Anda di halaman 1dari 24

BAB 5

PROSES PRODUKSI

5.1.Filtrasi Udara
Filtrasi (prefurifikasi) merupakan tahapan paling awal dalam proses produksi, yaitu
penghilangan partikel-partikel berukuran makro berupa kotoran/debu dengan menggunakan
filter. Prinsip kerja filter udara yaitu menahan debu/kotoran yang masuk bersama udara
dengan menggunakan saringan yang memiliki ukuran tertentu yang memungkinkan udara
dapat melewati saringan sedangkan partikel debu tertahan. Filter udara dibutuhkan karena
apabila tidak disaring, debu/kotoran yang ada pada udara akan dapat merusak alat proses dan
menimbulkan fibrasi pada kompresor sehingga dapat mengganggu jalannya proses.
Filter udara yang digunakan berbentuk kotak besar dengan saringan-saringan
didalamnya yang berbentuk seperti kasa. Filter ini memiliki sistem self cleaning filter yaitu
kemampuan dapat membersihkan sendiri/otomatis. Saat digunakan untuk menyaring udara,
tentunya ada masa dimana debu/kotoran yang tertampung dalam filter berjumlah cukup
banyak yang menyebabkan filter tidak dapat menyaring udara yang lewat kembali, oleh
karena itu bagian saringan pada filter perlu dibersihkan, pada filter udara di PT. Air Liquide
Indonesia, filter udara dapat membersihkan secara otomatis sesuai dengan pengaturan waktu
tertentu yang diberikan.

(a)

(b)

Gambar 4. 1 Cara kerja filter udara (a) keadaan normal (b)keadaan self cleaning

Dapat dilihat pada gambar 4.1, ketika keadaan normal, udara kotor (tanda panah
berwarna coklat) yang masuk akan melewati lapisan filter (garis-garis putih) kemudian
menjadi udara bersih (tanda panah berwarna putih) yang kemudian masuk ke dalam
kompresor. Sementara itu, ketika self cleaning, bagian filter yang dilewati udara bersih,
menembakkan aliran balik (pada gambar b) sehingga udara bersih yang ada melewati filter

dan membersihkan lapisannya, sementara itu udara kotor dialirkan ke bagian penampungan
segitiga.
Sementara itu, untuk maintenance dari filter udara sendiri tidak perlu sering
dilakukan, karena filter udara yang digunakan dapat membersihkan secara otomatis. Pada PT.
Air Liquide Indonesia, pemeliharaan untuk filter dilakukan ketika shutdown, yaitu dengan
cara membersihkan secara manual setiap lapisan saringan di dalam filter.
5.2.Proses Kompresi Udara
Setelah tahap filtrasi, tahap selanjutnya adalah tahap kompresi. Tujuan dari kompresi
ini antara lain untuk menekan udara hingga tekanan 25 bar. Selain menekan udara hingga
tekanan yang tinggi tersebut, proses kompresi dapat pula mengurangi kandungan air yang ada
di dalam udara.
Prinsip kerja dari kompresor secara umum adalah dengan cara mengalirkan fluida
masuk ke dalam impeller yang berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga gas akan masuk
dan terkompresi pada bagian outlet kompresor. Saat melewati impeller, kecepatan gas akan
naik.
Pada bagian outlet, terdapat sebuah alat yang disebut sebagai diffuser. Difusser ini
berfungsi untuk mengubah energi kinetik dari gas yang berkecepatan tinggi dengan cara
menurunkan kecepatan gas secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, tekanan gas akan naik.
Diffuser dapat dilengkapi dengan vane ataupun tidak. Vane merupakan sejenis pipa
yang membesar yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi dari kerja diffuser. Vane akan
membantu kinerja kompresor untuk menurunkan kecepatan gas yang keluar dari impeller.
Vane dapat diatur sudut bukaannya. Maksimum sudut yang biasanya dihasilkan adalah 11.
Jika lebih dari itu, akan menurunkan efisiensi kerja dari diffuser karena adanya pemisahan
boundary layer pada dindingnya.
Beberapa jeni vane saat ini mulai dikembangkan. Salah satunya adalah IGV. IGV ini
berfungsi untuk mengatur bukaan pada bagian inlet dari kompresor. Dengan adanya IGV
yang diatur secara otomatis, maka jumlah aliran gas ataupun udara yang masuk kedalam
kompresor akan selalu sesuai dengan set point yang diharuskan. IGV ini juga akan
mengurangi terjadinya surging pada kompresor.
Di PT. Air Liquide Indonesia terdapat 3 sistem kompresor, yaitu C01A, C01B dan
C01C yang saling terinterkoneksi sehingga sistem kompresi saling terhubung. Kompresor
C01A dan C01C aktif beroperasi (online) sedangkan kompresor C01B standby.

Gambar 5.1 Proses Kompresi Udara

Kompresor yang digunakan adalah 5 stages compressor. Kompresor ini menekan


udara secara bertahap dari tekanan atmosfer hingga 25 bar (gambar 5.1). Diantara dua
kompresor, terdapat sebuah cooler yang berfungsi untuk menurunkan temperatur udara
setelah dikompresi. Pada saat didinginkan ini, kandungan air yang ada di dalam udara ikut
terkondensasi yang menyebabkan kandungan air di dalamnya berkurang. Proses pendinginan
secara bertahap dengan sistem multistage agar kerja kompresor tidak terlalu berat. Intercooler
dipasang untuk meningkatkan efisiensi dari kompresi dan juga biasanya keperluan dari proses
yang membutuhkan gas bertekanan tinggi dengan suhu yang rendah.

