan moral remaja. Dimulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat agar
mereka tidak terjerumus dalam hal yang negative.
Pada remaja saat ini terjadi perubahan dalam konsep-konsep moral ini. Pada saat ini anak
remaja tidak mau lagi menerima konsep-konsep dari hal-hal yang benar dan yang tidak benar,
yang telah ditetapkan oleh orang tuanya atau teman sebayanya. Bahkan mereka banyak yang
membangkang terhadap orang yang lebih tua, terhadap orang yang menasehati kita.
Bagi remaja di era globalisasi untuk membentengi diri perlu sikap yang tegas yaitu
bijaksana artinya membuka diri terhadap perkembangan globalisasi, waspada, selektif artinya
mampu memilih yang terbaik serta mempertahankan nilai-nilai pergaulan sesuai kepribadian
bangsa dan menjalankan nilai-nilai agama.Maka dari itu perlu adanya kesadaran dari setiap
individu tersebut, dan untuk bisa membentengi diri mereka masing-masing dari pengaruh
negative dari era globalisasi pada saat ini yang merusak moral remaja atau bangsa kita ini.
Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh
pengertian saja tetapi juga dapat menjalankannya atau mengamalkannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral yaitu hubungan harmonis dalam keluarga, masyarakat,
lingkungan sosial, perkembangan nalar, dan peranan media massa dan perkembangan teknologi
modern.
Karakteristik perkembangan moral antara lain: mulai mampu berfikir abstrak, mulai
mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis, mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada, keyakinan moral lebih berpusat
pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul sebagai kekuatan moral

yang dominan, penilaian moral menjadi kurang egosentris, dan penilaian secara psikologis
menjadi lebih mahal.
Kita pernah punya konsep strategi Repelita Orde Baru yang menurut saya yang bodoh
yang bagus, kita melihat hasilnya selama 25 tahun terakhir kemajuan terlihat nyata, namun
sayang konsep yang bagus dikotori oleh moral korupsi yang tinggi. Kini penguasa pencetus
Repelita tersebut hancur, namun sayang sejuta sayang konsep yang bagus tersebut tidak
ditindaklanjuti, seolah-olah yang bagus menjadi jelek hanya karena keluar dari pikiran pemimpin
atau penguasa yang telah dicap jelek.
Negeri ini diguncang dari dalam oleh pemimpin-pemimpinnya, dirongrong oleh negeri
tetangga karena dianggap tidak becus memberdayakan wilayah potensial, tak lupa dipukul keras
oleh alam akhir tahun lalu.
Perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap,sesuai dengan umur,
faktor kebudayaan, dan tingkat pemahamannya. Indonesia banyak mengadopsi sistem
pendidikan sekuler, inilah yang membuat hancur pendidikkan di Indonesia terutama pendidikan
akhlak dan moral.
Indonesia harus mengembangkan pola pendidikan Iran. Jika dikelola dan dikembangkan
dengan baik dan didukung oleh pemerintah, maka pola Iran ini sangat baik dalam mendidik
moral dan akhlak anak-anak ketika menimba ilmu.
Disiplin yang keras dan pengawasan anak-anak selama 24 jam melatih moral dan akhlak
untuk selalu disiplin dan terbiasa mematuhi aturan yang ada.
3.2 Saran
Bagi para remaja, pandai-pandailah membawa diri berfikir positif dan jauhkan diri dari
hal negatif yang menjerumuskan dan dapat merusak segala cita-cita dan impian.
Bagi keluarga atau orang tua dampingilah putra-putri Anda pada saat mereka mulai
beranjak dewasa atau remaja, terutama tanamkan pendidikan moral dan nilai-nilai
agama yang kuat bagi mereka.

