IDENTITAS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien
: Ny. T
Alamat
: Srandakan, Bantul
Umur
: 63 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Tgl. Pemeriksaan
: 27 Desember 2010
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
ke UGD RSUD
Temanggung
pada
tanggal 26 Desember
2010 dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 hari lalu, mual (+),
muntah (-), pusing (-), demam (-), BAK (+) lancar, warna kuning, BAB (+)
lancar. Nyeri perut sering kambuh-kambuhan sejak 2 bulan lalu. Pasien
sudahpernah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan tetapi keluhan belum
membaik. Pasien disarankan untuk melakukan USG.
C. OBJEKTIF
Pemeriksaan fisik tanggal 26 Desember 2001 pukul 10.00
1. Keadaan umum
Kesadaran
: Baik
: compos mentis
2. Vital sign
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
Nadi
Respiration rate
Suhu
3. Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek
cahaya (+/+)
Hidung
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
6. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
: peristaltik (+)
Perkusi
: timpani
Palpasi
7. Ekstremitas
Superior
Inferior
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. USG abdomen lengkap
Tanggal 26 Mei 2010
Hepar : ukuran dan echostruktur parenchym normal, sudut lancip,
tepi licin, tak tampak pelebaran sistema vasculer dan bilier intra
hepatal. Tak tampak nodul/cyst.
Vesica Felea : lumen terisi cairan, dinding licin, tak menebal,
tampak lesi hyperechoic soliter, ukuran 3,65 x 1,35 x 2,1 cm, AS
(+)
Lien : ukuran dan echostruktur parenchym normal, dinding licin,
hillius tak prominent, tak tampak massa atau nodul.
Ren dextra : ukuran dan echostruktur normal, batas cortex medulla
jelas, SPC baik, tak tampak nodul/batu/cyst.
Ren sinistra : ukuran dan echostruktur normal, batas cortex
medulla jelas, SPC baik, tak tampak nodul/batu/cyst.
KESAN: COLECYSTOLITHIASIS
E. DIAGNOSIS
Kolesistolitiasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang
dilaporkan
berhubungan
dengan
kolelitiasis
adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus
paralitik.
8) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi
yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu
menjadi meningkat dalam kandung empedu.
4. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam
empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena selsel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme
lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet
tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.
5. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu
digolongkan atas 3 (tiga) golongan:
1)
Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol.
2)
Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila
terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim
B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi
menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat
bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut.
b. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.Batu
pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivatpolymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.
3)
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung
20-50% kolesterol.
6. Manifestasi klinis
1) Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia, mual.
2) Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas disertai kolik bilier yangbiasanya timbul malam hari atau dini hari,
berlangsung lama antara 3060 menit, menetap dan baru menghilang
beberapa jam kemudian. Rasa nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan,
pundak, punggung disertai nausea, vomitus dan dispepsia, flatulen dan
lain-lain. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang
merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa
kolelitiasis. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit
setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris.
7. Diagnosis
1) Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai
intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan
utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.Penyebaran nyeri pada
ditemukan
kelainan,
biasanya
berhubungan
dengan
Pada
pemeriksaan
ditemukan
nyeri
tekan pada
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum (N: < 0,4 mg/dl) akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh
batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat( N: 17
115 unit/100ml)sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
ii.
Pemeriksaan radiologis
10
mempunyai
derajat
spesifisitas
dan
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras
cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup
11
keadaan-keadaan
tersebut
kontras
tidak
dapat
visualisasi
langsung
stuktur
bilier
dan
12
8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Konservatif
a. Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak
berhubungan
dengan
timbulnya
keluhan
selama
13
2) Penanganan operatif
a. Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan
mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada
tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada
pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan
pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi
tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut
serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat
dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis,
bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko
trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya
berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi
kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali,
dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
c. Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih
kecil dengan efek nyeri paska operasi lebih rendah.
14
9. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen. Gambaran
tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan
konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh
rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Selain itu juga
berupa kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis
bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena
perforasi kandung empedu.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
3.
Jakarta:
Balai
Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. 2000.380-4.
2. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
3. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029
16