Gambar 5.2 Kompresor 5 tahap

Udara yang masuk ke dalam kompresor memiliki tekanan sekitar 0.8 bar dan
temperatur sekitar 32oC. Udara ini, setelah keluar dari tahap prepurifikasi, masuk kedalam
kompresor stage pertama. Udara di kompres hingga tekanan 1,012 barg (sekitart 2,012 bar
absolut). Selanjutnya udara masuk ke dalam cooler untuk menurunkan temperatur hasil
kompresi menjadi 40oC. Pada tahap pendinginan ada sejumlah air tertentu yang berkurang.

Selanjutnya udara dikompresi kembali hingga tekanan mencapai 3,3 barg dan didinginkan
kembali hingga temperatur 40oC. Kemudian dikompresi kembali menjadi 6,8 barg dan
kemudian didinginkan mencapai temperatur sekitar 39,5oC. Terus dikompresi menjadi 13
barg dan 41,8oC hingga mencapai 25 barg.
Surging dan Choking
Surging merupakan suatu kondisi dimana aliran gas menjadi berlawanan dari arah
gas yang seharusnya (back flow). Kondisi surging ini terjadi karena laju alir gas yang masuk
ke dalam kompresor berkurang ataupun adanya penghambat aliran masuk gas seperti filter
yang telah penuh. Filter yang telah penuh ini akan menaikkan tekanan pada inlet. Oleh karena
terlalu sedikitnya gas yang masuk dan tekanan di dalam kompresor yang jauh lebih tinggi,
maka akan menyebabkan terjadinya back flow yang akan sangat membahayakan bagi
kompresor.
Pada performance curve, dapat pula dilihat bahwa terjadinya penurunan laju alir gas
pada kecepatan desain impeller tertentu, akan menyebabkan semakin tingginya energi yang
dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena impeller akan menjadi sedikit tertahan putarannya
karena sedikit demi sedikit ada back flow yang menyebabkan impeller bekerja berlawanan
arah. Energi yang semakin lama semakin besar ini dapat merusak motor utama kompresor.
Apabila motor utama rusak, maka back flow akan terjadi dan hal ini akan menghancurkan
impeller kompresor.
Penyebab surging pada kompresor sangat beragam. Bisa dari filter udara yang terlalu
kotor hingga kesalahan manusia saat memperbaiki kompresor. Berikut adalah beberapa
penyebab surging pada kompresor:
a. Filter terlalu kotor. Hal ini akan menghambat aliran udara masuk sehingga
surging dapat terjadi
b. Macetnya perangkat IGV (Inlet Guide Vane). IGV berfungsi sebagai pengatur
besar kecilnya aliran yang masuk ke dalam kompresor. Jika sewaktu-waktu aliran
udara berkurang dan IGV tidak bisa terbuka karena kotoran, hal ini akan memicu
terjadinya surging.
c. Ada aliran lain yang masuk ke dalam kompresor. Biasanya hal ini terjadi saat
kompresor bekerja dengan jaringan pipa yang dengan aliran gas yg besar dan
interconnected dengan jaringan lain. Apabila aliran dari tempat lain mendadak
memiliki tekanan lebih tinggi dari tekanan discharge kompresor dan jumlahnya
besar, aliran dari kompresor dapat berbalik dan memicu surging.

Choking merupakan suatu keadaan dimana aliran gas yang masuk kedalam
kompresor melebihi kapasitas yang di desain pada suatu kompresor. Aliran gas di definisikan
dalam Mach number. Seperti yang diketahui, Mach Number merupakan suatu angka yang
menyatakan pebandingan kecepatan gas pada kompresor dengan kecepatan suara di udara.
Apabila kecepatan gas pada kompresor sama dengan kecepatan suara di udara (Mach Number
=1), maka ini akan menimbulkan fenomena yang disebut sebagai sonic boom phenomena.
Sonic boom phenomena merupakan suatu fenomena dimana akan terjadi seperti
ledakan di udara. Hal ini terjadi karena perbedaan tekanan yang sangat besar antara inlet dan
saat melewati impeller. Sonic boom akan menyebabkan terjadinya vibrasi yang sangat besar,
bahkan berpotensi untuk menghancurkan impeller.
Pada sistem operasi PT. Air Liquide Indonesia, surging dicegah dengan cara
mengontrol besar tekanan pada control pressure yang berada setelah sistem kompresi.
Apabila tekanan melebihi set point, maka valve akan membuka sehingga tekanan turun.
Sedangkan pada bagian inlet kompresor, IGV akan membuka jika tekanan masuk terlalu
rendah.
5.3. Proses Aftercooling
Setelah dikompresi, udara yang keluar kemudian dimasukan ke dalam unit
aftercooler untuk menurunkan temperatur agar agar sesuai dengan kondisi yang diperlukan
pada unit MS tower proses adsorpsi. Unit aftercooler ini menurunkan temperatur menjadi
sekitar 27oC serta dapat mengurangi kandungan air yang tersisa dalam udara sehingga kinerja
molecular sieve tower tidak begitu berat dalam mengadsorpsi kandungan air yang ada di
udara. Sisa kandungan air setelah keluar dari unit ini berbeda-beda tergantung dengan kondisi
tekanan dan temperatur yang dihasilkan. Perhitungan jumlah kandungan air yang ada dapat
dilihat pada grafik kandungan air pada udara di Perrys Chemical Engineering Handbook 8th
edition. Berdasarkan perhitungan tersebut, dengan kondisi temperatur sekitar 27o C dan
tekanan 25 barg, didapat kandungan air yang tersisa adalah 1,38 g air/Nm3 udara.