Bagi sekolah pengajaran moral dan budi pekerti sangat dibutuhkan bagi remaja.
Pendampingan, ketelatenan dibutuhkan remaja pada saat ini.
Jadi sekarang perlu adanya bahkan harus ada pengawasan dari dalam atau internal
control.
Mari kita ambil nilai-nilai positif dari perkembangan zaman dan tinggalkan dampak atau
nilai-nilai negatifnya.
Perbanyaklah pengetahuan Anda tentang pengaruh atau dampak globalisasi. Agar Anda
tidak salah mengambil manfaat dari globalisasi.
Pendidikan merupakan hak yang penting bagi masyarakat. Dengan pendidikan , seseorang
dapat membuka pikiran dan wawasan yang akan membantunya melakukan perubahan
sosial ke arah lebih baik.
Kita harus siap menerima pengalaman baru dan keterbukaan terhadap inovasi serta
perubahan.
Kita harus siap membentuk atau mempertahankan pendapat mengenai berbagai masalah
yang menyangkut kepentingan umum, mencari bukti mengenai sebuah pendapat,
mengakui pendapat tersebut, dan menilai pendapat tersebut sebagai suatu yang positif.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang baik untuk mempelajari, melestarikan dan
membangun sistem norma dan nilai-nilai moral dalam berkehidupan di masyarakat. Pendidikan
bukan hannya membuat seseorang dituntut menjadi seseorang yang cerdik dalam banyak hal,
tetapi wajib menjadi orang yang cerdik dengan norma dan nilai-nilai yang baik. Pengarahan
pendidik pada anak didiknya untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi, sosial dan
lingkungan sekitar dengan diikutinya norma dan nilai yang berlaku dalam masyarat dapat
membuat anak didik tersebut menjadi layak menjadi penerus bangsa. Disambung dengan
perkembangan teknologi yang tidak semuanya memiliki sifat positif apalagi dengan adanya era
globalisasi yang masuk tanpa melihat apapun dan siapapun yang menjadi sasarannya membuat
norma
dan
nilai-nilai
yang
harus
ditanamkan
harus
lebih
ditekankan.
Dunia yang sekarang ini sedang masuk ke dalam dunia era globalisasi yang dimana segala aspek
kehidupan masuk ke dalam diri manusia itu sendiri tanpa mengenal apapun. Membludaknya
pemasukan globalisasi dalam diri manusia itu dari negara manapun dan kapanpun itu akan selalu
terjadi dan akibatnya adalah terkikisnya nilai-nilai juga norma bangsa generasi muda yang yang
akan meneruskan dab penentuan masa depan bangsa ini. Seharusnya cara-cara unggul pendidik
Indonesia mampu meminimalisir keadaan itu yang akan terus berlanjut bila tidak adanya
pencegahan
itu
sendiri.
Sudah tertulis jelas dalam pancasila yang selalu menjunjung tinggi moral dan nilai kehidupan
yang selalu diajarkan leluhur bangsa ini pada penerusnya.tetapi karena era globalisasi yang
semakin lama semaki merajalela dan masuk ke dalam tubuh bangsa ini membuat tumbuhnya
kebudayaan pop dan berkurangnya nilai-nilai sosial yang selalu dijunjung tinggi oleh

masayarakat Indonesia sejak dulu. Dampak negatifnya yang lain adalah menggeser peradaban
yang sudah ada di Indonesia sebelumnya. Di era ini, anak-anak remaja bahkan dewasapun telah
terbius dengan peradaban globalisasi yang masuk ke dalam tubuh Indonesia. Bahkan lebih
banyak memperlajari peradaban negara lain dibanding dengan negara sendiri yang merupakan
tempat kelahirannya dan leluhurnya. Tentu boleh-boleh saja dan tidak mengapa jika masyarakat
ingin mengenal tentang kehidupan dan peradaban negara lain. Tapi salah jika seseorang tersebut
sama sekali tidak mengetahui peradaban serta kebudayaan lagi norma dan nilai-nilai yang ada
pada negaranya sendiri. Maka, negeri ini akan ditertawai oleh bangsa lain karena tidak mengenal
identitas
bangsanya
sendiri.
Beberapa penyababnya adalah rusaknya pola dan sistem pendidikan dan hilangnya tokoh
panutan. Pendidikan di zaman sekarang seharusnya lebih intensif dalam menggali dan
merekondisi hal-hal yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai bangsa yang sekarang mulai
terkikis. Dalam era yang dewasa ini, pendidikan menjadi modal utama dalam terlahirnya masa
depan yang mengetahui norma dan nilai-nilai juga tidak sekedar mengetahui norma itu sendiri
tapi
menjunjung
tinggi
demi
kelanjutan
pendidikan
masa
depan
nanti.
Maka dari itu, tenaga pendidik haruslah yang memiliki rasa moral dan nilai-nilai tinggi dalam
kecerdasaan pendidik tersebut agar bangsa ini melahirkan pemuda masa depan yang menjunjung
tinggi hal tersebut. Pernyeimbangan mata pelajaran pengetahuan dan mata pelajaran moral juga
nilai harus dilakukan secara seksama dan konsisten juga intensif agar hal-hal yang dikhawatirkan
pada
masa
depan
bangsa
ini
tidak
terjadi.
Saya ingin pendidikan bangsa ini menyeimbangkan antara pendidikan pengetahuan dan
pendidikan norma dan nilai-nilai bangsa yang sudah ada, karena hal ini bisa membuat bangsa
kita menjadi lebih dilihat oleh negeri lain sebagai negara yang menjunjung tinggi moral serta
nilai bangsa dan mengenali identitas bangsanya bukan hanya dengan kecerdasan manusianya
yang mengetahui pengetahuan yang global. Pahlawan bangsa dan leluhur negeri yang
menjunjung tinggi hal ini sangat mementingkan masalah moral dan nilai maka ini lah yang
membuat bangsa kita dilihat dunia pada zaman sebelumnya. Bukan negara yang dilihat dengan
banyaknya anak muda bahkan orang dewasa yang tidak mengenali identitas dan moral juga nilai
yang berada pada bangsanya.

Anda mungkin juga menyukai