Gambar 5.3 Aftercooling Unit

5.4. Sirkulasi Air Pendingin E-60


Setelah melakukan pengolahan air, air dari cooling tower mengalir dengan
temperatur yang relatif tinggi, yaitu 32-35 C. Keadaan ini belumlah cukup untuk digunakan

sebagai air pendingin. Oleh karena itu, air ini dialirkan ke dalam unit penukar kalor E-60. Hal
ini dimaksudkan untuk menurunkan temperatur air pendingin sebelum digunakan.
Air pendingin dialirkan ke dalam E-60 dengan menggunakan nozzle. Nozzle yang
digunakan adalah nozzle dengan bentuk spray, sehingga air yang mengalir bukanlah dalam
bentuk aliran, melainkan tetesan kecil. Kemudian, untuk mendinginkan air pendingin
tersebut, dialirkan Waste Gas atau Nitrogen Residual, yang merupakan gas nitrogen dengan
temperatur dengan kisaran yang sama, 35-40 C dalam jumlah yang besar.
Ketika tetesan air mengalir menuju dasar kolom, udara pendingin dialirkan dari arah
yang berlawanan. Udara pendingin ini mengandung nitrogen dengan kemurnian sangat tinggi,
sehingga dapat dikatakan memiliki kelembapan relatif 0%. Kemudian, aliran ini memasuki
kolom E-60 yang memiliki kelembapan tinggi. Pada tahap ini, udara pendingin menyerap air
yang mengalir dari packing menuju dasar kolom yang mengakibatkan kelembapan udara
pendingin mengalami peningkatan. Aliran udara pendingin sendiri mengalami kompresi dari
tekanan 24.3 mbar menjadi 1 bar pada suhu yang sama. Adapun proses ini dinamakan
kompresi isotermik.
Setelah mencapai tekanan 1 bar, udara pendingin ini telah mengalami kenaikan.
Ketika melewati packing, keberadaan air pendingin yang dialirkan mngakibatkan kelembapan
yang kolom mencapai 100%. Oleh karena itu, pada tekanan tetap, aliran udara pendingin
mengalami kenaikan kelembapan relative Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya penurunan
suhu udara pendingin. Proses ini dinamakan dengan pendinginan isobaric. Pembuktian lebih
jelas dapat dilihat pada bagian tugas khusus.
Perbedaan jumlah massa zat yang dialirkan yang kemudian mengakibatkan
penurunan suhu air lebih cepat bila dibandingkan dengan gas nitrogen. Ditambah lagi, kalor
jenis air yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nitrogen pada aliran gas mengakibatkan
perbedaan perubahan suhu di antara keduanya. Lalu, air pendingin yang telah melewati aliran
nitrogen ditampung pada dasar kolom E-60 sebelum dialirkan ke sistem.
Pada awalnya, proses pendinginan air ini dapat membuat air pendingin mencapai
suhu di bawah 20 C sehingga dapat langsung digunakan. Akan tetapi, seiring bertambahnya
waktu, proses pendinginan dengan E-60 hanya mampu mendinginkan air hingga suhu
berkisar 20-24 C. hal ini mengakibatkan perlunya peralatan tambahan untuk mendinginkan
air tersebut. Oleh karena itu, digunakanlah chiller sebagai unit pendingin tambahan.
Sirkulasi Air Pendingin Chiller
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa unit penukar kalor tidak mampu lagi
mendinginkan air pendingin hingga suhu di bawah 20 C. Maka, digunakan alat pendingin

tambahan yaitu chiller. Unit ini bekerja secara terpisah dari unit E-60, namun dapat
digunakan untuk mendinginkan air pendingin hingga mencapai temperature yang diinginkan.

Gambar 4. 2 Skema Pendinginan air pada E-60 dan Chiller

Unit ini menggunakan sistem sirkulasi tertutup di mana tidak terjadi kontak antara
air pendingin dengan fluida pendingin sehingga tidak ada fluida pendingin yang menghilang
akibat evaporasi. Akibatnya proses transfer panas yang terjadi menggunakan fluida pendingin
dengan volume tetap.
Fluida yang mengalir pada unit ini ada 2, yaitu Freon dan air pendingin. Freon
digunakan karena memiliki karakteristik kemampuan terbakar dan reaktivitas yang rendah
serta tidak korosif. Akan tetapi, zat ini mengandung CFC atau Chloro Fluoro Carbons yang
merupakan salah satu penyumbang utama penipisan lapisan ozon yang berdampak pada
pemanasan. Oleh karena itu, penggunaan zat ini sangat dibatasi, salah satunya dengan
penggunaan sistem sirkulasi yang tertutup ini.
Sedangkan air pendingin pada chiller ini juga berbeda dengan air pendingin pada E60. Air pendingin ini merupakan air demineralized, yaitu air dengan kandungan mineral yang
telah dipisahkan. Air ini diperoleh dengan proses ionisasi dan penambahan bahan kimia
tertentu sehingga dapat mengikat mineral-mineral yang terkandung dalam air. Karena proses
pembuatan yang cukup kompleks, air demin pada PT Air Liquide Indonesia diperoleh dengan
membeli dari PT Krakatau Daya Listrik.
Adapun alasan penggunaan air demineralized ini adalah untuk menjaga kemurnian
Freon yang akan melakukan kontak dengan air. Mineral pada air yang tidak melewati proses
demineralisasi ini akan cenderung mengikat senyawa klor dan fluor yang berada pada Freon
sehingga kemurnian Freon akan berkurang. Kemurnian Freon yang berkurang tentu akan

berdampak pada pengurangan kemampuan unit chiller dalam menurunkan temperature air
pendingin.
Selain itu, pada unit chiller yang digunakan pada PT Air Liquide, terdapat standar
air yang dapat dialirkan ke dalam unit tersebut, yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4. 1 Standar Air Chiller

Kriteria
Kandungan ion NH4+
Kandungan ion ClKandungan ion SO42Kandungan ion FKandungan ion Fe2+ dan Fe3+
Kandungan logam terlarut
Kandungan oksigen terlarut
Kandungan silica terlarut
pH (25 C)

Nilai batas
0 mg/l
< 10 mg/l
< 30 mg/l
< 0.1 mg/l
0 mg/l
< 5 mg/l
< 5 mg/l
< 1 mg/l
7-8

Adapun proses pendinginan air pada unit chiller adalah kontak antara Freon dengan
air pendingin. Freon yang sudah melakukan kontak didaur ulang lagi untuk didinginkan.
Sedangkan air pendingin dengan suhu yang rendah dihubungkan dengan aliran keluaran air
dari E-60.
Secara termodinamik, siklus di atas dapat dianalisis dengan memperhatikan
perubahan temperature terhadap entropi. Proses di atas dapat digambarkan melalui siklus
berikut
Dari gambar di atas terlihat bahwa pada poin 1, Freon memasuki condenser dalam
keadaan uap jenuh, kemudian, Freon di tersebut dikompres secara isentropic sehingga
menghasilkan uap superheated yang ditunjukkan pada poin 2. Memasuki poin 3, uap tersebut
melewati condenser untuk didinginkan. Barulah terjadi proses kondensasi pada poin 4. Proses
yang terjadi dari poin 2-4 umumnya terjadi secara isobaric. Kemudian, Freon bergerak
menuju poin 5, di mana Freon yang terkondensasi melewati expansion valve untuk
menurukan tekanan. Barulah Freon dapat digunakan sebagai pendingin air demin hingga
kembali ke poin 1 kembali.

Gambar 4. 3 Gambar siklus Freon pada kurva Entropi vs Temperatur

Air pendingin dari chiller kemudian dikontakkan dengan air keluaran E-60 secara
berlawanan arah. Kontak ini mengakibatkan air keluaran E-60 mengalami penurunan suhu,
sedangkan air pendingin pada chiller mengalami kenaikan suhu. Air pendingin pada chiller
dikembalikan lagi ke unit chiller untuk didinginkan. Sedangkan air pada E-60 ini dapat
digunakan untuk menjadi air pendingin pada sistem operasi plant Air Liquide Indonesia.

5.5.Proses Adsorbsi (MS Tower)


Aliran udara dari E-07 (Aftercooler) dan KK-I disatukan untuk dimurnikan pada
molecular sieves tower (R-01 dan R-02 yang bekerja bergantian). MS Tower berisi alumina
gel di bagian bawah dan molecular sieve dibagian atas. Alumina berfungsi untuk mengadsorp
kandungan uap air, sedangkan molecular sieve di bagian atas berfungsi untuk mengadsorp
uap air yang masih tersisa dan mengadsorp pengotor seperti CO2, CO, partial NOx, dan
hidrokarbon berat. Molecular sieve tidak mampu mengadsorp hidrokarnon ringan. Meskipun
begitu, kandungan hidrokarbon ringan sangat sedikit di udara atau bahkan seharusnya tidak
ada. Jika terjadi kebakaran di lingkungan sekitar dan uadara tercemar hidrokarbon ringan,
maka harus dilakukan defrosting equipment.

Gambar 5.4 Molecular Sieves Tower

Feed (udara) dialirkan dari bawah tower kemudian melewati gel alumina dan
selanjutnya melewati molecular sieves. Molecular sieves tower ini berjumlah dua buah yang
bekerja bergantian dimana yang satu diregenerasi selama yang lain melakukan purifikasi (ON
LINE). Kondisi operasi selama regenerasi adalah kebalikan dari kondisi operasi service, yaitu
pada tekanan rendah dan suhu tinggi agar pori-pori molecular sieve dapat mengembang
sehingga kotoran yang menempel dapat terlepas. Regenerasi molecular sieves tower terdiri
dari beberapa tahap antara lain:
1. Isolated High Presure
Pada tahap ini molecular sieves tower yang telah selesai service diisolasi pada tekanan
28.03 bar abs dengan menutup valve inlet dan outlet udara,sedang molecular sieve
tower yang telah selesai regenerasi menggantikan untuk service.
2. Depressurizer
Pada tahap ini, molecular sieves tower yang telah diisolasi tekanannya diturunkan dari
28,03 bar abs ke 0,06 bar abs dengan membuka valve kecil, sehingga udara dalam
molecular sieves tower terbuang ke atmosfer.
3. Blow Off
Pada tahap ini valve besar untuk pembuangan udara ke atmosfer dibuka agar
diperoleh laju udara yang cukup pada waktu cooling dan heating.

4. Heating
Heating adalah pemanasan adsorber dengan gas impuritis N2 yang dipanaskan
(mencapai 1500C) untuk menghilangkan CO2 dan H2O dan hidrokarbon ringan yang
menempel di adsorber agar kembali ke atmosfer.
5.

Cooling
Cooling adalah pendinginan adsorber dengan gas impuritis N2 yang didinginkan
sampai suhu 29 oC sehingga kembali ke kondisi operasi service.

6.

Isolated High Pressure


Molecular sieves tower yang sedang regenerasi diisolasi dengan cara menutup valve
pembuangan ke atmosfer dan valve inlet waste nitrogen.

7.

Pressurising
Pressurising adalah penekanan vessel adsorber yang sedang diregenerasi sampai
tekanan 5,2 bar agar siap pakai. Tekanan dalam molecular sieves tower dihasilkan
dengan membuka valve udara dari after cooler dengan valve outlet ke cold box tetap
tertutup.

8.

Parallel
Setelah tekanan dan suhunya sama, seperti kondisi operasi service maka valve outlet
ke cold box dibuka sehingga kedua molecular sieves tower berada pada kondisi
service.

9.

Regenerasi
Molecular sieves tower yang telah selesai service diisolasi untuk persiapan proses
regenerasi yaitu proses pengaktifan kembali gel alumina dan molecular sieves yang
telah jenuh, sedang molecular sieves tower yang sudah regenerasi terus melanjutkan
service.

Gambar 5.5 Tahap Regenerasi Adsorber

Waktu yang diperlukan untuk meregenerasi MS Tower pada plant KK-1 adalah
selama 7 jam, dengan debit aliran sebesar 15000 Nm3/hr, sementara MS Tower pada Plant
KK-2 membutuhkan waktu 5 jam, dengan debit aliran sebesar 83000 Nm3/hr.

5.6. Booster Expander


Unit booster expander terdiri dari sebuah booster yang berfungsi untuk
mengkompreskan udara yang masuk serta sebuah expander untuk menurunkan tekanan udara
sehingga diperoleh temperatur rendah yang diperlukan untuk mencairkan udara. Booster dan
expander dihubungkan dengan sebuah shaft yang berfungsi untuk mengalirkan energi untuk
menggerakkan booster yang dihasilkan dari expander. Dengan demikian, kinerja booster
menjadi lebih efisien.

Gambar 4. 4 Booster Expander

Di dalam expander dihasilkan energi dikarenakan proses ekspansi yang terjadi


berlangsung secara adiabatik reversibel. Pada PT. Air Liquide Indonesia terdapat dua booster
expander yaitu D01AC-DO1A dan D01BC-D01B, pada proses yang digunakan hanya satu,
sementara booster expander yang satu lagi merupakan back-up yang dijalankan apabila
booster expander yang digunakan mengalami masalah.

Gambar 4. 5 Aliran Proses Yang Terjadi Pada Booster Expander

Masukan booster dan expander berasal dari unit yang berbeda. Udara yang masuk ke
dalam booster berasal dari M/S tower atau adsorber memiliki tekanan sekitar 25.58 bar dan
suhu 24.6oC, setelah melalui booster, udara menjadi bertekanan 32.88 bar dan suhu 53.7oC.
Udara dengan tekanan dan temperatur yang lebih tinggi kemudian dialirkan menuju ke heat
exchanger, tetapi agar suhu udara yang masuk tidak terlalu tinggi, maka sebelum masuk,
udara dilewatkan terlebih dahulu ke dalam aftercooler, kemudian suhu udara yang masuk
heat exchanger adalah sekitar 41.3oC. Setelah melewati heat exchanger, 70% udara masuk ke
expander, dan 30% udara dialirkan ke JT Valve. Udara yang masuk ke dalam expander
memiliki tekanan 32.28 bar dengan suhu -120.8oC, setelah diekspansi, udara yang keluar
memiliki penurunan tekanan yang sangat besar, menjadi 4.047 bar dengan suhu -174.6oC.
Udara yang keluar dari expander ini memiliki fasa cair, yang kemudian dialirkan masuk ke
kolom distilasi K-01.
Udara yang berasal dari M/S tower atau adsorber dialirkan masuk ke dalam booster
agar diperoleh tekanan yang lebih tinggi. Udara yang masuk memiliki memiliki tekanan
sekitar 25.58 bar dan suhu 24.6oC. Booster yang digunakan mendapatkan energi dari
expander melalui shaft yang menghubungkan keduanya. Setelah melewati booster, udara
menjadi bertekanan 32.88 bar dan suhu 53.7oC. Sebelum dimasukkan ke heat exchanger,
udara perlu didinginkan terlebih dahulu agar suhu keluaran exchanger menjadi lebih kecil.
Udara yang keluar dari booster dilewatkan kepada aftercooler yang berfungsi menurunkan
suhu udara sekitar 10oC, sehingga udar ayang masuk ke dalam heat exhanger memiliki suhu
41.3oC.
Aliran udara yang keluar heat exchanger dibagi menjadi dua aliran. Sekitar 70% udara
dialirkan ke expander D-01 A/B sedangkan 30% sisanya dialirkan ke expansion valve atau JT
valve. Pembagian aliran ini bertujuan untuk mencairkan fasa udara. Sistem yang digunakan
pada proses ini adalah Sistem Claude yang merupakan gabungan dari sistem ekspansi
adiabatik menggunakan mesin ekspander dan sistem Joule Thompson menggunakan
ekspansion valve atau JT valve untuk memperoleh udara dalam fasa cair.
Tujuh puluh persen udara yang keluar heat exchanger dialirkan ke dalam expander
untuk kemudian di ekspansi secara adiabatis. Udara yang masuk memiliki tekanan 32.28 bar
dengan suhu -120.8oC, kemudian setelah diekspansi, udara yang keluar memiliki penurunan
tekanan yang sangat besar, menjadi 4.047 bar dengan suhu -174.6oC. Udara yang keluar dari
expander memiliki fasa cair. Keluaran ini kemudian dialirkan ke bagian bawah K-01 karena
kandungan liquid nya hanya 5-10%.

Sementara itu, tiga puluh persen udara yang keluar heat exchanger dialirkan ke JT
valve, kemudian dialirkan ke dalam K-01, tetapi sebelumnya dilewatkan kepada separator
terlebih dahulu karena udara yang melewati JT valve memiliki komposisi 60-80% liquid,
sehingga fasa gas dan liquid nya dipisahkan dalam separator B04 terlebih dahulu, kemudian
dialirkan masuk kedalam kolom distilasti K-01. Fasa cair udara akan masuk kebagian kolom
yang lebih bawah, sedangkan fasa gas nya ke bagian kolom yang lebih atas atau bagian
tengah kolom distilasi K-01.

5.7. Proses Pertukaran Panas Utama


Setelah melalui booster, udara dialirkan ke main exchanger (E-01). Sebagian (70%)
keluar dari bagian tengah E-01 lalu masuk ke turbin D-01 untuk proses ekspansi, sebagian
lagi (30%) keluar dari bagian bawah E-01 dan kemudian dilewatkan pada valve ekspansi
(untuk menurunkan tekanan) serta separator sebelum masuk ke bagian tengah kolom distilasi
K-01.
Aliran udara ini selanjutnya dialirkan ke Main Heat Exchanger E-01 dan terjadi
pertukaran panas antara aliran udara dengan aliran pendingin hingga mengakibatkan
temperatur udara menjadi -124oC pada 34.59 bar. Penurunan temperatur yang besar ini
diakibatkan karena aliran pendingin yang digunakan adalah produk buangan bertemperatur
sangat rendah :
Tabel 5.1 Media pendingin Main Heat Exchanger

Media Pendingin

T (oC)

Asal

LIN (Liquid Nytrogen)

-175.9

K-01

LOX (Liquid Oxygen)

-177

E-02

LPGAN (Low Pressure Gas Nytrogen)

-177

E-03

Waste Gas Nytrogen

-177

E-03

LAR (Liquid Argon)

-177

HP storage

Gambar 5.7 Main Heat Exchanger

Ada empat aliran yang digunakan sebagai media pendingin di E-01, yaitu: (1) gas
nitrogen yang dihasilkan dari bagian atas kolom K-01 yang selanjutnya akan keluar sebagai
Nitrogen Gas High Pressure (NGHP), (2) Liquid Oxygen dari E-02 yang selanjutnya keluar
sebagai Oxygen Gas High Pressure (OGHP) yang dialirkan ke pipeline, (3) waste gas
nitrogen dari E-03 yang kemudian di pakai sebagai pendingin air di nitrogen tower E-60, dan
(4) gas nitrogen dari E-03 yang selanjutnya keluar sebagai Nitrogen Gas Low Pressure
(NGLP) dan di kirim ke konsumen melalui pipeline.
Sistem yang digunakan pada proses ini adalah Sistem Claude yang merupakan
gabungan dari sistem ekspansi adiabatik menggunakan mesin ekspander dan sistem JouleThompson menggunakan expansion valve untuk memperoleh udara dalam fasa cair. Pada
siklus ini udara yang terkompresi diumpankan ke Heat Exhanger, 60-80% dari jumlah udara
dialirkan ke ekspander dan sisanya ke expansion valve. Aliran udara yang keluar dari
ekspander dan expansion valve akan berubah menjadi fasa cair karena terjadi penurunan
tekanan yang sangat besar hingga menyebabkan turunnya temperatur udara.
Dua puluh lima persen aliran udara yang dialirkan melalui expansion valve akan
menuju separator B-04 untuk dipisahkan menjadi 2 fasa, gaseous-air dan liquid-air. Fasa gas
akan masuk bagian tengah kolom K-01, sedangkan udara dalam fasa cair masuk ke bagian
bawah kolom K-01.

Tujuh puluh lima persen aliran udara sisa yang keluar dari Main Heat Exchanger E01 akan dialirkan ke Turbines D-01 A/B untuk diekspansi secara adiabatik reversibel dari
34.59 bar gauge menjadi 5.315 bar gauge dengan penurunan temperatur dari -124.6oC
menjadi -174.1oC. Keluaran turbin D-01A/B akan dialirkan ke bagian bawah kolom K-01
sebagai umpan proses distilasi.

5.8. Proses Ekspansi


Setelah keluar dari main exchanger, udara diekspansi dengan menggunakan turbine
dan Joule Thomson Valve. Tujuan dari ekspansi ini adalah untuk dapat menurunkan
temperatur karena penurunan tekanan.

Gambar 5.8 Turbo-expander

Proses ekspansi terjadi dengan menggunakan 2 cara, yaitu ekspansi adiabatik dengan
menggunakan turbin dan juga ekspansi bebas dengan menggunakan Joule-Thompson Valve.
Metode ekspansi bebas sering pula disebut dengan ekspansi isoentalpi. Ketika gas di
ekspansi melalui lubang kecil, seperti melalui throttle valve, menuju tekanan yang lebih
rendah, temperatur gas menjadi berkurang dari temperatur awalnya. Efek penurunan
temperatur akibat penurunan tekanan ini disebut juga dengan efek Joule-Thompson. Semakin
besar penurunan tekanan, maka semakin besar pula penurunan temperatur nya.

Gambar 5.9 JT Valve

Ekspansi adiabatis ini adalah ekspansi yang terjadi pada turbin pengekspansi
(expansion turbine). Dalam keadaan ideal, ekspansi yang terjadi akan reversibel dan
adiabatis, yang mana juga isentropis. Selama proses isentropis, energi dibuang dari sistem
sebagai energi eksternal. Ketika gas terkompresi di ekspansi pada turbin pengekspansi,
pendinginan gas dapat terjadi. Ekspansi gas akan menghasilkan kerja yang dapat digunakan
untuk beberapa mesin seperti kompresor, generator, blower). Ekspansi adiabatis ini lebih
efisien dibandingkan dengan ekspansi bebas dalam hal konsumsi energi dan produksi
refrijerasi.

5.9 Proses Distilasi (Medium Pressure Column)


Setelah keluar dari tahap ekpansi (baik turbine maupun JT-Valve), kemudian udara
dimasukan kedalam kolom distilasi K-01 (medium pressure coloumn). Nitrogen merupakan
senyawa dengan titik didih -195,8C pada tekanan 1 bar, sedangkan oksigen merupakan
senyawa dengan titik didih -183C pada tekanan 1 bar. Pada kolom ini, nitrogen yang
memiliki titik didih lebih rendah akan menguap terlebih dahulu naik ke atas kolom.
Sedangkan oksigen yang masih berupa cairan akan turun ke dasar kolom dan membentuk
liquid yang disebut dengan rich liquid (mengandung 38-40% Oksigen). Nitrogen yang naik
keatas berupa uap akan masuk ke dalam vaporizer condenser E-02 dan akan berubah kembali
menjadi cairan setelah bertukar panas dengan Oksigen cair dari kolom K-02. Nitrogen cair ini
dimasukan kedalam tangki untuk kemudian didistribusikan atau digunakan kembali baik
sebagai pendingin dan sebagainya. Sedangkan rich liquid dari dasar kolom distilasi kemudian
dialirkan menuju kolom distilasi K-02 untuk diproses lebih lanjut.

Gambar Medium Pressure Column

Operasi pada kolom distilasi ini berlangsung pada kondisi tekanan sekitar 4 bar. Pada
tahap kondensasi di kondeser E-02, Nitrogen 4 bar dialirkan dengan Oksigen cair dengan
tekanan sekitar 0,4 bar. Hal ini membuat Nitrogen akan mencair lebih dahulu dibandingkan
dengan Oksigen dengan tekanan lebih rendah dikarenakan titik didihnya menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan Oksigen.
Kemudian setelah melalui pertukaran panas, ada sebagian oksigen yang menguap
dan ada sebagian oksigen yang masih berupa cairan. Oksigen yang menguap akan naik ke
atas kolom dan menuju LP column, sedangkan yang masih berupa cairan akan menuju pompa
P02 A/B.

5.10 Proses Distilasi Lanjutan (Low Pressure Column)


Proses distilasi berlanjut di K-02, dimana yang terjadi adalah liquid oksigen dengan
kemurnian tinggi turun ke bawah, dibagian tengah terdapat crude argon, dan di bagian atas
terdapat produk gas nitrogen dengan kemurnian tinggi. Liquid oksigen dialirkan ke E-03
kemudian ke storage.
Proses distilasi bermula pada kolom K-02 yang beroperasi pada -193oC dan 1.461
bar abs. Pada kolom ini terjadi pemisahan antara Nitrogen murni, Oksigen Murni, dan Crude
Argon dengan kandungan kurang lebih 10% argon.

Rich liquide Oxygen (38-40% oksigen) masuk ke kolom K-02 setelah melalui
separator B-02 dan subcooler E-03 untuk ditukarkan sedikit panasnya. Fasa cair dari
separator B-02 akan turun ke bagian bawah kolom dan berkontak dengan gas yang menguap
dari bagian bawah kolom K-02 sehingga kandungan Oksigen pada produk bawah semakin
tinggi kemurniannya (mencapai 99.85%). Oksigen cair ini dikeluarkan dengan pompa P01A/B dan pompa P-02 A/B.
Aliran pompa P-01A/B dibagi menjadi dua aliran, pertama menuju ke E-02 dan
kedua menuju subcooler E-03 untuk dialirkan ke storage tank sebagai produk LOX (Liquid
Oxygen). Pompa P-02 A/B mengalirkan oksigen cair ke Main Heat Exchanger E-01 sehingga
diperoleh produk berupa OGHP (Oxygen Gas High Pressure) dengan kondisi 46oC pada 27
bar abs untuk dialirkan ke sistem perpipaan.

Gambar Low Pressure Column

Kandungan Nitrogen dan Argon yang terkandung dalam Rich Liquid Oxygen akan
menguap ke atas kolom K-03 yang beroperasi pada -193oC dan 0.3 bar abs. Pada kondisi ini
akan diperoleh gas Nitrogen dengan kemurnian yang berbeda. Gas Nitrogen dengan
kandungan Oksigen kurang dari 1 ppm dialirkan ke Main Heat Exchanger E-01 melalui
subcooler E-03 untuk mengalami pertukaran panas dan menjadi produk NGLP (Nitrogen Gas
Low Pressure) dengan kondisi 46oC dan 0.199 bar abs. Sedangkan gas nitrogen dengan

kandungan oksigen lebih dari 1.1 ppm disebut nitrogen waste gas. Aliran ini digabungkan
dengan aliran nitrogen waste gas lain untuk dialirkan menuju Main Heat Exchanger E-01
melalui subcooler E-03 dan kemudian dialirkan lagi ke Heater E-08 untuk digunakan pada
proses regenerasi adsorber dan ke Nitrogen Tower E-60 untuk mendinginkan air yang berasal
dari cooling tower.
5.11 Proses Pemurnian Argon (Crude Argon Column)
Argon merupakan zat yang memiliki kandungan sekitar 1% di udara. Kandungannya
yang kecil ini mengakibatkan sulitnya untuk mengekstraksi argon dan menyebabkan perlunya
investasi lebih untuk mengektraksi argon.

Gambar Vapor Pressure Curve Dari Nitrogen, Oksigen Dan Argon

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa nitrogen memiliki volatilitas yang lebih
tinggi, kemudian disusul dengan argon dan oksigen. Dengan demikian, pada tekanan yang
sama, nitrogen akan lebih mudah menguap kemudian argon dan oksigen.
Dari grafik tersebut, terlihat argon dan oksigen garisnya sangat dekat jika
dibandingkan dengan nitrogen. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa argon akan lebih
mudah terlarut pada oksigen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan argon, maka proses
ekstraksi argon ini secara umum terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian pemisahan argon dengan
oksigen, kemudian pemisahan argon dengan impurities lain.

Gambar Profil pada LP kolom

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa di dalam LP column, argon akan
terkondensasi pada bagian atas kolom dan menguap pada bagian bawah kolom sehingga
kandungan argon yang terbanyak adalah bagian tengah, yaitu maksimum 15%. Sekilas bahwa
kandungan 15% ini bagus untuk diekstraksi karena kandungan argonnya maksimum, namun
juga dapat dilihat bahwa kandungan nitrogennya adalah 8-10%. Hal tersebut bermasalah
karena pada kandungan nitrogen 8-10% akan menyebabkan sulitnya pemurnian argon pada
proses selanjutnya, sehingga dipilihlah argon dengan kandungan 10% argon dengan
kandungan nitrogen 0,1%. Pada komposisi tersebut, argon dapat dimurnikan. Jadi, aada
kolom distilasi LP (Low Pressure), crude argon akan diambil pada bagian bawah kolom,
kira-kira sepertiga bagian bawah kolom. Pada bagian bawah kolom ini, konsentrasi argon
dijaga sekitar 10%. Untuk menjaga agar argon tetap pada konsentrasi tersebut, maka oksigen
akan di atur pada jumlah tertentu.
Crude argon kemudian dialirkan ke K-10A untuk proses enriching. Proses ini
menghasilkan oksigen cair yang akan turun dan menjadi produk bawah, dan produk atas
berupa campuran argon, nitrogen, dan sedikit oksigen. Oksigen cair akan dialirkan kembali

ke bagian tengah K-02, dan produk atas berupa gas yang masih mengandung gas nitrogen,
oksigen, dan argon dialirkan ke kolom K-10B.

Gambar Kolom Crude Argon

Di K-10B menghasilkan lean liquid argon di bagian bawah dan rich gas argon di
bagian atas. Lean liquid argon akan dipompakan kembali ke bagian atas K-10A sebagai
refluks. Sedangkan rich gas argon di bagian atas dikondensasikan dengan menggunakan rich
liquid O2 dari K-02 yang sebelumnya telah dilewatkan ke subcooler. Oksigen yang masih ada
di rich gas argon mengembun dan akan dikembalikan ke K-10A sehingga di atas kolom K10B hampir tidak ada oksigen lagi.

Rich liquid yang mengalami pertukaran kalor di

kondenser akan menguap dan mengalir kembali ke LP column. Gas argon setelah melalui
proses kondensasi masih mengandung 0,01 ppm O2 dan 4 % N2, selanjutnya dialirkan ke E33. Di E-33, argon mengalami proses pendinginan dengan menggunakan lean liquid dari
bagian tengah kolom K-01. Kandungan Nitrogen yang masih cukup tinggi mengakibatkan
Argon cair perlu dimurnikan lagi di kolom K-11.

5.12 Proses Pemurnian Argon Lanjut (Pure Argon Coloumn)


Setelah keluar dari kolom K-10, proses selanjutnya adalah masuk kedalam kolom K11. Kolom ini merupakan satu-satunya kolom yang memiliki reboiler. Kolom ini bertujuan

untuk memurnikan Argon dari kandungan Nitrogen dan yang lainnya. Setelah masuk
kedalam kolom, Argon cair akan turun ke bagian bawah kolom sedangkan Nitrogen akan
menguap naik ke bagian atas kolom.
Argon yang ikut teruapkan bersama Nitrogen pada bagian atas kolom dikondensasi
dengan kondensor E-16 sehingga Nitrogen terpisah dari Argon dan dibuang ke subcooler E03. Nitrogen yang dibuang ini akan bergabung dengan aliran waste gas Nitrogen yang lain
dan dialirkan ke Main Heat Exchanger E-01.

Gambar Kolom Pure Argon

Sedangkan Argon yang mengalir ke bagian bawah kolom dididihkan dengan reboiler
E-15 menggunakan gaseous-air kolom K-01 agar Nitrogen yang masih terbawa argon
menguap ke atas kolom. Gaseous air reboiler E-15 akan menjadi liquid air dan dikembalikan
ke kolom K-01. Argon yang telah dididihkan pada reboiler E-15 mengandung kurang dari 1
ppm Oksigen dan kurang dari 2 ppm Nitrogen. Produk ini dialirkan ke storage tank sebagai
LAR (Liquid Argon) pada kondisi -181.5oC dan 1.638 bar abs.
Argon merupakan produk yang sulit didapatkan karena komposisinya yang sangat
kecil dibandingkan Oksigen dan Nitrogen sehingga gas dari tangki penyimpanan dikeluarkan
dengan cara recycle melalui kondensor E-30. Media pendingin yang digunakan adalah lean
liquide dan yang keluar dari separator B-30 adalah lean liquide vaporizer.

Pada tangki penyimpanan Argon sering terjadi pembentukan uap yang harus
dikeluarkan karena produksi Argon dilakukan secara kontinu. Apabila tidak dikeluarkan
maka akan terjadi peningkatan tekanan uap yang sangat besar.
Terdapat perbedaan proses ekstraksi argon KK2 dengan KK1. Pada Plant KK1,
Oksigen yang membawa argon tersebut akan direaksikan dengan hidrogen dengan
menggunakan katalis Palladium. Ini disebabkan karena oksigen yang keluar dari kondenser
masih dalam persen, bukan ppm. Oksigen yang bereaksi dengan hidrogen akan menjadi air
(H2O) dan kemudian akan dibuang. Argon yang kemudian terpisah, dialirkan terus ke kolom
berikutnya untuk didinginkan sehingga didapatkan argon cair untuk di simpan di dalam
storage.

Anda mungkin juga menyukai